Wednesday, January 15, 2014

Sesayak Kawa Daun di Batu Sangkar

Hujan gerimis menemani kami saat kami melangkah masuk ke pondok kawa (kopi) daun di pinggir kota Batu Sangkar. Pondok kopi daun tersebut lenggang saat kami masuk, bangku-bangku panjang melompong dari pengunjung. Gundukan gorengan yang diletakkan di semacam etalase kaca sudah menipis, hari memang sudah agak malam.

Duduk di salah satu bangku panjang, kami memesan. Gorengan diantar penjaga warung dalam semacam keranjang yang terbuat dari rotan beralaskan daun pisang. Gorengannya tidak menjanjikan, lembek berminyak, dan sepertinya juga kurang masak. Bukan gorengan pilihan saya. Tetapi itu adalah gorengan daerah sini, nyaris di semua tempat sama.

Kawa daun pesanan kami diantar ke tempat kami duduk. Tempatnya bukan dalam gelas seperti yang saya bayangkan, melainkan dalam sayak - tempurung kelapa yang sudah dibersihkan menyisakan batok kelapa yang hitam dan mengilat. Sebagai alas supaya tempurung tidak terguling, diletakkan potongan bambu setinggi sekitar lima sentimeter.

Menyesap sedikit kawa panas, saya merasakan rasa yang sama sekali berbeda. Tidak seperti kopi, tetapi juga bukan teh. Warnanya memang hitam, tetapi tidak sepekat kopi hitam seperti biasanya. Hitam agak kemerahan. Rasa pendampingnya tergantung pada campuran apa yang dipesan. Tersedia pilihan kopi daun tawar tanpa campuran apa-apa, manis dengan campuran gula tebu ataupun gula aren, atau susu. Kopi kami berasa manis dengan campuran gula. Aroma asap sedikit terasa. "Kopi daun memang diasap", tuan rumah kami, orang asli desa Minangkabau di Batu Sangkar, menjelaskan.

Kopi daun tidak muncul begitu saja. Ini adalah hasil kreativitas saat terpuruk di masa penjajahan Belanda dulu. Konon kabarnya, ketika kopi menjadi komoditas yang sangat berharga bagi penjajah, warga pribumi harus menanam kopi, tetapi terlarang untuk bisa menikmati bijinya. Masyarakat kemudian mengambil daunnya - toh sama-sama dari pohon yang sama - yang kemudian dikeringkan dan disangrai. Rasanya bukan kopi, walaupun nuansa kopi masih terasa.

Berpuluh tahun kemudian, ketika Belanda sudah pergi dan biji kopi sudah boleh dikonsumsi oleh siapa saja, kawa daun malah menjadi bagian dari keseharian. Kawa daun menemani setiap kala, menghabiskan masa senggang dengan bersantai. Saat ini, pondok-pondok kawa daun berjejer mulai dari Payakumbuh sampai ke Batu Sangkar.

Saya melayangkan pandangan ke sekeliling dalam pondok. Bagian depan, dengan dinding rendah menjadi semacam pemisah antara ruangan pengunjung dan tempat etalase gorengan, menjadi tempat penjaga warung mempersiapkan pesanan. Keranjang-keranjang rotan disusun rapi menunggu diisi gorengan. Bagian belakang menjadi semacam dapur, dengan api menyala yang memanasi kuali berisi minyak untuk menggoreng. Sumber panas berasal dari kayu bakar, asap mengepul dan menyebar ke mana-mana. Jelaga hitam menghiasi kasau dan atap yang terbuat dari daun rumbia. Jaring laba-laba bergelayut di atap, juga berselaput jelaga hitam. Jendela besar-besar dibiarkan terbuka, menimbulkan kesan seolah pondok ini tidak berdinding penuh. Beberapa karung berisi tepung terletak di samping dapur, salah satu separuh terisi. Dua orang perempuan muda masih mencelupkan pisang dan ubi ke dalam adonan dalam ember, sebelum dicemplungkan ke dalam kuali yang berisi minyak panas. Malam sepertinya masih panjang.

Beberapa pemuda masuk, mengambil tempat duduk di pojokan dan memesan kawa daun campur susu. Beberapa pengunjung lain datang, mengambil tempat duduk di meja kosong di belakang pondok.

Kawa daun dalam sayak kami sudah habis. Gorengan dalam keranjang rotan sudah berkurang jauh. Rintik hujan sudah hilang. Saatnya untuk pergi.






No comments:

Post a Comment