30 Nopember 2005. Hari ini kembali melakukan perjalanan ke Kecamatan Danau Paris, dengan tujuan air terjun dan danau. Semalam, berdasarkan data-data GPS yang ada, kami mencoba melacak posisi air terjun dan danau. Tidak terlalu jauh dari jalan besar nampaknya. Danau nampak sebagai bayangan berwarna gelap di peta.
Perjalanan kami mulai pagi hari setelah sarapan. Tidak ada yang diburu. Langit cerah, dengan sedikit awan menghiasi warna biru gelap langit. Di Kecamatan Singkil Utara, kami berhenti di sebuah rumah makan. Sambil membeli perbekalan untuk makan siang, kami mengumpulkan beberapa sampel dari sumur-sumur yang berdekatan. Air sumur cukup jernih. Nampaknya air di sini tidak menjadi masalah. Mencapai Kecamatan Danau Paris, kami menanyakan kepada penduduk lokasi air terjun. Mobil masuk ke jalan setapak sampai pada titik tidak bisa lewat lagi karena jalan terhalang sebatang pohon yang tumbang melintang jalan. Jadi kami turun untuk berjalan kaki. Jalan setapak semakin lama semakin kecil, kadang kala becek berlumpur. Potongan-potongan kayu dihamparkan untuk tempat berpijak. Tiba-tiba saja kami disambut sungai dengan air keruh kecoklatan. Potongan kayu melintang jembatan sudah tenggelam dalam air dan sepotong kayu lainnya di bagian atas dimaksudkan sebagai pegangan untuk penyeberang. Dua orang pencari kayu datang menghampiri kami. Seorang yang lebih tua, tidak berbaju, hanya bercelana pendek. Namanya Benny Berasa. Seorang lagi lebih muda, juga tidak berbaju. Badan mereka berotot dan kekar. Mahyiddin berbicara dengan mereka dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Benny mengangguk-ngangguk. Mahyiddin mengatakan kepada kami bahwa Benny bersedia mengantar kami ke air terjun.
Menyeberang sungai cukup mengkhawatirkan karena saya tidak bisa berenang. Benny dengan tangkas menyeberang dengan berpijak pada kayu. Saya mencoba berpijak pada kayu yang tenggelam pada kedalaman sepinggang. Tiba-tiba saya terpeleset dan jatuh lebih dalam ke air. Airnya setinggi dada, hampir mencapai leher. Juanto dan Anto ketawa melihat keadaan saya yang panik mencoba menyelamatkan barang-barang yang pantang kena air.
Bukit curam menanti di depan kami. Sebelah kanan, jauh di bawah, nampak padi ladang yang menghijau. Sebelah kanan kami hutan dengan pohon-pohon besar menghalangi cahaya matahari. Jalanan curam dan licin. Saya mengambil sepotong kayu dari tanah untuk dipakai sebagai tongkat.
Terletak di antara dua bukit, air terjun berasal dari anak-anak sungai yang mengalir dari sela batu-batu besar yang berlumut, dan berakhir di Sungai Sikoran. Dengan tangkas Benny dan Juanto memanjat ke batu besar di seberang. Saya memilih tinggal tidak menyeberang karena khawatir. Air semakin banyak, membentuk sungai kecil. Tiba-tiba saja, bukit menghilang, nyaris tegak lurus ke bawah, membentuk air terjun setinggi lebih dari lima puluh meter. Bunyinya menderu membelah belantara yang senyap. Juanto turun ke arah air terjun untuk mengambil sampel. Tindakan yang cukup berbahaya tanpa alat pengaman, karena bebatuan licin berlumut dengan tebing nyaris tegak lurus setinggi puluhan meter ke bawah.
Kami beristirahat di situ untuk beberapa lama. Kemudian kami mengucapkan terima kasih kepada Benni Berasa dan pamitan. Jalan pulang adalah jalan yang sama, yang sekarang terasa lebih dekat. Tidak perlu lagi turun ke sungai untuk menyeberang, karena berjarak sekitar seratus meter dari situ ada jembatan dari pohon kayu besar.
Dari air terjun, perjalanan kami teruskan ke danau Paris. Tidak ada yang tahu persis lokasi tersebut, termasuk Mahyiddin. Informasi yang kami peroleh hanya sekedar hasil tanya jawab dengan orang-orang yang lewat. “Tidak terlalu jauh lagi, ke arah sana.”.”Oh, jalannya bagus, bisa dilewati mobil. Dulu itu jalan untuk truk-truk kayu”. Jadi berbekal keyakinan dan rasa khawatir kami meneruskan perjalanan. Bukit-bukit gundul dengan tanah kuning kemerahan membentang. Semak belukar tumbuh dengan segan, sisa kejayaan masa penggundulan hutan. Sekarang, semuanya lebih ketat: kilang-kilang kayu tanpa aktivitas, dipagari dengan garis kuning polisi. Tetapi, di depan sebuah kilang penggergajian kayu, sisa-sisa kayu segar terhampar di sekeliling. Nampaknya kegiatan dialihkan menjadi malam hari.
Jalan semakin mendaki dan sempit, basah oleh sisa hujan semalam. Mahyiddin lebih berhati-hati dalam mengemudi. Di satu tempat penggergajian kayu yang sudah ditinggalkan, kami terpuruk dalam lumpur dan tidak bisa bergerak lagi. Nampaknya, Mahyiddin telah salah memperhitungkan kedalaman lubang yang berisi genangan air. Kami mengambil potongan-potongan kayu untuk dimasukkan ke bawah roda yang sudah didongkrak. Seorang warga yang kebetulan lewat ikut membantu. Setelah keringat bercucuran dan baju habis berlepotan lumpur, akhirnya mobil bisa lepas dari lubang. Anto bertindak bijaksana untuk mencegah mobil kembali terpuruk, di setiap genangan air dan lumpur yang mencurigakan ia menusuk-nusuk dengan parang untuk mengukur kedalamannya.
Jalan semakin sempit sekarang. Semak-semak berduri tumbuh rapat di kiri kanan jalan. Badan jalan hanya seukuran satu mobil. Bisa dipastikan akan sangat kesulitan jika ada kenderaan yang melintas dari arah yang berlawanan. Beberapa ratus meter kemudian, semak-semak menghilang. Tanah merah bercampur dengan bongkahan-bongkahan hitam, dengan tekstur seperti kayu. Di badan jalan juga ada bongkahan-bongkahan seperti itu. Kami turun dan mengamati. Benda tersebut kemungkinan adalah batubara.
Jalanan tidak bisa lagi disebut sebagal jalan sekarang. Alur roda kenderaan berat membuat lubang dalam dan meninggalkan gundukan tinggi di tengan jalan. Beberapa kali bagian bawah kenderaan kami tersangkut dan harus mundur supaya bisa lewat. Di satu tempat, lubang bekas roda sangat dalam. Mustahil kenderaan kami bisa lewat. Keputusan diambil untuk kembali. Mahyiddin memutar kembali kenderaan kearah kami datang. Danau Paris tidak pernah kami lihat langsung dengan mata.
Hari sudah mendekati jam tiga sekarang. Perut sudah keroncongan dari tadi minta diisi. Di pinggir jalan yang teduh, kami berhenti dan membuka bekal. Semuanya makan dengan lahap, kecapekan dan kelaparan, dengan nyaris sekujur tubuh tertutup lumpur yang sudah mengering sekarang. Angin semilir berhembus menimbulkan kantuk. Semuanya berbaring sebentar, dan sebelum kami menyadarinya, kami sudah jatuh tertidur.
Ada kira-kira satu jam kami tertidur. Menjelang jam empat, kami melanjutkan kembali perjalanan kembali ke Singkil. Analisa semua sampel harus kami tuntaskan sebelum tengah malam, karena rencananya malam ini kami akan bertolak ke Medan. Anto bisa beristirahat sementara kami bekerja, mengumpulkan tenaga untuk menyupir ke Medan.
Perjalanan kami mulai pagi hari setelah sarapan. Tidak ada yang diburu. Langit cerah, dengan sedikit awan menghiasi warna biru gelap langit. Di Kecamatan Singkil Utara, kami berhenti di sebuah rumah makan. Sambil membeli perbekalan untuk makan siang, kami mengumpulkan beberapa sampel dari sumur-sumur yang berdekatan. Air sumur cukup jernih. Nampaknya air di sini tidak menjadi masalah. Mencapai Kecamatan Danau Paris, kami menanyakan kepada penduduk lokasi air terjun. Mobil masuk ke jalan setapak sampai pada titik tidak bisa lewat lagi karena jalan terhalang sebatang pohon yang tumbang melintang jalan. Jadi kami turun untuk berjalan kaki. Jalan setapak semakin lama semakin kecil, kadang kala becek berlumpur. Potongan-potongan kayu dihamparkan untuk tempat berpijak. Tiba-tiba saja kami disambut sungai dengan air keruh kecoklatan. Potongan kayu melintang jembatan sudah tenggelam dalam air dan sepotong kayu lainnya di bagian atas dimaksudkan sebagai pegangan untuk penyeberang. Dua orang pencari kayu datang menghampiri kami. Seorang yang lebih tua, tidak berbaju, hanya bercelana pendek. Namanya Benny Berasa. Seorang lagi lebih muda, juga tidak berbaju. Badan mereka berotot dan kekar. Mahyiddin berbicara dengan mereka dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Benny mengangguk-ngangguk. Mahyiddin mengatakan kepada kami bahwa Benny bersedia mengantar kami ke air terjun.
Menyeberang sungai cukup mengkhawatirkan karena saya tidak bisa berenang. Benny dengan tangkas menyeberang dengan berpijak pada kayu. Saya mencoba berpijak pada kayu yang tenggelam pada kedalaman sepinggang. Tiba-tiba saya terpeleset dan jatuh lebih dalam ke air. Airnya setinggi dada, hampir mencapai leher. Juanto dan Anto ketawa melihat keadaan saya yang panik mencoba menyelamatkan barang-barang yang pantang kena air.
Bukit curam menanti di depan kami. Sebelah kanan, jauh di bawah, nampak padi ladang yang menghijau. Sebelah kanan kami hutan dengan pohon-pohon besar menghalangi cahaya matahari. Jalanan curam dan licin. Saya mengambil sepotong kayu dari tanah untuk dipakai sebagai tongkat.
Terletak di antara dua bukit, air terjun berasal dari anak-anak sungai yang mengalir dari sela batu-batu besar yang berlumut, dan berakhir di Sungai Sikoran. Dengan tangkas Benny dan Juanto memanjat ke batu besar di seberang. Saya memilih tinggal tidak menyeberang karena khawatir. Air semakin banyak, membentuk sungai kecil. Tiba-tiba saja, bukit menghilang, nyaris tegak lurus ke bawah, membentuk air terjun setinggi lebih dari lima puluh meter. Bunyinya menderu membelah belantara yang senyap. Juanto turun ke arah air terjun untuk mengambil sampel. Tindakan yang cukup berbahaya tanpa alat pengaman, karena bebatuan licin berlumut dengan tebing nyaris tegak lurus setinggi puluhan meter ke bawah.
Kami beristirahat di situ untuk beberapa lama. Kemudian kami mengucapkan terima kasih kepada Benni Berasa dan pamitan. Jalan pulang adalah jalan yang sama, yang sekarang terasa lebih dekat. Tidak perlu lagi turun ke sungai untuk menyeberang, karena berjarak sekitar seratus meter dari situ ada jembatan dari pohon kayu besar.
Dari air terjun, perjalanan kami teruskan ke danau Paris. Tidak ada yang tahu persis lokasi tersebut, termasuk Mahyiddin. Informasi yang kami peroleh hanya sekedar hasil tanya jawab dengan orang-orang yang lewat. “Tidak terlalu jauh lagi, ke arah sana.”.”Oh, jalannya bagus, bisa dilewati mobil. Dulu itu jalan untuk truk-truk kayu”. Jadi berbekal keyakinan dan rasa khawatir kami meneruskan perjalanan. Bukit-bukit gundul dengan tanah kuning kemerahan membentang. Semak belukar tumbuh dengan segan, sisa kejayaan masa penggundulan hutan. Sekarang, semuanya lebih ketat: kilang-kilang kayu tanpa aktivitas, dipagari dengan garis kuning polisi. Tetapi, di depan sebuah kilang penggergajian kayu, sisa-sisa kayu segar terhampar di sekeliling. Nampaknya kegiatan dialihkan menjadi malam hari.
Jalan semakin mendaki dan sempit, basah oleh sisa hujan semalam. Mahyiddin lebih berhati-hati dalam mengemudi. Di satu tempat penggergajian kayu yang sudah ditinggalkan, kami terpuruk dalam lumpur dan tidak bisa bergerak lagi. Nampaknya, Mahyiddin telah salah memperhitungkan kedalaman lubang yang berisi genangan air. Kami mengambil potongan-potongan kayu untuk dimasukkan ke bawah roda yang sudah didongkrak. Seorang warga yang kebetulan lewat ikut membantu. Setelah keringat bercucuran dan baju habis berlepotan lumpur, akhirnya mobil bisa lepas dari lubang. Anto bertindak bijaksana untuk mencegah mobil kembali terpuruk, di setiap genangan air dan lumpur yang mencurigakan ia menusuk-nusuk dengan parang untuk mengukur kedalamannya.
Jalan semakin sempit sekarang. Semak-semak berduri tumbuh rapat di kiri kanan jalan. Badan jalan hanya seukuran satu mobil. Bisa dipastikan akan sangat kesulitan jika ada kenderaan yang melintas dari arah yang berlawanan. Beberapa ratus meter kemudian, semak-semak menghilang. Tanah merah bercampur dengan bongkahan-bongkahan hitam, dengan tekstur seperti kayu. Di badan jalan juga ada bongkahan-bongkahan seperti itu. Kami turun dan mengamati. Benda tersebut kemungkinan adalah batubara.
Jalanan tidak bisa lagi disebut sebagal jalan sekarang. Alur roda kenderaan berat membuat lubang dalam dan meninggalkan gundukan tinggi di tengan jalan. Beberapa kali bagian bawah kenderaan kami tersangkut dan harus mundur supaya bisa lewat. Di satu tempat, lubang bekas roda sangat dalam. Mustahil kenderaan kami bisa lewat. Keputusan diambil untuk kembali. Mahyiddin memutar kembali kenderaan kearah kami datang. Danau Paris tidak pernah kami lihat langsung dengan mata.
Hari sudah mendekati jam tiga sekarang. Perut sudah keroncongan dari tadi minta diisi. Di pinggir jalan yang teduh, kami berhenti dan membuka bekal. Semuanya makan dengan lahap, kecapekan dan kelaparan, dengan nyaris sekujur tubuh tertutup lumpur yang sudah mengering sekarang. Angin semilir berhembus menimbulkan kantuk. Semuanya berbaring sebentar, dan sebelum kami menyadarinya, kami sudah jatuh tertidur.
Ada kira-kira satu jam kami tertidur. Menjelang jam empat, kami melanjutkan kembali perjalanan kembali ke Singkil. Analisa semua sampel harus kami tuntaskan sebelum tengah malam, karena rencananya malam ini kami akan bertolak ke Medan. Anto bisa beristirahat sementara kami bekerja, mengumpulkan tenaga untuk menyupir ke Medan.
Rumah makan Telaga Indah, Singkil Utara
Mengumpulkan sampel air di Singkil Utara
Menuju ke air terjun. Batas akhir kenderaan roda empat bisa lewat.
Kuburan Ompung leluhur.
Ompung yang berumur panjang dan beristri banyak ...
Jalan setapak menuju air terjun
Medan yang berat ...
Melintasi sungai ...
Akhirnya: air terjun!
Bersiap untuk mengambil sampel air terjun
Medan yang berbahaya ...
Puluhan meter ke bawah ...
Benni Berasa, penunjuk jalan
Hasil nyata eksplorasi hutan: pebukitan gundul dan gersang
Sisa-sisa kayu hasil hutan
Terjebak di kubangan ...
Usaha keras untuk lolos ...
Medan yang berat, bahkan bagi Ranger ...
Medan yang berat, bahkan bagi Ranger ...
Medan yang berat, bahkan bagi Ranger ...
Jalan harus diperiksa sebelum dilewati, mencegah terulangnya terjebak di kubangan
Makan siang yang luar biasa ...
Tidak terlewati lagi ...
Balik ...
No comments:
Post a Comment