Orang-orang berkerumun disekitar beberapa lembar kertas yang ditempel di dinding mushalla. Ternyata itu adalah informasi mengenai asal usul nama tempat ini.
Berikut ini adalah kisah asal usul nama Glee Kuburan Aneuk Manyak, berdasarkan informasi yang dikeluarkan oleh Pemangku Adat Kecamatan Geumpang Pidie.
Sejarah Singkat Kuburan Aneuk Manyak (Kuburan Anak-Anak)
Adapun kuburan yang berada di sini disebut kuburan Aneuk Manyak (kuburan anak-anak), yang pada dasarnya ditempat ini dikuburkan dua mayat, satu diantaranya adalah seorang lelaki dewasa sedangkan seorang lagi adalah mayat anak laki-laki berumur empat tahun. Kedua orang tersebut adalah korban pembunuhan dengan tujuan perampokan, sesuai sumber yang diperoleh. Kejadian ini terjadi sekitar tahun 1935.
Di daerah ini sejak jaman penjajahan Belanda sekitar tahun 1925 telah dibangun jalan setapak yang menghubungkan Kecamatan Geumpang Kabupaten Pidie dengan Kecamatan Sungai Mas (Kabupaten Aceh Barat). Sejak dahulu jalan ini sudah ramai digunakan oleh pejalan kaki, baik oleh serdadu Belanda untuk patroli, maupun oleh pejuang Aceh yang pada saat itu disebut Muslimin, dalam rangka membawa serta mencari informasi antara Pidie dan Meulaboh. Jalan ini juga berfungsi sebagai sarana perekonomian yang pada saat itu sangat menonjol perdagangan ternak hewan (kerbau) yang berasal dari dari daerah pedalaman Meulaboh dipasarkan ke daerah Pidie. Dengan demikian terjadilah perbauran antara masyarakat Meulaboh dengan masyarakat Pidie, yang wujudnya banyak masyarakat Pidie berumah tangga (kawin) di Meulaboh begitu juga sebaliknya yang hingga saat ini kedua daerah tersebut banyak masyarakat yang memiliki ikatan keturunan.
Tersebutlah suatu kisah yaitu seorang laki-laki yang bernama Tgk. Murhaban yang berasal dari Meulaboh (desa asli tidak diketahui) dalam perjalanan pulang pergi antara Meulaboh dan Pidie sekitar tahun 1932 berumah tangga dengan salah seorang perempuan Pidie (Geumpang Keumala) yang bernama Maisarah, dari hasil perkawinan mereka dikaruniai Allah seorang anak laki-laki namun menjelang anak itu berumur 4 tahun, Maisarah (ibunya) meninggal dunia, sejak saat itu tinggallah Tgk. Murhaban berdua dengan anaknya tersebut.
Selang beberapa bulan setelah kematian istrinya kira-kira pertengahan tahun 1935, Tgk Marhaban memutuskan akan pulang dan menetap di Meulaboh. Hal itu disampaikan pada mantan mertuanya. Sesudah mendapatkan persetujuan dari mantan mertua, Tgk Murhaban menjual semua harta bendanya yang tidak bergerak untuk dijadikan uang. Sebagai seorang pengusaha maka ia memiliki banyak uang, emas dan harta harta benda yang akan dibawa pulang Tgk Murhaban ke daerah asalnya Meulaboh.
Atas rencana tersebut Tgk Murhaban memberitahukan kepada seluruh shabat serta teman-temannya. Salah seorang temannya secara sengaja mendatangi Tgk Murhaban untuk menanyakan kapan rencana keberangkatannya. Hal tersebut disambut baik oleh Tgk Murhaban dan ia tidak menaruh curiga walaupun temannya tadi bermaksud tidak baik terhadapnya.
Pada hari yang ditetapkan berangkatlah Tgk Murhaban beserta anaknya ditemani oleh temannya tadi, setelah beberapa hari berjalan maka pada suatu sore rombongan Tgk Murhaban tiba di Geumpang tepatnya di Gampong Bangkeh dan ia langsung mendatagi rumah Geuchik (kepala desa) serta memohon untuk bermalam satu malam di rumah Geuchik, yang pada saat itu Geuchik Gampong Bangkeh dijabat oleh M. Daud. Keesokan harinya setelah diberikan sedikit bekal berupa bu kulah (nasi bungkus) ketiga orang tersebut melanjutkan perjalanan menuju Meulaboh. Tetapi dua hari kemudian teman Tgk Murhaban sudah pulang ke Geumpang dan berjumpa dengan Geuchik M. Daud serta beberapa orang masyarakat lainnya, orang itu menceritakan bahwa ia tidak dapat melanjutkan perjalanannya ke Meulaboh karena badannya terserang demam. Ia khawatir penyakitnya semakin parah, oleh karena itu ia memutuskan untuk pulang ke kampung dan pada hari itu pula orang tersebut meninggalkan Geumpang.
Keesokan harinya di Geumpang datanglah serombongan serdadu Belanda yang berangkat dari Meulaboh menuju Pidie dalam tugas operasi. Setelah sampai di Geumpang tepatnya di Gampong Bangkeh, mereka langsung menjumpai Geuchik dan menanyakan apakah ada diantara masyarakat dalam beberapa hari ini menuju ke Meulaboh. Pimpinan serdadu tersebut menceritakan bahwa mereka melihat ada orang mayat tergeletak di kawasan Neungoh Ukheu Kayee (pendakian akar kayu) dan mereka menyebutkan bahwa mayat tersebut bekas penganiayaan/pembunuhan dan setelah dikumpulkan beberapa informasi yang ada pada saat itu berat dugaan mayat tersebut ialah mayat tgk Murhaban beserta anaknya. Pada hari itu juga atas perintah Ulee Balang melalui Geuchik langsung diperintahkan beberapa orang masyarakat untuk melihat dan menguburkan kedua mayat tersebut. Dua hari kemudian rombongan yang diutus itu sudah kembali ke Geumpang dan langsung melaporkan pada Geuchik bahwa mayat yang baru mereka kebumikan benar mayat Tgk Murhaban beserta anaknya yang meninggal akibat penganiayaan (lehernya digorok). Karena sudah agak membusuk kedua mayat tersebut dikebumikan dalam satu lubang.
Hal tersebut oleh Geuchik dilaporkan kepada Ulee Balang yang untuk selanjutnya diadakan penyelidikan dan setelah terkumpul beberapa informasi, berat dugaan yang membunuh Tgk Murhaban adalah temannya sendiri. Maka atas dasar tersebut ditangkaplah teman yang menemani Tgk Murhaban tempoh hari, ternyata sesudah diperiksa secara teliti orang tersebut mengaku sesungguhnya benar ia yang membunuh Tgk Murhaban dengan tujuan perampokan harta benda yang dibawa Tgk Murhaban. Maka atas pengakuan tersebut ia dijatuhi hukuman.
Atas dasar tersebut maka banyak orang menganggap kuburan ini adalah kuburan keramat karena merupakan kuburan anak-anak yang dianiaya.
Demikianlah sejarah singkat tentang kuburan ini yang dapat disajikan mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua.
Geumpang, tgl 6 Ramadhan 1425H/10 Oktober 2005.
Penulis,
Pemangku Adat Kecamatan Geumpang, Pidie.
Catatan: Sumber:
Wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat yang pernah hidup di zaman penjajahan Belanda dan zaman kemerdekaan
Wawancara dengan keluarga Almarhum M. Daud (Geuchik Gampong Bangkeh sejak tahun 1934 sampai dengan 1963)
Sejak April 2005 saya sudah berkali-kali melewati dan singgah di tempat ini, tetapi baru kali ini ada informasi yang dikeluarkans ecara resmi mengenai asal usul nama Glee Kuburan Aneuk Manyak. Selama ini yang sering saya dengar adalah berbagai versi cerita yang berbeda dari sesama penumpang bus.
Perjalanan dari Glee Aneuk Manyak ke Tutut tidak begitu berat lagi. Ada satu tanjakan yang kami khawatirkan susah untuk dilewati, ternyata bisa kami lewati dengan gampang, sambil juga menarik sebuah L-300. Jalanan sudah berubah menjadi kubangan berlumpur. Sebuah FJ40 (Toyota Hardtop) sibuk menarik kenderaan ke atas. Kabarnya dipungut bayaran Rp. 50000 per L-300 yang ditarik. Setelah beberapa tanjakan kecil lainnya yang bisa dilewati dengan gampang, kamipun mencapai jalan kerikil berbatu yang sudah dipadatkan. Perjalananpun menjadi nyaman, walaupun tidak bisa kencang karena hujan kembali turun dengan lebatnya. Setengah jam kemudian, kami mencapai jalan yang beraspal, dan Juantopun bisa tidur dengan pulas dibangku belakang. Kiri kanan jalan merupakan hutan yang sunyi. Tidak ada perkampungan penduduk disini sampai mendekati wilayah Tutut. Sesekali kami lewati pondok-pondok pencari hasil hutan di pinggir jalan. Kadang juga ada tumpukan-tumpukan kayu olahan menunggu pengangkutan.
Tutut kami lewati dalam hujan lebat. Rencananya kami akan makan malam di Padang Sikabu, sebuah kota kecil antara Tutut dan Meulaboh. Terletak di jalan lintas Meulaboh Tutut dan dikelilingi oleh perkebunan, kota ini menjadi ramai. Kenderaan-kenderaan yang melintas dari Meulaboh kebanyakan berhenti di sini pada waktu makan. Kebiasaan buruk pedagang muncul, harga menjadi tidak wajar, karena penjual menjadi paham bagaimana menganiaya pembeli dengan harga tinggi. Bagaimana tidak, makan malam kami bertiga dihargai satu setengah kali harga di Meulaboh yang terkenal dengan harga-harga makanan yang mahal. Saat kami minta bon, pelayan menjadi kebingungan memperinci harga, supaya cocok dengan harga total yang asal sebut saja.
Sekitar jam 10 malam kami memasuki kota Meulaboh, yang sudah sunyi, ditambah lagi cuaca dingin yang membuat orang malas keluar rumah. Jalanan berkilat bekas hujan. Kami langsung menuju ke Lab air CRS di kantor Dinas Kesehatan Aceh Barat. Rasa puas melanda setelah kembali dari perjalanan panjang selama seminggu – Meulaboh – Subusssalam – Singkil – Subussalam – Medan – Sigli – Beureunuen - Geumpang – Meulaboh. Tinggal sekarang mempersiapkan laporan untuk Ross dan pertanggungjawaban dana dengan Department Finance. Esok hari adalah hari Senin – berarti segalanya harus kami siapkan malam ini. Berarti kami harus menunda istirahat lagi untuk malam ini ...
Berikut ini adalah kisah asal usul nama Glee Kuburan Aneuk Manyak, berdasarkan informasi yang dikeluarkan oleh Pemangku Adat Kecamatan Geumpang Pidie.
Sejarah Singkat Kuburan Aneuk Manyak (Kuburan Anak-Anak)
Adapun kuburan yang berada di sini disebut kuburan Aneuk Manyak (kuburan anak-anak), yang pada dasarnya ditempat ini dikuburkan dua mayat, satu diantaranya adalah seorang lelaki dewasa sedangkan seorang lagi adalah mayat anak laki-laki berumur empat tahun. Kedua orang tersebut adalah korban pembunuhan dengan tujuan perampokan, sesuai sumber yang diperoleh. Kejadian ini terjadi sekitar tahun 1935.
Di daerah ini sejak jaman penjajahan Belanda sekitar tahun 1925 telah dibangun jalan setapak yang menghubungkan Kecamatan Geumpang Kabupaten Pidie dengan Kecamatan Sungai Mas (Kabupaten Aceh Barat). Sejak dahulu jalan ini sudah ramai digunakan oleh pejalan kaki, baik oleh serdadu Belanda untuk patroli, maupun oleh pejuang Aceh yang pada saat itu disebut Muslimin, dalam rangka membawa serta mencari informasi antara Pidie dan Meulaboh. Jalan ini juga berfungsi sebagai sarana perekonomian yang pada saat itu sangat menonjol perdagangan ternak hewan (kerbau) yang berasal dari dari daerah pedalaman Meulaboh dipasarkan ke daerah Pidie. Dengan demikian terjadilah perbauran antara masyarakat Meulaboh dengan masyarakat Pidie, yang wujudnya banyak masyarakat Pidie berumah tangga (kawin) di Meulaboh begitu juga sebaliknya yang hingga saat ini kedua daerah tersebut banyak masyarakat yang memiliki ikatan keturunan.
Tersebutlah suatu kisah yaitu seorang laki-laki yang bernama Tgk. Murhaban yang berasal dari Meulaboh (desa asli tidak diketahui) dalam perjalanan pulang pergi antara Meulaboh dan Pidie sekitar tahun 1932 berumah tangga dengan salah seorang perempuan Pidie (Geumpang Keumala) yang bernama Maisarah, dari hasil perkawinan mereka dikaruniai Allah seorang anak laki-laki namun menjelang anak itu berumur 4 tahun, Maisarah (ibunya) meninggal dunia, sejak saat itu tinggallah Tgk. Murhaban berdua dengan anaknya tersebut.
Selang beberapa bulan setelah kematian istrinya kira-kira pertengahan tahun 1935, Tgk Marhaban memutuskan akan pulang dan menetap di Meulaboh. Hal itu disampaikan pada mantan mertuanya. Sesudah mendapatkan persetujuan dari mantan mertua, Tgk Murhaban menjual semua harta bendanya yang tidak bergerak untuk dijadikan uang. Sebagai seorang pengusaha maka ia memiliki banyak uang, emas dan harta harta benda yang akan dibawa pulang Tgk Murhaban ke daerah asalnya Meulaboh.
Atas rencana tersebut Tgk Murhaban memberitahukan kepada seluruh shabat serta teman-temannya. Salah seorang temannya secara sengaja mendatangi Tgk Murhaban untuk menanyakan kapan rencana keberangkatannya. Hal tersebut disambut baik oleh Tgk Murhaban dan ia tidak menaruh curiga walaupun temannya tadi bermaksud tidak baik terhadapnya.
Pada hari yang ditetapkan berangkatlah Tgk Murhaban beserta anaknya ditemani oleh temannya tadi, setelah beberapa hari berjalan maka pada suatu sore rombongan Tgk Murhaban tiba di Geumpang tepatnya di Gampong Bangkeh dan ia langsung mendatagi rumah Geuchik (kepala desa) serta memohon untuk bermalam satu malam di rumah Geuchik, yang pada saat itu Geuchik Gampong Bangkeh dijabat oleh M. Daud. Keesokan harinya setelah diberikan sedikit bekal berupa bu kulah (nasi bungkus) ketiga orang tersebut melanjutkan perjalanan menuju Meulaboh. Tetapi dua hari kemudian teman Tgk Murhaban sudah pulang ke Geumpang dan berjumpa dengan Geuchik M. Daud serta beberapa orang masyarakat lainnya, orang itu menceritakan bahwa ia tidak dapat melanjutkan perjalanannya ke Meulaboh karena badannya terserang demam. Ia khawatir penyakitnya semakin parah, oleh karena itu ia memutuskan untuk pulang ke kampung dan pada hari itu pula orang tersebut meninggalkan Geumpang.
Keesokan harinya di Geumpang datanglah serombongan serdadu Belanda yang berangkat dari Meulaboh menuju Pidie dalam tugas operasi. Setelah sampai di Geumpang tepatnya di Gampong Bangkeh, mereka langsung menjumpai Geuchik dan menanyakan apakah ada diantara masyarakat dalam beberapa hari ini menuju ke Meulaboh. Pimpinan serdadu tersebut menceritakan bahwa mereka melihat ada orang mayat tergeletak di kawasan Neungoh Ukheu Kayee (pendakian akar kayu) dan mereka menyebutkan bahwa mayat tersebut bekas penganiayaan/pembunuhan dan setelah dikumpulkan beberapa informasi yang ada pada saat itu berat dugaan mayat tersebut ialah mayat tgk Murhaban beserta anaknya. Pada hari itu juga atas perintah Ulee Balang melalui Geuchik langsung diperintahkan beberapa orang masyarakat untuk melihat dan menguburkan kedua mayat tersebut. Dua hari kemudian rombongan yang diutus itu sudah kembali ke Geumpang dan langsung melaporkan pada Geuchik bahwa mayat yang baru mereka kebumikan benar mayat Tgk Murhaban beserta anaknya yang meninggal akibat penganiayaan (lehernya digorok). Karena sudah agak membusuk kedua mayat tersebut dikebumikan dalam satu lubang.
Hal tersebut oleh Geuchik dilaporkan kepada Ulee Balang yang untuk selanjutnya diadakan penyelidikan dan setelah terkumpul beberapa informasi, berat dugaan yang membunuh Tgk Murhaban adalah temannya sendiri. Maka atas dasar tersebut ditangkaplah teman yang menemani Tgk Murhaban tempoh hari, ternyata sesudah diperiksa secara teliti orang tersebut mengaku sesungguhnya benar ia yang membunuh Tgk Murhaban dengan tujuan perampokan harta benda yang dibawa Tgk Murhaban. Maka atas pengakuan tersebut ia dijatuhi hukuman.
Atas dasar tersebut maka banyak orang menganggap kuburan ini adalah kuburan keramat karena merupakan kuburan anak-anak yang dianiaya.
Demikianlah sejarah singkat tentang kuburan ini yang dapat disajikan mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua.
Geumpang, tgl 6 Ramadhan 1425H/10 Oktober 2005.
Penulis,
Pemangku Adat Kecamatan Geumpang, Pidie.
Catatan: Sumber:
Wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat yang pernah hidup di zaman penjajahan Belanda dan zaman kemerdekaan
Wawancara dengan keluarga Almarhum M. Daud (Geuchik Gampong Bangkeh sejak tahun 1934 sampai dengan 1963)
Sejak April 2005 saya sudah berkali-kali melewati dan singgah di tempat ini, tetapi baru kali ini ada informasi yang dikeluarkans ecara resmi mengenai asal usul nama Glee Kuburan Aneuk Manyak. Selama ini yang sering saya dengar adalah berbagai versi cerita yang berbeda dari sesama penumpang bus.
Perjalanan dari Glee Aneuk Manyak ke Tutut tidak begitu berat lagi. Ada satu tanjakan yang kami khawatirkan susah untuk dilewati, ternyata bisa kami lewati dengan gampang, sambil juga menarik sebuah L-300. Jalanan sudah berubah menjadi kubangan berlumpur. Sebuah FJ40 (Toyota Hardtop) sibuk menarik kenderaan ke atas. Kabarnya dipungut bayaran Rp. 50000 per L-300 yang ditarik. Setelah beberapa tanjakan kecil lainnya yang bisa dilewati dengan gampang, kamipun mencapai jalan kerikil berbatu yang sudah dipadatkan. Perjalananpun menjadi nyaman, walaupun tidak bisa kencang karena hujan kembali turun dengan lebatnya. Setengah jam kemudian, kami mencapai jalan yang beraspal, dan Juantopun bisa tidur dengan pulas dibangku belakang. Kiri kanan jalan merupakan hutan yang sunyi. Tidak ada perkampungan penduduk disini sampai mendekati wilayah Tutut. Sesekali kami lewati pondok-pondok pencari hasil hutan di pinggir jalan. Kadang juga ada tumpukan-tumpukan kayu olahan menunggu pengangkutan.
Tutut kami lewati dalam hujan lebat. Rencananya kami akan makan malam di Padang Sikabu, sebuah kota kecil antara Tutut dan Meulaboh. Terletak di jalan lintas Meulaboh Tutut dan dikelilingi oleh perkebunan, kota ini menjadi ramai. Kenderaan-kenderaan yang melintas dari Meulaboh kebanyakan berhenti di sini pada waktu makan. Kebiasaan buruk pedagang muncul, harga menjadi tidak wajar, karena penjual menjadi paham bagaimana menganiaya pembeli dengan harga tinggi. Bagaimana tidak, makan malam kami bertiga dihargai satu setengah kali harga di Meulaboh yang terkenal dengan harga-harga makanan yang mahal. Saat kami minta bon, pelayan menjadi kebingungan memperinci harga, supaya cocok dengan harga total yang asal sebut saja.
Sekitar jam 10 malam kami memasuki kota Meulaboh, yang sudah sunyi, ditambah lagi cuaca dingin yang membuat orang malas keluar rumah. Jalanan berkilat bekas hujan. Kami langsung menuju ke Lab air CRS di kantor Dinas Kesehatan Aceh Barat. Rasa puas melanda setelah kembali dari perjalanan panjang selama seminggu – Meulaboh – Subusssalam – Singkil – Subussalam – Medan – Sigli – Beureunuen - Geumpang – Meulaboh. Tinggal sekarang mempersiapkan laporan untuk Ross dan pertanggungjawaban dana dengan Department Finance. Esok hari adalah hari Senin – berarti segalanya harus kami siapkan malam ini. Berarti kami harus menunda istirahat lagi untuk malam ini ...
Membaca sejarah Kubu Aneuek Manyak
Kenderaan tangguh untuk medan yang berat...
Antri menunggu ditarik satu persatu di pendakian terjal dan licin
Antri menunggu ditarik satu persatu di pendakian terjal dan licin
No comments:
Post a Comment