Akhir Nopember 2005 kami pernah ke Singkil, untuk melakukan analisa air di berbagai lokasi. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Department Health INGO CRS untuk wilayah Singkil dan sekitarnya, untuk pemetaan kualitas air dari berbagai sumber air di lokasi tersebut. Berikut adalah catatan perjalanan kami ke sana.
Akhirnya keberangkatan kami ke Singkil dipastikan juga. Setelah beberapa kali tarik ulur – seperti biasanya – boss kami Ross Tomlinson menyetujui rencana tersebut, dengan membawa sebuah Ranger plus supir. Kami bertiga semuanya, saya, Juanto dan Surianto sebagai supir. Bak belakang kami muati penuh-penuh dengan peralatan laboratorium – beberapa barang tersebut jelas hanya akan menjadi beban dan tidak akan ada gunanya selama di Singkil. Autoclave, genset (untuk berjaga-jaga seandainya di Singkil tidak ada listrik – hal yang terlalu pesimis), kotak-kotak untuk incubator dan asesorisnya, bahan-bahan kimia untuk keperluan analisa, lampu darurat dan barang-barang lainnya. Tidak ketinggalan barang-barang untuk keperluan pribadi: pakaian, peralatan mandi, laptop untuk masing-masing kami – kecuali supir, dua kamera digital beserta asesorisnya, sepatu cadangan. Bagaikan pindah rumah rasanya. Basa basi kami mengajak Ross ikut serta dalam misi ini ditolaknya dengan dingin, karena dia tahu kami mengejek. Ada tugas penting yang harus dikerjakannya, katanya dengan senyum mengembang lebar. Tugas penting tersebut adalah berlibur selama empat hari di Prapat menikmati Danau Toba. Ganti kami yang senyum kecut.
Minggu pagi, 27 November 2005 yang cerah kami berangkat. Cuaca cukup bagus – cocok sekali untuk melakukan perjalanan jauh. Kami sarapan di salah satu kedai kopi di Meureubo. Penjaga kedai bergegas melayani kami layaknya tamu penting. Seperti kedai-kedai kopi di bagian Aceh lainnya, pesanan kopi atau teh selalu diiringi dengan piring yang berisi beberapa jenis kue basah. Barang-barang di bak belakang tertutup rapi dengan terpal biru, dan Anto melakukan pemeriksaan sekali lagi untuk memastikan semuanya pada kondisi yang seharusnya.
Perjalanan dilakukan dengan santai, dan banyak hal bisa dinikmati sepanjang perjalanan. Dari Meulaboh sampai ke Alue Bilie, hanya sisa kehancuran bekas tsunami yang nampak, dengan geliat pembangunan sarana dan prasarana di berbagai tempat. Dua jam kemudian kami sampai di Blang Pidie, dan Anto membelokkan Ranger melalui sebuah lorong sempit. Kami akan mampir ke rumah salah satu pamannya. Undangan makan siang dari sang paman tidak bisa ditolak, lagipula sekarang adalah saatnya makan siang.
Sehabis salat zuhur, perjalanan kami teruskan kembali, tetap santai seperti sebelumnya. Toh tidak ada yang dikejar, dan Anto memastikan kami akan sampai ke Singkil sekitar jam 6 atau 7 sore.
Pemandangan sepanjang jalan sungguh mengagumkan. Jalan yang berbatasan dengan laut yang biru kehijauan, dengan langit yang biru cerah sedikit berawan menyambut kami begitu kami memasuki daerah Tapak Tuan. Ada air terjun kecil dengan telaga yang jernih yang saat itu lagi ramai dengan pangunjung. Kami juga ikut berhenti disitu. Diseberang jalan nampak pantai yang berpasir putih yang bebas dari sampah, dengan laut yang biru. Kota Tapak Tuan nampak samar-samar disebelah kanan jalan.
Tapak Tuan adalah kota kecil yang cantik. Berbatasan langsung dengan laut, tidak terkena imbas tsunami tanggal 26 Desember 2004 lalu. Semasa hidupnya, adik perempuan saya tinggal di sini bersama suami dan dua anaknya, menjadi pegawai negeri sebagai Kepala Pegadaian unit Tapak Tuan. Ini adalah kali kedua saya kemari. Pertama kali dulu adalah bulan Januari 2005, sehabis tsunami melanda Aceh, untuk mencari keluarga yang selamat. Waktu itu, kami hanya bermalam di sini, paginya kami langsung kembali ke Meulaboh. Sebelum bencana, jarak Tapak Tuan ke Meulaboh bisa ditempuh dengan empat jam perjalanan dengan mobil.
Kami beristirahat di Hotel Dian, yang terletak di pinggir laut. Sambil menikmati makanan ringan dan minuman dingin, kami menikmati suasana pantai yang tenang. Matahari sore tidak lagi memancarkan panas seperti siang tadi. Juanto sibuk mendownload foto dari kamera digitalnya ke laptop. Jam lima lewat sedikit perjalanan kami lanjutkan. Kami sempat keliling kota Tapaktuan untuk melihat ”tapak” yang penampilan fisiknya lebih mirip kuburan yang luar biasa panjang. Tempat tersebut berpagar dengan gapura yang cukup bagus, bagian dalamnya dihiasi dengan bentuk kerang-kerangan raksasa yang mirip sekali dengan aslinya. Pengunjungnya banyak juga pada saat itu. Kabarnya tapak yang satu lagi ada di pantai (entah dimana). Dijembatan dekat dengan kantor Pegadaian saya minta berhenti sebentar. Di kantor Pegadaian inilah adik perempuan saya dulu bertempat tinggal selama beberapa tahun sampai akhir hayatnya di Meulaboh pada saat tsunami melanda Aceh…
Sekitar Tapak Tuan banyak sekali tempat dengan pemandangan yang bagus. Beberapa kilometer dari Tapak Tuan, kami berhenti di sebuah bukit, menikmapi pemandangan laut yang indah. Matahari yang sedang turun membuat suasana menjadi sedikit dramatis, yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Banyak orang sedang memancing di tepi pantai. Yang lainnya cuma minum-minum sambil menikmati suasana sore. Seorang pencari ikan menebar jalanya di batu-batu pemecah ombak. Tidak banyak yang tersangkut saat dia mengangkat kembali jalanya, hanya beberapa ikan kecil menggelepar dalam usaha sia-sia untuk melepaskan diri dari belitan jala. Perahu-perahu nelayan berlabuh dengan tenang. Hampir tidak ada ombak di sini. Setelah beberapa kali berhenti untuk mengambil gambar, perjalanan dilanjutkan kembali, kali ini agak lebih tergesa.
Lepas dari Tapak Tuan, jalan mulai mendaki dan berliku. Di sebelah kanan, jurang menganga dalam, sementara sebelah kiri kami tebing gunung menjulang tinggi dalam cahaya matahari sore yang keemasan. Matahari turun perlahan-lahan, menimbulkan nuansa merah pada laut. Nampaknya sulit untuk mencapai Singkil sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Didaerah Bakongan, jalanan mulus dan lurus. Kiri kanan jalan tidak ada tanda-tanda rumah penduduk. Anto memacu Ranger dengan kecepatan 140 km/jam. Agak sedikit ngeri, saya memperketat seat belt. Juanto sudah tertidur.
No comments:
Post a Comment