Sunday, September 11, 2011

Museum Tsunami Aceh

Akhirnya niat kami untuk ke Museum Tsunami Aceh kesampaian juga. Terletak di Jalan Iskandar Muda di depan Taman Sari seputaran Blang Padang di Banda Aceh, Museum Tsunami gampang diakses dari berbagai arah. Cuma sayang sekali, jalur masuk dan keluar ke lokasi museum hanya ada satu, sehingga seringkali menimbulkan antrian kenderaan masuk saat ada kenderaan yang keluar.

Tidak ada tiket masuk yang diperlukan. Kenderaan bisa diparkir di belakang gedung atau di lokasi jalan masuk, asal tetap menyisakan ruang untuk kenderaan lain melintas. Saat keluar dari lokasi museum petugas mengutip biaya parkir sebesar dua ribu rupiah untuk kenderaan roda empat. Museum dibuka pada hari Senin-Kamis dan Sabtu-Minggu dari pukul 9.00-12.00 dan 14.00-16.30. Sedangkan hari Jum’at museum ditutup.

Di sudut lokasi museum, sebuah truk reo IFRC (International Federation of Red Cross and Red Crescent) terparkir, menjadi monumen. Truk berwarna putih dengan bak belakang beratap terpal nampak gagah. Truk ini pernah menempuh berbagai lokasi sulit saat masa darurat pasca tsunami dulu.

Persis di depan pintu masuk, dipajang helikopter polisi yang kondisinya hancur. Dulu helikopter ini berada di kantor Brimob Jeulingke ketika tsunami melanda.

Segala jenis tas tidak diperbolehkan untuk dibawa masuk ke dalam museum. Makanan dan minuman juga tidak boleh dibawa ke dalam. Seorang petugas mengingatkan saya karena saya menyandang tas kamera. Jadi saya pergi ke penitipan barang untuk menitipkan tas kamera. Seorang ibu-ibu menghabiskan minuman botolannya dengan tergesa-gesa, kemudian menyusul rombongannya yang sudah terlebih dahulu memasuki museum.

Menyusuri lorong tsunami yang nyaris gelap total, sayup sayup terdengar gemuruh air. Lantunan ayat suci Al Quran membuat suasana menjadi miris, sedih, mencekam dan membuat hati menjadi berdebar-debar. Di dinding di kedua sisi, air meluncur ke bawah, ditambah dengan rintikan air yang jatuh dari atas menambah suasana hati menjadi tidak karuan. Saya berusaha melindungi kamera dari tetesan air dengan memasukkan ke dalam baju.Lorong tsunami ini di rancang untuk membuat pengunjung untuk bisa membayangkan suasana dahsyat tsunami yang meluluh lantakkan sebagian besar pesisir Aceh akhir tahun 2004 lalu. Di akhir lorong, terdapat ruangan Memorian Hall, yang berisi monitor-monitor yang terus menerus menyajikan gambar diam berupa foto slide dari berbagai daerah di Aceh sehabis tsunami. Dinding Memorial Hall semuanya terbuat dari kaca pantul, sehingga ruangan terkesan sangat luas. Cahaya dibuat remang-remang. Musik latar belakang dari penyanyi Aceh Rafly lamat-lamat berirama meratap-ratap naik turun, menimbulkan suasana sendu yang semakin kentara.

Keluar dari Memorial Hall, di sebelah kiri ada pintu masuk ke Sumur Doa, Chamber of Blessing. Ruangan tersebut berupa cerobong besar berwarna abu-abu gelap yang tinggi menjulang. Cahaya redup menyinari nama-nama yang terpampang di dinding, ribuan nama korman tsunami yang berhasil dikenali. Di ujung cerobong, cahaya terang menerangi lafadz Allah dalam huruf Arab yang besar. Light of God. Keluar dari Chamber of Blessing, saya melintasi jalan berliku Lorong Kebingungan. Lorong ini menggambarkan kondisi kebingungan rakyat Aceh sehabis bencana tsunami, diperparah dengan kondisi konflik bersenjata yang tak pernah usai. Namum, pasca bencana tsunami, rakyat Aceh mendapatkan suasana yang penuh damai, yang digambarkan dalam Jembatan Perdamaian.

Melintasi Jempatan Perdamaian, di atas, lokasi tertinggi yang benderang oleh cahaya alam, terdapat bendera berbagai negara tulisan dalam berbagai bahasa seperti Paz, Peace, Fred, Vrede, Pace, Paix yang berartikan satu kata "damai". Sangat indah. Di bagian bawah jembatan, terdapat kolam ikan yang luas di lantai satu museum. Di pinggir kolam, terdapat deretan prasati berupa bola-bola semen berukuran besar yang bertuliskan nama-nama berbagai negara yang memberikan bantuan saat terjadi bencana di Aceh. Jembatan Perdamaian membawa pengunjung ke lantai 2 museum. Diujung Jembatan Perdamaian terdapat semacam lobbi, yang berisikan meja-meja dan kursi-kursi. Ada kafe kecil di sebelahnya, dan pengunjung bisa memesan makanan dan minuman kecil. Maket museum yang sangat detil ditampikand di atas sebuah meja besar. Di sebelah kiri, di dinding terpampang peta Aceh dalam bentuk relief timbul. Ukurannya begitu besar memenuhi nyaris seluruh dinding. Berbagai kota besar di Aceh ditampilkan, begitu juga dengan kontur alam Aceh disajikan dengan detil.

Di arah kanan, terdapat bioskop berkapasitas sekitar dua puluhan penonton memutar film pendek. Filmnya hanya berdurasi sekitar delapan menit, berupa film dokumenter saat gempa dan tsunami melanda berbagai daerah di Aceh. Film tersebut juga menampilkan masa-masa darurat pasca tsunami, penanganan dan evakuasi korban, dan keterlibatan berbagai pihak untuk memberi bantuan.

Di sebelahnya terdapat ruang display yang menampilkan rekam jejak kejadian tsunami 2004. Terdapat foto-foto suasana di berbagai tempat di Aceh sebelum tsunami, saat tsunami dan siehabis tsunami. Begitu mencekam, begitu mengerikan. Seorang warga negara asing yang sudah berumur menatap lekat foto-foto mengerikan mayat-mayat yang bergelimpangan tak terurus di sela-sela kapal.

Diruangan lainnya ditampilkan berbagai artefak jejak tsunami. Sebuah jam lonceng besar yang sudah rusak sumbangan dari seorang warga di Ajun menunjukkan waktu saat tsunami melanda, yang menyebabkan jam tersebut mati. Ada sepeda motor dalam kondisi rusak, sepeda dan lain-lain. Juga terdapat beberapa diorama yang menggambarkan kondisi saat-saat tsunami melanda, dengan detil kepanikan warga yang melarikan diri dari amukan onbak raksasa.

Keluar dari ruangan display, terdapat tangga yang menuju ke lantai tiga. Di sini terdapat ruangan yang menampilkan berbagai informasi mengenai gempa dan tsunami. Pengunjung juga bisa merasakan suasana gempa pada alat simulasi gempa. Kekuatan gempa bisa diatur pada berbagai tingkatan. Pembelajaran soal gempa dan tsunami bisa dirasakan dengan media empat dimensi. Sayang, tayangan empat dimensi sedang rusak sehingga pengunjung tidak bisa menikmatinya.Juga terdapat ruang perpustakaan yang berisikan berbagai informasi berupa materi cetakan. Sebuah toko suvenir menjual berbagai benda khas Aceh untuk tanda mata. Saat melongok keruangan "Donor", hanya didapati ruangan yang nyaris kosong. Beberapa papan display menampilkan kegiatan organisasi kemanusiaan Palang dan Bulan Sabit Merah selama bekerja di Aceh. Dulu begitu banyak organisasi kemanusiaan yang bekerja di Aceh - mungkin mencapai seratusan - dari dalam dan luar negeri, besar dan kecil, tetapi tidak ada satupun informasi mengenai mereka.

Mengunjungi museum ini membangkitkan kembali kenangan saat gempa dan tsunami meluluh lantakkan sebagian besar pesisir Aceh pada 26 November 2004 lalu. Kenangan buruk yang tidak pernah diinginkan oleh semua orang, trauma batin yang tidak akan pernah terlupakan, dan justru memberi kekuatan baru bagi siapapun yang bisa mengambil hikmahnya.

Lokasi parkir Museum Tsunami

Truk reo IFRC

Helikopter polisi yang hancur di asrama Brimob Jeulingke sewaktu tsunami

Pintu masuk lorong tsunami

Lorong tsunami

Memorial Hall

Mengamati foto di Memorial Hall

Pintu masuk sumur doa

Nama-nama di dinding sumur doa

Light of God

Lorong Kebingungan

Jembatan Perdamaian

Bendera dan tulisan dalam berbagai bahasa yang berarti "damai"

Kolam ikan di bawah Jembatan Perdamaian

Prasasti berisi nama negara pemberi bantuan di sekeliling kolam ikan

Maket museum

Peta Aceh di dinding

Ruangan pemutaran film dokumenter tsunami Aceh

Display rekam jejak tsunami Aceh 2004

Display rekam jejak tsunami Aceh 2004

Display rekam jejak tsunami Aceh 2004

Display rekam jejak tsunami Aceh 2004

Display rekam jejak tsunami Aceh 2004

Display rekam jejak tsunami Aceh 2004

Artefak tsunami

Artefak tsunami

Artefak tsunami

Diorama tsunami Aceh 2004

Diorama tsunami Aceh 2004

Diorama tsunami Aceh 2004

Diorama tsunami Aceh 2004

Diorama tsunami Aceh 2004

Diorama tsunami Aceh 2004

Ruangan pembelajaran gempa dan tsunami

Model bangunan tahan gempa


No comments:

Post a Comment