Tuesday, November 09, 2010

Situjuh ...

Akhir pekan lalu seorang tetangga mengajak kami ke kampungnya di daerah Situjuh, Payakumbuh. Terletak di lereng pebukitan, Tanjuang Simantuang bercuaca dingin sepanjang tahun. Desa tersebut terletak sekitar empat belas kilometer dari kota Payakumbuh. Dari arah Payakumbuh menuju ke Bukittinggi, di simpang empat Ngalau Indah berbelok ke kanan, menyusuri jalan mulus. Semakin keluar kota, jalanan semakin menyempit, walaupun kondisinya tetap aspal yang mulus. Jika ada kenderaan roda empat yang berselisih jalan, salah satu harus mengalah untuk membiarkan yang lainnya lewat.

Kami berangkat selepas magrib. Sebenarnya perjalanan hanya berjarak sekitar dua ratus lima puluh kilometer saja, tetapi karena sering berhenti di sepanjang jalan, kami baru sampai di tujuan jam empat dinihari. Tuan rumah meyambut kami dengan ramah.

Setelah sempat tidur sebentar, selesai shalat subuh saya mengajak Sarah jalan-jalan. Cuaca dingin berkabut, jadi kami memakai jaket untuk melawan dingin. Kami menempuh jalan yang basah karena bekas hujan semalam. Dedaunan menghijau dari pohon dan perdu yang tumbuh di kiri kanan jalan. Di depan rumah sebatang durian sarat dengan buah durian yang besar-besar.

Sekitar dua puluh menit berjalan, kami sampai di pesawahan. Sawah di daerah ini ditanami sepanjang tahun, nyaris tidak pernah kosong. Nampak petak sawah yang baru dipanen, sementara petak-petak yang lainnya masih menghijau. Sementara beberapa petak di sebelahnya sedang dibajak dengan traktor tangan. Air tersedia sepanjang tahun.

Panorama yang nampak luar biasa. Sawah berjenjang dengan hamparan padi yang hijau, diselingi oleh petak-petak sawah berisi padi yang menguning siap panen membuat pemandangan yang memukau. Udara sejuk segar mengisi paru-paru kami, sangat berbeda dengan udara tercemar limbah industri yang biasa kami hirup di tempat kami tinggal.

Banyak sekali anjing di sini. Nyaris setiap rumah memelihara anjing – kecuali rumah tempat kami berkunjung, tidak nampak anjing berkeliaran - kadang lebih dari satu ekor. Anjing-anjing tersebut adalah untuk menjaga rumah, walaupun ada juga anjing buruan, yang dipergunakan untuk olehraga buru babi yang sangat populer di daerah ini. Anjing-anjing yang kami lewati kadang menggertak dengan menggeram dan memamerkan giginya. Tidak ada masalah kalau cuma satu ekor. Tetapi kalau banyak, jika yang satu mulai menyalak karena kehadiran kami yang asing, yang lainnya ikut-ikutan. Ini mengkhawatirkan. Seorang kawan yang pecandu buru babi pernah mengingatkan cara menghadapi anjing-anjing kampung ini. “Jangan pernah lari kalau mereka menyalak, karena mereka akan menjadi agresif dan mengejar. Jika yang satu mengejar,hadapi saja. Mereka tidak akan berani. Tongkat akan sangat berguna. Pukul anjing terdekat sekuatnya, sehingga kaingnya bisa membuat yang lainnya ketakutan”. Tetapi saya tidak sampai perlu seperti itu di sini. Beberapa kali kami melewati gerombolan anjing-anjing, aman-aman saja. Kadang anjing-anjing tersebut mengendus-ngendus dalam jarak yang sangat dekat, sehingga Sarah ketakutan. Tetapi sebentar kemudian pemiliknya memanggil mereka. Anjing-anjing tersebut dengan patuh meninggalkan kami.

Rumah-rumah yang kami lewati kebanyakan rumah sederhana, walaupun beberapa ada yang berupa gedung yang cukup bagus. Penghidupan masyarakat di sini bertumpu pada pertanian, sawah dan ladang. Sapi-sapi dan kerbau-kerbau dalam berbagai ukuran mengisi kandang-kandang dekat rumah penduduk. Kerupuk opak – salah satu produksi dari daerah ini – dijemur berjejer dalam jumlah besar di panggung-panggung di pinggir jalan.

Cuaca dingin membuat selera makan menjadi besar. Semua makanan terasa enak. Makanan khas daerah ini, pangek atau gulai (sebenarnya lebih mirip asam pedas dibandingkan gulai) ikan atau daging menjadi menu utama. Tuan rumah minta maaf berulang kali karena tidak cukup menjamu kami, padahal semua macam makanan sudah terhidang.

Sabtu siang kami ke Harau. Kemarau yang sudah berlangsung hampir dua bulan membuat debit air terjun menjadi kecil. Di salah satu air terjun yang ada kolam pemandiannya, kolamnya malah kosong sama sekali. Tumpukan sampah menggunung di dasar kolam, menunggu untuk dibersihkan. Dua air terjun yang lain, masih ada airnya walaupun sedikit. Suasana ramai oleh pengunjung yang mandi atau sekedar bersantai.

Hanya dua hari kami di sini. Minggu siang kami balik ke tempat kami tinggal, setelah sebelumnya sempat lagi singgah ke Harau. Pengunjung ramai, karena sekarang hari Minggu. Kolam menjadi penuh dengan orang-orang dan anak-anak yang mandi. Menjelang jam empat sore kami meninggalkan Harau. Di jalan kami sempat berhenti dan beristirahat di Tanjung Alai, menikmati makanan kecil dan suasana matahari terbenam.


Durian di depan rumah




Sarah kelelahan setelah perjalanan mendaki













Suasana matahari terbenam di Tanjung Alai

No comments:

Post a Comment