Monday, September 20, 2010

Mudik - Perjalanan ...

Dari tempat kami tinggal di Riau ke Banda Aceh berjarak sekitar 1300-an kilometer, sekitar tiga puluh jam dengan perjalanan darat dengan kecepatan wajar. Untuk perjalanan tersebut, dengan tingkatan ekonomi seperti kami, dengan jumlah empat orang, menggunakan rental mobil jauh lebih murah dibandingkan dengan menggunakan bus. Ongkos dari tempat kami ke Medan saat lebaran seperti ini adalah sekitar dua ratus lima puluh ribu per orang, berarti satu juta untuk empat orang. Ongkos dari Medan ke Banda Aceh adalah sekitar delapan ratus ribu untuk empat orang. Total tiga juta enam ratus untuk perjalanan pulang pergi, belum biaya untuk makan, biaya dari rumah ke terminal dan biaya di Medan dari terminal di Marindal ke terminas bus Aceh yang kebanyakan berada di sekitar Gajah Mada ataupun Pondok Kelapa. Menggunakan mobil rental, dengan biaya duaratus lima puluh ribu rupiah per hari, kali sepuluh hari sama dengan dua juta lima ratus ribu rupiah. Dengan menggunakan mobil-sejuta-umat yang irit, biaya bahan bakar pulang pergi adalah sekitar satu juta rupiah. Jauh lebih hemat, apalagi jika dibandingkan bahwa selama di Banda Aceh kami akan punya alat transportasi sendiri kemana-mana. Ditambah kekeluasaan yang tidak ditawarkan kenderaan umum, bahwa kami bisa berhenti kapan saja dan dimana saja kami suka. Tetapi, kenderaan tua kami masih sanggup untuk dibawa dalam perjalanan jauh. Mudik tahun lalu, dengan menggunakan kenderaan yang sama, bahkan melintasi medan lintas tengah yang berat antara Padang Sidempuan - Tarutung, tidak ada masalah apa-apa yang terjadi. Soal bahan bakar, dengan kecepatan yang wajar dan masuk akal, lumayan irit. Dengan harga bahan bakar bensin Rp 4500 per liter, hanya perlu sekitar tiga ratus enam puluh lima ribu rupiah dari tempat kami tinggal untuk sampai ke Banda Aceh.

Direncanakan dalam perjalanan panjang ke Banda Aceh, kami tidak akan menginap di perjalanan. Untuk tidur, mandi dan salat, kami akan menggunakan fasilitas yang disediakan SPBU dan rumah makan, yang kebanyakan menyediakan sekedar tempat beristirahat bagi para supir dan para pelintas yang kelelahan. Tidur sebentar untuk mengembalikan tenaga, kemudian perjalanan akan diteruskan kembali sampai kelelahan kembali mendera. Begitu seterusnya. Perjalanan akan difokuskan pada waktu-waktu jalan lenggang - malam hari, terutama tengah malam dan dini hari, ataupun siang hari. PAgi hari dan sore hari menurut pengalaman kami, lalu lintas jalur yang kami tempuh adalah sangat ramai, terutama keluar dari tempat tinggal kami dan antara Kisaran - Medan, dan antara Binjai - Besitang.

Tanggal 7 September dinihari kami berangkat meninggalkan kediaman kami. Bangku belakang sudah diatur dengan tas-tas sehingga kedua putri kami bisa tidur dengan nyaman selama perjalanan. Berbagai perbekalan sudah disiapkan untuk kemudahan selama perjalanan. Kenderaan sudah diservis beberapa hari yang lalu, dan diharapkan semuanya lancar selama perjalanan. Jalanan sangat lenggang. Melewati jalan buruk dari kota kecil tempat kami tinggal sampai ke jalan provinsi, kami tidak menjumpai kenderaan yang melintas. Tengah malam sudah lewat, dan sahur masih lama. Kami memang memilih waktu yang aneh untuk perjalanan.

Mesjid di Rokan Hilir

Jalan lenggang sehabis subuh di Rokan Hilir

Rencananya kami tetap akan berpuasa selama perjalanan. Tetapi, cuaca panas yang mendera membuat cairan tubuh cepat habis. Rasa haus yang melanda membuat fokus untuk mengemudi menjadi berkurang. Jadi puasa kami batalkan, walaupun sebelumnya di Kandis kami sudah sahur. Makan siang tidak menjadi masalah di perjalanan dalam bulan puasa di jalur pelintasan ini. Banyak rumah makan - pemilik dan pegawainya muslim yang tetap berpuasa - yang buka di siang hari. Kami memilih rumah makan besar Arowana di Bagan Batu untuk sarapan sekaligus digabung dengan makan siang. Pegawai rumah makan tersebut tetap berpuasa, dan sepertinya tidak merasa terganggu walaupun pengunjungnya makan dan minum di depan mereka. Yang berkunjung saat kami di sana adalah para penumpang dari beberapa bus yang khusus berhenti di depan rumah makan ini, ditambah para pelintas lain yang menggunakan beberapa kenderaan pribadi. Suatu hal yang pasti tidak akan kami temui dilintasan Medan - Banda Aceh, atau di bagian Aceh manapun. Tidak ada rumah makan yang buka di siang hari di bulan puasa.

Semakin siang, kenderaan semakin ramai. Kebanyakan bus dalam berbagai ukuran yang dipenuhi penumpang, dan kenderaan roda dua. Tidak ada truk-truk besar bermuatan kayu balak yang biasanya merajai wilayah ini. Ada beberapa kenderaan roda dua - sepertinya berombongan mudik - yang selalu kami temui di jalan. Mereka juga dalam perjalanan jauh seperti kami. Keluarga kecil dengan satu anak, dengan tas yang diikat di kayu tambahan di belakang sepeda motor, pengendara yang berpasangan, ataupun yang sendirian. Yang lebih tua memacu kenderaannya dengan santai, alon-alon dan penuh perhitungan untuk keselamatan. Yang lebih muda - apalagi yang sendirian - memacu kenderaannya lebih kencang, kadang menyelip diantara kenderaan lainnya dengan beringas menantang petaka.

Kondisi jalan sepanjang perjalanan rata-rata bagus. DI Kandis jalan sedang ditinggikan sepanjang beberapa ratus meter, kenderaan harus lewat bergantian dari satu arah. Jalan di Ujung Tanjung yang selama ini terkenal dengan kondisinya yang keriting sekarang sudah mulus. Apalagi memasuki wilayah Sumatera Utara dan Aceh. Hanya sedikit kondisi jalan yang jelek di sekitar Kuala Simpang. Yang lainnya mulus sekali, lebar membentang dengan marka jalan yang jelas. DI Lhok Seumawe ada beberapa tempat yang jembatannya sedang diperbaiki, kenderaan harus antri untuk lewat. Selebihnya, jalan dalam kondisi bagus sampai ke Banda Aceh.

Kami berhenti di berbagai tempat. Di Kandis kami makan sahur, walaupun puasanya kemudian batal. Di Rokan Hilir kami berhenti di sebuah SPBU untuk istirahat dan shalat subuh. Di Bagan Batu kami berhenti untuk sarapan sekaligus makan siang. Di Rantau Prapat kami berhenti cukup lama - sekitar dua jam - untuk beristirahat, bahkan sempat masuk ke Suzuya untuk jalan-jalan dan membeli beberapa barang. Rencana beristirahat bahkan tidak jadi. Lepas dari Rantau Prapat, kembali kami berhenti di daerah Kebun Durian. Lokasi kebun sawit di kiri kanan jalan menawarkan keteduhan yang menyejukkan untuk beristirahat. Warung-warung berderet di kiri kanan jalan, ditambah dengan warung-warung dadakan yang didirikan seadanya. Yang ditawarkan mereka adalah makanan dan minuman, ditambah dengan tikar-tikar yang dibentangkan di keteduhan pepohonan karet untuk beristirahat bagi para pelintas.Kabarnya lokasi ini merupakan daerah warung remang-remang, tetapi saat ini mereka tidak menawarkan apapun selain makanan dan minuman dan tikar untuk tempat beristirahat. Saya malah sempat tidur sebentar di kerimbunan pepohonan sawit bebebrapa kilometer sebelum masuk kota Aek Kanopan. Tempatnya sangat teduh, dengan angin semilir yang sejuk. Banyak pengendara lain juga beristirahat di sekitar kami. Segera saya tertidur begitu saya berbaring di tikar yang dibentangkan begitu saja di atas tanah. Tidak lama, memang. Tidur sebentar sudah cukup untuk mengembalikan kesegaran untuk melanjutkan perjalanan. Makan malam kami lakukan di Medan, di Pondok Kelapa. Di depan pool bus Kurnia, banyak warung yang menjual berbagai makanan Aceh, mi aceh, nasi goreng, gulai bebek. Sayang sekali nasi goreng sedang tidak ada. "Pembuatnya sedang pulang kampung," pemilik warung menjelaskan. Hanya tersedia nasi dengan berbagai lauk khas Aceh dan mi aceh. Kami memilih makan nasi. Lauknya gulai bebek dan beberapa ikan laut yang dimasak aceh.

Pepohonan karet di Kebun Durian

Pepohonan karet di Kebun Durian

Pepohonan karet di Kebun Durian

Warung dadakan di pepohonan sawit di Kebun Durian

Pepohonan karet di Kebun Durian

Muatan becak overdosis di Langsa

Pendakian Mesin Giling, Seulawah

Pendakian Mesin Giling, Selawah

Pagi hari di Seulimuem

Menjelang Besitang, kami kembali berhenti di rumah makan Padang Sidempuan. Kami tidur sebentar di sini. Rumah makan ini buka sepanjang malam di bulan puasa. Sekitar jam tiga dinihari - saatnya orang sahur - kami kembali berangkat. Istirahat kembali di rumah kakak istri di Lhok Seumawe. Mandi memberi kami kesegaran kembali. Mengetahui kami tidak berpuasa, nasi dan berbagai laup pauk disediakan, walaupun tuan rumah dan penghuni rumah lainnya berpuasa. Kami makan dengan segan, karena hanya kami yang tidak berpuasa. Cukup lama kami di sini. Perjalanan kami teruskan lewat tengah hari. Di Bambi - daerah sebelum masuk kota Sigli - kami kembali berhenti untuk mengisi bensin dan beristirahat sekaligus shalat. Hujan mulai turun rintik-rintik. Bergegas kami melanjutkan perjalanan, dan di Kota Sigli kembali kami masuk kota. Kami memang sudah berencana untuk membeli mi caluek, gado-gado dan gulai bebek Sigli yang katanya enak sekali. Susah mencari tempat parkir, apalagi sore orang-orang ramai untuk mencari makanan berbuka puasa. Setelah berkeliling-keliling, gulai bebek kami peroleh di depan terminal lama. Tidak kami jumpai orang yang menjual gado-gado Sigli, tetapi kami memperoleh mi caluek yang (sepertinya) enak. Hujan mulai lebat, kami bergegas ke kenderaan setelah sebelumnya sempat bertegur sapa dengan Bang Azhari - abang kelas saat kuliah dulu - yang sudah lama tidak berjumpa.

Hujan lebat tidak lama. Melewati Simpang Beutong hujan berhenti. Kami kembali berhenti di tengah pendakian Mesin Giling, untuk menikmati mi caluek dan juga menikmati suasana matahari terbenam. Para pelintas dari dan ke Banda Aceh meramaikan jalan. Mi calueknya ternyata memang enak seperti yang kami bayangkan. Terakhir perhentian kami adalah menjelang Sibreh, di sebuah Meunasah kecil. Kami beristirahat dan salat. Sebenarnya Banda Aceh hanya tinggal sekitar dua puluhan kilometer lagi.

Begitu juga selama perjalanan balik. Dari Banda Aceh kami berangkat tanggal 16 September selepas subuh, karena rencananya akan ikut acara intat dara baro dari Teupin Raya ke Meuredu. Menginap semalam di kampung, perjalanan dilanjutkan tanggal 17 September pagi. Mengisi bensin penuh-penuh di SPBU Paru, perhentian selanjutnya adalah Lhok Seumawe. Disini kami beristirahat cukup lama sekaligus dijamu makan siang. Selepas Jumat kami berangkat kembali dan berhenti di sekitar Lhok Nibong untuk membeli oleh-oleh pisang sale dan istirahat salat. Makan malam kami lakukan sekitar jam dua belasan malam di Medan, lagi-lagi di warung makan Aceh di depan terminal Kurnia di Pondok Kelapa. Dari sini kami melanjutkan perjalanan kembali dan beristirahat cukup lama di sebuah SPBU di Tebing Tinggi. Bersama dengan pelintas lainnya, saya tidur di tempat beristirahat yang tersedia, sementara yang lainnya tidur di kenderaan. Cukup lama saya tidur di sini. Kami sarapan di sebuah warung kecil di daerah Pulau Maria. Perhentian yang cukup lama kami lakukan kembali di kota Rantau Prapat. Sementara, makan siang (sekaligus makan malam) kami lakukan di rumah makan Arowana Bagan Batu. Dari sini, perjalanan panjang kami lakukan sampai ke Kandis, di mana kami beristirahat sebentar di sebuah rumah makan. Inilah perhentian terakhir kami sebelum mencapai tujuan.

Penguasa jalan sebenarnya di Aceh - sapi

Kios-kios penjual keripik di Bireuen

Tidak ada masalah yang berarti dengan kenderaan tua kami selama perjalanan. Hanya sekali, saat kami berhenti di Lhok Nibong untuk membeli pisang sale sebagai oleh-oleh. Kedua putri kami tidur di jok belakang, jadi mesin kenderaan kami biarkan hidup untuk menghidupkan AC. Kaca jendela depan kami buka sedikit, supaya udara bisa berganti. Sekitar lima belas atau dua puluh menit kami berbelanja. Saat kembali ke kenderaan, kami mendapati ruangan kendaraan luar biasa panas, kedua putri kami sudah bangun dan kuyup oleh keringat. AC sudah tidak berfungsi. Jendela kami buka lebar-labar supaya udara luar leluasa masuk. Saat kami melanjutkan perjalanan, AC belum juga berfungsi. Saya menduga adalah masalah dengan thermostat. Tetapi, kira-kira tiga puluh menit kemudian, indikator penunjuk temperatur naik diatas yang biasanya. Kami langsung berhenti di depan sebuah mesjid. Ternyata air radiator berkurang, bahkan yang di reservoir cadangan habis sama sekali. Saya mengisi radiator dan reservoir cadangan dengan air minum botolan. Ternyata kemudian semuanya menjadi normal kembali. Temperatur mesin kembali normal, AC juga berfungsi dengan normal. Tidak diketahui kemana air radioator menghilang, karena tidak ada kebocoran. Juga tidak ada lagi kekurangan air radiator selama perjalanan sisanya ke tujuan kami.

Menikmati sunrise di jalanan di Limapuluh, Sumatera Utara

Istirahat di SPBU Aek Natas, Sumatera Utara

No comments:

Post a Comment