Tim kami terdiri dari empat orang, dua orang dari lab dan dua orang lagi dari unit pengolahan air. Kami berangkat meninggalkan kota tempat kami tinggal hari Rabu menuju ke kota Jambi, dan singgah sebentar di sister company grup perusahaan tempat kami bekerja yang ada di Tebingtinggi. Perjalanan melelahkan melalui lintas timur Sumatera selama nyaris sepuluh jam sebelum mencapai Tebingtinggi. Jalan antara Belilas dan perbatasan Riau - Jambi rusak parah, terutama di daerah Kritang yang kondisinya luar biasa rusak. Jalan sepanjang sekitar dua puluhan kilometer ditempuh selama nyaris dua jam. Bantingan-bantingan yang disebabkan oleh lubang besar yang menganga di badan jalan membuat perut mual. Di sana-sini nampak kenderaan truk bermuatan berat yang terseok-seok melintasi badan jalan yang menggelembung dan naik turun. Debu tebal menutupi tanaman dan rumah-rumah penduduk yang berada di pinggir jalan. Sebuah sedan terpaku di pinggir jalan, pengemudi dan penumpangnya turun dan dengan putus asa menatap kondisi jalan yang nyaris tidak akan terlewati oleh mereka. Melewati perbatasan Riau - Jambi, jalan mulus membentang, lebar dan licin. Bagai bumi dengan langit dibandingkan dengan jalan yang baru kami lewati.
Kami hanya singgah sebentar di Tebingtinggi, karena supir harus melapor dan mengisi bahan bakar sebelum melanjutkan perjalanan ke kota Jambi. Dari jalan lintas ke lokasi tujuan singgahan kami di Tebingtinggi adalah sekitar satu jam perjalanan, melintasi jalan truk bermuatan kayu untuk pabrik pulp yang rusak dan berdebu. Kiri kanan jalan didominasi oleh hutan tanaman industri dan kebun sawit. Debu tebal menutupi pandangan ke depan setiap ada truk bermuatan kayu balak di depan kami. Pepohonan tertutup oleh debu tebal, kuning kemerahan dan merana. Perumahan warga tidak nampak.
Memasuki wilayah pemukiman, rumah-rumah penduduk mulai ada dan semakin merapat. Tiang-tiang listrik sepertinya tidak berfungsi sebagaimana seharusnya, kabel-kabel listrik bergantungan tidak terurus, sebagian malah terjulur sampai ketanah. Ternyata memang tidak ada arus listriknya. "Listrik untuk lokasi yang berdekatan dengan pabrik disediakan oleh pabrik", kata supir kami menjelaskan. "Warga lainnya menggunakan mesin diesel". Lalu tiang-tiang listrik dengan kabel-kabel yang semrawut tadi? Tidak ada informasinya. Yang jelas sama sekali tidak berfungsi.
Sekitar setengah jam kami berada di lokasi pabrik. Kami ditumpangkan di mess tamu, di mana kami bisa salat zuhur dan beristirahat sejenak.
Jam setengah tiga siang kami melanjutkan perjalanan ke kota Jambi. Melewati jalan kami datang tadi, kiri kanan adalah pemandangan membosankan hutan tanaman industri dan kebun sawit. Kemudian kami berbelok ke jalan aspal mulus, jalan lintas timur menuju Jambi. Jalanan betul-betul mulus, nyaris tidak ada cacat. Di beberapa tempat malah sedang diperbaiki, padahal kondisinya belum rusak. Berbeda sekali dengan jalanan di Riau.
Lewat magrib kami singgah di sebuah rumah makan yang menjual soto betawi untuk makan malam. Kemudian kami melewati jembatan yang melintasi Sungai Batanghari, lalu menyeberangi kota ke sisi lainnya, ke tempat kami akan menginap malam ini.
Tempat kami menginap adalah sebuah kantor cabang grup perusahaan tempat kami bekerja, yang juga dilengkapi dengan mess. Lokasinya walaupun bukan di pusat kota ternyata cukup ramai. Kiri kanan jalan ramai oleh para penjual makanan, beragam mulai dari jajanan sampai ke makanan berat. Lalu lintas cukup ramai, terutama oleh kenderaan roda dua yang semrawut. Menyeberang jalan betul-betul butuh nyali, dan harus cepat. Jalanan di sini bagai rimba belantara yang mengancam keselamatan.
Jam setengah tujuh pagi kami dijemput. Ada tiga kenderaan yang akan berangkat ke lokasi hari ini. Saya berpisah kenderaan dangan kawan-kawan satu tim. Hanya bertiga kami sekendaraan termasuk supir. Perjalanan berlangsung dengan kencang, membuntuti kenderaan di depan yang menjadi pemimpin rombongan. Selama dua jam kami membelah jalan mulus yang lenggang dengan kecepatan tinggi, sebelum kemudian kami berbelok ke jalan tanah berdebu. Satu jam berikutnya adalah perjalanan melintasi jalan tanah yang kondisinya cukup bagus. "Tunggu saat hujan, jalanan ini berubah menjadi lumpur licin dan kubangan-kubangan besar", supir kami menjelaskan. Sebuah kampung di tengah hutan tanaman industri menyambut kami. Nyaris semua rumah punya semacam tempat pemujaan di depannya. "Ini warga Bali. Pura pemujaan itu yang membedakan rumah warga Bali dengan rumah warga Jawa", kawan seperjalanan menjelaskan. Mereka adalah warga Bali yang beragaman Hindu. Mereka adalah bagian dari program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah di masa silam.
Kemudian kamipun sampai. Kenderaan tumpangan kami berbelok dengan halus ke sebuah lapangan seperti terminal. Beberapa kenderaan lainnya sudah parkir duluan dengan rapi di tempat teduh di pinggir lapangan. Ada beberapa kios penjual berbagai hal di sana. Seratus meter di depan kami, sungai Lalan membentang, tenang kecoklatan. Beberapa orang lainnya sudah menunggu, mereka bagian dari tim survey. Hanya saja tujuannya berbeda, kami akan melakukan survey kualitas air, mereka akan survey lokasi untuk dermaga.
Barang-barang dan peralatan kami turunkan dari kenderaan dan kami bawa ke dermaga pinggir sungai. Dari titik ini kami akan menyeberang dengan menggunakan boat ke base camp, kira-kira lima belas menit dengan menggunakan boat.
Beberapa boat sandar di pinggir dermaga. Rumah yang berada di sebelah jembatan ke dermaga ternyata adalah dibangun di atas rakit dan merupakan semacam toko yang menyediakan berbagai barang kebutuhan. Meja kursi juga disediakan bagi mereka yang ingin makan minum di sini. Supaya tidak dihanyutkan arus pasang surut sungai, rumah rakit tersebut ditambatkan dengan kuat.
Dua speedboat mendekat dari sungai dan merapat ke dermaga. Kami memuat perlengkapan ke atas boat, dan segera berangkat. Rombongan lainnya juga mulai bergerak dengan speedboat yang satunya. Kami kira perjalanan ke sungai sudah dimulai, rupanya hanya menyeberang ke base camp saja. Di sana kami ganti speedboat dan bergerak ke arah berlawanan dengan rombongan pertama.
Air sungai lalan berwarna kecoklatan, dengan gumpalan-gumpalan lumpur seperti flock melayang dalam air. Semakin ke hulu flock semakin besar dan semakin banyak. Ternyata airnya jernih sekali, kotoran yang berbentuk flock dengan cepat mengendap saat sampel air diambil. pH air sangat rendah. Semua sampel yang kami kumpulkan di berbagai lokasi sepanjang lebih kurang enam puluhan kilometer memberikan keasaman dibawah empat. "Kami jarang sekali minum air sungai ini, terlalu asam", kata pengemudi speedboat. "Jika dipakai untuk masak dengan menggunakan peralatan yang terbuat dari aluminium, alat masak dengan cepat menjadi menipis dan bocor". Rumah rakit yang kami temui sepanjang perjalanan di nyaris semuanya mempunyai tangki air yang dipergunakan untuk menampung air hujan dari cucuran atap. Rekan yang mendampingi kami yang berasal dari perusahaan forestry menjelaskan bahwa tanah tebing sungai di kedua sisi tersusun dari marine clay, sejauh lebih kurang satu setengah kilometer ke darat. Selebihnya gambut. Nyaris sepanjang perjalanan, tebing sungai ditumbuhi oleh tanaman pandan.
Sepanjang sungai, hutan alam dan tumbuhan pandan mendominasi. Sesekali tiba-tiba saja perkampungan muncul, rumah-rumah berdiri rapat di atas tiang-tiang tinggi yang menjorok ke dalam sungai. Rumah-rumah rakit berayun pelan mengikuti gerakan arus sungai, tertambat kuat supaya tidak hanyut. Melewati Karangagung, pemandangan sisi sungai berubah. Di balik tumbuhan nipah yang tumbuh rapat, bentangan sawah yang menghijau berisi tumbuhan padi muda terhampar mulai dari tebing sungai.
Kami mengambil sampel air pada berbagai kedalaman pada setiap lokasi. Lokasi sampling ditandai koordinatnya dengan menggunakan GPS, dan kedalaman sungai diukur dengan menggunakan alat depth sounding. Sebagian parameter kualitas air langsung dianalisa di tempat karena akan berubah jika disimpan. Kondisi sungai sedang pasang mati, dengan level air terdalam pada satu siklus pasang surut, yang berlangsung satu kali sehari. Semakin ke hilir, ombak di sungai semakin besar. Hempasan motor boat ke air sungai diteruskan oleh kayu tempat duduk kami yang dialasi busa tipis langsung ke tulang punggung secara konstan, menimbulkan pegal berkepanjangan.
Keesokan harinya kami bergerak ke hulu sungai, ke arah kota Bayung Lencir. Sampel-sampel air sungai kembali diambil di lokasi-lokasi tertentu. Sepanjang sungai kami bertemu dengan rumah-rumah rakit, ada yang tunggal dan ada juga yanbg berkelompok. Bentuknya seperti rumah biasa, lengkap dengan terasnya, hanya saya berada di sungai di atas rakit yang terapung. Beberapa berfungsi sebagai toko dan warung, yang menyediakan berbagai kebutuhan bagi mereka yang melintas.Bahkan ada juga yang berfungsi sebagai penyedia bahan bakar bagi mesin perahu dan speedboat.
Dua hari di atas sungai dengan bantingan konstan dari perahu yang dihantam riak air membuat badan serasa rontok. Istirahat semalam di base camp tidak menghilangkan kelelahan, karena kami berempat berjejalan dalam kamar sempit tanpa ventilasi yang memadai. Akhirnya kami berdua memilih pindah ke mushalla yang ternyata jauh lebih nyaman dimana kami bisa tertidur nyenyak, apalagi ada kipas angin yang sangat membantu untuk mengusir nyamuk.
Total perjalanan kami pada perjalanan pertama adalah sekitar seratus empat puluh kilometer pulang pergi. Perjalanan yang kedua jauh lebih panjang, mulai dari kota Bayung Lencir sampai ke lokasi Parit Dua, melintasi jembatan Lalan, dengan jarak sekitar seratus enam puluh empat kilometer. Total pulang pergi adalah sekitar tiga ratusan kilometer. Pengemudi speedboat kali ini, Firman, lebih halus dalam mengemudi. Perjalanan melintasi sungai dalam rute yang lebih jauh tidak secapek perjalanan pertama dulu. Hanya saja, saat pulang dari lokasi Parit Dua, malam sudah turun, sehingga Firman harus meraba-raba kondisi sungai dengan lampu sorot supaya speedboat tidak melanggar potongan-potongan kayu dan sampah lainnya yang hanyut di sungai.
Beberapa warga setempat yang kami temui mengatakan tidak meminum air dari Sungai Lalan. Selain pengemudi speedboat tumpangi yang mengatakan air sungai terlalu asam untuk diminum, Ibu Amna dari Muara Medak juga mengatakan hal yang sama. "Untuk air minum kami mengumpulkan air hujan dan membeli air isi ulang dari penyedia". Penyedia air isi ulang berkeliling dengan speedboat atau dengan kenderaan roda dua dan roda empat di darat. Harga air jelas lebih mahal. "Di Palembang, untuk satu galon hanya sekitar 3000 - 4000 Rupiah", kata Pak Matkirom di Karangagung. "Di sini, harganya mencapai dua kali lipat". Pada musim badai, harga air bahkan bisa mencapai tiga kali lipat. "Air sungai ini terasa asin, apalagi saat musim kemarau", kata Pak Imron Buayo, yang juga tinggal di Karangagung. "Lagi pula sekarang ini di daerah hulu banyak pabrik pengolahan kelapa sawit yang membuang limbah ke sungai". Di Pulai Gading, pemilik warung kecil tempat kami beristirahat sedang mengosongkan galon-galon yang diantar oleh penyedia dengan kenderaan roda empat. Air dituang dari galon-galon ke dalam ember penampung yang mempunyai tutup. "Air sungai hanya untuk mencuci", kata ibu pemilik warung tersebut, yang juga ternyata orang tua Firman, pengemudi speedboat tumpangan kami.
Untuk urusan makan, tidak menjadi masalah yang berarti. Selama di perjalanan, kami bisa makan di berbagai rumah makan, mulai dari yang berharga sederhana sampai yang berharga wah. Kebanyakan rumah makan Minang Melayu yang rasanya sudah sangat familiar di lidah dan perut. Melewati Belilas sampai ke perbatasan Riau - Jambi, tersedia rumah makan yang membawa nama berbagai suku dan daerah. Ada rumah makan Jawa, rumah makan Sidempuan, rumah makan Toba, beberapa rumah makan Aceh dari berbagai daerah, rumah makan Siantar dan lain-lain. Di base camp tempat kami menginap, ada kantin yang menyediakan makanan untuk kebutuhan karyawan yang menetap di sana. Makanannya biasa-biasa saja, dan bagi yang tidak biasa perut bisa berontak. Pada kunjungan yang pertama, kami makan dan tinggal melapor pada pengelola kantin. "Nanti akan dibayar kantor", kata pengelola kantin. Pada perjalanan yang kedua, rupanya fasilitas tersebut tidak ada lagi. Jadi kami harus membayar sendiri apa yang akan kami makan. Juga, di belakang mess tamu tempat kami menginap, ada ibu-ibu yang bersedia menyediakan makanan dan minuman, dan langsung diantar ke pemesan. Jadi kami memesan makanan rakyat, mi instan, dan tinggal menunggu. Praktis.
Perjalanan pulang ke kota kami juga melalui beberapa tahapan. Dari base camp, kami menyeberang dengan menggunakan speedboat. Kemudian perjalanan diteruskan dengan menggunakan kenderaan roda empat melintasi jalan tanah selama sekitar empat puluh lima menit, jika kondisi jalannya bagus. Jika baru turun hujan, jalanan berubah menjadi kubangan lumpur dan perjalanan bisa menjadi lebih lama. Kemudian kami mencapai jalan aspal yang mulus, jalan lintas timur Jambi - Palembang. Dari lokasi ini perjalanan ke kota Jambi memakan waktu sekitar dua jam. Dari Jambi, perjalanan akan berlanjut kembali ke Tebingtinggi, yang akan makan waktu sekitar tiga jam, termasuk melintasi jalan tanah selama satu jam. Di Tebingtinggi supir akan melapor dan mengisi bensin, tidak lupa mengecek jadwal feri penyeberangan. Jika beruntung dan ferry penyeberangan ada, kami hanya perlu satu jam untuk melintasi jalan tanah dan sekitar lima belas menit kemudian kami akan mencapai perbatasan Jambi - Riau. Jika air sedang surut dan fery penyeberangan tidak beroperasi, kami punya dua pilihan: menunggu air pasang selama beberapa jam, atau melanjutkan perjalanan melalui jalan lain yang kami lewati dari Jambi tadi, dengan beda waktu sekitar sekitar dua jam untuk mencapai perbatasan Jambi - Riau.
Bukan hanya masalah pasang surut dan mengejar fery penyeberangan saja masalah kami. Saat perjalanan pulang pada perjalanan pertama, beberapa menit memacu kenderaan pada jalan berdebu tebal sehabis fery penyeberangan, masalah lain menghadang di depan. Sebatang akasia besar tumbang melintang jalan dan tidak mungkin di terobos. Pada arah berlawanan, sebuah dump truk bermuatan tanah juga sudah menunggu. Supirnya mencoba memotong dahan-dahan akasia dengan menggunakan sebilah golok kecil. Golok tersebut sepertinya lebih berfungsi sebagai perhiasan dibandingkan dengan sebagai alat potong. Kami semua turun dan ikut membantu, memotongi dahan pohon dengan susah payah dan membuat celah sehingga setidaknya kenderaan kami bisa lewat. Truk tanah tersebut jelas harus menunggu bantuan yang lebih memadai untuk memindahkan pohon tumbang tersebut.
Dua anak kecil mengamati kami penuh rasa ingin tahu dari pagar teras belakang rumah panggung mereka.
Kereen tahun 2012, sepuluh tahun berlalu, Pak.
ReplyDelete