Sebuah kelapa muda siap menemani saat santai di semilir angin pantai Lhoknga.
Monday, January 27, 2014
Sunday, January 26, 2014
Jamblang (jambee kleng)
Pohon jamblang - jambee kleng dalam bahasa Aceh - di daerah pebukitan tandus di Krueng Raya. Pada musimnya banyak dijual di pasar-pasar tradisional, ataupun di pinggir jalan dari Banda Aceh menuju Krueng Raya atau dari Banda Aceh ke Lhoknga.
Saturday, January 25, 2014
(Masih tentang) copet Medan
Mendengar kami nyaris kecopetan di dalam sudako, sepupu saya yang menetap di Medan mengatakan bahwa kami cukup beruntung. "Biasanya, kalau sampai gagal seperti itu, bisa-bisa tindakan pencopetan bisa berubah menjadi perampokan dengan kekerasan", katanya
Modus pencopetan dalam angkutan umum di Medan bisa beragam, sepupu saya menjelaskan. Selain seperti yang kami alami, ada juga yang dilakukan dengan cara lainnya. rata-rata semuanya dijalankan secara berkelompok.
Cara uang receh biasanya cukup berhasil. Seorang pelaku akan menenteng kantong plastik berisi uang receh dalam kenderaan umum. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba kantong plastik jebol dan uang recehan di dalamnya berserakan di lantai mobil. Secara spontan para penumpang membantu mengumpulkan uang tersebut, dan tindakan ini menyebabkan mereka berada pada posisi membungkuk. Saat inilah, rekan si pelaku akan memanen barang berharga dari badan korbannya. Biasanya dompet yang berada di saku belakang celana atau dompet yang berada di tas jinjing penumpang perempuan.
Metode lainnya ialah dengan melihat-lihat majalah porno dalam kenderaan. Ketika perhatian penumpang teralihkan karena kehadiran gambar-gambar seronok tersebut, para pelaku akan menjalankan aksinya dengan cepat dan sigap.
Sepupu saya juga mengingatkan akan kemungkinan penipuan yang bisa saja akan kami hadapi. Tetapi saya memang sudah pernah mengalaminya, dan insting saya menyelamatkan saya sehingga tidak menjadi korban para penipu tersebut (mereka juga bekerja secara berkelompok).
Saat itu saya sedang minum es campur di pinggir jalan Gatot Subroto sekitar daerah Pasundan. Bersama saya ada beberapa pembeli lainnya, semuanya laki-laki dan kami duduk di bangku panjang penjual es campur. Dua orang tidak kebagian tempat duduk dan minum es campur sambil berdiri. Menghabiskan es campurnya, seorang mengeluarkan uang dari kantong celananya untuk membayar. Sesuatu ikut terjatuh ketika dia menarik tangannya dari saku celananya. Ketika saya ingin mengingatkan orang tersebut akan barangnya yang jatuh, orang yang duduk di samping saya menyikut saya dan memberi tanda untuk diam. Orang tadi sehabis membayar, menyetop sudako dan berlalu.
Orang yang duduk di samping saya menginjak bungkusan yang jatuh dari orang tadi. Orang-orang yang lain tidak tahu - atau mungkin pura-pura tidak tahu. Sedikit mengangkat kaki, dia mengajak saya mengintip barang tersebut. Sebuah dompet dari toko penjual emas, masih baru, lengkap dengan nama tokonya. Pelan-pelan, dia mengambilnya dan mengajak saya ke tempat yang agak sepi.
Di dalam dompet ternyata ada perhiasan emas, sebuah gelang rantai berukuran besar seperli lipan, dibungkus dengan surat dari toko penjualnya. Emasnya masih baru, berkilat, dan terasa seperti betul-betul emas. Setidaknya, saat itu saya merasa bahwa itu adalah betul-betul emas, dan orang yang kehilangan tadi pasti akan merasa sangat kehilangan. Dilihat dari ukurannya, setidaknya beratnya tidak kurang dari dua puluh manyam (sekitar 60 gram). Bukan nilai yang sedikit.
"Ini hari keberuntungan kita", orang tersebut mengatakan. Kita? Ya, karena kita berdua yang menemukannya, jadi barang ini milik kita berdua. Harus dibagi sama rata, tidak boleh berlebih untuk salahs atu dari kita, kecuali yang lain mengikhlaskannya.
Saya menyarankan untuk menjualnya kembali ke toko emas seperti yang tertulis pada suratnya. Toko emas tersebut berada di pasar Petisah, beberapa kilometer dari tempat kami berada. Jangan, kata orang tersebut. urusannya rumit, dan akan makan waktu. Bagus kita selesaikan sekarang. Kenapa rumit? Surat-suratnya kan lengkap? Pokoknya rumit, dia menegaskan. Dia sudah pernah mengalaminya.
Mendengar bahwa dia sudah pernah mengalaminya, sebersit kecurigaan muncul. Tetapi keserakahan masih lebih kuat, dan menang.
Saya mengusulkan untuk dipotong dua saja, dan masing-masing akan mencoba menjualnya sendiri-sendiri. Dia tidak setuju, karena suratnya hanya ada satu. Lagipula, dia punya usul yang lebih baik, katanya. Lebih baik salah satu dari kami membayar separuh nilai barang tersebut kepada yang lainnya.
Kecurigaan saya menguat. Emas tetap emas, ada surat atau tidak, tetap akan laku, walaupun nilainya sedikit lebih rendah.
Dia mengatakan dia ingin membayar bagian saya dan emas tersebut menjadi milik dia. Sayangnya, dia tidak punya uang sebanyak itu saat itu dan mengusulkan supaya saya yang membayar ke dia. Tentu saja, saya juga tidak punya uang sebanyak itu, apalagi saya ingin menyingkir karena kecurigaan semakin menguat.
"Bagaimana kalau pinjam dulu dari keluarga, kawan ataupun siapa saya? Ayo kita sama-sama kesana", katanya. Maksudnya supaya saya yakin dia tidak akan melarikan barang tersebut saat saya mencari pinjaman. Bagi saya jelas, dia tidak ingin saya kabur. Saya menawarkan untuk me rumah famili saya di Ampera. Jadi kami sepakat dan menunggu sudako jurusan Belawan lewat.
Kemudian kembali dia berubah pikiran. "Begini saja", katanya. "Berapa uang yang ada di kantong lae sekarang. Itu sudah cukup. Ambil baran ini sama lae". Saya masih mempunyai uang sekitar satu jutaan di kantong, dan tentu saja tidak ada lagi niatan untuk membeli barang tersebut.
Sudah jelas kemana arah pembicaraan tersebut. Sekarang saya yakin seyakin-yakinnya bahwa barang tersebut bukan emas, dan tentu saja bukan jatuh tanpa sengaja oleh pembeli es campur tadi. Orang tadi merupakan kawannya, dan saya yakin beberapa orang lainnya yang sama-sama minum es campur juga kawan mereka.
Sambil mengatakan bahwa saya tidak punya uang, saya pelan-pelan bergeser ke arah kerumunan orang yang menunggu angkutan umum. Dia terus mendesak, dengan tawaran menyebutkan angka-angka sekarang. Saya tidak mendengar lagi. Bersama dengan penumpang lain, saya naik angkutan pertama yang berhenti dan meninggalkan orang tersebut di pinggir jalan.
Pada kesempatan lain, saya menyaksikan cara yang sama dipraktekkan oleh dua orang penipu ke tiga penumpang sudako. Saat itu, kami baru turun dari bus di pol bus Makmur di Marindal. Menumpang sudako ke Pondok Kelapa, saya berdesakan dengan penumpang lainnya. Masing-masing membawa tas dan berwajah mengantuk, sepertinya juga penumpang bus jarak jauh seperti saya.
Penumpang yang duduk di dekat pintu menghentikan sudako dan turun. Saat turun, dia mengeluarkan uang dan tanpa sengaja menjatuhkan sesuatu. Saya melirik sekilas saat penumpang lainnya memijak benda tersebut dengan sandalnya: dompet dari toko mas. Kemudian dia menunjukkan dompet tersebut ke tiga orang penumpang lainnya dan mengajak mereka turun. Berlima mereka turun: tiga penumpang berwajah mengantuk, yang menginjak dompet dan diikuti oleh seorang lainnya. mereka menepi ke pojokan sebuah toko yang masih tutup dan berbicara satu sama lainnya.
Saya tidak tahu apakah para penipu tersebut berhasil atau tidak. Tetapi saat itu saya merasa sama jahatnya dengan mereka, hanya diam saja tanpa melakukan apapun untuk mencegahnya.
Modus pencopetan dalam angkutan umum di Medan bisa beragam, sepupu saya menjelaskan. Selain seperti yang kami alami, ada juga yang dilakukan dengan cara lainnya. rata-rata semuanya dijalankan secara berkelompok.
Cara uang receh biasanya cukup berhasil. Seorang pelaku akan menenteng kantong plastik berisi uang receh dalam kenderaan umum. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba kantong plastik jebol dan uang recehan di dalamnya berserakan di lantai mobil. Secara spontan para penumpang membantu mengumpulkan uang tersebut, dan tindakan ini menyebabkan mereka berada pada posisi membungkuk. Saat inilah, rekan si pelaku akan memanen barang berharga dari badan korbannya. Biasanya dompet yang berada di saku belakang celana atau dompet yang berada di tas jinjing penumpang perempuan.
Metode lainnya ialah dengan melihat-lihat majalah porno dalam kenderaan. Ketika perhatian penumpang teralihkan karena kehadiran gambar-gambar seronok tersebut, para pelaku akan menjalankan aksinya dengan cepat dan sigap.
Sepupu saya juga mengingatkan akan kemungkinan penipuan yang bisa saja akan kami hadapi. Tetapi saya memang sudah pernah mengalaminya, dan insting saya menyelamatkan saya sehingga tidak menjadi korban para penipu tersebut (mereka juga bekerja secara berkelompok).
Saat itu saya sedang minum es campur di pinggir jalan Gatot Subroto sekitar daerah Pasundan. Bersama saya ada beberapa pembeli lainnya, semuanya laki-laki dan kami duduk di bangku panjang penjual es campur. Dua orang tidak kebagian tempat duduk dan minum es campur sambil berdiri. Menghabiskan es campurnya, seorang mengeluarkan uang dari kantong celananya untuk membayar. Sesuatu ikut terjatuh ketika dia menarik tangannya dari saku celananya. Ketika saya ingin mengingatkan orang tersebut akan barangnya yang jatuh, orang yang duduk di samping saya menyikut saya dan memberi tanda untuk diam. Orang tadi sehabis membayar, menyetop sudako dan berlalu.
Orang yang duduk di samping saya menginjak bungkusan yang jatuh dari orang tadi. Orang-orang yang lain tidak tahu - atau mungkin pura-pura tidak tahu. Sedikit mengangkat kaki, dia mengajak saya mengintip barang tersebut. Sebuah dompet dari toko penjual emas, masih baru, lengkap dengan nama tokonya. Pelan-pelan, dia mengambilnya dan mengajak saya ke tempat yang agak sepi.
Di dalam dompet ternyata ada perhiasan emas, sebuah gelang rantai berukuran besar seperli lipan, dibungkus dengan surat dari toko penjualnya. Emasnya masih baru, berkilat, dan terasa seperti betul-betul emas. Setidaknya, saat itu saya merasa bahwa itu adalah betul-betul emas, dan orang yang kehilangan tadi pasti akan merasa sangat kehilangan. Dilihat dari ukurannya, setidaknya beratnya tidak kurang dari dua puluh manyam (sekitar 60 gram). Bukan nilai yang sedikit.
"Ini hari keberuntungan kita", orang tersebut mengatakan. Kita? Ya, karena kita berdua yang menemukannya, jadi barang ini milik kita berdua. Harus dibagi sama rata, tidak boleh berlebih untuk salahs atu dari kita, kecuali yang lain mengikhlaskannya.
Saya menyarankan untuk menjualnya kembali ke toko emas seperti yang tertulis pada suratnya. Toko emas tersebut berada di pasar Petisah, beberapa kilometer dari tempat kami berada. Jangan, kata orang tersebut. urusannya rumit, dan akan makan waktu. Bagus kita selesaikan sekarang. Kenapa rumit? Surat-suratnya kan lengkap? Pokoknya rumit, dia menegaskan. Dia sudah pernah mengalaminya.
Mendengar bahwa dia sudah pernah mengalaminya, sebersit kecurigaan muncul. Tetapi keserakahan masih lebih kuat, dan menang.
Saya mengusulkan untuk dipotong dua saja, dan masing-masing akan mencoba menjualnya sendiri-sendiri. Dia tidak setuju, karena suratnya hanya ada satu. Lagipula, dia punya usul yang lebih baik, katanya. Lebih baik salah satu dari kami membayar separuh nilai barang tersebut kepada yang lainnya.
Kecurigaan saya menguat. Emas tetap emas, ada surat atau tidak, tetap akan laku, walaupun nilainya sedikit lebih rendah.
Dia mengatakan dia ingin membayar bagian saya dan emas tersebut menjadi milik dia. Sayangnya, dia tidak punya uang sebanyak itu saat itu dan mengusulkan supaya saya yang membayar ke dia. Tentu saja, saya juga tidak punya uang sebanyak itu, apalagi saya ingin menyingkir karena kecurigaan semakin menguat.
"Bagaimana kalau pinjam dulu dari keluarga, kawan ataupun siapa saya? Ayo kita sama-sama kesana", katanya. Maksudnya supaya saya yakin dia tidak akan melarikan barang tersebut saat saya mencari pinjaman. Bagi saya jelas, dia tidak ingin saya kabur. Saya menawarkan untuk me rumah famili saya di Ampera. Jadi kami sepakat dan menunggu sudako jurusan Belawan lewat.
Kemudian kembali dia berubah pikiran. "Begini saja", katanya. "Berapa uang yang ada di kantong lae sekarang. Itu sudah cukup. Ambil baran ini sama lae". Saya masih mempunyai uang sekitar satu jutaan di kantong, dan tentu saja tidak ada lagi niatan untuk membeli barang tersebut.
Sudah jelas kemana arah pembicaraan tersebut. Sekarang saya yakin seyakin-yakinnya bahwa barang tersebut bukan emas, dan tentu saja bukan jatuh tanpa sengaja oleh pembeli es campur tadi. Orang tadi merupakan kawannya, dan saya yakin beberapa orang lainnya yang sama-sama minum es campur juga kawan mereka.
Sambil mengatakan bahwa saya tidak punya uang, saya pelan-pelan bergeser ke arah kerumunan orang yang menunggu angkutan umum. Dia terus mendesak, dengan tawaran menyebutkan angka-angka sekarang. Saya tidak mendengar lagi. Bersama dengan penumpang lain, saya naik angkutan pertama yang berhenti dan meninggalkan orang tersebut di pinggir jalan.
Pada kesempatan lain, saya menyaksikan cara yang sama dipraktekkan oleh dua orang penipu ke tiga penumpang sudako. Saat itu, kami baru turun dari bus di pol bus Makmur di Marindal. Menumpang sudako ke Pondok Kelapa, saya berdesakan dengan penumpang lainnya. Masing-masing membawa tas dan berwajah mengantuk, sepertinya juga penumpang bus jarak jauh seperti saya.
Penumpang yang duduk di dekat pintu menghentikan sudako dan turun. Saat turun, dia mengeluarkan uang dan tanpa sengaja menjatuhkan sesuatu. Saya melirik sekilas saat penumpang lainnya memijak benda tersebut dengan sandalnya: dompet dari toko mas. Kemudian dia menunjukkan dompet tersebut ke tiga orang penumpang lainnya dan mengajak mereka turun. Berlima mereka turun: tiga penumpang berwajah mengantuk, yang menginjak dompet dan diikuti oleh seorang lainnya. mereka menepi ke pojokan sebuah toko yang masih tutup dan berbicara satu sama lainnya.
Saya tidak tahu apakah para penipu tersebut berhasil atau tidak. Tetapi saat itu saya merasa sama jahatnya dengan mereka, hanya diam saja tanpa melakukan apapun untuk mencegahnya.
Friday, January 24, 2014
Copet sudako Medan
Medan bagi kami yang berasal dari pelosok pedalaman merupakan belantara yang mengerikan. Penjahat-penjahat jalanan menunggu dan siap memangsa siapa saja yang berada di tempat yang salah pada waktu yang keliru. Saya bersama dengan seorang kawan mengalami sendiri pengalaman yang tidak menyenangkan dalam minibus angkutan kota - sudako - kata orang Medan.
Saat itu, kami baru turun dari bus antar propinsi di Marindal. Hari baru usai subuh, suasana masih gelap menjelang pagi. Tujuan kami adalah Pondok Kelapa, jadi kami menunggu sudako no 64. Beberapa penumpang sudah ada di dalam sudako, beberapa ibu-ibu yang menuju kepasar dan seorang laki-laki tua yang duduk di belakang supir. Baru jalan beberapa puluh meter, sudako berhenti dan empat lelaki naik. Mereka berjaket tebal, tampangnya biasa saja. Satu orang duduk di sebelah kanan saya, dua orang di sebelah kiri, dan satu lagi duduk di samping teman saya di bangku yang berhadapan. Merasa sempit, saya memangku tas saya dan duduk agak membungkuk.
Mereka mulai bercerita, bercakap-cakap dengan riuh. Yang duduk di sebelah kanan saya mencoba melibatkan saya dalam percakapan mereka. Dia bercerita tentang penyakit yang dideritanya, rematik dan kaku tulang yang sudah menahun. Berbagai usaha pengobatan sudah dia coba, mulai dari dokter sampai tradisional. Yang terakhir, katanya, melakukan terapi yang ganjil. Dia memegang lutut kanan saya keras-keras, "Lututku dipegang seperti ini", katanya dengan logat Medan yang kental,"lalu digoyangnya kuat-kuat". Lutut saya ikut digoyangnya kuat-kuat. Sementara itu, kawan saya menatap kami lekat-lekat, mungkin sudah menyadari apa yang akan terjadi.
Sejenak kemudian, orang-orang itu meminta supir untuk berhenti dan mereka turun. Orang yang duduk di sebelah kiri saya sebelum turun menampar kawan saya sekali. Dia diam saja. Setelah sudako berjalan kembali, seorang ibu bertanya, "kena berapa?" Ternyata semua penumpang - kecuali saya - sudah mengetahui apa yang sedang terjadi. Tetapi tidak ada yang berani mengingatkan, takut akan pembalasan gerombolan tersebut. Saya tidak kehilangan apapun, karena sebelum naik sudako tadi dompet saya masukkan ke saku depan jeans. Posisi duduk saya yang membungkuk ditambah dengan mengendong tas membuat mereka tidak bisa mengambil dompet saya.
Saat itu, kami baru turun dari bus antar propinsi di Marindal. Hari baru usai subuh, suasana masih gelap menjelang pagi. Tujuan kami adalah Pondok Kelapa, jadi kami menunggu sudako no 64. Beberapa penumpang sudah ada di dalam sudako, beberapa ibu-ibu yang menuju kepasar dan seorang laki-laki tua yang duduk di belakang supir. Baru jalan beberapa puluh meter, sudako berhenti dan empat lelaki naik. Mereka berjaket tebal, tampangnya biasa saja. Satu orang duduk di sebelah kanan saya, dua orang di sebelah kiri, dan satu lagi duduk di samping teman saya di bangku yang berhadapan. Merasa sempit, saya memangku tas saya dan duduk agak membungkuk.
Mereka mulai bercerita, bercakap-cakap dengan riuh. Yang duduk di sebelah kanan saya mencoba melibatkan saya dalam percakapan mereka. Dia bercerita tentang penyakit yang dideritanya, rematik dan kaku tulang yang sudah menahun. Berbagai usaha pengobatan sudah dia coba, mulai dari dokter sampai tradisional. Yang terakhir, katanya, melakukan terapi yang ganjil. Dia memegang lutut kanan saya keras-keras, "Lututku dipegang seperti ini", katanya dengan logat Medan yang kental,"lalu digoyangnya kuat-kuat". Lutut saya ikut digoyangnya kuat-kuat. Sementara itu, kawan saya menatap kami lekat-lekat, mungkin sudah menyadari apa yang akan terjadi.
Sejenak kemudian, orang-orang itu meminta supir untuk berhenti dan mereka turun. Orang yang duduk di sebelah kiri saya sebelum turun menampar kawan saya sekali. Dia diam saja. Setelah sudako berjalan kembali, seorang ibu bertanya, "kena berapa?" Ternyata semua penumpang - kecuali saya - sudah mengetahui apa yang sedang terjadi. Tetapi tidak ada yang berani mengingatkan, takut akan pembalasan gerombolan tersebut. Saya tidak kehilangan apapun, karena sebelum naik sudako tadi dompet saya masukkan ke saku depan jeans. Posisi duduk saya yang membungkuk ditambah dengan mengendong tas membuat mereka tidak bisa mengambil dompet saya.
Thursday, January 23, 2014
Tuesday, January 21, 2014
Batu Angkek-angkek
Sepulang dari
pemandian umum di Desa Minangkabau, tuan rumah mengajak kami ke lokasi
batu angkek-angkek. Tidak jauh, lebih kurang lima belas menit
perjalanan. Tempatnya menyelip diantara rumah-rumah dalam gang kecil,
yang hanya bisa dilewati satu kenderaan roda empat. Sebuah rumah gadang
yang berusia puluhan - mungkin ratusan tahun, dilihat dari
penampilannya.
Rumah gadang ini walaupun merupakan situs budaya adalah milik pribadi, dan dikelola oleh pemilik secara pribadi. Halaman depan rumah gadang ini sempit, hanya cukup untuk parkir beberapa mobil kecil. Tidak ada tempat untuk memutar kenderaan. Pengunjung yang ingin pulang harus melalui semacam gang di sebelah sekolah, dan tembus ke jalan masuk tadi. Beberapa anak muda setempat cukup sigap bertugas sebagai tukang parkir dengan bayaran 5000 rupiah.
Di depan rumah terpancang plang nama dari Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Tanah Datar mengenai sejarah batu angkek-angkek tersebut. Semacam cerita percaya-atau-tidak, dengan kandungan mistis yang sangat kentara. Adalah Datuk Bandaro Kayo, penghulu kaum dari Suku Piliang, yang bermimpi didatangi oleh Syek Ahmad - tidak dijelaskan siapa Syeh Ahmad tersebut - dan diperintahkan untuk mendirikan sebuah perkampungan, yang sekarang ini dikenal dengan nama Kampung Palangan. Saat dilakukan pembangunan tiang pertama, di lokasi tersebut terjadi gempa dan hujan panas - hujan yang terjadi saat matahari bersinar - selama empat belas hari berturut-turut, siang dan malam. Tidak ada penjelasan bagaimana kerusakan yang timbul akibat gempa selama itu. Ketika diadakan musyawarah untuk membahas kejadian tersebut (tidak dijelaskan kapan dilakukan, kemungkinan hari ke lima belas saat kejadian tersebut berakhir), terdengan semacam suara yang memberitahu bahwa dalam lubang untuk tiang yang sedang dibangun tersebut terdapat semacam batu, dan batu tersebut supaya diambil dan dirawat baik-baik. Batu tersebut kemudian diambil dan disebut dengan batu Pandapatan. Tidak ada penjelasan lanjutan kenapa batu tersebut harus dijaga dan kenapa harus diangkat-angkat (angkek-angkek), sehingga kemudian namanya berubah menjadi batu angkek-angkek.
Mendaki tangga beton menuju ke atas rumah, kami disambut suasana rumah gadang tradisional Sumatera Barat. Konstruksi bagunan sebagian besar terbuat dari kayu, berwarna asli coklat tua tanpa polesan cat apapun. Nuansa gelap menanti, menampilkan suasana mistis yang ganjil. Di ujung tangga masuk, sebelah kiri, beranda depan dijadikan semacam kios suvenir. Pemilik rumah menjajakan berbagai pernak-pernik khas setempat, mulai dari kaos yang bertuliskan berbagai tulisan tentang Batusangkar, sampai gantungan kunci dan sandal buatan setempat. Juga tersedia obat-obatan tradisional bagi siapa saja yang memerlukan.
Di ruangan lainnya, yang dibedakan dengan ketinggian sekitar tiga puluh sentimeter - seperti rumah tradisional Aceh - beberapa pengunjung merubungi semacam ruangan berbentuk segiempat yang dibatasi oleh kain. Seorang lelaki usia akhir tiga puluhan sedang menjelaskan sesuatu dalam bahasa Indonesia logat Minang. Saya naik ke tempat tersebut, bergabung dengan pengunjung lainnya untuk ikut mendengarkan penjelasan lelaki tersebut - yang ternyata adalah juru kunci batu angkek-angkek tersebut. Di dinding kamar tercantum tata cara ritual untuk pengunjung yang ingin mencoba mengangkat batu tersebut.
Di atas sepotong kain putih di lantai kayu yang dialas karpet, terletaklah batu tersebut. Mirip seperti potongan buah yang dibelah, berbentuk lonjong dengan salah satu sisi yang rata. Berwarna merah tembaga, sama sekali tidak mirip batu, tetapi lebih mirip logam tembaga dengan bercak kehitaman, mengilap oleh pegangan ribuan pasang tangan pengunjung dari masa ke masa. Kabarnya, di bawah rumah gadang ini, dalam kedalaman tanah, ada pasangan batu ini, belahan yang mirip, yang tidak bisa diangkat kluar dengan cara apapun dan lebih memilih untuk tetap berada di sana. Kemudian, saat melangkah masuk, supaya mengucapkan salam dalam hati. Kenapa harus mengucapkan salam ke benda mati? Tidak ada penjelasan. Semuanya berdasarkan aturan dengar-dan-patuhi-tanpa-pertanyaan. Jika ragu jangan ke sini.
Saya menyimak penjelasan juru kunci.
Sebelum memasuki lokasi segi empat tempat batu tersebut terletak, pengunjung yang berhajat harus berwudhu dulu, juru kunci melanjutkan.
Kemudian pengunjung supaya duduk bersimpuh di depan baru dan membaca Bismillah dan Salawat Nabi 3x dalam hati. Kemudian niat sambil berdoa. Sebagaima tercantum dalam petunjuk bergambar di dinding, contoh doanya adalah sebagai berikut, "Ya Allah kepada engkau aku bermohon, engkaulah yang akan mengabulkan permohonanku ... (sebutkan niatnya), kalau niatku terkabul berikanlah pertanda, ringankanlah batu ini / mohon terangkat". Kemudian posisikan diri setengah bersujud, dengan kedua tangan dibawah batu dengan telapak tangan menghadap ke atas. Tarik batu ke arah pangkuan. Kemudian turunkan kembali ke lantai. Terakhir, yang paling penting, masukkan persyaratan (biasanya berupa uang / sedekah) ke tempat yang di sediakan di sebelah kiri. Jangan lupa, sebelum meninggalkan lokasi kembali ucapkan salam dalam hati.
"Batu ini," lanjut juru kunci, "tidak memiliki kekuatan apa-apa. Dia tidak memiliki kemampuan untuk menunjukkan terkabulnya sebuah niat atau tidak, apalagi punya kemampuan untuk mengabulkan sebuah pengharapan. Adalah Allah yang memiliki kemampuan tersebut. Jadi jangan memohon kepada batu, jangan meminta kepada batu untuk menunjukkan sebuah niat terkabul atau tidak. Bermohonlah kepada Allah. Usaha untuk mengangkat batu ini hanya sebagai tanda kekuatan niat kita untuk berusaha mencapai niat kita".
Sekali berada dalam ruangan tempat batu tersebut berada, pengunjung boleh mencoba tiga kali. Dua kali dengan niat, dan sekali tanpa ada niat apa-apa, hanya usaha untuk mengangkat saja.
Penjelasan usai. Pengunjung yang datang sebelum kami mendapat kesempatan pertama untuk mencoba. Duduk bersimpuh di depan batu, tangan diatas paha. mata terpejam mendaraskan niat dan doa. Kemudian kedua tangan terjulur ke bawah batu. Hup! Batu terseret kearah pangkuan. Senyum puas mengisi wajah. Kemudian batu diletakkan kembali ke tempatnya semula. Angkatan kedua adalah kosong, tanpa niat apa-apa. Wajah berkerut, urat-urat pelipis menonjol. Batu tidak terangkat, bahkan tidak bergeser sedikitpun. Percobaan ketiga - sesuai arahan juru kunci - kembali diisi dengan niat dan doa. Batu kembali terangkat dan terseret ke pangkuan, seolah tanpa berat.
Saya tidak tertarik untuk mencoba, walaupun berulang kali juru kunci meminta. "Kalau tidak dialami sendiri, sudah menjelaskannya", katanya. Begitu juga tuan rumah kami. "Bagi saya, cukup doa langsung ke Yang Maha Kuasa, sehabis shalat. Tidak perlu petunjuk dari sebongkah batu untuk memberi tanda diterima atau tidak," tandas tuan rumah kami.
Rumah gadang ini walaupun merupakan situs budaya adalah milik pribadi, dan dikelola oleh pemilik secara pribadi. Halaman depan rumah gadang ini sempit, hanya cukup untuk parkir beberapa mobil kecil. Tidak ada tempat untuk memutar kenderaan. Pengunjung yang ingin pulang harus melalui semacam gang di sebelah sekolah, dan tembus ke jalan masuk tadi. Beberapa anak muda setempat cukup sigap bertugas sebagai tukang parkir dengan bayaran 5000 rupiah.
Di depan rumah terpancang plang nama dari Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Tanah Datar mengenai sejarah batu angkek-angkek tersebut. Semacam cerita percaya-atau-tidak, dengan kandungan mistis yang sangat kentara. Adalah Datuk Bandaro Kayo, penghulu kaum dari Suku Piliang, yang bermimpi didatangi oleh Syek Ahmad - tidak dijelaskan siapa Syeh Ahmad tersebut - dan diperintahkan untuk mendirikan sebuah perkampungan, yang sekarang ini dikenal dengan nama Kampung Palangan. Saat dilakukan pembangunan tiang pertama, di lokasi tersebut terjadi gempa dan hujan panas - hujan yang terjadi saat matahari bersinar - selama empat belas hari berturut-turut, siang dan malam. Tidak ada penjelasan bagaimana kerusakan yang timbul akibat gempa selama itu. Ketika diadakan musyawarah untuk membahas kejadian tersebut (tidak dijelaskan kapan dilakukan, kemungkinan hari ke lima belas saat kejadian tersebut berakhir), terdengan semacam suara yang memberitahu bahwa dalam lubang untuk tiang yang sedang dibangun tersebut terdapat semacam batu, dan batu tersebut supaya diambil dan dirawat baik-baik. Batu tersebut kemudian diambil dan disebut dengan batu Pandapatan. Tidak ada penjelasan lanjutan kenapa batu tersebut harus dijaga dan kenapa harus diangkat-angkat (angkek-angkek), sehingga kemudian namanya berubah menjadi batu angkek-angkek.
Mendaki tangga beton menuju ke atas rumah, kami disambut suasana rumah gadang tradisional Sumatera Barat. Konstruksi bagunan sebagian besar terbuat dari kayu, berwarna asli coklat tua tanpa polesan cat apapun. Nuansa gelap menanti, menampilkan suasana mistis yang ganjil. Di ujung tangga masuk, sebelah kiri, beranda depan dijadikan semacam kios suvenir. Pemilik rumah menjajakan berbagai pernak-pernik khas setempat, mulai dari kaos yang bertuliskan berbagai tulisan tentang Batusangkar, sampai gantungan kunci dan sandal buatan setempat. Juga tersedia obat-obatan tradisional bagi siapa saja yang memerlukan.
Di ruangan lainnya, yang dibedakan dengan ketinggian sekitar tiga puluh sentimeter - seperti rumah tradisional Aceh - beberapa pengunjung merubungi semacam ruangan berbentuk segiempat yang dibatasi oleh kain. Seorang lelaki usia akhir tiga puluhan sedang menjelaskan sesuatu dalam bahasa Indonesia logat Minang. Saya naik ke tempat tersebut, bergabung dengan pengunjung lainnya untuk ikut mendengarkan penjelasan lelaki tersebut - yang ternyata adalah juru kunci batu angkek-angkek tersebut. Di dinding kamar tercantum tata cara ritual untuk pengunjung yang ingin mencoba mengangkat batu tersebut.
Di atas sepotong kain putih di lantai kayu yang dialas karpet, terletaklah batu tersebut. Mirip seperti potongan buah yang dibelah, berbentuk lonjong dengan salah satu sisi yang rata. Berwarna merah tembaga, sama sekali tidak mirip batu, tetapi lebih mirip logam tembaga dengan bercak kehitaman, mengilap oleh pegangan ribuan pasang tangan pengunjung dari masa ke masa. Kabarnya, di bawah rumah gadang ini, dalam kedalaman tanah, ada pasangan batu ini, belahan yang mirip, yang tidak bisa diangkat kluar dengan cara apapun dan lebih memilih untuk tetap berada di sana. Kemudian, saat melangkah masuk, supaya mengucapkan salam dalam hati. Kenapa harus mengucapkan salam ke benda mati? Tidak ada penjelasan. Semuanya berdasarkan aturan dengar-dan-patuhi-tanpa-pertanyaan. Jika ragu jangan ke sini.
Saya menyimak penjelasan juru kunci.
Sebelum memasuki lokasi segi empat tempat batu tersebut terletak, pengunjung yang berhajat harus berwudhu dulu, juru kunci melanjutkan.
Kemudian pengunjung supaya duduk bersimpuh di depan baru dan membaca Bismillah dan Salawat Nabi 3x dalam hati. Kemudian niat sambil berdoa. Sebagaima tercantum dalam petunjuk bergambar di dinding, contoh doanya adalah sebagai berikut, "Ya Allah kepada engkau aku bermohon, engkaulah yang akan mengabulkan permohonanku ... (sebutkan niatnya), kalau niatku terkabul berikanlah pertanda, ringankanlah batu ini / mohon terangkat". Kemudian posisikan diri setengah bersujud, dengan kedua tangan dibawah batu dengan telapak tangan menghadap ke atas. Tarik batu ke arah pangkuan. Kemudian turunkan kembali ke lantai. Terakhir, yang paling penting, masukkan persyaratan (biasanya berupa uang / sedekah) ke tempat yang di sediakan di sebelah kiri. Jangan lupa, sebelum meninggalkan lokasi kembali ucapkan salam dalam hati.
"Batu ini," lanjut juru kunci, "tidak memiliki kekuatan apa-apa. Dia tidak memiliki kemampuan untuk menunjukkan terkabulnya sebuah niat atau tidak, apalagi punya kemampuan untuk mengabulkan sebuah pengharapan. Adalah Allah yang memiliki kemampuan tersebut. Jadi jangan memohon kepada batu, jangan meminta kepada batu untuk menunjukkan sebuah niat terkabul atau tidak. Bermohonlah kepada Allah. Usaha untuk mengangkat batu ini hanya sebagai tanda kekuatan niat kita untuk berusaha mencapai niat kita".
Sekali berada dalam ruangan tempat batu tersebut berada, pengunjung boleh mencoba tiga kali. Dua kali dengan niat, dan sekali tanpa ada niat apa-apa, hanya usaha untuk mengangkat saja.
Penjelasan usai. Pengunjung yang datang sebelum kami mendapat kesempatan pertama untuk mencoba. Duduk bersimpuh di depan batu, tangan diatas paha. mata terpejam mendaraskan niat dan doa. Kemudian kedua tangan terjulur ke bawah batu. Hup! Batu terseret kearah pangkuan. Senyum puas mengisi wajah. Kemudian batu diletakkan kembali ke tempatnya semula. Angkatan kedua adalah kosong, tanpa niat apa-apa. Wajah berkerut, urat-urat pelipis menonjol. Batu tidak terangkat, bahkan tidak bergeser sedikitpun. Percobaan ketiga - sesuai arahan juru kunci - kembali diisi dengan niat dan doa. Batu kembali terangkat dan terseret ke pangkuan, seolah tanpa berat.
Saya tidak tertarik untuk mencoba, walaupun berulang kali juru kunci meminta. "Kalau tidak dialami sendiri, sudah menjelaskannya", katanya. Begitu juga tuan rumah kami. "Bagi saya, cukup doa langsung ke Yang Maha Kuasa, sehabis shalat. Tidak perlu petunjuk dari sebongkah batu untuk memberi tanda diterima atau tidak," tandas tuan rumah kami.
Saturday, January 18, 2014
Friday, January 17, 2014
Kelapa Muda Meulaboh
Tidak sulit untuk menemukan kelapa muda di Meulaboh. Di iklim yang panas terik seperti di Meulaboh, penjual kelapa muda bertebaran di berbagai tempat. Ada yang berkeliling dengan menggunakan becak yang dimuati timbunan kelapa muda yang bertandan-tandan, segar baru diturunkan dipohon – ini betul-betul diturunkan, karena jika dijatuhkan, buah kelapa akan lepas dari tandannya – ataupun di warung-warung penjual es kelapa muda. Jika minum air kelapa muda di becak, biasanya airnya asli dari buahnya tanpa campuran apapun. Seringkali bahkan tanpa sedotan, tetapi langsung diminum dari buah kelapa yang dilubangi dengan menggunakan parang yang super tajam. Tidak ada tempat duduk, kelapanya dinikmati sambil berdiri atau jongkok di sebelah becak penjual. Penjualnya dengan sabar akan menunggu sampai selesai, kemudian kelapa akan dibelah untuk menikmati isinya. Tidak ada sendok yang tersedia. Sepotong kulit kelapa yang disayat dengan rapi dan dibersihkan dengan menggosok beberapa kali ke kulit kelapa lainnya yang bekas disayat akan menjadi sendok untuk mencongkel isi buah kelapa. Rasanya luar biasa. Jika minum air kelapa di warung, ada tersedia pilihan-pilihan, apakah mau kelapa bulat ataupun mau kelapa yang sudah diolah. Yang sudah diolah adalah yang sudah tersedia dalam wadah, biasanya sudah diberi gula, jeruk nipis dengan bongkahan-bongkahan es batu di dalamnya. Daging kelapanya biasanya keras, karena yang seringkali hasil dari membelah kelapa yang ditolak oleh pembeli sebelumnya karena daging kelapanya sudah kelewat keras. Dihidangkan dalam gelas, diberi sedotan dan siap untuk dinikmati di kursi panjang warung. Yang bulatpun masih menyisakan pilihan: mau asli seperti apa adanya, ataupun diolah: diberi gula, sirup, jeruk nipis dan es.
Diluar kota, di pinggir jalan juga banyak yang menjual kelapa muda. Harganya lebih murah dibandingkan dengan yang dijual di kota. Jika kebetulan kita betul-betul keluar kota dan sedang ada penduduk yang memanen kelapa, kita bisa minta dipetikkan kelapa muda, dan kelapa muda bisa dinikmati sepuasnya. Tidak ada bayaran tertentu yang diminta, seikhlasnya saja.
Memetik kelapa di Aceh kebanyakan dilakukan oleh manusia. Seutas tali – biasanya terbuat dari kulit kayu waru yang disatukan sehingga membentuk lingkaran – akan dibelitkan ke kaki membentuk angka delapan. Tali ini akan menjadi pijakan kaki pada batang kelapa. Sedangkan tangan biasanya memegang parang tajam, dan ditakikkan ke batang kelapa untuk menarik tubuh sipemanjat ke atas. Cepat dan efisien. Sesampai di atas, pemanjat akan menyelinap di antara pelepah daun dan duduk nyaman diposisi tertentu yang memudahkan dia untuk memotongi tandan-tandan kelapa yang sudah tua. Tandan akan berjatuhan ke bawah, buahnya akan lepas dan berserakan dan akan dikumpulkan nantinya.
Bukan cuma kami yang doyan kelapa muda. Beberapa kali saat melakukan pekerjaan di desa-desa dan kebetulan berjumpa dengan penduduk yang sedang memetik kelapa, kami mengajak Jamie Ashe untuk ikut menikmati kelapa muda langsung di kebun, di bawah pokoknya. Awalnya canggung bagi Jamie untuk ikut berjongkok sambil mencongkeli isi kelapa dengan menggunakan sayatan kulit kelapa, tetapi kemudian diapun ikut menikmatinya.
Diluar kota, di pinggir jalan juga banyak yang menjual kelapa muda. Harganya lebih murah dibandingkan dengan yang dijual di kota. Jika kebetulan kita betul-betul keluar kota dan sedang ada penduduk yang memanen kelapa, kita bisa minta dipetikkan kelapa muda, dan kelapa muda bisa dinikmati sepuasnya. Tidak ada bayaran tertentu yang diminta, seikhlasnya saja.
Memetik kelapa di Aceh kebanyakan dilakukan oleh manusia. Seutas tali – biasanya terbuat dari kulit kayu waru yang disatukan sehingga membentuk lingkaran – akan dibelitkan ke kaki membentuk angka delapan. Tali ini akan menjadi pijakan kaki pada batang kelapa. Sedangkan tangan biasanya memegang parang tajam, dan ditakikkan ke batang kelapa untuk menarik tubuh sipemanjat ke atas. Cepat dan efisien. Sesampai di atas, pemanjat akan menyelinap di antara pelepah daun dan duduk nyaman diposisi tertentu yang memudahkan dia untuk memotongi tandan-tandan kelapa yang sudah tua. Tandan akan berjatuhan ke bawah, buahnya akan lepas dan berserakan dan akan dikumpulkan nantinya.
Bukan cuma kami yang doyan kelapa muda. Beberapa kali saat melakukan pekerjaan di desa-desa dan kebetulan berjumpa dengan penduduk yang sedang memetik kelapa, kami mengajak Jamie Ashe untuk ikut menikmati kelapa muda langsung di kebun, di bawah pokoknya. Awalnya canggung bagi Jamie untuk ikut berjongkok sambil mencongkeli isi kelapa dengan menggunakan sayatan kulit kelapa, tetapi kemudian diapun ikut menikmatinya.
Thursday, January 16, 2014
Wednesday, January 15, 2014
Sesayak Kawa Daun di Batu Sangkar
Hujan gerimis menemani kami saat kami melangkah masuk ke pondok kawa (kopi) daun di pinggir kota Batu Sangkar. Pondok kopi daun tersebut lenggang saat kami masuk, bangku-bangku panjang melompong dari pengunjung. Gundukan gorengan yang diletakkan di semacam etalase kaca sudah menipis, hari memang sudah agak malam.
Duduk di salah satu bangku panjang, kami memesan. Gorengan diantar penjaga warung dalam semacam keranjang yang terbuat dari rotan beralaskan daun pisang. Gorengannya tidak menjanjikan, lembek berminyak, dan sepertinya juga kurang masak. Bukan gorengan pilihan saya. Tetapi itu adalah gorengan daerah sini, nyaris di semua tempat sama.
Kawa daun pesanan kami diantar ke tempat kami duduk. Tempatnya bukan dalam gelas seperti yang saya bayangkan, melainkan dalam sayak - tempurung kelapa yang sudah dibersihkan menyisakan batok kelapa yang hitam dan mengilat. Sebagai alas supaya tempurung tidak terguling, diletakkan potongan bambu setinggi sekitar lima sentimeter.
Menyesap sedikit kawa panas, saya merasakan rasa yang sama sekali berbeda. Tidak seperti kopi, tetapi juga bukan teh. Warnanya memang hitam, tetapi tidak sepekat kopi hitam seperti biasanya. Hitam agak kemerahan. Rasa pendampingnya tergantung pada campuran apa yang dipesan. Tersedia pilihan kopi daun tawar tanpa campuran apa-apa, manis dengan campuran gula tebu ataupun gula aren, atau susu. Kopi kami berasa manis dengan campuran gula. Aroma asap sedikit terasa. "Kopi daun memang diasap", tuan rumah kami, orang asli desa Minangkabau di Batu Sangkar, menjelaskan.
Kopi daun tidak muncul begitu saja. Ini adalah hasil kreativitas saat terpuruk di masa penjajahan Belanda dulu. Konon kabarnya, ketika kopi menjadi komoditas yang sangat berharga bagi penjajah, warga pribumi harus menanam kopi, tetapi terlarang untuk bisa menikmati bijinya. Masyarakat kemudian mengambil daunnya - toh sama-sama dari pohon yang sama - yang kemudian dikeringkan dan disangrai. Rasanya bukan kopi, walaupun nuansa kopi masih terasa.
Berpuluh tahun kemudian, ketika Belanda sudah pergi dan biji kopi sudah boleh dikonsumsi oleh siapa saja, kawa daun malah menjadi bagian dari keseharian. Kawa daun menemani setiap kala, menghabiskan masa senggang dengan bersantai. Saat ini, pondok-pondok kawa daun berjejer mulai dari Payakumbuh sampai ke Batu Sangkar.
Saya melayangkan pandangan ke sekeliling dalam pondok. Bagian depan, dengan dinding rendah menjadi semacam pemisah antara ruangan pengunjung dan tempat etalase gorengan, menjadi tempat penjaga warung mempersiapkan pesanan. Keranjang-keranjang rotan disusun rapi menunggu diisi gorengan. Bagian belakang menjadi semacam dapur, dengan api menyala yang memanasi kuali berisi minyak untuk menggoreng. Sumber panas berasal dari kayu bakar, asap mengepul dan menyebar ke mana-mana. Jelaga hitam menghiasi kasau dan atap yang terbuat dari daun rumbia. Jaring laba-laba bergelayut di atap, juga berselaput jelaga hitam. Jendela besar-besar dibiarkan terbuka, menimbulkan kesan seolah pondok ini tidak berdinding penuh. Beberapa karung berisi tepung terletak di samping dapur, salah satu separuh terisi. Dua orang perempuan muda masih mencelupkan pisang dan ubi ke dalam adonan dalam ember, sebelum dicemplungkan ke dalam kuali yang berisi minyak panas. Malam sepertinya masih panjang.
Beberapa pemuda masuk, mengambil tempat duduk di pojokan dan memesan kawa daun campur susu. Beberapa pengunjung lain datang, mengambil tempat duduk di meja kosong di belakang pondok.
Kawa daun dalam sayak kami sudah habis. Gorengan dalam keranjang rotan sudah berkurang jauh. Rintik hujan sudah hilang. Saatnya untuk pergi.
Duduk di salah satu bangku panjang, kami memesan. Gorengan diantar penjaga warung dalam semacam keranjang yang terbuat dari rotan beralaskan daun pisang. Gorengannya tidak menjanjikan, lembek berminyak, dan sepertinya juga kurang masak. Bukan gorengan pilihan saya. Tetapi itu adalah gorengan daerah sini, nyaris di semua tempat sama.
Kawa daun pesanan kami diantar ke tempat kami duduk. Tempatnya bukan dalam gelas seperti yang saya bayangkan, melainkan dalam sayak - tempurung kelapa yang sudah dibersihkan menyisakan batok kelapa yang hitam dan mengilat. Sebagai alas supaya tempurung tidak terguling, diletakkan potongan bambu setinggi sekitar lima sentimeter.
Menyesap sedikit kawa panas, saya merasakan rasa yang sama sekali berbeda. Tidak seperti kopi, tetapi juga bukan teh. Warnanya memang hitam, tetapi tidak sepekat kopi hitam seperti biasanya. Hitam agak kemerahan. Rasa pendampingnya tergantung pada campuran apa yang dipesan. Tersedia pilihan kopi daun tawar tanpa campuran apa-apa, manis dengan campuran gula tebu ataupun gula aren, atau susu. Kopi kami berasa manis dengan campuran gula. Aroma asap sedikit terasa. "Kopi daun memang diasap", tuan rumah kami, orang asli desa Minangkabau di Batu Sangkar, menjelaskan.
Kopi daun tidak muncul begitu saja. Ini adalah hasil kreativitas saat terpuruk di masa penjajahan Belanda dulu. Konon kabarnya, ketika kopi menjadi komoditas yang sangat berharga bagi penjajah, warga pribumi harus menanam kopi, tetapi terlarang untuk bisa menikmati bijinya. Masyarakat kemudian mengambil daunnya - toh sama-sama dari pohon yang sama - yang kemudian dikeringkan dan disangrai. Rasanya bukan kopi, walaupun nuansa kopi masih terasa.
Berpuluh tahun kemudian, ketika Belanda sudah pergi dan biji kopi sudah boleh dikonsumsi oleh siapa saja, kawa daun malah menjadi bagian dari keseharian. Kawa daun menemani setiap kala, menghabiskan masa senggang dengan bersantai. Saat ini, pondok-pondok kawa daun berjejer mulai dari Payakumbuh sampai ke Batu Sangkar.
Saya melayangkan pandangan ke sekeliling dalam pondok. Bagian depan, dengan dinding rendah menjadi semacam pemisah antara ruangan pengunjung dan tempat etalase gorengan, menjadi tempat penjaga warung mempersiapkan pesanan. Keranjang-keranjang rotan disusun rapi menunggu diisi gorengan. Bagian belakang menjadi semacam dapur, dengan api menyala yang memanasi kuali berisi minyak untuk menggoreng. Sumber panas berasal dari kayu bakar, asap mengepul dan menyebar ke mana-mana. Jelaga hitam menghiasi kasau dan atap yang terbuat dari daun rumbia. Jaring laba-laba bergelayut di atap, juga berselaput jelaga hitam. Jendela besar-besar dibiarkan terbuka, menimbulkan kesan seolah pondok ini tidak berdinding penuh. Beberapa karung berisi tepung terletak di samping dapur, salah satu separuh terisi. Dua orang perempuan muda masih mencelupkan pisang dan ubi ke dalam adonan dalam ember, sebelum dicemplungkan ke dalam kuali yang berisi minyak panas. Malam sepertinya masih panjang.
Beberapa pemuda masuk, mengambil tempat duduk di pojokan dan memesan kawa daun campur susu. Beberapa pengunjung lain datang, mengambil tempat duduk di meja kosong di belakang pondok.
Kawa daun dalam sayak kami sudah habis. Gorengan dalam keranjang rotan sudah berkurang jauh. Rintik hujan sudah hilang. Saatnya untuk pergi.
Tuesday, January 14, 2014
Monday, January 13, 2014
Istano Basa Pagaruyung
Ini untuk pertama kali kami berkunjung ke Istano Basa Pagaruyung setelah dibuka kembali untuk umum. Sepertinya koleksi benda-benda di dalamnya sudah jauh berkurang - terlalu melompong.
Sunday, January 12, 2014
Subscribe to:
Posts (Atom)