Thursday, September 08, 2011

Singkil Nopember 2005 (5)

Jam dua belas tengah malam kami meninggalkan kota Singkil menuju Medan. Segar karena puas beristirahat dan tidur, Anto menyupir dengan penuh percaya diri. Kota Singkil sedang nyenyak tertidur dalam genangan air pasang ketika kemi melintasi tugu kota menuju ke jalan lintas. Saya dan Juanto memilih untuk tidur. Perjalanan diperkirakan akan makan waktu sekitar lima sampai enam jam.

Nyaris sepanjang perjalanan saya tidur, dan terbangun saat mobil parkir di depan sebuah warung kopi di Kabanjahe. Hanya mengenakan sepotong kemeja tipis tanpa jaket, udara dingin pegununungan menusuk tulang membuat gigi gemeletuk. Buru-buru saya masuk ke warung kopi untuk bergabung dengan Juanto dan Anto. Udara di dalam lebih hangat.

Di luar, orang lalu lalang dalam jaket tebal. Kegiatan-kegiatan sudah mulai sejak dinihari di sini. Sayur dan buah sedang dimuat ke dalam sebuah pikup untuk dikirim ke Medan. Di seberang jalan, sebuah truk sedang dimuat dengan berbagai hasil pertanian. Terletak di dataran tinggi Karo, Kabanjahe bersama dengan Brastagi merupakan salah satu daerah penghasil sayur dan buah di Sumatera. Dinginnya menyamai Takengon dan Bukittinggi. Kabut menutupi lereng bukit, menghalangi pemandangan ke pemukiman penduduk di bawah sana. Lampu-lampu jalan nampak temaram, dengan orang-orang lalu lalang membentuk bayangan dalam ketebalan kabut putih. Hari sudah jam empat pagi.

Selesai sarapan, kami berjalan-jalan menyusuri jalan yang mulai terang. Kenderaan mulai ramai melintas. Truk berukuran sedang, pikup-pikup bermuatan sayur, oplet-oplet berisi penumpang, dan minubus L-300 yang meluncur kencang dari arah Aceh. Disubuah tikungan kami berhenti, dan mampir di salah satu kios-kios penjual jagung rebus. Dari sini pemandangan luar biasa ke arah bawah. Lapisan kabun tipis menutupi puncak pepohonan, lampu-lampu redup dari rumah-rumah penduduk, langit yang mulai memerah karena cahaya matahari pagi yang sebentar lagi akan muncul. Di depan warung, penjual jagung rebus sedang mencuci jagung rebus sisa semalam yang tidak habis terjual, untuk direbus kembali. Makanan siaran ulang yang separuh basi. Kami harus berhati-hati kalau ingin membeli jagung di sini.

Sekitar jam delapan pagi kami sampai ke Medan. Kami akan menghabiskan waktu selama dua hari di sini, dengan kegiatan masing-masing. Walaupun sama-sama menginap di sebuah penginapan di Jalan Gajah Mada, tetapi jarang kami pergi bersama-sama.

Sabtu pagi, selesai sarapan nasi bebek Aceh yang rasanya berantakan, kami meninggalkan kota Medan. Perjalanan kami rencanakan lewat Beureunuen, kemudian ke Tangse, Geumpang menuju Meulaboh. Jika tidak ada kendala diperjalanan, kami akan sampai di Sigli sekitar magrib dan akan menginap di sana. Jalanan kota Medan sesak oleh kenderaan yang bergerak lambat. Perlu satu jam lebih untuk sampai ke luar kota. Dari Binjai, jalanan lenggang. Menjelang masuk Kuala Simpang, sebuah truk besar nampak terguling ditikungan dengan posisi rebah kuda, dan melintang menghalangi jalan. Muatannya berupa arang kayu bakau berserakan. Kenderaan dari dua arah terpaksa melewati tanah di samping jalan dengan berhati-hati karena sempit. Seorang polisi mengatur lalu lintas yang terhambat dari kedua arah.

Kami makan siang di Langsa, disebuah warung kecil yang menjual sate matang. Sebuah becak mesin Langsa dengan kontruksi tinggi disesaki anak-anak yang baru pulang sekolah melintas. Di seberang jalan, di depan sebuah rumah makan besar, bus-bus antar kota sedang parkir. Penumpangnya memenuhi rumah makan untuk makan siang.

Pesanan kami segera datang. Sepuluh tusuk sate dengan daging berukuran besar-besar, tidak seperti sate biasanya, mengepul berminyak-minyak dalam piring. Sepiring kecil kuah kacang yang digiling kasar menyusul. Warnanya coklat kemerahan dengan bau harum yang membuat perut semakin keroncongan. Terakhir adalah semangkuk soto encer, berisi potongan-potongan kecil daging kambing yang tidak bisa lagi dijadikan sate. Untuk minuman, kami memesan es timun, yaitu timun muda yang diparut halus, diberi gula dan es batu. Rasanya sejuk menyegarkan.

Ada yang berbeda pada sate ini dibandingkan dengan sate matang yang biasa saya makan. Rasanya terlalu manis, dengan butiran-butiran seperti pasir yang nyata sekali terasa pada setiap kunyahan. Kemungkinan tukang sate memberi tambahan gula pada satenya untuk menimbulkan kesan manis. Bagi saya, rasa manis tersebut justru menghilangkan selera makan.

Menjelang magrib, saya merasa perut mulas tidak tertahankan. Pontang panting kami mencari kamar kecil, yang ternyata sangat susah ditemukan pada saat betul-betul diperlukan. Akhirnya kami mampir di sebuah mesjid tepat pada saat orang-orang hendak melaksanakan shalat magrib. Saya langsung menyerbu ke kamar kecil, yang ternyata gelap gulita karena tertutup total dan tidak ada lampunya. Saya mengalami diare. Tidak tahu penyebabnya apa, karena kami semua memakan makanan yang sama, sementara kedua rekan saya tidak mengalami masalah apapun.

Lewat jam delapan malam, saya turun di kampung di Teupin Raya, sementara mereka berdua meneruskan perjalanan untuk menginap di Sigli. Besok pagi, saya akan menjemput mereka di Sigli dan kembali meneruskan perjalanan ke Meulaboh melewati Geumpang.


Pagi di Kabanjahe

Pagi di Kabanjahe

Brastagi ...

Brastagi ...

Meninggalkan Medan menuju Sigli

Tanjung Pura

Kecelakaan lalu lintas di Kuala Simpang

Langsa: pulang sekolah

Memasuki Langsa

Makan siang: Sate Matang di Langsa

Truk IFRC menarik truk bermuatan kusen dan pintu di Idi Rayek

No comments:

Post a Comment