Thursday, February 17, 2011

Makanan Aceh di rantau ...

Berada jauh dari kampung halaman bukan berarti kami tidak bisa menikmati makanan kesukaan dari daerah asal. Dengan memanfaatkan bahan dan bumbu yang tersedia, penguasa dapur dengan piawai meramu beragam makanan khas Aceh dengan citarasa yang bisa dibanggakan ketetangga sekitar. Pasar mingguan di kota kecil tempat kami tinggal menyediakan beragam bahan makanan dan bumbu tradisional yang kami perlukan.

Daun teumeurue (daun kari) kami peroleh dari pohon yang ditanam di depan rumah, di pinggir jalan, jadi sekaligus berfungsi sebagai peneduh. Bibitnya didapat dari seorang kawan beberapa tahun yang lalu. Sekarang pohonnya sudah besar, dengan diameter batangnya mencapai sekitar lima belas sentimeter. Beberapa kali cabang dan dahannya harus dipangkas karena sudah mengenai kabel listrik.

Daun "teumeurui"

Beberapa bahan makanan memang harus didatangkan dari Aceh, karena tidak tersedia di sini. Asam sunti tidak bisa dibuat dengan belimbing yang ada di sini. Mungkin perlu garam khusus - ceritanya harus menggunakan garam yang dimasak secara tradisional - tidak tahu alasannya kenapa. Juga pliek u mustahil bisa diperoleh disini. Bahan-bahan tersebut "terpaksa" minta dikirim dari tempat asalnya, atau dibawa saat kami kembali ke Aceh dalam jumlah yang cukup.

Ikan tongkol yang berukuran besar mudah didapat walaupun kondisinya sudah tidak lagi bugar. Tongkol belang ini merupakan bahan utama jika ingin membuat ikan kayu. Ikan tongkol disiangi untuk dibersihkan lendir dari kulitnya, kemudian dibelah dan dipotong. Ukurannya tergantung ikannya. Biasanya, ikan tongkol dibelah menjadi empat bagian, kemudian setiap bagian dipotong menjadi dua lagi. Daging ikan dibersihkan dari sisa-sisa darah yang menempel. Selanjutnya ikan akan direbus selama setengah sampai satu jam, hanya dengan berbumbu garam dan air perasan jeruk nipis saja. Ikan harus betul-betul masak sampai ke bagian dalamnya. Ikan yang sudah masak kemudian ditiriskan untuk membuang airnya, dan seterusnya dijemur di panas matahari, hingga permukaan ikan menjadi kering dan liat, sehingga tidak hancur saat dipotong dan dibelah.

Ikan tongkol untuk membuat ikan kayu

Ada beberapa versi masakan ikan kayu ("keumamah") yaitu dimasak dengan santan ataupun tidak menggunakan santan. Secara pribadi, saya lebih menyukai yang tidak memakai santan. Cara masaknya sederhana. Sepotong ikan kayu kering direndam supaya mudah untuk dipotong, kemudian diiris tipis-tipis. Campurkan sekitar lima sendok makan asam sunti giling dengan setengah sendok makan cabe merah giling - atau lebih jika ingin lebih pedas, atau masukkan juga setengah sendok makan cabe rawit giling, sedikit kunyit bubuk, aduk dengan ikan. Belah dan potong beberapa cabe hijau. Iris 5 siung bawang merah, kemudian tumis dengan kira-kira setengah cangkir minyak makan. Setelah harum, masukkan ikan yang sudah dicampur dengan bumbu. Tambahkan beberapa lembar daun teumeurui. Tambahkan garam secukupnya, masak sampai matang.

"Keumamah", gulai ikan kayu

Kalau lagi musimnya, jamur merang mudah sekali ditemui di pasar. Jamur ini diperoleh para pengumpul di perkebunan sawit, tumbuh begitu saja di pelepah-pelepah sawit di sekeliling pohon-pohon sawit. Harganya sekitar sepuluh hingga lima belas ribu rupiah sekilonya. Dimasak dengan cara ditumis, rasanya nyaris tidak berbeda dengan jamur merang yang tumbuh di jerami sawah ("kulat jumpung") ataupun jamur merang yang tumbuh di batang pisang mati ("kulat pisang") atau jamur yang tumbuh di sarang rayap ("kulat pak").


Jamur merang dari kebun sawit

Tumis jamur

Membuat kuah pliek memerlukan persiapan yang lebih rumit, karena bahan dan bumbunya lebih beragam. Beragam macam sayuran - terutama daun dan buah melinjo muda, yang tidak boleh ketinggalan, dimasak dengan santan dan pliek u yang dihaluskan serta berbagai bumbu lainnya, menghasilkan cita rasa makanan yang luar biasa bagi yang menyukainya. Biasanya dimakan dengan nasi panas dengan ditemani ikan asin dan kerupuk kulit.

Kuah Pliek

Tiram tidak pernah kami temui di pasar. Ada sejenis kerang-kerangan berukuran kecil yang disebut pensi, yang sudah dibersihkan dan dikupas dari cangkangnya. Ukurannya paling besar hanya 5 mm saya, dengan warna krem keputihan dan bertekstur lembut. Dimasak dengan cara yang sama dengan memasak tiram di Aceh, rasanya tidak jauh berbeda.

Ikan air tawar ("eungkot paya" atau "eungkot lueng") yang bukan hasil budidaya, seperti lele rawa, gabus, toman, puyu ("kruep") selalu tersedia di pasar. Walaupun rasanya tidak semegah dengan ikat air tawar di Pidie sana - mungkin karena lingkungannya berbeda -, tetap merupakan suatu kemewahan untuk menyediakan masakan ikan air tawar tersebut, terutama lele, dalam menu masakan dengan cara diolah secara khas Aceh. Apalagi dimasak dengan bunga kincong ("bungong kala"). Lele hasil ternakan, rasanya hambar.

Gulai lele dengan bunga kincung

No comments:

Post a Comment