Friday, September 24, 2010

Mudik - Belantara Jalan Raya

Jalanan yang relatif bagus membuat para pemakai jalan bisa memuaskan selera primitif mereka: memacu kenderaan sampai batas keberanian yang dimiliki. Masalah kecepatan bukan lagi masalah lebih cepat sampai ke tujuan, tetapi lebih kepada masalah siapa yang didepan dan siapa yang lebih cepat. Tidak ada hadiah untuk para pemenang. Hukuman besar justru menanti bagi para pecundang: kecelakaan dengan berbagai resiko.

Pengemudi yang peduli dengan dirinya, kenderaan dan orang-orang lain di jalan raya mengemudi dengan kecepatan yang wajar. Mereka yang tidak peduli dengan orang lain di jalan raya, mengemudi dengan kecepatan tinggi. Dan mereka yang tiak peduli apa-apa mengemudi dengan kecepatan lebih tinggi dan ugal-ugalan. Orang-orang seperti ini, menganggap pemakai jalan lain sebagai penghalang. Orang-orang lain harus minggir seminggir-minggirnya saat mereka ingin melaju kencang. Terlambat menepi sedikit, klakson keras meraung, diikuti dengan tatapan tajam dan mengancam. Jalanan memang dikuasai oleh orang-orang gila.

Etika berkendara di jalan raya sepertinya menghilang. Anak-anak tanggung dengan sepeda motor merupakan ancaman besar bagi orang-orang lain di jalan raya. Satu-satunya keahlian yang mereka miliki adalah memutar gas sepeda motor dan menekan rem. Tidak lebih dari itu. Mobil-mobil pribadi dengan plat nomor dari berbagai daerah juga menunjukkan tabiat yang sama. Seolah jalan ini ada hanya untuk mereka saja, dan pemakai jalan yang lain harus menyingkir saat mereka berada di sana.

Jalan raya berubah menjadi belantara yang mengerikan. Berbagai kenderaan dengan berbagai jumlah roda melaju kencang. Butuh sampai sepuluh menit untuk menyeberang jalan raya di kampung yang biasanya sangat sepi. Menyeberang harus cepat karena jalanan hanya kosong selama beberapa detik. Kenderaan kecil dengan jumlah roda paling sedikit justru yang paling beringas, baik kenderaannya ataupun pengendaranya. Mereka menyelip kiri kanan setiap ada celah kosong. Kenderaan yang lebih besar justru lebih toleran, apalagi truk-truk yang merayap lambat.

Tidak heran kalau kecelakaan sering terjadi. Lepas dari Lhok Nibong, disebuah tikungan yang tidak seberapa patah di ujung jembatan, kami mendapati orang-orang ramai berkerumun. Kenderaan-kenderaan berhenti untuk menengok, sehingga kemacetan kecil terjadi. Kami ikut berhenti. Rupanya sebuah SUV yang tidak bisa dikendalikan ditikungan tersebut menabrak sebuah pickup tua yang berjalan pelan didepannya. Laju SUV yang cukup tinggi menyebabkan pickup tersebut terpental dari jalan dan jatuh ke jalan tanah sekitar dua meter dibawahnya. Tidak cukup sebuah pickup untuk menghentikan laju SUV tersebut, yang terus meluncur sehingga ikut terguling ke bawah. Dan disanah mereka berada: pickup yang pintu bak belakangnya terlepas, dan SUV yang terbaring telentang dengan roda menghadap langit. Bagian depan SUV tersebut berantakan. Para penumpangnya babak beelur dan cedera. Pengemudi pickup sebenarnya tidak apa-apa, hanya kaget setengah mati. TIdak terima ada kenderaan lain yang melaju pelan di depan sehingga menghalangi jalan mereka sehingga menyebabkan kecelakaan, supir SUV tersebut mengamuk dan memukuli supir pickup tersebut. Masyarakat yang berdatangan ke tempat kejadian, digertak dengan kekuasaan dan taring yang dimililiki: pamer senjata api genggam untuk menunjukkan siapa mereka. Karena masyarakat semakin ramai, mereka melarikan diri meninggalkan korbannya yang babak belur.

Saya membayangkan seandainya di depan mereka tadi bukan pickup butut yang berjalan pelan, tetapi pohon besar yang tumbuh di pinggir jalan, atau tiang jembatan yang kokoh. Apakah mereka akan membawa chainsaw ataupun excavator untuk memotong pohon tersebut atau mengeruk habis tiang jembatan tersebut karena berada di tempat yang salah pada saat mereka ingin ngebut? Seharusnya jalan yang harus ada di situ, di depan mereka, bukan tiang jembatan, bukan pohon. Apalagi pickup butut yang berjalan pelan sehingga menghalangi kenderaan mereka yang ngebut kencang.

Kami di sana juga diinterogasi oleh warga, apakah kami satu rombongan dengan penumpang SUV tersebut? Apakah kami kenal nereka? Tidak, kami tidak kenal mereka. Kami hanya pelintas yang kebetulan lewat. Ada apa rupanya? "Jangan mentang-mentang punya senjata bisa memukuli orang seenak perutnya saja! Kami juga bisa emosi, bukan hanya mereka!", seorang warga memberi penjelasan dengan muka sangar. Orang-orang semakin berkerumun dan kami pelan-pelan menjauh. Entah apa tindakan yang ingin diambil mereka. Bisa saja mereka kalap dan membakar SUV tersebut. Tetapi sepertinya hal tersebut tidak terjadi. Saat kami meneruskan perjalanan, serombongan polisi bersenjata tiba dilokasi dengan sirene yang meraung-raung.

Malam hari, memasuki Tanjungpura, jalanan semakin ramai oleh kenderaan. Roda dua melintas dengan cepat, roda empat dan lebih banyak merayap pelan mengikuti antrian dalam kemacetan. Tiba-tiba semua laju kenderaan terhenti, tidak ada yang bergerak lagi. Di depan kami sebuah truk besar menghalangi. Orang-orang berlarian ke depan. Sebuah kecelakaan telah terjadi. Beberapa menit kemudian, seorang perempuan muda dipapah dua orang melintas di samping kami, sedang menangis. Dibelakangnya seorang ibu-ibu berteriak, "Hancur! Betul-betul hancur!". Kami tidak mengerti apa yang dimaksud dengan hancur. Apakah kenderaannya, atau sekalian dengan pengendaranya. Selama sepuluh menit tidak ada gerakan kenderaan sama sekali, hanya sepeda motor yang menyelip diantara kenderaan-kendaraan yang lebih besar. Tiba-tiba seseorang muncul di depan kami, menuruh untuk maju. "Motor kecil bisa lewat", katanya. Motor adalah istilah Sumater bagian utara untuk mobil. Kamipun bergegas untuk maju, diikuti oleh kenderaan lainnya. Beberapa puluh meter dari tempat kami berhenti tadi, terpampanglah pemandangan yang mengerikan: seorang lelaki muda tertelentang di tengah jalan. Dalam temaram lampu mobil-mobil kami melihat dengan jelas, sepeda motor terbalik dengan kondisi yang betul-betul berantakan. Darah memenuhi jalan. Samar-samar kami bisa melihat - walaupun sebenarnya kami tidak ingin melihat - muka korban yang hancur. Sangat mengerikan. Tidak dketahui apa yang menabraknya. Kenapa orang-orang tidak berinisiatif untuk menutup korban - setidaknya bagian wajahnya dengan sesuatu?

Di Aek Kanopan, dalam antrian kemacetan dari kedua arah, sebuah sepeda motor melaju cukup kencang dari arah depan dan menyelip untuk menyeberang ke sebuah SMU. Tidak terkendali, roda depan tergelincir dan jatuh Pengendara dan penumpangnya tersungkur, seseorang malah meluncur dalam kondisi telungkup di pinggiran jalan yang berbatu-batu kerikil. Tidak ada yang parah, memang, hanya memar-memar dan goresan-goresan yang berdarah-darah. Seharusnya hal ini tidak akan terjadi jika mereka bisa lebih bersabar.

Melewati Kandis, kembali kami mendapati sebuah truk yang terbalik di sebuah penurunan curam yang diikuti oleh tikungan patah. Kami tidak berhenti karena sedang berada dalam antrian kemacetan, dan juga tidak ada tempat untuk berhenti. Pinggiran jalan terlalu sempit, dan kenderaan ramai dari kedua arah jalan.

Jalanan memang belantara yang kejam.

Thursday, September 23, 2010

Mudik - Jalan-jalan ...

Salah satu kegiatan dalam berlebaran di kebanyakan daerah di Aceh, selain bersilaturrahmi adalah berwisata. Tujuan wisatanya adalah sederhana saja, pantai dan laut, sungai-sungai yang berair jernih, air terjun, bahkan sungai-sungai yang ada bendungan untuk irigasi. Jarang dari kami di kampung yang berwisata mewah. Berangkatnya kebanyakan berombongan, urunan ongkos untuk menyewa kenderaan. Kenderaannya bisa berupa labi-labi (istilah Aceh untuk angkot), bus-bus kecil atau bahkan truk dan pickup dengan bak terbuka. Para penumpang akan berdesakan di bak belakang, cukup senang dan menikmati perjalanan dan kebersamaan. Yang lebih mampu, berangkat dengan kenderaan roda dua. Sedikit yang mengandalkan kenderaan pribadi beroda lebih dari dua.

Jalan ke Krueng Raya

Ternak dimana-mana, termasuk di jalan raya ...

Krueng Raya

Krueng Raya

Jalan ke daerah Kafe Robin, Krueng Raya

Daerah Kafe Robin, Krueng Raya

Pohon jamblang di daerah Kafe Robin, Krueng Raya

Daerah Kafe Robin, Krueng Raya

Daerah Kafe Robin, Krueng Raya

Daerah Kafe Robin, Krueng Raya

Kebanyakan lokasi tujuan wisata pada saat lebaran seperti ini biasanya penuh sesak oleh para pengunjung yang berdatangan tidak putus-putusnya, sehingga niat wisatanya sendiri menjadi kabur. Batee Iliek, misanya, yang berjarak sekitar tiga puluhan kilometer dari Sigli, persis di pinggir jalan Banda Aceh - Medan. Batee Iliek merupakan sungai dengan air yang sangat jernih - dulunya - dengan dasar sungai yang berbatu-batu dalam berbagai ukuran. Airnya tenang dan dangkal, dan banyak orang memanfaatkannya untuk mandi dan berendam. Dulu, saat saya masih kecil, airnya masih betul-betul jernih sehingga rasanya bisa diminum langsung. Sekarang, ketika kami ke sana sehabis acara intat dara baro ke Meureudu, kami mendapati hal yang betul-betul berbeda. Pinggiran sungai yang dulu sepi kini disesaki dengan kios-kios yang menjual makanan dan minuman. Pengunjung penuh sesak. Yang paling berbeda, air sungai Batee Iliek yang sekarang dipenuhi dengan sampah. Sampah dari kedai makanan langsung dibuang atau terbuang kesungai, dan tersangkut diantara baru-batu. Airnya sedikit karena sekarang musim kemarau. Jangankan untuk berendam, sekedar untuk mencuci tangan saja rasanya airnya cukup kotor. Tetapi, banyak juga orang-orang yang memanfaatkan air kotor tersebut untuk mandi. Orang-orang lainnya lebih memilih duduk-duduk di kedai makanan dan minuman, menikmati udara sejuk Batee Iliek.

Sungai Batee Iliek

Menuju Batee Iliek

Krueng Batee Iliek

Dipinggir Krueng Batee Iliek

Kios Rujak Samalanga, Batee Iliek

Kios Rujak Samalanga, Batee Iliek

Pengunjung Batee Iliek

Pengunjung Batee Iliek

Batee Iliek

Para pengunjung Batee Iliek

Para pengunjung Batee Iliek

Batee Iliek

Batee Iliek

Tidak seperti Batee Iliek yang ramai, lokasi tujuan wisata Sarah di Aceh Besar (sekitar tiga puluhan kilometer dari Banda Aceh ke arah Meulaboh lewat Lhoknya) justru seperti dilupakan orang. Dulu sebelum tsunami menghantam pesisir Aceh, daerah ini juga merupakan salah satu tujuan wisata lokal yang sangat diminati warga setempat. Lokasinya berupa sungai berbatu-batu, dengan air dangkal dan tenang (walaupun ada juga lokasi yang dalam dan berarus kencang), airnya sejuk dan dingin. Lokasinya cukup dekat dengan lintasan jalan Banda Aceh - Meulaboh lama. Setelah jalan raya tersebut direlokasi, agal sulit untuk menemui lokasi ini. Tidak ada tanda ataupun penunjuk jalan yang jelas. Beberapa kali kami bertanya di warung-warung sebelum akhirnya mendapatkan jalan masuk ke lokasi tersebut. Jalan akses ke lokasi jelak, dulunya aspal, tetapi sekarang kondisinya rusak parah. Hanya sedikit pengunjung saat kami sampai di sana. Beberapa oplet dan pickup yang membawa keluarga (mereka warga Aceh yang tinggal di Medan) dan satu pasangan yang menggunakan mobil pribadi. Mobilnya lengket di pasir, sehingga harus didongkrak dan didorong beramai-ramai. Tidak ada satupun orang yang berjualan di lokasi tersebut, sehingga semuanya nampaknya membawa bekal tersendiri. Kami tidak membawa apa-apa, karena biasanya nyaris di setiap lokasi wisata ada para penjual makanan dan minuman. Anak-anak dan beberapa laki-laki dan perempuan sedang mandi dalam kesejukan air sungai. Pemandangannya bagus, walaupun matahari sangat terik. Setidaknya air sungai cukup sejuk dan udara cukup dingin. Harusnya tempat ini dikelola lebih baik, karena daya tariknya tidak berkurang sejak dahulu.


Menuju ke Sarah

Sarah

Sarah

Kalau lokasi tujuan wisata lainnya menghimbau orang-orang untuk singgah, lokasi wisata irigasi Keumala justru memasang papan nama yang melarang orang-orang untuk berwisata ke lokasi tersebut. Terletak sekitar dua puluhan kilometer dari Beureunuen ke arah Tangse, Keumala menawarkan pemandangan pedesaan yang mempesona. Sungai yang menjadi tujuan wisata merupakan sungai berbatu-batu kecil dengan air yang jernih dan sejuk. Selepas lokasi irigasi, airnya dangkal dan pelan. Lokasi inilah yang dimanfaatkan orang untuk berekreasi. Dulu, setiap ada liburan ataupun hari raya, tempat ini ramai dipadati pengunjung. Orang berdatangan dari berbagai tempat untuk menikmati lokasi ini. Sekarang, suasanya sangat berbeda. Di jalan masuk ke lokasi, papan nama dengan tulisan dalam cat merah mengancam. "Dilarang berekreasi di lokasi ini". Kami bertanya pada seorang ibu yang lewat, apakah kami bisa masuk ke lokasi tersebut. Tidak ada masalah, katanya. Kamipun masuk dan mendapati suasana yang betul-betul berbeda. Suasananya betul-betul sepi dan mirip hutan belantara. Tidak ada satu orang yang beraktivitas di sana. Deru air yang mengalir dari saluran utama ke saluran-saluran pembagi merupakan satu-satunya suara di keheningan hutan. Penasaran, kami terus bergerak ke hilir. Juga tidak ada siapa-siapa. Rumah-rumah untuk keperluan kegiatan irigasi - yang dulu dimusim liburan berubah menjadi kedai penjual makanan dan minuman - telah rusak parah dan sepertinya tida dihuni lagi. Jejeran anak tangga yang berjumlah ratusan yang mendaki dan menuruni punggung bukit bisa ditandai lagi lokasinya. Salah satu tulisan bernada tegas terpampang di pintu air "Yang membawa pasangan tidak sah adalah babi". Tempat yang menakutkan.
Di sebuah jembatan sempit kami berhenti. Sungai dalam di bawah kami dengan salah satu sisi nyaris tegak lurus, menawarkan pemandangan yang mempesona. Airnya dangkal, dengan dasar pasir dan betu kerikil. Pepohonan rindang tumbuh di kedua sisi sungai. Airnya mengalir pelan, sayup dan teduh. Sebuah tempat yang cocok untuk rekreasi keluarga. Disebelah hilir, truk-truk sedang memuat pasir. Hamparan sungai yang begitu luas, mungkin lebarnya mencapai lebih dari seratus meter, berisi pasir dan kerikil. Hanya sedikit dari bagian sungai yang dialiri air, dangkal, jernih dan tenang.

Seorang tua melintas pelan dengan sepeda motor. Saya mengucapkan salam dan dia berhenti. Dari dia saya mendapat penjelasan kenapa lokasi ini dilarang untuk dijadikan lokasi rekreasi. "Banyak yang berbuat yang tidak-tidak di sini. Pasangan-pasangan yang mencari tempat sepi, anak-anak muda yang membuat keributan, dan lokasi yang merimba". Merimba maksudanya pohon-pohon dan belukar yang tumbuh tidak terkendali dan menjadi hutan. "Sebenarnya, ada juga keluarga-keluarga yang berkunjung ke sini. Biasanya mereka turun ke bawah, ke pinggiran sungai. Makan-makan, mandi dan beristirahat", lanjutnya. Kamipun bisa, katanya. Ada jalan kecil yang langsung ke bawah, menuju ke pinggiran sungai, yang bisa dilewati oleh kenderaan roda dua dan empat. Tidak ada yang melarang, katanya. Dulu, katanya - tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan - daerah ini adalah daerah yang ramai. Setiap liburan dan akhir pekan, para mengunjung meramaikan lokasi. Penduduk setempat mendapat berkahnya. Ada yang berjualan, ada yang menjadi tukang parkir, menyewakan tikar dan lain-lain. Biaya dari tiket masuk juga dimanfaatkan untuk perawatan lokasi dan juga untuk masyarakat setempat. Dia sendiri ("mungkin anak masih ingat") berjualan air tebu di depan pintu masuk."Cukup lumayan untuk menambah penghasilan", katanya. Sekarang semuanya tidak ada lagi. Papan penunjuk lokasi dan tulisan-tulisan di dinding bangunan yang bernada tegas dan mengancam mengusir para pengunjung yang mau kemari. Jadi kemana saja pengunjung yang kami temui di jalan - baik berombongan ataupun sendiri-sendiri- di jalan yang searah dengan kami tadi? "Mereka terus ke Tangse, Krueng Meuriam", kata bapak tersebut. Daerah Krueng Meuriam menjadi ramai sekarang, di lokasi air terjun kecil yang lokasinya bersih di pinggir jalan ke Meulaboh lewat Geumpang. Sungai - lebih tepatnya jurang - yang berair jernih dan melingkar nyaris berbentuk huruf C, yang lokasinya berseberangan dengan lokasi air terjun Krueng Meuriam. Sepanjang jalan antara Tangse dan Gempang banyak terdapat pinggiran sungai yang landai, berair jernih dan berbatu-batu, yang menarik untuk di singgahi. Sebenarnya kami ingin terus kesana, tetapi karena hari sudah sore dan lokasinya masih cukup jauh, niat tersebut kami urungkan.

Krueng Keumala

Krueng Keumala

Krueng Keumala

Krueng Keumala

"Yang bawa cewek adalah babi"

Krueng Keumala

"Awas! dilarang berekreasi"

Di Banda Aceh, Ulee Lheue masih menjadi tempat wisata yang manarik. Malam lebaran, tempat tersebut diramaikan oleh orang-orang yang bermain kembang api. Ratusan kembang api dalam berbagai ukuran menghiasi langit Ulee Lheue, dalam berbagai ukuran, Di pinggir jalan - pantai Ulee Lhueu sudah dipagari sekarang, persis di pinggir jalan besar - dipenuhi oleh penjual makanan dan minuman. Perjual jagung bakar mendominasi. Kamipun ikut berhenti di salah satu lapak penjual jagung bakar dan menikmati embusan angin laut sekaligus menonton orang yang membakar kembang api.Sore hari, lokasi ini juga tidak kalah ramainya. Tempat Pelelangan Ikan lama sudah berubah fungsi menjadi Taman Wisata Kuliner. Banyak permainan anak-anak yang tersedia, dan gratis. Penjual berbagai makanan meramaikan lokasi. Ulee Lhueu memang sudah berubah.

Pawai Takbiran di Mesjid Baiturrahman

Menuju Ulee Lheue

Kembang api Ulee Lheue di malam takbiran

Pedagang jagung bakar di Ulee Lheue

Senja di Ulee Lheue

Ulee Lheue

Senja di Ulee Lheue

Ulee Lheue

Senja di Ulee Lheue

Senja di Ulee Lheue

Ke arah barat, sekitar dua puluhan kilometer dari Banda Aceh ke arah Meulaboh, terdapat pantai Lhok Nga. Pantai yang berkarang, dengan pasir pantai yang putih tetap memiliki pesona sebagaimana biasanya. Laut yang langsung menghadap ke lautan Hindia menyebabkan ombak yang besar. Dari Banda Aceh jalanan yang baru dibangun membentang lebar dan mulus. Pengemudi mesti berhati-hati karena kadang-kadang ternak milik masyarakat melintas begitu saja di jalan. Sore hari banyak pengunjung yang menikmati pemandangan di sekitar sini, ada juga yang mandi di pantai ataupun sekedar duduk-duduk menikmati jagung bakar yang banyak dijajakan di pinggir jalan. Semakin ke atas, banyak lokasi yang menawarkan keindahan, seperti Lhok Seudu, air terjun Seuhom di Lhong dan lain-lain. Semuanya menawarkan pesona dan keunikannya masing-masing.


Pantai Lhok Nga

Pantai Lhok Nga

Pantai Lhok Nga

Pantai Lhok Nga

Pantai Lhok Nga

Pantai Lhok Nga

Pantai Lhok Nga

Pantai Lhok Nga

Pantai Lhok Nga

Pantai Lhok Nga

Pantai Lhok Nga

Pantai Lhok Nga

Jalan ke Lhok Nga

Kami baru sekali ke pantai Pasir Putih, di daerah Lhok Me, Krueng Raya. Lokasinya berjarak sekitar empat kilometer dari kota Krueng Raya. Saat kami sampai di sana, hujan lebat baru saja berhenti. Di jalan masuk, beberapa pemuda setempat minta biaya masuk sebesar sepuluh ribu rupiah untuk semuanya. Jalanan masuk becek dan tergenang air, sehingga menyulitkan untuk masuk bagi kenderaan roda empat yang kecil. Pantainya berpasir putih sesuai dengan namanya. Lautnya tenang, nyaris tidak berombak. Kontras sekali dengan laut pantai Lhok Nga. Pondok-pondok penjual makanan berjejer menawarkan berbagai makanan dan minuman. Hari sudah sore saat kami tiba di sana, sebagian dari mereka bersiap-siap untuk pulang. Kebanyakan dari mereka tidak tinggal di situ, mereka hanya datang siang hari untuk berjualan. Pantai sepi dari pengunjung, mungkin karena hari sudah larut sore. Hanya ada kami dan beberapa pengunjung lainnya. Salah satu pedagang mengatakan, lokasi ini baru dikenal selama tiga tahun terakhir. Biasanya hari-hari libur dan akhir pekan, tempat ini ramai oleh pengunjung. Tadi, sebelum hujan turun, pengunjung juga ramai. Lokasinya memang bagus. Pantai yang berpasir putih membentang, landai menuju laut. Beberapa pohon sekarang bertempat di laut, akar-akarnya bertonjolan di atas permukaan air.


Pantai Pasir Pulih, Lhok Me, Krueng Raya

Don, Dalfi dan Imai - anak-anak Pantai Pasir Pulih, Lhok Me, Krueng Raya

Pantai Pasir Pulih, Lhok Me, Krueng Raya

Pantai Pasir Pulih, Lhok Me, Krueng Raya

Pantai Pasir Pulih, Lhok Me, Krueng Raya

Pantai Pasir Pulih, Lhok Me, Krueng Raya

Pantai Pasir Pulih, Lhok Me, Krueng Raya

Pantai Pasir Pulih, Lhok Me, Krueng Raya

Pantai Pasir Pulih, Lhok Me, Krueng Raya

Pantai Pasir Pulih, Lhok Me, Krueng Raya

Pantai Pasir Pulih, Lhok Me, Krueng Raya

Pantai Pasir Pulih, Lhok Me, Krueng Raya

Sore hari di pantai Alue Naga menawarkan keasyikan tersendiri. Lokasinya berjarak hanya beberapa kilometer dari Banda Aceh ke arah Krueng Raya. Jalan masuk ke lokasi adalah jalan aspal yang walaupun sempit namun mulus. Jalan berakhir di laut, yang ditimbuni dengan batu gunung yang besar-besar. Para pemancing meramaikan tempat ini setiap sore. Pengunjung lainnya hanya sekedang menikmati semilir angin laut yang berhembus pelan dan menikmati suasana matahari terbenam.

Itulah beberapa lokasi yang kami kunjungi selama kami berada di Aceh. Sebenarnya daftar kami jauh lebih panjang, cuma tidak kesampaian. Mungkin lain kali.

Menuju Alue Naga

Sore di Alue Naga

Sore di Alue Naga