Friday, May 20, 2011

Payeh Udeueng

Payeh udeueng, bahasa Aceh, yang berarti pepes udang. Bumbu dan bahannya sama seperti pembuatan palai rinuek hanya saya bahan utamanya adalah udang yang berukuran kecil.


Tuesday, May 17, 2011

Rujak Abua Ben

Sewaktu masih kecil seringkali saya ke pasar untuk berbelanja berbagai kebutuhan dapur. Di Aceh, yang berbelanja ke pasar adalah laki-laki, jarang perempuan yang berbelanja rutin, kecuali untuk perhelatan besar seperti kenduri atau pesta misalnya. Sejak kelas satu SMP saya dan Han setiap sore secara bergantian ke pasar untuk berbelanja. Dengan senang hati kami melakukannya, walaupun sering melakukan kesalahan, misalnya memilih ikan yang kurang segar, sayur yang sudah terlalu tua dan lain-lain. Tentu saja, dasar pemilihan sayur dan ikan adalah berdasarkan selera saya dan Han, yang seringkali berbeda. Jika saat giliran Han belanja, ikan pilihannya adalah bandeng, sementara saya kurang suka bandeng karena trauma pernah tersangkut durinya di tenggorokan. Jika saya yang belanja, favorit saya adalah udang dan kepiting, kedua jenis makhluk yang sama sekali tidak disukai adik kami yang paling kecil. Seringkali terjadi keributan kecil saat makan karena perbedaan menu yang mengikuti selera tukang belanja. Karena itu, setiap sore sebelum ke pasar, kami bertanya kepada Ummi dulu apa saja yang harus dibeli.

Pasar kecil di tempat kami tinggal - Teupin Raya, yang masuk dalam wilayah Kecamatan Geulumpang Lhee atau Geulumpang Tiga - berjarak sekitar satu kilometer dari rumah kami. Pasar sederhana yang terdiri dari tiga baris kedai papan beratap daun rumbia. Kedai-kedai tersebut terdiri dari beberapa toko kelontong yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari, kedai-kedai kopi dengan rak mi dan martabak di depannya, dua kedai pangkas rambut, sebuah kedai pandai mas, tukang patri, kedai pandai besi di bagian selatan pasar, dan beberapa kedai yang dijadikan rumah tinggal. Separuh lokasi los tengah dibiarkan menjadi tempat kosong, tempat pada pedagang membuka lapak jualan. Dulu jalan raya propinsi melintasi depan pasar ini, tetapi setelah jembatan dipindahkan ke ujung pasar pada akhir tahun tujuh puluhan, kenderaan antar propinsi tidak lagi melewati pasar. Bangunan tengah merupakan pasar sayur dan pasar ikan. Sebatang sungai mengalir di belakang kedai, dengan rakit-rakit yang terbuat dari batang bambu tempat orang mandi dan mencuci. Sebuah bilik kecil tidak beratap dibuat diatas rakit bambu tersebut dan digunakan sebagai wc umum. Rel kereta api melintasi ujung selatan pasar. Jembatan rel kereta api sudah tidak ada lagi, dipotong orang untuk dijual sebagai besi tua.

Berbagai jenis ikan segar dari laut dan tambak dijual setiap sore di pasar: ikan tongkol yang kulitnya belang-belang yang berasal dari Panteraja atau Laweueng, ikan tongkol sisik yang jarang disukai orang sehingga harganya murah, ikan bandeng dari Trongcampli, ikan belanak laut, ikan belanak tambak yang enak rasanya, berbagai macam ikan kecil dari tambak-tambak di daerah Nyong dan Lancok Baroh, ikan deued yang langka, udang sabu, ikan teri segar dalam berbagai ukuran, ikan meukueh yang juga langka. Juga ada ikan tenggiri, ikan layur yang seingat saya tidak pernah dikonsumsi dalam keluarga kami, kepiting dan ranjungan dalam berbagai ukuran, ikan hiu dan ikan pari, udang galah kecil berkaki panjang - yang disebut udeueng thep, udang jerbung yang mahal, dan sembilang yang mirip lele tetapi berpatil tiga. Juga sesekali ada ikan kerapu, bertotol-totol abu-abu seperti seragam tentara di padang pasir, atau merah menyala berbintik-bintik coklat. Harganya selamanya mahal. Juga ada ikan kampilok yang pipih lebar, ikan ciriek yang juga pipih tetapi berukuran lebih kecil. Nyaris semuanya ikan yang berasal dari tambak atau dari laut. Ikan air tawar jarang ada. Kadang sesekali ada juga ikan belut sungai yang mahal harganya. Semuanya segar. Hampir tidak ada ikan yang diberi es supaya awet. Daging hampir tidak pernah di jual di pasar ini, kecuali hari-hari tertentu seperti hari meugang. Juga sesekali ada ayam dan itik yang dijual dalam keadaan masih hidup.

Saya suka mengamati para pedagang mempersiapkan ikan jualan mereka. Sekitar jam tiga sore, pedagang ikan mulai berdatangan dengan menggunakan sepeda motor. Dua keranjang sarat berisi ikan diikat di boncengan sepeda motor, kadang satu keranjang lagi diletakkan di atasnya. Kadang ikan besar - biasanya tongkol, hiu atau pari - diikat begitu saja di atas keranjang. Ikan-ikan tersebut dipotong kecil-kecil, lalu dijual perpotong. Jarang ikan dijual dalam bentuk kiloan. Ikan-ikan tongkol berukuran sedang dijual per ekor, atau dibelah dua atau empat, dan juga dijual perpotong. Sangat menarik bagi saya untuk menyaksikan bagaimana ikan besar tersebut dibelah lalu dipotong kecil-kecil dengan menggunakan pisau yanbg tajam. Potongannya rapi sekali. Ikan-ikan lain yang berukuran kecil dijual dalam bentuk tumpukan. Kepiting dijual dalam bentuk rentengan yang terdiri dari beberapa ekor kepiting dalam berbagai ukuran, jarang yang ukurannya sama. Ikan yang berasal dari tambak biasanya dijual oleh para perempuan. Ikan dibagi dalam tumpukan-tumpukan kecil. Jika dibeli, ikan tersebut akan dibungkus dengan daun pisang yang sudah disiapkan, baru kemudian dimasukkan dalam kantong plastik.

Kegiatan pasar hanya dilakukan di sore hari. Pagi hari, pasar nyaris sepi. Mulai sekitar jam tiga sore, pada pedagang mulai membuka lapak dan menggelar berbagai macam barang dagangan. Menjelang jam empat, para pembeli mulai berdatangan dan semakin ramai seusai salat asar. Menjelang magrib, kegiatan pasar berakhir. Para pedagang mengemasi barang-barangnya untuk dibawa pulang. Malam hari, hanya beberapa kedai kelontong dan kedai kopi yang masih buka. Biasanya mereka tutup menjelang tengah malam. Hanya sebuah kedai kopi di samping jembatan yang tetap buka selama dua puluh empat jam.

Dalam kondisi biasa, kami dilarang orang tua untuk bermain-main di pasar, menjadi "kameng keude" - kambing pasar, istilah orang-orang tua. Kepasar berarti bisa melihat berbagai hal yang menarik, apalagi bagi kami anak kecil. Kadang ada tukang obat yang datang dan melakukan berbagai atraksi untuk menarik calon pembeli.

Daya tarik ke pasar yang lainnya adalah beragam jajanan yang tersedia, dan tentu saja ini sangat menggugah selera anak kecil seperti kami. Lebihan uang belanja biasanya kami jajankan pada jajanan pasar, yang dibungkus untuk dibawa pulang dan dimakan bersama dengan adik-adik kami. Kue-kue basah tradisional seperti payeh (lepat), kue ade yang super manis, halwa yang juga sangat manis dan lain-lain. Juga mi aceh apa Beurahim, yang sudah tahunan menjalani profesi pedagang mi. Minya dibuat sendiri, dengan rasa yang khas. Dia tidak punya kedai sendiri, rak minya numpang di depan kedai kopi orang. Sebuah ruangan kecil di belakang kedai kopi tersebut, persis dipinggir sungai, dipergunakan apa Beurahim sebagai tempat untuk mengadon merebus mi mentah setiap pagi. Hasilnya adalah mi mentah yang siap diolah dan dijual berdasarkan pesanan pembeli. Saat kelas lima SD, kami pernah menyaksikan cara apa Beurahim membuat mi. Tepung terigu diaduk dengan berbagai bahan lainnya dalam jumlah besar, kemudian diaduk dengan menggunakan tangan sampai tercampur dan menjadi gumpalan kenyal. Seterusnya proses pengadonan dilakukan dengan menggunakan batangan kayu berdiameter lima belas sentimeter dengan panjang sekitar dua meter. Salah satu ujung batang kayu tersebut dimasukkan ke dalam lubang yang sudah disediakan di balai-balai. Adonan diletakkan dibawah batangan tersebut dan ditekan-tekan. Cukup lama juga prosesnya. Setelah proses pengadukan mencukupi, adonan kemudian dibagi menjadi gumpalan-gumpalan yang lebih kecil untuk digiling menggunakan ampia. Mula-mula lempengan pipih lebar terbentuk, kemudian digiling lagi untuk menghasilkan untaian mi yang berukuran lebar sekitar tiga milimeter. Sedikit tepung diserakkan ke tumpukan mi tersebut untuk mencegah lengket. Kemudian mi mentah dimasukkan kedalam air mendidih, menghasilkan mi setengah jadi yang kenyal. Setelah dikeluarkan dan dibiarkan mendingin sebentar, sedikit minyak makan dipercikkan ke tumpukan mi dan diaduk kembali biar merata. Mi yang dihasilkan menjadi tidak lengket dan tahan selama beberapa hari walaupun tidak disimpan di kulkas - yang memang waktu itu belum ada di daerah kami.

Mi apa Beurahim mempunyai rasa khas. Bagi kami, rasa mi tersebut enak sekali. Setelah besar dan dewasapun, dan sudah pernah makan mi Aceh di berbagai tempat dengan rasa yang berbeda, kami selalu ingin makan mi apa Beurahim. Setiap sore, ramai orang makan mi dan memesan mi untuk dibawa pulang. Bagi yang ingin rasa berbeda, biasanya membeli bahan tambahan di pasar ikan, bisa udang, kepiting, tiram, kerang bahkan ikan tongkol segar. Apa Beurahim dengan senang hati akan membersihkan bahan tersebut dan meramunya menjadi mi yang enak. Tanpa tambahan biaya apapun. Hari-hari istimewa seperti hari meugang, kegiatan rak mi apa Beurahim dimulai sejak pagi hari. Biasanya dia dibantu oleh anaknya yang sebaya dengan saya untuk membantu mencincang daging yang akan dimasak bersama dengan mi. Onggokan daging berbagai ukuran - biasanya dari satu ons hingga setengah kilogram - disusun menunggu giliran untuk dimasak. Semuanya dicincang halus dengan menggunakan pisau daging besar, kemudian dionggokkan secara terpisah. Walaupun pesanan banyak dan jenisnya tidak sama, juga jumlah dagingnya berbeda-beda, jarang ada kasus tertukar.

Saat-saat sibuk seperti itu saya sering memperhatikan cara apa Beurahim masak mi. Mula-mula dia mengiris bawang, sementara minyak dipanaskan dalam wajan aluminium. Sumber apinya adalah kompor pompa berbahan bakar minyak tanah yang menderu-deru. Setelah minyak panas, daging dimasukkan dan diaduk sehingga masaknya merata. Kemudian bawang masuk, aduk-aduk lagi. Setelah daging matang, cabe dan bumbu mi masuk. Baunya bisa menimbulkan bersin-bersin bagi yang tidak biasa. Kemudian sedikit air ditambahkan, lalu daun bawang kampung dan toge masuk. Aduk-aduk lagi, diikuti dengan cocoran kecap asin dan sedikit cuka. Sedikit garam dan penyedap rasa ikut ditambahkan. Terakhir ditambahkan segumpal mi. Aduk-aduk lagi dan kemudian wajannya ditutup. Setelah dirasa matang, tutup dibuka menampakkan mi yang mengepulkan uap. Dengan sendok masak, apa Beurahim mengambil sedikit mi dan mencicipnya. Jika ada yang kurang, garam atau kecap, misalnya, akan ditambahkan lagi. Setelah semua beres, mi akan dipindahkan kepiring atau ke bungkusan yang tersusun dari daun pisang dan kertas koran di lapisan luarnya. Setelah ditambahkan kerupuk merah, mi siap dimakan di tempat atau dibawa pulang.

Sekali waktu saya membawa cakah (kepiting kecil) dari pasar untuk dibuat mi. Saat akan dibersihkan, pengikat kaki kepiting tersebut lepas dan menggigit jempol apa Beurahim. Gigitan kepiting kecil tersebut begitu kuat dan lengket sehingga susah untuk dilepas. Saat akan membantu, pengikat kaki kepiting yang satu lagi lepas dan menggigit kelingking saya sampai berdarah. Gigitan baru bisa lepas setelah apa Beurahim membelah kepiting tersebut dengan pisau. Jadilah kepiting itu menjadi dua bagian, sepotong lengket di jempol apa Beurahim dan sepotong lagi lengket di kelingking saya yang berdarah-darah. Insiden kecil tersebut tentu saja tidak mengurangi kelezatan mi apa Beurahim.

Masa-masa tersebut, tidak ada jajanan yang bukan asli Aceh, seperti bakso, miso, es campur dan lain-lain. Bakso adalah suatu kemewahan yang mungkin hanya ada di ibukota kabupaten. Untuk jenis minuman ada air tebu, air nira aren (ie jok) yang baru diambil, cendol tanpa es yang terbuat dari tepung beras, santan dan gula merah, yang rasanya sangat luar biasa. Penjual pisang goreng hanya ada satu orang, ibu-ibu berambut keriting yang berasal dari Ambon, sehingga nama sebutannya adalah Ibu Ambon. Pisang gorengnya diiris tipis dan dikembangkan melebar seperti kipas terbuka, digoreng dengan tepung jagung, keras dan enak. Pisang gorengnya tetap tinggal keras walaupun sudah dingin. Jika Ummi pergi ke pasar untuk suatu keperluan, hampir bisa dipastikan Ummi akan membeli pisang goreng Ibu Ambon sebagai oleh-oleh, walaupun pisang goreng Ummi sendiri juga sama enaknya.

Dan rujak Aceh. Di ujung los tengah menghadap ke timur, di depan sebuah kedai kelontong, terletak meja kayu Abua Ben. Sepotong plastik yang sudah kumal dibentangkan dan diikat seadanya untuk berfungsi sebagai atap. Setiap sore Abua Ben akan mengeluarkan buah-buahan untuk bahan rujak. Meja kayu kasar yang menghitam kena hujan dan matahari akan dipenuhi berbagai macam buah-buahan: pisang beng (pisang batu), buah rumbia, ketimun, mangga, jambu, pepaya, cabe rawit yang berwarna hijau, kuning dan merah, kaleng berisi manisan tebu, garam, kacang tanah yang sudah digoreng. Sebuah ulekan kayu besar berwarna hitam keabu-abuan diletakkan di ujung meja sebelah kiri, tempat Abua Ben meramu rujaknya. Untuk tempat duduk para pembeli, sebuah bangku panjang terletak di depan meja. Sebuah kaleng biskuit petak diletakkan di ujung kanan meja, tempat Abua Ben menyimpan uangnya. Saya masih ingat sepiring atau sebungkus rujak dihargai lima puluh rupiah. Bagi kami anak-anak, Abua Ben hanya minta dua puluh lima rupiah saja untuk rujak yang sama untuk dimakan ditempat. Kalau dibungkus tetap harus membayar lima puluh rupiah, sama seperti yang lain.

Sosok Abua Ben masih jelas dalam ingatan. Sosok tua yang selalu berpeci hitam yang sudah lusuh, berbaju kemeja dan celana panjang yang sama lusuhnya, seringkali bersandal jepit, bermata sipit dengan wajah penuh kerutan yang dipahat oleh berlalunya waktu. Bicaranya selalu pelan dan lembut, dengan senyuman yang menampilkan gigi yang hanya tinggal beberapa.

Setiap ada pesanan rujak dari pembeli, Abua Ben menyiapkannya dengan ritual yang nyaris selalu sama. Mula-mula pisang batu dicincang halus dengan menggunakan sebuah pisau tajam yang garis matanya sudah melengkung karena aus. Kemudian sebuah buah rumbia dibuang kulitnya. Seterusnya beberapa biji cabe rawit - tergantung kemauan pembeli, sedikit garam, sedikit kacang tanah yang sudah digoreng. Kemudian manisan - air tebu yang dimasak sehingga mengental dan berwarna coklat kehitaman - masuk. Abua Ben akan mengulek bahan-bahan tersebut menjadi halus dan tercampur rata. Baru kemudian buah-buahan lainnya dicintang: pepaya, mangga, jambu, mentimun. Kadang kedondong jika ada. Selesai, akan diulek lagi dan dimasukkan ke dalam piring kecil untuk disajikan. Makannya dengan menggunakan sendok aluminium yang sudah menghitam karena sering dipakai. Segelas air putih akan disediakan Abua Ben untuk membilas mulut yang kepedasan.

Di bulan puasa, tumpukan buah-buahan di meja rujak Abua Ben akan bertambah nyaris dua kali lipat. Jika di hari-hari biasa buah-buahan baru dicincang jika ada pembeli yang memesan, di bulan puasa biasanya semua buah sudah dicincang duluan, dan ditempatkan dalam sebuah baskom. Jika ada pembeli, dan biasanya jumlahnya banyak sehingga menimbulkan antrian, Abua Ben tinggal mengaduk cincangan buah dengan bumbu-bumbu rujak lainnya. Lebih cepat tentunya.

Semuanya sudah berlalu nyaris dua puluhan tahun yang lalu. Sudah lama saya tidak kepasar Teupin Raya. Tidak diketahui apakah Abua Ben masih ada atau tidak. Apakah di antara los pasar sebelah timur dan los tengah masih terdapat meja kayu tua yang berwarna kehitaman, dengan kaki-kaki yang sudah ringkih berhujan panas sepanjang waktu, yang cuma diatapi sepotong plastik kumal seadanya. Dan apakah sosok Abua Ben masih duduk di korsi tua di belakang meja rujaknya, menunggu pembeli, menatapi orang-orang lalu lalang dengan mata tuanya yang bening dan sejuk. Atau adakah seseorang - mungkin keluarga Abua Ben - melanjutkan usaha Abua Ben berjualan rujak Aceh?

Semuanya masih lekat dalam ingatan, seakan baru berlalu setahun atau dua tahun yang lalu. Dan akan tetap lekat selamanya ...

Saturday, May 14, 2011

Tungku

Memasak dengan menggunakan kayu api semakin jarang ditemukan, apalagi di kalangan masyarakat yang tinggal di perkotaan. Di desa, masih banyak yang menggunakan kayu api untuk memasak karena berbagai alasan. Tuan rumah yang kami kunjungi di Situjuh masih memasak dengan menggunakan kayu api karena rasa makanannya yang sangat khas, berbeda dengan masakan yang dimasak dengan menggunakan kompor minyak tanah ataupun kompor gas.



Wednesday, May 04, 2011

Jingki

Seingat saya, sewaktu kami masih kecil di tahun awal delapan puluhan, hanya adal empat jingki di kampung kami. Satu buah terdapat di lorong kami, yaitu di rumah Wa Ti Sumi yang letaknya persis di sebelah timur rumah kami, sebuah terletak di lorong Meunasah, sebuah di lorong Tutue Sirong dan sebuah lagi di lorong Panyang. Jingki-jingki tersebut dipergunakan untuk menumbuk padi, tepung, sagu, emping beras, kopi dan lain-lain. Terbuat dari kayu liat, alat utamanya adalah sebuah jungkitan yang terbuat dari kayu berdiameter sekitar dua puluh senti, dengan lubang untuk memasukkan alu di ujung yang satu, dan ujung satunya lagi yang dibuat pipih seabgai tempat pijakan. Ada tiga tiang di bagian tempat berpijak, di depan dan di belakang yang tingginya mendekati sepinggang, yang diberi papan datar sehingga bisa dipakai untuk duduk, dan tiang tengah yang dipalang dengan kayu berbentuk bulat untuk tempat pegangan. Di ujung jungkitan tempat memasang alu terdapat lesung, biasanya terbuat dari semen coran, dengan lubang tempat untuk memasukkan benda yang akan ditumbuk. Untuk alu biasanya terbuat dari kayu mane yang liat dan getas, berdiameter sekitar lima belas sentimeter.

Mengoperasikan jingki - bisanya dilakukan oleh perempuan - selamanya merupakan hal yang menarik bagi kami anak kecil. Seorang akan berdiri di bagian belakang jingki, berpegangan pada tiang tengah, kemudian menekan jungkitan ke bawah dengan kakinya sehingga alunya akan naik. Sebelum mencapai titik tertinggi, dia akan melepaskan kakinya, sehingga alu yang diberati oleh kayu jungkitan akan menghantam lesung. begitu berulang-ulang. Bunyi jingki yang dioperasikan menimbulkan irama yang unik, bunyi gesekan as jingki di bagian tengah dan bunyi alu menghantam lesung beton. "Ieet - dhum - ieet - dhum" berulang-ulang. Seorang lagi akan duduk di dekat lesung, untuk menyorongkan bahan yang ditumbuk ke tempat jatuhan alu. Kadang saat jingki tidak dipakai, kami sering menggunakannya untuk bermain jungkat-jungkit. Tentu saja hal ini menimbulkan amarah orang-orang tua, karena bisa menimbulkan bahaya jatuh ataupun kejepit jingki yang berat.

Orang-orang sekeliling akan membawa barang-barang yang akan ditumbuk ke jingki tersebut dan mengoperasikannya sendiri. Sebelumnya dia akan permisi dulu sama yang punya jingki. Tidak ada biaya apa-apa yang diambil oleh yang punya jingki. Karena itu, biasanya rumah-rumah yang punya jingki, biasanya pada waktu-waktu tertentu akan ramai dikunjungi orang-orang - biasanya kaum perempuan - untuk menumbuk. Barang yang akan ditumbuk biasanya adalah padi untuk dibuang kulitnya untuk menjadi beras, dan menumbuk beras untuk dijadikan tepung.

Kegiatan menumbuk padi biasanya dimulai sejak pagi. Jika diperkirakan cuaca akan terik sepanjang hari, sejumlah padi akan dikeluarkan untuk dijemur di halaman rumah ataupun tanah kosong yang terkena langsung dengan sinar matahari, dengan beralaskan tikar "on iboh". Padi akan dijaga sehingga tidak akan dimakan oleh ayam dan itik yang berkeliaran. Lewat tengah hari, padi akan dikumpulkan dan dibawa kejingki untuk ditumbuk. Jika ada beberapa orang yang akan menumbuk padi, masing-masing akan menunggu giliran tergantung siapa yang datang duluan. Sejumlah padi akan dituangkan ke dalam lubang lesung, kemudian kegiatan menumbuk padi dimulai. Hentaman alu yang naik turun oleh pijakan kaki menimbulkan irama monoton. Seorang akan duduk di dekat lesung untuk membalikkan padi dengan tangan sehingga semuanya akan terkena hantaman alu. Harus gesit dalam menyorongkan padi ke tempat jatuhan alu, karena bisa saja tangan akan terkena hantaman alu sehingga menimbulkan cedera, tetapi hal tersebut jarang sekali terjadi. Setelah kulit padi terkupas dari bulir-bulir beras, kegiatan selanjutnya adalah tampoe breueh, memisahkan beras dari patahan ujung beras - neukuet - yang biasanya untuk makanan ternak, lhek - dedak padi, juga untuk makanan ternak dan sikeuem - kulit padi. Yang terakhir tidak dimanfaatkan dan dibuang, kadang dibakar di kandang sapi atau kerbau untuk menimbulkan asap guna pengusir nyamuk. Jika banyak orang yang menunggu giliran untuk menumbuk padi, kegiatan di sekitar jingki bisa berlangsung sampai malam hari. Dengan diterangi oleh panyet pliek - sebutan orang Aceh untuk lampu minyak yang sinarnya temaram - kaum ibu berkumpul di sekitar jingki untuk menyelesaikan pekerjaan. Setelah selesai, lesung akan dibersihkan dan kemudian ditutup dengan penutup lesung yang biasanya terbuat dari pelepah rumbia ataupun papan. Alunya akan dilepaskan dari jingki dan disimpan.

Menumbuk beras menjadi tepung tidak memerlukan persiapan seperti menumbuk padi. Beras yang akan ditumbuk direndam dalam air selama beberapa waktu sehingga menjadi lunak dan gampang hancur. Setelah airnya dibuang, beras dimasukkan ke dalam lesung dan ditumbuk sehingga menjadi hancur. Tepung kemudian dipisahkan antara yang kasar dan yang halus dengan menggunakan ayakan. Yang kasar akan kembali dimasukkan ke dalam lesung untuk ditumbuk kembali. Sisa ayakan yang terakhir akan ditumbuk dengan parutan kelapa dan gula, untuk membuat penganan yang disebut dengan jeuleupak dan akan dimakan bersama-sama. Kami anak-anak akan mendapat jeuleupak yang dibulatkan seukuran segenggaman kami, dan kami makan sedikit-sedikit sambil bermain.

Saat akan memasuki bulan puasa, kegiatan di sekitar jingki menjadi bertambah. Kaum ibu mempersiapkan tepung beras dan tepung ketan untuk bekal selama bulan puasa, sebagai bahan pembuat berbagai macam penganan berbuka puasa. Tepung buatan pabrik dan tepung yang digiling dengan mesin tidak populer di masa-masa tersebut. Saat-saat ramai seperti itu, kesibukan di sekitar jingki bisa sampai tengah malam. Saat kami beranjak tidur, irama decitan as jingki dan hantaman alu ke lesung memenuhi ronga kepala kami, menjadi lagu penghantar tidur.

Begitu juga saat akan memasuki hari raya, baik hari raya puasa ataupun hari raya haji. Top tupong uroe raya - menumbuk tepung untuk hari raya - seakan sudah menjadi tradisi. Di tengah keletihan menjalankan ibadah puasa, selalu ada sisa tenaga untuk kegiatan menumbuk tepung. Tepung-tepung tersebut adalah bahan untuk membuat kue hari raya. Kadang karena ramainya yang menunggu giliran menumbuk tepung, kegiatan bisa berlanjut setelah shalat tarawih di menasah sampai menjelang sahur.

Sekarang, kegiatan di sekitar jingki semakin berkurang seiring perjalanan waktu. Menggiling padi di penggilingan padi dengan sejumlah upah jauh lebih praktis dibandingkan dengan menumbuk padi di jingki. Penggilingan padi sekarang ada di mana-mana, bahkan ada yang menyediakan jasa antar jemput dari penggilingan padi ke rumah. Begitu juga dengan menumbuk tepung. Tepung dalam kemasan yang dijual di pasar ternyata juga lebih praktis, walaupun bagi sebagian orang-orang tua rasanya berbeda, kurang enak dibandingkan dengan tepung yang ditumbuk sendiri.

Saat ini jingki di rumah Wa Ti Sumi semakin jarang dipergunakan. Walaupun kondisinya masih tetap baik, namun lebih banyak mengganggur sampai-sampai kayunya ditumbuhi lumut. Sesekali mungkin ada juga yang meminjam untuk menumbuk tepung, dan ketika itu saat mendengan bunyi hantaman alu dalam kesung kenangan kemasa kecil kembali menggeliat, saat sisa beras dalam lesung dicampurkan dengan parutan kelapa dan gula untuk membuat jeuleupak, dan kami berkeliling di sekitar lesung sambil menadahkan tangan untuk mengambil jeulepak bagian kami dari beulidi - baskom - Ma Insyah, yang membagikan sekepal seorang dengan adil dan rata sehingga tidak ada keributan antara kami anak-anak. Masa kecil yang ceria.