Jalanan yang relatif bagus membuat para pemakai jalan bisa memuaskan selera primitif mereka: memacu kenderaan sampai batas keberanian yang dimiliki. Masalah kecepatan bukan lagi masalah lebih cepat sampai ke tujuan, tetapi lebih kepada masalah siapa yang didepan dan siapa yang lebih cepat. Tidak ada hadiah untuk para pemenang. Hukuman besar justru menanti bagi para pecundang: kecelakaan dengan berbagai resiko.
Pengemudi yang peduli dengan dirinya, kenderaan dan orang-orang lain di jalan raya mengemudi dengan kecepatan yang wajar. Mereka yang tidak peduli dengan orang lain di jalan raya, mengemudi dengan kecepatan tinggi. Dan mereka yang tiak peduli apa-apa mengemudi dengan kecepatan lebih tinggi dan ugal-ugalan. Orang-orang seperti ini, menganggap pemakai jalan lain sebagai penghalang. Orang-orang lain harus minggir seminggir-minggirnya saat mereka ingin melaju kencang. Terlambat menepi sedikit, klakson keras meraung, diikuti dengan tatapan tajam dan mengancam. Jalanan memang dikuasai oleh orang-orang gila.
Etika berkendara di jalan raya sepertinya menghilang. Anak-anak tanggung dengan sepeda motor merupakan ancaman besar bagi orang-orang lain di jalan raya. Satu-satunya keahlian yang mereka miliki adalah memutar gas sepeda motor dan menekan rem. Tidak lebih dari itu. Mobil-mobil pribadi dengan plat nomor dari berbagai daerah juga menunjukkan tabiat yang sama. Seolah jalan ini ada hanya untuk mereka saja, dan pemakai jalan yang lain harus menyingkir saat mereka berada di sana.
Jalan raya berubah menjadi belantara yang mengerikan. Berbagai kenderaan dengan berbagai jumlah roda melaju kencang. Butuh sampai sepuluh menit untuk menyeberang jalan raya di kampung yang biasanya sangat sepi. Menyeberang harus cepat karena jalanan hanya kosong selama beberapa detik. Kenderaan kecil dengan jumlah roda paling sedikit justru yang paling beringas, baik kenderaannya ataupun pengendaranya. Mereka menyelip kiri kanan setiap ada celah kosong. Kenderaan yang lebih besar justru lebih toleran, apalagi truk-truk yang merayap lambat.
Tidak heran kalau kecelakaan sering terjadi. Lepas dari Lhok Nibong, disebuah tikungan yang tidak seberapa patah di ujung jembatan, kami mendapati orang-orang ramai berkerumun. Kenderaan-kenderaan berhenti untuk menengok, sehingga kemacetan kecil terjadi. Kami ikut berhenti. Rupanya sebuah SUV yang tidak bisa dikendalikan ditikungan tersebut menabrak sebuah pickup tua yang berjalan pelan didepannya. Laju SUV yang cukup tinggi menyebabkan pickup tersebut terpental dari jalan dan jatuh ke jalan tanah sekitar dua meter dibawahnya. Tidak cukup sebuah pickup untuk menghentikan laju SUV tersebut, yang terus meluncur sehingga ikut terguling ke bawah. Dan disanah mereka berada: pickup yang pintu bak belakangnya terlepas, dan SUV yang terbaring telentang dengan roda menghadap langit. Bagian depan SUV tersebut berantakan. Para penumpangnya babak beelur dan cedera. Pengemudi pickup sebenarnya tidak apa-apa, hanya kaget setengah mati. TIdak terima ada kenderaan lain yang melaju pelan di depan sehingga menghalangi jalan mereka sehingga menyebabkan kecelakaan, supir SUV tersebut mengamuk dan memukuli supir pickup tersebut. Masyarakat yang berdatangan ke tempat kejadian, digertak dengan kekuasaan dan taring yang dimililiki: pamer senjata api genggam untuk menunjukkan siapa mereka. Karena masyarakat semakin ramai, mereka melarikan diri meninggalkan korbannya yang babak belur.
Saya membayangkan seandainya di depan mereka tadi bukan pickup butut yang berjalan pelan, tetapi pohon besar yang tumbuh di pinggir jalan, atau tiang jembatan yang kokoh. Apakah mereka akan membawa chainsaw ataupun excavator untuk memotong pohon tersebut atau mengeruk habis tiang jembatan tersebut karena berada di tempat yang salah pada saat mereka ingin ngebut? Seharusnya jalan yang harus ada di situ, di depan mereka, bukan tiang jembatan, bukan pohon. Apalagi pickup butut yang berjalan pelan sehingga menghalangi kenderaan mereka yang ngebut kencang.
Kami di sana juga diinterogasi oleh warga, apakah kami satu rombongan dengan penumpang SUV tersebut? Apakah kami kenal nereka? Tidak, kami tidak kenal mereka. Kami hanya pelintas yang kebetulan lewat. Ada apa rupanya? "Jangan mentang-mentang punya senjata bisa memukuli orang seenak perutnya saja! Kami juga bisa emosi, bukan hanya mereka!", seorang warga memberi penjelasan dengan muka sangar. Orang-orang semakin berkerumun dan kami pelan-pelan menjauh. Entah apa tindakan yang ingin diambil mereka. Bisa saja mereka kalap dan membakar SUV tersebut. Tetapi sepertinya hal tersebut tidak terjadi. Saat kami meneruskan perjalanan, serombongan polisi bersenjata tiba dilokasi dengan sirene yang meraung-raung.
Malam hari, memasuki Tanjungpura, jalanan semakin ramai oleh kenderaan. Roda dua melintas dengan cepat, roda empat dan lebih banyak merayap pelan mengikuti antrian dalam kemacetan. Tiba-tiba semua laju kenderaan terhenti, tidak ada yang bergerak lagi. Di depan kami sebuah truk besar menghalangi. Orang-orang berlarian ke depan. Sebuah kecelakaan telah terjadi. Beberapa menit kemudian, seorang perempuan muda dipapah dua orang melintas di samping kami, sedang menangis. Dibelakangnya seorang ibu-ibu berteriak, "Hancur! Betul-betul hancur!". Kami tidak mengerti apa yang dimaksud dengan hancur. Apakah kenderaannya, atau sekalian dengan pengendaranya. Selama sepuluh menit tidak ada gerakan kenderaan sama sekali, hanya sepeda motor yang menyelip diantara kenderaan-kendaraan yang lebih besar. Tiba-tiba seseorang muncul di depan kami, menuruh untuk maju. "Motor kecil bisa lewat", katanya. Motor adalah istilah Sumater bagian utara untuk mobil. Kamipun bergegas untuk maju, diikuti oleh kenderaan lainnya. Beberapa puluh meter dari tempat kami berhenti tadi, terpampanglah pemandangan yang mengerikan: seorang lelaki muda tertelentang di tengah jalan. Dalam temaram lampu mobil-mobil kami melihat dengan jelas, sepeda motor terbalik dengan kondisi yang betul-betul berantakan. Darah memenuhi jalan. Samar-samar kami bisa melihat - walaupun sebenarnya kami tidak ingin melihat - muka korban yang hancur. Sangat mengerikan. Tidak dketahui apa yang menabraknya. Kenapa orang-orang tidak berinisiatif untuk menutup korban - setidaknya bagian wajahnya dengan sesuatu?
Di Aek Kanopan, dalam antrian kemacetan dari kedua arah, sebuah sepeda motor melaju cukup kencang dari arah depan dan menyelip untuk menyeberang ke sebuah SMU. Tidak terkendali, roda depan tergelincir dan jatuh Pengendara dan penumpangnya tersungkur, seseorang malah meluncur dalam kondisi telungkup di pinggiran jalan yang berbatu-batu kerikil. Tidak ada yang parah, memang, hanya memar-memar dan goresan-goresan yang berdarah-darah. Seharusnya hal ini tidak akan terjadi jika mereka bisa lebih bersabar.
Melewati Kandis, kembali kami mendapati sebuah truk yang terbalik di sebuah penurunan curam yang diikuti oleh tikungan patah. Kami tidak berhenti karena sedang berada dalam antrian kemacetan, dan juga tidak ada tempat untuk berhenti. Pinggiran jalan terlalu sempit, dan kenderaan ramai dari kedua arah jalan.
Jalanan memang belantara yang kejam.
No comments:
Post a Comment