Saturday, January 25, 2014

(Masih tentang) copet Medan

Mendengar kami nyaris kecopetan di dalam sudako, sepupu saya yang menetap di Medan mengatakan bahwa kami cukup beruntung. "Biasanya, kalau sampai gagal seperti itu, bisa-bisa tindakan pencopetan bisa berubah menjadi perampokan dengan kekerasan", katanya

Modus pencopetan dalam angkutan umum di Medan bisa beragam, sepupu saya menjelaskan. Selain seperti yang kami alami, ada juga yang dilakukan dengan cara lainnya. rata-rata semuanya dijalankan secara berkelompok.

Cara uang receh biasanya cukup berhasil. Seorang pelaku akan menenteng kantong plastik berisi uang receh dalam kenderaan umum. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba kantong plastik jebol dan uang recehan di dalamnya berserakan di lantai mobil. Secara spontan para penumpang membantu mengumpulkan uang tersebut, dan tindakan ini menyebabkan mereka berada pada posisi membungkuk. Saat inilah, rekan si pelaku akan memanen barang berharga dari badan korbannya. Biasanya dompet yang berada di saku belakang celana atau dompet yang berada di tas jinjing penumpang perempuan.

Metode lainnya ialah dengan melihat-lihat majalah porno dalam kenderaan. Ketika perhatian penumpang teralihkan karena kehadiran gambar-gambar seronok tersebut, para pelaku akan menjalankan aksinya dengan cepat dan sigap.

Sepupu saya juga mengingatkan akan kemungkinan penipuan yang bisa saja akan kami hadapi. Tetapi saya memang sudah pernah mengalaminya, dan insting saya menyelamatkan saya sehingga tidak menjadi korban para penipu tersebut (mereka juga bekerja secara berkelompok).

Saat itu saya sedang minum es campur di pinggir jalan Gatot Subroto sekitar daerah Pasundan. Bersama saya ada beberapa pembeli lainnya, semuanya laki-laki dan kami duduk di bangku panjang penjual es campur. Dua orang tidak kebagian tempat duduk dan minum es campur sambil berdiri. Menghabiskan es campurnya, seorang mengeluarkan uang dari kantong celananya untuk membayar. Sesuatu ikut terjatuh ketika dia menarik tangannya dari saku celananya. Ketika saya ingin mengingatkan orang tersebut akan barangnya yang jatuh, orang yang duduk di samping saya menyikut saya dan memberi tanda untuk diam. Orang tadi sehabis membayar, menyetop sudako dan berlalu.

Orang yang duduk di samping saya menginjak bungkusan yang jatuh dari orang tadi. Orang-orang yang lain tidak tahu - atau mungkin pura-pura tidak tahu. Sedikit mengangkat kaki, dia mengajak saya mengintip barang tersebut. Sebuah dompet dari toko penjual emas, masih baru, lengkap dengan nama tokonya. Pelan-pelan, dia mengambilnya dan mengajak saya ke tempat yang agak sepi.

Di dalam dompet ternyata ada perhiasan emas, sebuah gelang rantai berukuran besar seperli lipan, dibungkus dengan surat dari toko penjualnya. Emasnya masih baru, berkilat, dan terasa seperti betul-betul emas. Setidaknya, saat itu saya merasa bahwa itu adalah betul-betul emas, dan orang yang kehilangan tadi pasti akan merasa sangat kehilangan. Dilihat dari ukurannya, setidaknya beratnya tidak kurang dari dua puluh manyam (sekitar 60 gram). Bukan nilai yang sedikit.

"Ini hari keberuntungan kita", orang tersebut mengatakan. Kita? Ya, karena kita berdua yang menemukannya, jadi barang ini milik kita berdua. Harus dibagi sama rata, tidak boleh berlebih untuk salahs atu dari kita, kecuali yang lain mengikhlaskannya.

Saya menyarankan untuk menjualnya kembali ke toko emas seperti yang tertulis pada suratnya. Toko emas tersebut berada di pasar Petisah, beberapa kilometer dari tempat kami berada. Jangan, kata orang tersebut. urusannya rumit, dan akan makan waktu. Bagus kita selesaikan sekarang. Kenapa rumit? Surat-suratnya kan lengkap? Pokoknya rumit, dia menegaskan. Dia sudah pernah mengalaminya.

Mendengar bahwa dia sudah pernah mengalaminya, sebersit kecurigaan muncul. Tetapi keserakahan masih lebih kuat, dan menang.

Saya mengusulkan untuk dipotong dua saja, dan masing-masing akan mencoba menjualnya sendiri-sendiri. Dia tidak setuju, karena suratnya hanya ada satu. Lagipula, dia punya usul yang lebih baik, katanya. Lebih baik salah satu dari kami membayar separuh nilai barang tersebut kepada yang lainnya.

Kecurigaan saya menguat. Emas tetap emas, ada surat atau tidak, tetap akan laku, walaupun nilainya sedikit lebih rendah.

Dia mengatakan dia ingin membayar bagian saya dan emas tersebut menjadi milik dia. Sayangnya, dia tidak punya uang sebanyak itu saat itu dan mengusulkan supaya saya yang membayar ke dia. Tentu saja, saya juga tidak punya uang sebanyak itu, apalagi saya ingin menyingkir karena kecurigaan semakin menguat.

"Bagaimana kalau pinjam dulu dari keluarga, kawan ataupun siapa saya? Ayo kita sama-sama kesana", katanya. Maksudnya supaya saya yakin dia tidak akan melarikan barang tersebut saat saya mencari pinjaman. Bagi saya jelas, dia tidak ingin saya kabur. Saya menawarkan untuk me rumah famili saya di Ampera. Jadi kami sepakat dan menunggu sudako jurusan Belawan lewat.

Kemudian kembali dia berubah pikiran. "Begini saja", katanya. "Berapa uang yang ada di kantong lae sekarang. Itu sudah cukup. Ambil baran ini sama lae". Saya masih mempunyai uang sekitar satu jutaan di kantong, dan tentu saja tidak ada lagi niatan untuk membeli barang tersebut.

Sudah jelas kemana arah pembicaraan tersebut. Sekarang saya yakin seyakin-yakinnya bahwa barang tersebut bukan emas, dan tentu saja bukan jatuh tanpa sengaja oleh pembeli es campur tadi. Orang tadi merupakan kawannya, dan saya yakin beberapa orang lainnya yang sama-sama minum es campur juga kawan mereka.

Sambil mengatakan bahwa saya tidak punya uang, saya pelan-pelan bergeser ke arah kerumunan orang yang menunggu angkutan umum. Dia terus mendesak, dengan tawaran menyebutkan angka-angka sekarang. Saya tidak mendengar lagi. Bersama dengan penumpang lain, saya naik angkutan pertama yang berhenti dan meninggalkan orang tersebut di pinggir jalan.

Pada kesempatan lain, saya menyaksikan cara yang sama dipraktekkan oleh dua orang penipu ke tiga penumpang sudako. Saat itu, kami baru turun dari bus di pol bus Makmur di Marindal. Menumpang sudako ke Pondok Kelapa, saya berdesakan dengan penumpang lainnya. Masing-masing membawa tas dan berwajah mengantuk, sepertinya juga penumpang bus jarak jauh seperti saya.

Penumpang yang duduk di dekat pintu menghentikan sudako dan turun. Saat turun, dia mengeluarkan uang dan tanpa sengaja menjatuhkan sesuatu. Saya melirik sekilas saat penumpang lainnya memijak benda tersebut dengan sandalnya: dompet dari toko mas. Kemudian dia menunjukkan dompet tersebut ke tiga orang penumpang lainnya dan mengajak mereka turun. Berlima mereka turun: tiga penumpang berwajah mengantuk, yang menginjak dompet dan diikuti oleh seorang lainnya. mereka menepi ke pojokan sebuah toko yang masih tutup dan berbicara satu sama lainnya.

Saya tidak tahu apakah para penipu tersebut berhasil atau tidak. Tetapi saat itu saya merasa sama jahatnya dengan mereka, hanya diam saja tanpa melakukan apapun untuk mencegahnya.

No comments:

Post a Comment