Pagi hari setelah sarapan kami melapor ke kantor CRS Singkil, yang terletak di daerah kering. Kantornya merupakan rumah penduduk setempat yang di sewa. Kami diberi sebuah kamar dengan dua tempat tidur untuk dijadikan sebagai laboratorium. Dengan segera kami membongkar barang dan menjejalinya ke dalam kamar. Peralatan-peralatan analisa kami biarkan berserakan di lantai. Nanti malam kami akan mempergunakannya untuk menganalisa sampel yang akan kami kumpulkan hari ini. Kemudian kami kembali ke hotel untuk mengikuti acara yang diadakan oleh Dept. Health.
Sekitar jam sebelas lewat kami berangkat meninggalkan hotel untuk menuju ke Kecamatan Danau Paris untuk mengumpulkan sampel kami yang pertama. Seorang supir diperbantukan kepada kami untuk menjadi penunjuk jalan.
Kita seharusnya bersyukur tinggal dan beraktifitas dalam lingkungan dimana air tersedia setiap saat kita perlukan. Kita bisa memakai air sebanyak yang kita suka, bahkan bisa dibilang boros dan menyia-nyiakan air. Begitu juga yang punya sumber air sendiri, baik sumur dangkal ataupun sumur bor dengan pompa. Setiap perlu air tinggal mengambil – atau tinggal buka keran. Kadang kita lupa, bahwa di tempat lain ada orang-orang yang kebutuhan air minimumnya setiap hari jika terpenuhi merupakan suatu kemewahan. Di Pulau Sumatra yang kaya air ini, ada bagian dimana orang-orang memenuhi kebutuhannya akan air pada sungai-sungai kecil, yang lebih bisa dibilang parit, dan air hujan.
Danau Paris, sebuah kecamatan di pelosok Aceh Singkil, keadaannya tidak segemerlap namanya. Siapapun yang memberi nama kepada daerah ini pasti menaruh harapan besar, bahwa suatu saat daerah ini akan mencapai tingkat kejayaan sesuai namanya, walaupun kondisinya cukup menyedihkan.
Secara spesifik Ross menugaskan kami untuk melakukan analisa air secara acak di seluruh kecamatan ini, termasuk air dari mata air dan air dari danau yang diberi nama senada dengan nama kecamatan ini, danau Paris. Analisa air mencakup analisa secara kimia dan mikrobiologi, untuk mengetahui keberadaan bakteri fecal dalam sumber air permukaan yang menjadi sumber air utama daerah ini. Hasilnya akan dipergunakan sebagai bahan referensi untuk melakukan tindakan-tindakan bagi Department Water and Sanitation dan Department Health.
Dari kota Singkil, perlu hampir dua jam dengan menggunakan mobil untuk mencapai kecamatan Danau Paris. Jalan dari Singkil membelah daerah ini, menuju ke Sibolga. Jalan tanah yang dikeraskan dengan kerikil dan pasir menyisakan kejayaan dimasa silam saat bisnis kayu illegal merajalela: jalan lebar yang dikeraskan untuk menampung truk-truk kayu raksasa yang berat. Sebuah truk Nissan raksasa melintasi kami, meninggalkan debu berkepul tebal menghalangi pandangan. Tiang-tiang listrik yang dipasang menjelang rezim orde baru runtuh tegak menatap langit, tanpa kabel. Menurut cerita Tumangger, pada pemilu pertama setelah orde baru tumbang, kabel-kabel dipasang, dan warga dengan gembira mengharapkan listrik segera menerangi daerah mereka. Tetapi arus listrik tidak kunjung masuk, dan kabelnya hilang digondol maling. Sekarang tinggal tiang yang melompong, mungkin menunggu pemilu berikutnya untuk dipasangi kabel listrik lagi. Bus-bus reyot sarat penumbang melintasi kami.
Hampir sepanjang kiri kanan jalan kondisi tanah gersang, yang hanya dihiasai beberapa pohon dan semak belukar. Bukit-bukit gundul dengan tanah merah menganga menunggu waktu untuk longsor. Pohon-pohon besar nyaris tidak ada lagi. Illegal logging yang merajalela sudah menghabiskan semuanya, dan membawa bencana pada beberapa daerah di Aceh Singkil. Banjir besar beberapa waktu lalu menyisakan kedukaan bagi mereka yang kehilangan harta benda dan sanak saudara.
Mahyiddin, supir CRS Aceh Singkil yang menemani kami membawa Ranger tanpa terburu-buru. Tidak ada yang diburu, dan segala sesuatunya nampak berjalan lebih lamban di sini. Rumah-rumah penduduk menunjukkan kondisi ekonomi penghuninya, sangat sederhana, kalau tidak mau dibilang miskin. Rumah-rumah gubuk sederhana berganti dengan beberapa rumah yang lebih baik. Sebuah keluarga lengkap berdiri di depan rumah sangat sederhana mengamati kami, tiga anak berdiri berjejer dengan tinggi yang nyaris tidak berbeda. Seorang anak digendong ayahnya, seorang lagi yang lebih kecil digendong ibunya, yang sedang hamil.
Memasuki desa, rumah-rumah semakin rapat. Surau dan meunasah berdiri berdampingan dengan gereja-gereja, rata-rata berukuran kecil. Kuburan batak yang dibangun dengan megah menampilkan nuansa yang berbeda. Tidak jauh disebelahnya, kuburan muslim berjejer. Nampaknya toleransi beragama tidak benjadi masalah di sini.
Rumah Tumangger yang kami tuju merupakan rumah semi permanen, dengan tiang antena parabola terpancang kokoh di depan rumahnya. Tumangger menyambut kami dengan ramah. Dia akan membawa kami keliling daerah ini untuk mengambil sample air. Seorang anaknya yang perempuan bekerja di CRS Aceh Singkil, di Department Health. Air minum segera keluar, beberapa botol air minum dalam kemasan. Menantu Tumangger memanjat pohon kelapa, dan menurunkan beberapa kelapa muda. Cukup segar untuk cuaca yang panas terik seperti hari ini.
Air alam tidak layak minum, kata Tumangger. Keluarga yang mampu mengkonsumsi air minum dalam kemasan, yang tersedia di setiap warung desa dengan harga yang cukup tinggi, karena harus dibawa dari jauh. Untuk keluarga yang kurang mampu, harus berjuang dengan air hujan dan air sungai dengan kualitas apa adanya. Hampir tidak ada sumur di kecamatan ini, kata Tumangger. Usaha untuk menggali sumur bor oleh beberapa LSM dan pemerintah gagal setelah mata bor menghantam batu cadas yang tidak tertembus.
Sampel pertama kami ambil dari sumur Tumangger, kalau bisa disebut sumur, karena hanya berupa sebuah lubang yang digali dipinggir sebuah aliran air kecil, dan diperkuat dengan potongan-potongan papan untuk mencegah tanah runtuh ke dalam sumur tersebut. Airnya jernih, namun berwarna kecoklatan. Perlu berjalan sekitar hampir 100 meter menuruni bukit terjal untuk mencapai sumur tersebut dari rumah Tumangger. Seekor babi liar menguik cukup dekat dengan kami, membuat saya dan Juanto terkejut. Anak perempuan Tumangger yang menemani kami tertawa. Rupanya babi liar tersebut dikurung dalam sebuah kandang kayu yang cukup kuat, mencegahnya dari usaha sia-sia untuk melarikan diri. Sebuah timba terletak di tiang kayu. Juanto menyiduk air dengan menggunakan timba tersebut dan melakukan ritual pengambilan sample seperti biasa. Sekitar sumur rapat ditumbuhi pepohonan dan semak belukar,dan kearah bawahnya merupakan rawa-rawa yang berisi Lumpur dengan sedikit air. Sisanya hutan lebat. Saya membayangkan seandainya kondisi darurat di tengah malam gelap dan membutuhkan air dari sumur ini. Perjalanan menuruni bukit terjal sejauh hampir seratus meter akan merupakan mimpi buruk yang mengerikan, terlebih ada kemungkinan ancaman makhluk buas dari rawa di depan sumur.
Sumur tetangga Tumangger di sebelahnya juga tidak menunjukkan kondisi yang berbeda, sebuah lubang yang diperkuat dengan papan. Juanto juga mengambil sample air dari sumur tetangga Tumangger.
Perjalanan selanjutnya mengambil air dari sungai-sungai yang mengair melintasi Kecamatan Danau Paris. Ada delapan sungai semuanya, yang menjadi tumpuan orang-orang sekecamatan sebagai sumber air. Rata-rata berair jernih, walaupun ada beberapa yang cenderung keruh. Informasi yang kami dapat dari rekan-rekan di Department Health, penduduk menyaring air yang diambil dari sungai-sungai ini untuk mendapatkan air yang lebih bersih. Namun kami yakin ada juga yang langsung dipergunakan, karena airnya sudah cukup jernih. Nama-nama sungai berbau nama Batak: Lae Sikoran, yang terbelah dua menjadi dua sungai di hilirnya, Lae Sibual-bual, Lae Ritik, Lae Labuhan, Lae Simargarap, Lae Balno dan Lae Situbuh-tubuh. Yang terakhir ini airnya sangat jernih, dengan dasar sungai berpasir. Rata-rata kedalaman air sungai cukup dangkal, dengan laju alir yang lambat. Kalau kita turun ke air, lumpur akan naik dan membuat air menjadi keruh.
Kadang kami menjumpai sawah-sawah dengan padi yang menghijau. Tanahnya kering – kami biasanya menyebutnya dengan padi ladang. Cukup subur juga, walaupun pengairan tidak ada.
Di Lae Situbuh-tubuh, kami berhenti. Air sungai dingin dan segar. Juanto langsung bersiap-siap untuk mandi. Mahyiddin mencuci bodi mobil sekedarnya. Mendekali waktu asar kamipun kembali pulang ke Singkil.
Usai makan malam kami menganalisa sampel-sampel tersebut sampai menjelang tengah malam. Kelelahan, Juanto langsung terlelap masih dengan sarung tangan terpasang di tangannya. Anto sudah terlebih dahulu tertidur dengan kaki naik ke atas kotak monitor komputer.
Pagi harinya setelah sarapan, kami mulai mengelilingi kota Singkil untuk mengumpulkan sampel-sampel dari berbagai tempat. Sampel air pertama berlokasi di sebuah mushalla di . Seterusnya adalah sampel dari Sungai Kilangan, persis di depan tempat yang diberi tanda sebagai makam Syekh Abdurrauf Singkil. Air sungai sedang tinggi dengan warna kecoklatan dan keruh, membawa berbagai kotoran.
Makam Syekh Abdurrauf Singkil merupakan bangunan permanen dengan dinding dan lantai dari keramik berwarna putih, dengan teras dari keramik berwarna hijau muda. Sebuah papan nama bertuliskan huruf latin dan huruf arab menegaskan posisi makam. Melalui pintu yang terbuka kami melihat semacam kanopi yang terbuat dari kain berwarna turqoise dengan bagian atas berwarna kuning, memayungi makam di bawahnya. Mengenai makam ini masih menjadi tanda tanya dan misteri, karena ada makam dengan nama yang sama yang terdapat di Kuala, Banda Aceh. Menurut Tempo, para sejarawan dan ulama Aceh meyakini bahwa makam Syekh Abdurrauf Singkil yang juga dikenal dengan nama Syekh Abdurrauf Syiah Kuala sebenarnya adalah yang terletak di Kuala, Banda Aceh. Mengenai makam yang ada di pinggir Sungai Kilangan di Singkil ini, ditemukan berdasarkan mimpi seorang ulama, yang merupakan murid dari murid Syekh Abdurrauf Singkil yang berasal dari Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat pada sekitar tahun 1952. Walaupun keputusan Sidang Ulama Aceh pada 15 dan 16 Juli 1987 menyatakan bahwa makam yang ada di Singkil harus dibongkar karena ”palsu dan membahayakan”, ternyata makam tersebut masih ada di sana sampai sekarang. Para peziarah ramai mengunjungi makam tersebut, yang berasal dari berbagai daerah, bahkan dari Sumatera Barat.
Wajah daerah-daerah di Singkil muram. Tanah menyisakan kelembaban bekas rendaman air pasang yang melanda dua kali sehari. Rumah-rumah banyak yang ditinggalkan penghuninya, tidak bisa dihuni lagi dan dibiarkan begitu saja. Para penghuninya menempuh hidup di pengungsian.
Kami juga mengambil air dari lokasi pengungsian yang ada di Kilangan. Yang pertama adalah bladder milik CARDI. Pengungsian di sini berupa gubuk-gubuk yang dibangun di area pasar, beratap rumbia dan berdinding terpal. Lokasinya becek penuh lumpur dan genangan air. Yang lainnya adalah lokasi pengungsian Teluk Ambu, yang berupa barak-barak berbentuk panggung dengan lokasi lebih becek dan lebih berlumpur. Rendaman air pasang membuat daerah ini selalu berair.
Saat mengambil sampel air dari Pesantren Darul Hasanah, para santri muda – kebanyakan masih anak-anak – merubung kami dengan penuh rasa ingin tahu. Pengadaan air dan sanitasi di pesantren ini dibangun oleh NGO ECHO Humanitarian Aid dan IRC. Kami juga mengambil sampel dari pondok pesantren putri. Santri putri menutup muka mereka dengan kain dan memalingkan wajah ke arah lain saat kami masuk.
Keinginan kami untuk berjumpa dengan ulama pengelola pesantren tidak berhasil, karena beliau sedang beristirahat. Lewat seorang santri yang sudah remaja, kami titip salam dan mohon maaf karena masuh ke pesantren tanpa izin beliau.
Sampai sore kami mengambil sampel dari berbagai lokasi di kota Singkil dan sekitarnya. Menjelang magrib kami balik ke kantor dan langsung menuju ke laboratorium kami. Nanti, setelah makan malam, kembali kami akan bekerja menganalisa semua sampel dan membuat laporan.
Sekitar jam sebelas lewat kami berangkat meninggalkan hotel untuk menuju ke Kecamatan Danau Paris untuk mengumpulkan sampel kami yang pertama. Seorang supir diperbantukan kepada kami untuk menjadi penunjuk jalan.
Kita seharusnya bersyukur tinggal dan beraktifitas dalam lingkungan dimana air tersedia setiap saat kita perlukan. Kita bisa memakai air sebanyak yang kita suka, bahkan bisa dibilang boros dan menyia-nyiakan air. Begitu juga yang punya sumber air sendiri, baik sumur dangkal ataupun sumur bor dengan pompa. Setiap perlu air tinggal mengambil – atau tinggal buka keran. Kadang kita lupa, bahwa di tempat lain ada orang-orang yang kebutuhan air minimumnya setiap hari jika terpenuhi merupakan suatu kemewahan. Di Pulau Sumatra yang kaya air ini, ada bagian dimana orang-orang memenuhi kebutuhannya akan air pada sungai-sungai kecil, yang lebih bisa dibilang parit, dan air hujan.
Danau Paris, sebuah kecamatan di pelosok Aceh Singkil, keadaannya tidak segemerlap namanya. Siapapun yang memberi nama kepada daerah ini pasti menaruh harapan besar, bahwa suatu saat daerah ini akan mencapai tingkat kejayaan sesuai namanya, walaupun kondisinya cukup menyedihkan.
Secara spesifik Ross menugaskan kami untuk melakukan analisa air secara acak di seluruh kecamatan ini, termasuk air dari mata air dan air dari danau yang diberi nama senada dengan nama kecamatan ini, danau Paris. Analisa air mencakup analisa secara kimia dan mikrobiologi, untuk mengetahui keberadaan bakteri fecal dalam sumber air permukaan yang menjadi sumber air utama daerah ini. Hasilnya akan dipergunakan sebagai bahan referensi untuk melakukan tindakan-tindakan bagi Department Water and Sanitation dan Department Health.
Dari kota Singkil, perlu hampir dua jam dengan menggunakan mobil untuk mencapai kecamatan Danau Paris. Jalan dari Singkil membelah daerah ini, menuju ke Sibolga. Jalan tanah yang dikeraskan dengan kerikil dan pasir menyisakan kejayaan dimasa silam saat bisnis kayu illegal merajalela: jalan lebar yang dikeraskan untuk menampung truk-truk kayu raksasa yang berat. Sebuah truk Nissan raksasa melintasi kami, meninggalkan debu berkepul tebal menghalangi pandangan. Tiang-tiang listrik yang dipasang menjelang rezim orde baru runtuh tegak menatap langit, tanpa kabel. Menurut cerita Tumangger, pada pemilu pertama setelah orde baru tumbang, kabel-kabel dipasang, dan warga dengan gembira mengharapkan listrik segera menerangi daerah mereka. Tetapi arus listrik tidak kunjung masuk, dan kabelnya hilang digondol maling. Sekarang tinggal tiang yang melompong, mungkin menunggu pemilu berikutnya untuk dipasangi kabel listrik lagi. Bus-bus reyot sarat penumbang melintasi kami.
Hampir sepanjang kiri kanan jalan kondisi tanah gersang, yang hanya dihiasai beberapa pohon dan semak belukar. Bukit-bukit gundul dengan tanah merah menganga menunggu waktu untuk longsor. Pohon-pohon besar nyaris tidak ada lagi. Illegal logging yang merajalela sudah menghabiskan semuanya, dan membawa bencana pada beberapa daerah di Aceh Singkil. Banjir besar beberapa waktu lalu menyisakan kedukaan bagi mereka yang kehilangan harta benda dan sanak saudara.
Mahyiddin, supir CRS Aceh Singkil yang menemani kami membawa Ranger tanpa terburu-buru. Tidak ada yang diburu, dan segala sesuatunya nampak berjalan lebih lamban di sini. Rumah-rumah penduduk menunjukkan kondisi ekonomi penghuninya, sangat sederhana, kalau tidak mau dibilang miskin. Rumah-rumah gubuk sederhana berganti dengan beberapa rumah yang lebih baik. Sebuah keluarga lengkap berdiri di depan rumah sangat sederhana mengamati kami, tiga anak berdiri berjejer dengan tinggi yang nyaris tidak berbeda. Seorang anak digendong ayahnya, seorang lagi yang lebih kecil digendong ibunya, yang sedang hamil.
Memasuki desa, rumah-rumah semakin rapat. Surau dan meunasah berdiri berdampingan dengan gereja-gereja, rata-rata berukuran kecil. Kuburan batak yang dibangun dengan megah menampilkan nuansa yang berbeda. Tidak jauh disebelahnya, kuburan muslim berjejer. Nampaknya toleransi beragama tidak benjadi masalah di sini.
Rumah Tumangger yang kami tuju merupakan rumah semi permanen, dengan tiang antena parabola terpancang kokoh di depan rumahnya. Tumangger menyambut kami dengan ramah. Dia akan membawa kami keliling daerah ini untuk mengambil sample air. Seorang anaknya yang perempuan bekerja di CRS Aceh Singkil, di Department Health. Air minum segera keluar, beberapa botol air minum dalam kemasan. Menantu Tumangger memanjat pohon kelapa, dan menurunkan beberapa kelapa muda. Cukup segar untuk cuaca yang panas terik seperti hari ini.
Air alam tidak layak minum, kata Tumangger. Keluarga yang mampu mengkonsumsi air minum dalam kemasan, yang tersedia di setiap warung desa dengan harga yang cukup tinggi, karena harus dibawa dari jauh. Untuk keluarga yang kurang mampu, harus berjuang dengan air hujan dan air sungai dengan kualitas apa adanya. Hampir tidak ada sumur di kecamatan ini, kata Tumangger. Usaha untuk menggali sumur bor oleh beberapa LSM dan pemerintah gagal setelah mata bor menghantam batu cadas yang tidak tertembus.
Sampel pertama kami ambil dari sumur Tumangger, kalau bisa disebut sumur, karena hanya berupa sebuah lubang yang digali dipinggir sebuah aliran air kecil, dan diperkuat dengan potongan-potongan papan untuk mencegah tanah runtuh ke dalam sumur tersebut. Airnya jernih, namun berwarna kecoklatan. Perlu berjalan sekitar hampir 100 meter menuruni bukit terjal untuk mencapai sumur tersebut dari rumah Tumangger. Seekor babi liar menguik cukup dekat dengan kami, membuat saya dan Juanto terkejut. Anak perempuan Tumangger yang menemani kami tertawa. Rupanya babi liar tersebut dikurung dalam sebuah kandang kayu yang cukup kuat, mencegahnya dari usaha sia-sia untuk melarikan diri. Sebuah timba terletak di tiang kayu. Juanto menyiduk air dengan menggunakan timba tersebut dan melakukan ritual pengambilan sample seperti biasa. Sekitar sumur rapat ditumbuhi pepohonan dan semak belukar,dan kearah bawahnya merupakan rawa-rawa yang berisi Lumpur dengan sedikit air. Sisanya hutan lebat. Saya membayangkan seandainya kondisi darurat di tengah malam gelap dan membutuhkan air dari sumur ini. Perjalanan menuruni bukit terjal sejauh hampir seratus meter akan merupakan mimpi buruk yang mengerikan, terlebih ada kemungkinan ancaman makhluk buas dari rawa di depan sumur.
Sumur tetangga Tumangger di sebelahnya juga tidak menunjukkan kondisi yang berbeda, sebuah lubang yang diperkuat dengan papan. Juanto juga mengambil sample air dari sumur tetangga Tumangger.
Perjalanan selanjutnya mengambil air dari sungai-sungai yang mengair melintasi Kecamatan Danau Paris. Ada delapan sungai semuanya, yang menjadi tumpuan orang-orang sekecamatan sebagai sumber air. Rata-rata berair jernih, walaupun ada beberapa yang cenderung keruh. Informasi yang kami dapat dari rekan-rekan di Department Health, penduduk menyaring air yang diambil dari sungai-sungai ini untuk mendapatkan air yang lebih bersih. Namun kami yakin ada juga yang langsung dipergunakan, karena airnya sudah cukup jernih. Nama-nama sungai berbau nama Batak: Lae Sikoran, yang terbelah dua menjadi dua sungai di hilirnya, Lae Sibual-bual, Lae Ritik, Lae Labuhan, Lae Simargarap, Lae Balno dan Lae Situbuh-tubuh. Yang terakhir ini airnya sangat jernih, dengan dasar sungai berpasir. Rata-rata kedalaman air sungai cukup dangkal, dengan laju alir yang lambat. Kalau kita turun ke air, lumpur akan naik dan membuat air menjadi keruh.
Kadang kami menjumpai sawah-sawah dengan padi yang menghijau. Tanahnya kering – kami biasanya menyebutnya dengan padi ladang. Cukup subur juga, walaupun pengairan tidak ada.
Di Lae Situbuh-tubuh, kami berhenti. Air sungai dingin dan segar. Juanto langsung bersiap-siap untuk mandi. Mahyiddin mencuci bodi mobil sekedarnya. Mendekali waktu asar kamipun kembali pulang ke Singkil.
Usai makan malam kami menganalisa sampel-sampel tersebut sampai menjelang tengah malam. Kelelahan, Juanto langsung terlelap masih dengan sarung tangan terpasang di tangannya. Anto sudah terlebih dahulu tertidur dengan kaki naik ke atas kotak monitor komputer.
Pagi harinya setelah sarapan, kami mulai mengelilingi kota Singkil untuk mengumpulkan sampel-sampel dari berbagai tempat. Sampel air pertama berlokasi di sebuah mushalla di . Seterusnya adalah sampel dari Sungai Kilangan, persis di depan tempat yang diberi tanda sebagai makam Syekh Abdurrauf Singkil. Air sungai sedang tinggi dengan warna kecoklatan dan keruh, membawa berbagai kotoran.
Makam Syekh Abdurrauf Singkil merupakan bangunan permanen dengan dinding dan lantai dari keramik berwarna putih, dengan teras dari keramik berwarna hijau muda. Sebuah papan nama bertuliskan huruf latin dan huruf arab menegaskan posisi makam. Melalui pintu yang terbuka kami melihat semacam kanopi yang terbuat dari kain berwarna turqoise dengan bagian atas berwarna kuning, memayungi makam di bawahnya. Mengenai makam ini masih menjadi tanda tanya dan misteri, karena ada makam dengan nama yang sama yang terdapat di Kuala, Banda Aceh. Menurut Tempo, para sejarawan dan ulama Aceh meyakini bahwa makam Syekh Abdurrauf Singkil yang juga dikenal dengan nama Syekh Abdurrauf Syiah Kuala sebenarnya adalah yang terletak di Kuala, Banda Aceh. Mengenai makam yang ada di pinggir Sungai Kilangan di Singkil ini, ditemukan berdasarkan mimpi seorang ulama, yang merupakan murid dari murid Syekh Abdurrauf Singkil yang berasal dari Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat pada sekitar tahun 1952. Walaupun keputusan Sidang Ulama Aceh pada 15 dan 16 Juli 1987 menyatakan bahwa makam yang ada di Singkil harus dibongkar karena ”palsu dan membahayakan”, ternyata makam tersebut masih ada di sana sampai sekarang. Para peziarah ramai mengunjungi makam tersebut, yang berasal dari berbagai daerah, bahkan dari Sumatera Barat.
Wajah daerah-daerah di Singkil muram. Tanah menyisakan kelembaban bekas rendaman air pasang yang melanda dua kali sehari. Rumah-rumah banyak yang ditinggalkan penghuninya, tidak bisa dihuni lagi dan dibiarkan begitu saja. Para penghuninya menempuh hidup di pengungsian.
Kami juga mengambil air dari lokasi pengungsian yang ada di Kilangan. Yang pertama adalah bladder milik CARDI. Pengungsian di sini berupa gubuk-gubuk yang dibangun di area pasar, beratap rumbia dan berdinding terpal. Lokasinya becek penuh lumpur dan genangan air. Yang lainnya adalah lokasi pengungsian Teluk Ambu, yang berupa barak-barak berbentuk panggung dengan lokasi lebih becek dan lebih berlumpur. Rendaman air pasang membuat daerah ini selalu berair.
Saat mengambil sampel air dari Pesantren Darul Hasanah, para santri muda – kebanyakan masih anak-anak – merubung kami dengan penuh rasa ingin tahu. Pengadaan air dan sanitasi di pesantren ini dibangun oleh NGO ECHO Humanitarian Aid dan IRC. Kami juga mengambil sampel dari pondok pesantren putri. Santri putri menutup muka mereka dengan kain dan memalingkan wajah ke arah lain saat kami masuk.
Keinginan kami untuk berjumpa dengan ulama pengelola pesantren tidak berhasil, karena beliau sedang beristirahat. Lewat seorang santri yang sudah remaja, kami titip salam dan mohon maaf karena masuh ke pesantren tanpa izin beliau.
Sampai sore kami mengambil sampel dari berbagai lokasi di kota Singkil dan sekitarnya. Menjelang magrib kami balik ke kantor dan langsung menuju ke laboratorium kami. Nanti, setelah makan malam, kembali kami akan bekerja menganalisa semua sampel dan membuat laporan.
Seminar oleh Department Health CRS Singkil
No comments:
Post a Comment