Sunday, February 27, 2011

Biawak

Seekor biawak melintas di depan kami dengan santai, tanpa memperdulikan kehadiran kami ...

Sunday, February 20, 2011

Jembatan (2)

Sejak diresmikan tanggal 17 Februari lalu, jembatan yang menghubungkan kota kecamatan kecil tempat kami tinggal dengan ibukota kabupaten menjadi ramai. Kota kami yang tidak punya sarana rekreasi umum memanfaatkan jembatan tersebut untuk tempat bersantai di sore dan di malam hari. Nyaris setiap sore jembatan tersebut diramaikan oleh orang-orang - rata-rata membawa keluarga - yang ingin menikmati suasana senja dari atas jembatan. Pemandangan ke arah kiri adalah panoraman kota dengan latar belakang pabrik bubur kertas, sementara sekelilingnya adalah hamparan kebun sawit yang hijau. Tidak ada bukit, tidak ada gunung. Semuanya rata dan datar.

Dulu, tempat masayarakat menikmati senja untuk sejenak melupakan kepenatan kerja adalah di ferry penyeberangan. Sekarang, lokasi tersebut menjadi sepi. Jarak sekitar delapan belas kilometer dari kota - jembatan tersebut berada di tempat yang betul-betul sepi dulunya, hanya ada ferry penyeberangan milik perusahaan bubur kertas - tidak mengurangi minat masyarakat untuk datang. Para pedagang makanan dan mainan tambah meramaikan suasana.

Akhir pekan, sore dan malam hari pengunjung begitu ramainya, sehingga jalanan menjadi macet. Malam hari, jembatan diterangi oleh barisan lampu LED yang bertenaga baterai yang diisi dengan panel tenaga surya. Jaringan listrik PLN belum ada sama sekali. Hanya jembatan yang bermandikan cahaya, sisanya gelap gulita.








Thursday, February 17, 2011

Makanan Aceh di rantau ...

Berada jauh dari kampung halaman bukan berarti kami tidak bisa menikmati makanan kesukaan dari daerah asal. Dengan memanfaatkan bahan dan bumbu yang tersedia, penguasa dapur dengan piawai meramu beragam makanan khas Aceh dengan citarasa yang bisa dibanggakan ketetangga sekitar. Pasar mingguan di kota kecil tempat kami tinggal menyediakan beragam bahan makanan dan bumbu tradisional yang kami perlukan.

Daun teumeurue (daun kari) kami peroleh dari pohon yang ditanam di depan rumah, di pinggir jalan, jadi sekaligus berfungsi sebagai peneduh. Bibitnya didapat dari seorang kawan beberapa tahun yang lalu. Sekarang pohonnya sudah besar, dengan diameter batangnya mencapai sekitar lima belas sentimeter. Beberapa kali cabang dan dahannya harus dipangkas karena sudah mengenai kabel listrik.

Daun "teumeurui"

Beberapa bahan makanan memang harus didatangkan dari Aceh, karena tidak tersedia di sini. Asam sunti tidak bisa dibuat dengan belimbing yang ada di sini. Mungkin perlu garam khusus - ceritanya harus menggunakan garam yang dimasak secara tradisional - tidak tahu alasannya kenapa. Juga pliek u mustahil bisa diperoleh disini. Bahan-bahan tersebut "terpaksa" minta dikirim dari tempat asalnya, atau dibawa saat kami kembali ke Aceh dalam jumlah yang cukup.

Ikan tongkol yang berukuran besar mudah didapat walaupun kondisinya sudah tidak lagi bugar. Tongkol belang ini merupakan bahan utama jika ingin membuat ikan kayu. Ikan tongkol disiangi untuk dibersihkan lendir dari kulitnya, kemudian dibelah dan dipotong. Ukurannya tergantung ikannya. Biasanya, ikan tongkol dibelah menjadi empat bagian, kemudian setiap bagian dipotong menjadi dua lagi. Daging ikan dibersihkan dari sisa-sisa darah yang menempel. Selanjutnya ikan akan direbus selama setengah sampai satu jam, hanya dengan berbumbu garam dan air perasan jeruk nipis saja. Ikan harus betul-betul masak sampai ke bagian dalamnya. Ikan yang sudah masak kemudian ditiriskan untuk membuang airnya, dan seterusnya dijemur di panas matahari, hingga permukaan ikan menjadi kering dan liat, sehingga tidak hancur saat dipotong dan dibelah.

Ikan tongkol untuk membuat ikan kayu

Ada beberapa versi masakan ikan kayu ("keumamah") yaitu dimasak dengan santan ataupun tidak menggunakan santan. Secara pribadi, saya lebih menyukai yang tidak memakai santan. Cara masaknya sederhana. Sepotong ikan kayu kering direndam supaya mudah untuk dipotong, kemudian diiris tipis-tipis. Campurkan sekitar lima sendok makan asam sunti giling dengan setengah sendok makan cabe merah giling - atau lebih jika ingin lebih pedas, atau masukkan juga setengah sendok makan cabe rawit giling, sedikit kunyit bubuk, aduk dengan ikan. Belah dan potong beberapa cabe hijau. Iris 5 siung bawang merah, kemudian tumis dengan kira-kira setengah cangkir minyak makan. Setelah harum, masukkan ikan yang sudah dicampur dengan bumbu. Tambahkan beberapa lembar daun teumeurui. Tambahkan garam secukupnya, masak sampai matang.

"Keumamah", gulai ikan kayu

Kalau lagi musimnya, jamur merang mudah sekali ditemui di pasar. Jamur ini diperoleh para pengumpul di perkebunan sawit, tumbuh begitu saja di pelepah-pelepah sawit di sekeliling pohon-pohon sawit. Harganya sekitar sepuluh hingga lima belas ribu rupiah sekilonya. Dimasak dengan cara ditumis, rasanya nyaris tidak berbeda dengan jamur merang yang tumbuh di jerami sawah ("kulat jumpung") ataupun jamur merang yang tumbuh di batang pisang mati ("kulat pisang") atau jamur yang tumbuh di sarang rayap ("kulat pak").


Jamur merang dari kebun sawit

Tumis jamur

Membuat kuah pliek memerlukan persiapan yang lebih rumit, karena bahan dan bumbunya lebih beragam. Beragam macam sayuran - terutama daun dan buah melinjo muda, yang tidak boleh ketinggalan, dimasak dengan santan dan pliek u yang dihaluskan serta berbagai bumbu lainnya, menghasilkan cita rasa makanan yang luar biasa bagi yang menyukainya. Biasanya dimakan dengan nasi panas dengan ditemani ikan asin dan kerupuk kulit.

Kuah Pliek

Tiram tidak pernah kami temui di pasar. Ada sejenis kerang-kerangan berukuran kecil yang disebut pensi, yang sudah dibersihkan dan dikupas dari cangkangnya. Ukurannya paling besar hanya 5 mm saya, dengan warna krem keputihan dan bertekstur lembut. Dimasak dengan cara yang sama dengan memasak tiram di Aceh, rasanya tidak jauh berbeda.

Ikan air tawar ("eungkot paya" atau "eungkot lueng") yang bukan hasil budidaya, seperti lele rawa, gabus, toman, puyu ("kruep") selalu tersedia di pasar. Walaupun rasanya tidak semegah dengan ikat air tawar di Pidie sana - mungkin karena lingkungannya berbeda -, tetap merupakan suatu kemewahan untuk menyediakan masakan ikan air tawar tersebut, terutama lele, dalam menu masakan dengan cara diolah secara khas Aceh. Apalagi dimasak dengan bunga kincong ("bungong kala"). Lele hasil ternakan, rasanya hambar.

Gulai lele dengan bunga kincung

Wednesday, February 16, 2011

Mesjid Seribu Tiang - Jambi

Dari Tebing Tinggi perlu tiga jam untuk mencapai kota Jambi. Setelah menyelesaikan urusan pekerjaan selama setengah hari, siang hari kami bertiga merencanakan untuk ke Jambi. Kenderaan yang kami pakai adalah sebuah mobil, pinjaman dari seorang kenalan. Satu jam pertama perjalanan menempuh jalan rusak berdebu, diselang seling dengan jalan beraspal, yang walaupun sedikit tetapi cukup mulus. Kiri kanan kami adalah hutan tanaman industri dan kebun sawit. Sedikit sekali perumahan atau pemukiman yang kami temui. Debu tebal mengepul dibelakang kenderaan tumpangan kami. Kadang jika kami berada di belakang kenderaan lain, jalanan menjadi tidak nampak karena tertutup oleh debu tebal.



Mencapai jalan lintas timur, masih perlu sekitar dua jam lagi untuk mencapai kota Jambi. Jalanan mulus dan sepi, sehingga kenderaan bisa dipacu dengan kencang.

Tujuan pertama kami adalah rumah kerabat salah seorang teman seperjalanan, yang terletak di pinggir Sungai Batanghari, di daerah kota seberang. Dari rumah tujuan kami tersebut di seberang sungai nampak panorama kota Jambi. Air sungai Batang hari berwarna keruh kecoklatn. Perahu-perahu penambamh pasir sesekali melintas dengan bunyi mesinnya yang khas. "Itu perahu ketek", tuan rumah menjelaskan. Perahu-perahu penyeberangan hilir mudik menyeberangkan penumpang dan kenderaan roda dua. Menuju ke Jambi melewari jembatan terlalu jauh, dan tidak sebanding dengan biaya penyeberangan yang lima ribu rupian per sepda motor. Hanya perlu sekitar sepuluh menit untuk menyeberang, dibandingkan dengan perlu sekitar tiga puluh menit - bahkan bisa lebih jika lalu lintas ramai - jika melewati jembatan.



Tuan rumah kemudian ikut menemani kami keliling kota Jambi. Perhentian pertama adalah restoran pempek Selamat, yang menjual pempek dan berbagai macam jajanan khas lainnya. Selain makan ditempat, pempek pentah juga dikemas dengan bagus untuk dijadikan oleh-oleh. Harganya beragam dan terjangkau. Saat kami duduk, sepiring pempek dalam berbagai tipe disajikan untuk dicoba. Kami pikir ini gratis, ternyata harus dibayar juga, dihitung per biji yang dimakan.





Dari pempek Selamat, kami juga ke supermarket Enha untuk membeli oleh-oleh. Perjalanan kemudian diteruskan ke Jembatan Makalam, salah satu lokasi yang juga dikenal sebagai objek wisata kota Jambi.





Kami juga berkesempatan melaksanakan shalat magrib di Mesjid Agung Al-Falah, yang dikenal juga dengan Mesjid Seribu Tiang. Tentu saja tiangnya tidak mencapai seribu buah, hanya 256 buah saja, cuma nampak memang tiangnya banyak sekali. Mesjid ini unik karena tidak memiliki dinding sama sekali. Tiang-tiang besarnya berlapis kuningan yang berukir, sementara tiang-tiang lainnya yang lebih kecil berupa beton yang dicat berwarna putih. Lampu gantung besar di bawah cekungan kubah mesjid juga terbuat dari kuningan. beratnya mungkin ratusan kilogram, yang ditahan oleh beberapa sling baja.

Tidak banyak jamaah yang melaksanakan shalat magrib saat kami slahat di sana. Mungkin letaknya yang tidak berada di pusat keramaian dan berjauhan dari pemukiman membuatnya sepi. Hanya ada beberapa shaf laki-laki. Jamaah wanita bahkan lebih sedikit lagi. Sangat sepi untuk ukuran mesjid dengan luas sekitar 6400 m3 dan daya tampung jamaah sekitar 10.000 orang.







Tujuan terakhir sebelum balik ke Tebing Tinggi adalah kawasan Ancol, di pinggir sungai Batang hari. Lokasinya persis tegak lurus dengan rumah persinggahan kami tadi siang di seberang sungai. Sepanjang lokasi ini dipenuhi oleh penjuan makanan dengan gerobak, sebagian besar adalah jagung bakar dan air tebu yang digiling langsung ditempat. Kami memesan jagung bakar dan air tebu, kemudian mencari tempat duduk. Pemandangan di depan kami adalah sungai Batang Hari di malam hari. Perahu-perahu penyeberangan hilir mudik menyeberangkan orang dan motor. Sebuah kapal motor kecil merapat kepinggir. Penumpangnya turun dan menuju ke darat melewari jembatan kayu dari dermaga.

Suasana di Ancol tidak terlalu ramai. Tetapi saat liburan dan akhir pekan, lokasi ini dipenuhi oleh pengunjung yang ingin bersantai, terutama sore dan malam hari.







Sunday, February 13, 2011

Sketsa jalan lintas di Sumatra Utara dengan perkiraan jarak

Yang memerlukan sketsa jalan di Sumatra Utara dengan perkiraan jarak dalam kilometer bisa download di sini:

http://www.ziddu.com/download/13657067/peta_sumut_jarak.jpg.html


Tebing Tinggi - Jambi



Untuk mencapai tujuan perjalanan kami, kira-kira lima belas menit perjalanan dari perbatasan Riau-Jambi, kami berbelok ke kiri di Simpang Rambutan. Seterusnya perjalanan melintasi jalanan tanah berdebu selama sekitar satu jam. Debu mengepul tepal di belakang kenderaan yang kami tumpangi, membuat putih pepohonan di pinggir jalan. Rumah-rumah penduduk jarang, hanya satu-satu yang kami lewati. Selebihnya perkebunan sawit dan tanaman hutan industri milik sebuah perusahaan bubur kertas di daerah ini.

Mencapai pinggiran sungai Kuala Tungkal, kenderaan berhenti. Air sungai sedang surut sehingga ferry penyeberangan tidak bisa beroperasi. Para penumpang turun untuk menyeberang dengan perahu. Penumpang dipungut biaya dua ribu rupiah perorang, sedangkan motor dikenakan ongkos lima ribu rupiah. Hanya perlu sepuluh menit untuk penyeberangan.

Kenderaan lain sudah disiapkan untuk membawa kami ke tujuan. Sedangkan kenderaan yang kami tumpangi tadi harus menunggu air sungai pasang supaya bisa menyeberang dengan ferry penyeberangan.