Dari Tebing Tinggi perlu tiga jam untuk mencapai kota Jambi. Setelah menyelesaikan urusan pekerjaan selama setengah hari, siang hari kami bertiga merencanakan untuk ke Jambi. Kenderaan yang kami pakai adalah sebuah mobil, pinjaman dari seorang kenalan. Satu jam pertama perjalanan menempuh jalan rusak berdebu, diselang seling dengan jalan beraspal, yang walaupun sedikit tetapi cukup mulus. Kiri kanan kami adalah hutan tanaman industri dan kebun sawit. Sedikit sekali perumahan atau pemukiman yang kami temui. Debu tebal mengepul dibelakang kenderaan tumpangan kami. Kadang jika kami berada di belakang kenderaan lain, jalanan menjadi tidak nampak karena tertutup oleh debu tebal.
Mencapai jalan lintas timur, masih perlu sekitar dua jam lagi untuk mencapai kota Jambi. Jalanan mulus dan sepi, sehingga kenderaan bisa dipacu dengan kencang.
Tujuan pertama kami adalah rumah kerabat salah seorang teman seperjalanan, yang terletak di pinggir Sungai Batanghari, di daerah kota seberang. Dari rumah tujuan kami tersebut di seberang sungai nampak panorama kota Jambi. Air sungai Batang hari berwarna keruh kecoklatn. Perahu-perahu penambamh pasir sesekali melintas dengan bunyi mesinnya yang khas. "Itu perahu ketek", tuan rumah menjelaskan. Perahu-perahu penyeberangan hilir mudik menyeberangkan penumpang dan kenderaan roda dua. Menuju ke Jambi melewari jembatan terlalu jauh, dan tidak sebanding dengan biaya penyeberangan yang lima ribu rupian per sepda motor. Hanya perlu sekitar sepuluh menit untuk menyeberang, dibandingkan dengan perlu sekitar tiga puluh menit - bahkan bisa lebih jika lalu lintas ramai - jika melewati jembatan.
Tuan rumah kemudian ikut menemani kami keliling kota Jambi. Perhentian pertama adalah restoran pempek Selamat, yang menjual pempek dan berbagai macam jajanan khas lainnya. Selain makan ditempat, pempek pentah juga dikemas dengan bagus untuk dijadikan oleh-oleh. Harganya beragam dan terjangkau. Saat kami duduk, sepiring pempek dalam berbagai tipe disajikan untuk dicoba. Kami pikir ini gratis, ternyata harus dibayar juga, dihitung per biji yang dimakan.
Dari pempek Selamat, kami juga ke supermarket Enha untuk membeli oleh-oleh. Perjalanan kemudian diteruskan ke Jembatan Makalam, salah satu lokasi yang juga dikenal sebagai objek wisata kota Jambi.
Kami juga berkesempatan melaksanakan shalat magrib di Mesjid Agung Al-Falah, yang dikenal juga dengan Mesjid Seribu Tiang. Tentu saja tiangnya tidak mencapai seribu buah, hanya 256 buah saja, cuma nampak memang tiangnya banyak sekali. Mesjid ini unik karena tidak memiliki dinding sama sekali. Tiang-tiang besarnya berlapis kuningan yang berukir, sementara tiang-tiang lainnya yang lebih kecil berupa beton yang dicat berwarna putih. Lampu gantung besar di bawah cekungan kubah mesjid juga terbuat dari kuningan. beratnya mungkin ratusan kilogram, yang ditahan oleh beberapa sling baja.
Tidak banyak jamaah yang melaksanakan shalat magrib saat kami slahat di sana. Mungkin letaknya yang tidak berada di pusat keramaian dan berjauhan dari pemukiman membuatnya sepi. Hanya ada beberapa shaf laki-laki. Jamaah wanita bahkan lebih sedikit lagi. Sangat sepi untuk ukuran mesjid dengan luas sekitar 6400 m3 dan daya tampung jamaah sekitar 10.000 orang.
Tujuan terakhir sebelum balik ke Tebing Tinggi adalah kawasan Ancol, di pinggir sungai Batang hari. Lokasinya persis tegak lurus dengan rumah persinggahan kami tadi siang di seberang sungai. Sepanjang lokasi ini dipenuhi oleh penjuan makanan dengan gerobak, sebagian besar adalah jagung bakar dan air tebu yang digiling langsung ditempat. Kami memesan jagung bakar dan air tebu, kemudian mencari tempat duduk. Pemandangan di depan kami adalah sungai Batang Hari di malam hari. Perahu-perahu penyeberangan hilir mudik menyeberangkan orang dan motor. Sebuah kapal motor kecil merapat kepinggir. Penumpangnya turun dan menuju ke darat melewari jembatan kayu dari dermaga.
Suasana di Ancol tidak terlalu ramai. Tetapi saat liburan dan akhir pekan, lokasi ini dipenuhi oleh pengunjung yang ingin bersantai, terutama sore dan malam hari.
No comments:
Post a Comment