Saturday, September 03, 2011

Berkendara di Aceh


Jika ingin berkendara dengan kenderaan sendiri di Aceh - terutama saat liburan seperti masa-masa lebaran seperti saat ini - lengkapi kenderaan dengan klakson yang super kencang karena kebanyakan kami orang Aceh saat berada di jalan raya adalah klo prip - alias pekak aba-aba - yang hanya mendengar keinginan kami sendiri. Para pemakai jalan di Aceh menganggap jalan tersebut ada khusus untuk mereka, jadi orang lain dipersilahkan minggir sejenak saat mereka lewat. Saling serobot dari segala arah adalah sudah menjadi hal yang sangat biasa. Menyalip kenderaan dari sebelah kiri adalah lumrah dan dianggap wajar. Resiko kecelakaan yang mungkin terjadi adalah hal yang sangat sepele bagi mereka, karenanya bisa diabaikan. Terserah orang lain mau bekoar apa, yang penting berada pada urutan terdepan dalam berkendara di jalan umum. Jika menyerobot secara serampangan sehingga mengagetkan pemakai jalan lain - yang kadang membunyikan klakson keras-keras untuk menunjukkan kedongkolan hatinya, para bedebah tersebut belagak tidak mendengar.


Selain klo prip, kebanyakan pemakai jalan juga menderita penyakit buta warna yang serius. Ketiga lampu lalu lintas menunjukkan warna yang sama bagi mereka, yaitu warna yang membolehkan mereka terus melaju tanpa memperdulikan lalu lintas lain dari arah yang lampunya menunjukkan warna hijau. Betul-betul keterlaluan. Betapa tidak, beberapa detik sebelum lampu hijau menyala, barisan terdepan kenderaan yang menunggu di garis batas sudah melaju. Begitu juga beberapa detik setelah lampu menunjukkan warna merah, masih saja ada kenderaan yang mencoba melintas, bermain-main dengan bahaya. Dan saat lampu merah masih menyala dengan benderang, masih saja ada yang nekat melaju, meliuk-liuk melewati kenderaan lain dari arah yang boleh lewat. Sebutan Aceh pungo - Aceh gila - memang tidak meleset dalam kondisi tersebut. Luar biasa.

Melewati perbatasan Sumatra Utara - Aceh, sampai melewati Aceh Timur lalu lintas masih santun. Memasuki wilayah Aceh Utara, lalu lintas mulai berbeda. Perangai lalu lintas asli orang Aceh mulai mendominasi. Di Lhok Sukon, saat berhenti menunggu lampu lalu lintas berubah dari merah ke hijau, kami diteriaki dari belakang disuruh terus maju, disertai dengan klakson keras berkali-kali. Merasa sudah melakukan hal yang seharusnya, kami berlagak klo prip - pura-pura tidak mendengar. Saat lampu berubah merah, mobil dibelakang kami melaju kencang memotong dari kiri. Pengemudinya melotot ke arah kami. Betul-betul membingungkan.

Kebanyakan yang berkendara ugal-ugalan dan semaunya adalah para pemakai kenderaan bermotor roda dua, dan pengendaranya kebanyakan masih berusia muda. Walaupun begitu, juga ada kenderaan roda empat dan pengemudi usia senior yang melakukan hal yang sama, tanpa ada rasa sungkan dan malu sedikitpun.

Menyeberang jalan tidak boleh sembarangan. Pemakai kenderaan bermotor tidak sungkan mengklakson atau bahkan memaki jika merasa jalan mereka terganggu oleh pejalan kaki yang menyeberang, walaupun di lokasi zebra cross untuk penyeberangan. Menyeberang harus dilakukan dengan cepat, mata harus liar mengamati kiri kanan jalan.

Sarana jalan juga kadang juga menyumbang kekeliruan. Di Simpang Surabaya, ada lampu lalu lintas yang memberikan tanda yang bisa menyesatkan. Seharusnya, tanda penunjuk waktu mengikuti isyarat warna lampu. Penunjuk waktu akan berwarna merah saat lampu lalu lintas berwarna, begitu juga saat lampu berwarna hijau. Tetapi, lampu lalu lintas yang di Simpang Surabaya, sebelah Peuniti, terus menunjukkan warna hijau pada penunjuk waktunya, walaupun lampunya berwarna merah. Seringkali pengendara - apalagi yang dari luar kota - menengok penunjuk waktu sudah berwarna hijau langsung meluncur dengan tidak menengok warna lampu lagi, padahal lampunya masih berwarna merah.

Berkendara di Aceh memang harus siap menjadi ikut-ikutan klo prip, buta warna atau bahkan pungo sekalian.

No comments:

Post a Comment