Monday, August 31, 2009

Uroe Meugang


Uroe Meugang adalah tradisi. Hari dimana semua orang mengupayakan makan daging, semampunya. Bagi kebanyakan orang Aceh, daging merupakan suatu kemewahan yang hanya dimakan beberapa kali dalam setahun. Yang rutin, sekali sebelum memasuki bulan Ramadhan, satu hari sebelum hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dan saat perayaan Maulid Nabi. Hari dimana pasar-pasar melulu hanya menjual daging hewan, sapi dan kerbau, yang sudah lama disiapkan untuk disembelih untuk keperluan hari tersebut. Biasanya harganya naik drastis, tetapi orang-orang tetap mengupayakan supaya sekilo dua kilo daging bisa dibawa pulang untuk dinikmati bersama keluarga. Yang lebih mampu, biasanya membeli daging lebih untuk dibagikan kepada keluarga dan kerabat yang kurang mampu. Anggota-anggota berkeluarga berkumpul, yang dirantau menyempatkan diri untuk pulang .

Bagi pengantin pria yang baru berkeluarga, nyaris merupakan suatu kewajiban untuk membawa pulang daging ke rumah mertua. Adalah aib bagi yang lalai melakukannya. Kadang, yang dibawa bukan merupakan bongkahan daging, tetapi kepala sapi ataupun kerbau yang masih lengkap dengan tanduk-tanduknya. Ataupun sepotong paha belakang yang berdaging tebal, lengkap dengan tulangnya. Biasanya daging kerbau lebih disukai, dengan alasan yang tidak jelas.


Rumah-rumah sibuk dengan kegiatan mempersiapkan segala sesuatu untuk memasak, sambil menunggu daging dibawa pulang dari pasar – biasanya yang berbelanja adalah kaum pria.
Pasar-pasar kaget bermunculan di mana-mana, semuanya merupakan kios-kios darurat yang melulu berisi daging, sapi atau kerbau. Kambing jarang dijual pada hari meugang. Pedagang daging sudah sibuk sejak subuh mempersiapkan dagangannya. Pasarnya tidak berlangsung lama, jam sibuk adala antara jam tujuh sampai jam sembilan pagi, dimana semua pembeli nyaris berebut untuk mendapatkan daging terbaik menurut mereka. Jual beli biasanya tunai, walaupun kadang ada yang berutang pada pedagang yang sudah dikenalnya. Biasanya menjelang tengah hari, dagangan habis terjual, walaupun kadang-kadang ada juga yang masih tersisa sampai sore hari, bahkan malam hari.


Di Pidie – kemungkinan di daerah lain juga – sepotong daging meugang disisihkan untuk dibawa ke tukang mi Aceh untuk dibuatkan mi daging. Beberapa bungkus mi goreng akan dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga, isinya mi Aceh yang dimasak dengan cacahan daging. Yang belum berkeluarga biasanya lebih suka makan langsung di warung, yang pada hari itu biasanya sangat ramai oleh antrian orang-orang yang ingin dibuatkan mi daging. Dagingnya dibawa masing-masing.


Kabarnya tradisi meugang dimulai sejak masa Kesultanan Iskandar Muda. Sultan ingin rakyat Aceh bisa menikmati daging setidaknya beberapa kali dalam setahun, terutama saat-saat hari besar Islam. Tradisi tersebut berlanjut sampai sekarang, menjadi tradisi yang terus dilaksanakan oleh rakyat Aceh, baik yang tinggal di Aceh ataupun di rantau orang.


Suasana meugang di salah satu pasar di Banda Aceh

































Sunday, August 16, 2009

Kacang Sihobuk

Inilah dia kota Tarutung, ibukota Tapanuli Utara, dengan jalan mulus membelah kota, dihiasi dengan bangunan-bangunan khas Batak di kiri kanan jalan. Lalu lintas ramai, tetapi teratur. Orang-orang berlalu lalang dengan santai, tanpa beban. Bukit-bukit di sebelah kanan kami nampak rimbun, diselang seling dengan rumah-rumah penduduk dan kuburan-kuburan Batak yang berukuran besar. Gereja-gereja berdiri megah, selang seling dengan mesjid-mesjid yang juga megah. Toleransi beragama nampaknya tidak menjadi masalah di sini.



Di sebelah kanan kami, sebuah bangunan menjulang: monument si Raja Panggabean. Atap-atap khas Batak berbentuk tinggi runcing menantang langit. Di depan bangunan, sebuah tiang berbentuk totem tinggi tegak. Kami berhenti di sini. Karena pintu pagarnya dalam keradaan terkunci, kami hanya mengambil gambar dari luar. Dua orang anak kecil mendekat dengan penuh rasa ingin tahu. Mereka membawa sebuah tangguk dan sebuah kantong berisi beberapa ekor ikan. Cengar cengir, mereka minta difoto. Saya mengambil gambar mereka, kemudian menunjukkannya kepada mereka dan menanyakan nama merea. Yang seorang memperkenalkan diri sebagai Yoshua, yang seorang lagi bernama Benni. Mereka berlalu dan kamipun meneruskan perjalanan. Melewati pertigaan, kami berbelok ke kiri menuju pusat kota. Kearah kanan adalah lokasi wisata Salib Kasih. Lalu lintas ramai, nyaris macet karena ada ruas jalan karena sedang diperbaiki.

Joshua dan Benny dari Tarutung
Semakin keluar kota, lalulintas semakin sepi. Bangunan semakin jarang. Tiba-tiba saja, melewati sebuah tikungan tajam, sebelah kiri kami berderet-deret kios dengan nama dan barang dagangan yang sama, kacang sihobuk. Dikemas dalam berbagai ukuran dan harga, semuanya menyandang label yang sama. Inilah kacang sihobuk yang terkenal kemana-mana. Rasanya khas. Di sebuah kios kami berhenti dan seorang anak belasan tahun keluar untuk melayani kami. Di samping kios, sebuah kuali besar tersandar. Kancah tersebut dipergunakan untuk menggongseng kacang dengan menggunakan pasir.

Beragam kemasan tersedia: bungkusan plastik kecil, sedang dan besar. Ada juga kemasan kaleng yang lebih besar. Tidak ada yang dijual kiloan atau curah.

Kacang tersebut memiliki karakter rasa yang kuat, sangat berbeda dengan jenis kacang yang dijual di berbagai swalayan. Rasa khas dan gurih itu tak lepas dari proses pembuatannya. Kacangnya pilihan, diutamakan yang berkulit tebal supaya tidak hangus selama proses. Kacang tersebut direndam di dalam air semalaman. Kadang garam ditambahkan untuk memperkuat rasa kacang. Kemudian dijemur sejenak, kemudian setelah kering digongseng dengan pasir dalam kancah besar sehingga suhu panasnya terjaga dan cita rasa kacang tidak berkurang. Selama proses penggongsengan, campuran kacang dan pasir harus terus diaduk. Cara ini melelahkan. Kemudian cara lain ditemukan, kacang digongseng dalam tabung berisi pasir yang bisa berputar dengan menggunakan tungku gas. Namum rasa kacang tetap terjaga.
Setelah digongseng beberapa jam, kembali kacang disortir. Setelah itu baru kacang siap untuk dibungkus dan dijual.

Aslinya kacang ini, berasal dari Desa Sihobuk, Pearaja. Tepatnya di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara. Memang banyak jenis kacang yang persis sama dengan kacang ini. Bahkan, tak jarang pembeli bingung menilai mana sebenarnya yang asli. Tapi, yang asli, sekali lagi, masih dari Desa Sihobuk. Bukan yang lain.


Kami membeli sebungkus untuk dimakan di kenderaan, bukan untuk oleh-oleh. Rasanya renyah, khas, unik, seperti seharusnya kacang sihobuk terasa. Berbeda dengan kacang lainnya, rasanya khas campuran asin dan manis serta renyah. Rasa memang tidak bohong. Seperti juga harganya.


Saturday, August 15, 2009

Teratai


Lewat Panyabungan, kami berhenti di sebuah warung kecil di pinggir jalan. Disebelah warung tersebut terdapat kolam ikan yang luas yang dipenuhi teratai pink yang sedang mekar ...