Thursday, September 23, 2010

Mudik - Seulawah kini tidak lagi sepi

Menuju ke Banda Aceh dari arah timur, akan melewati jalan yang melintasi pegunungan. Melewati daerah Padang Tiji, jalan mulai mendaki gunung Seulawah. Pendakian akan terus berlangsung dengan sudut kemiringan yang kecil, jauh dan lama, hingga mencapai Simpang Beutong. Disini jalan melewati dataran sejauh beberapa kilometer, dan mulai mendaki lagi, terjal dan berkelok, lama dan jauh. Pendakian terjal ini dikenal dengan nama Pendakian Mesin Giling. Walaupun kondisi jalan saat ini bagus, kendaraan-kendaraan berat yang melintas masih terengah-engah mendaki. Truk-truk bermuatan berat berisi berbagai komoditi dari arah Medan mesinnya meraung-raung, kadang dengan asap yang cukup tebal, untuk mengeluarkan tenaga ekstra besar yang diperlukan untuk menaklukkan pendakian. Bus-bus dan kendaraan lain yang lebih kecil lebih gampang mendaki, melesat kencang melewati jalan. Makin ke atas, panorama semakin indah. Kalau hari cerah kita bisa menengok Selat Malaka yang membiru gelap di sebelah kanan, yang nampak begitu dekatnya sehingga seolah bisa dijangkau. Pendakian mencapai puncaknya di Pesanggrahan, sekarang menjadi Tahura Cut Mutia. Di sebelah kiri ada beberapa rumah peristirahatan yang berasal dari jaman kolonial Belanda, yang masih dalam bentuk aslinya. Sayang, dulunya tidak mendapat perawatan sehingga menimbulkan kesan rumah tua yang angker. Dari Pesanggrahan, jalan mulai menurun, dengan kelokan-kelokan tajam yang rapat. Jalanan datar kembali di jumpai saat memasuki daerah dataran tinggi Saree.

Saree merupakan sebuah kota pesinggahan bagi para pejalan yang menuju Banda Aceh. Dulunya mayoritas dihuni oleh para transmigran yang ulet mengolah tanah untuk menghasilkan hasil pertanian. Saat konflik memuncak, mereka terpaksa dan dipaksa untuk meninggalkan daerah ini karena alasan keamanan. Tanah gunung yang subur dan cuaca yang dingin membuat berbagai tanaman pertanian tumbuh dengan baik. Yang sangat terkenal adalah ubi jalar Saree - orang Aceh menyebutnya boh geupila Saree. Sebenarnya ubi jalar biasa saja, berwarna ungu campur kemerahan, kadang ada juga yang berwarna orange. Dijual mentah kiloan di kios-kios dipinggir jalan, ubi jalar ini menjadi oleh-oleh khas Saree, bersama dengan produk olahannya, seperti keripik. Selain ubi jalar, beragam produk pertanian memenuhi kios-kios, menunggu untuk dibeli oleh para penumpang kendaraan yang melintas. Rentengan jagung mentah, gundukan jagung rebus yang masih mengepulkan uap panas, kacang tanah rebus beserta akar-akarnya, tape ubi kayu, dan lain-lain. Ini membuat kota kecil Saree hidup terus selama 24 jam. Warung-warung makanan dan kecai kopi juga tidak pernah tutup. Bus-bus dan kendaraan lainnya seringkali berhenti sejenak dan membiarkan menumpangnya untuk beristirahat dan mengisi perut di sini. Setelah itu, mereka akan membeli oleh-oleh untuk dibawa. Warung-warung makanan rata-rata menjual makanan khas Aceh. Nasi dan berbagai macam lauk, mi aceh, martabak telor, kopi aceh dan lain-lain. Tidak ketinggalan berbagai jajanan kue basah yang dihidangkan bersama dengan kopi dan minuman lainnya.

Melewati kota Saree, sebelah kanan adalah sekolah kejuruan pertanian, dengan latar belakang gunung Seulawah Agam yang menjulang tinggi. Jalanan landai sampai kira-kira beberapa kilometer keluar kota, baru kemudian disambut lagi dengan turunan-turunan dan kelokan-kelokan tajam. Suasana sepi, selain kenderaan yang melintas tidak ada aktivitas penduduk setempat. Kadang penurunan curam dengan kelokan patah yang berbahaya. Sebelah kanan, jurang dalam menanti. Disuatu tempat, malah kelokan nyaris berbentuk huruf U, yang kemudian berbelok lagi menuju jembatan sempit, terus ke pendakian yang cukup curam. Habis lokasi tersebut jalan mulai menurun lagi. Penurunan terus berlanjut sampai ke lokasi Cinta Alam, dimana sekolah polisi berada. Lokasi ini juga berkembang menjadi kota kecil, dengan perumahan, rumah makan dan kedai-kedai untuk kebutuhan penduduk setempat. Namun tempatnya tidak pernah seramai Saree. Dari sini, jalanan sudah mulai melandai. Penurunan Seulawah terus berlangsung sampai memasuki daerah Lamtamot.

Daerah ini rawan kecelakaan. Penurunan curam dan jalan yang mulus kadang membuat laju kendaraan tidak terkendali, dan berakhir pada situasi yang tidak diinginkan. Pernah sebuah truk tangki kehilangan kendali beberapa kilometer dari awal pendakian Mesin Giling dari arah Simpang Beutong, meluncur deras ke bawah, dan terguling beberapa kali. Bensin yang dibawanya tumpah dan menyulut kebakaran. Laju truk terhenti di pinggir jalan persis di titik awal pendakian. Ledakan besar terjadi, supir truk dan kernetnya tidak pernah bisa menyelamatkan diri. Manyarakat yang berdatangan ke lokasi kejadian hanya bisa menyaksikan truk terbakar habis beserta isinya tanpa bisa berbuat apa-apa. Setelah kebakaran berakhir, jasad awak truk tidak bisa dikenali sama sekali. Segumpal kecil emas ditemukan di dalam kabin truk, berasal dari kalung yang dipakai salah satu awak truk.

Dikelokan-kelokan patah, seringkali pengendara - apalagi yang belum pernah ke lokasi ini - tiba-tiba saja didepannya mendapati jalan berkelok begitu patahnya, dan didepannya adalah lembah dalam menganga tanpa petunjuk apa-apa. DIsinilah kecelakaan sering terjadi, kenderaan meluncur lurus ke jurang yang menunggu. Pernah juga kecelakaan kecil, di pendakian Mesin Giling, sebuah sedan yang meluncur kencang tidak bisa dikendalikan di sebuah kelokan tajam, menghantam sebuah truk yang merayap pelan mendaki. Walaupun tidak ada korban yang luka, sedan tersebut berantakan dilibas moncong truk.

Semasa konflik bersenjata, melintasi daerah ini, apalagi di malam hari, butuh nyali ekstra. Kalau dimasa damai, berkendara sendirian dan mendapati ada orang yang melintas membuat hati senang karena ada kawan, di masa konflik hal seperti itu justru dihindari. Kalau bisa, bahkan perjalanan malam melintasi daerah ini tidak dilakukan. Walaupun di Saree ada pos polisi, bahkan di lokasi Cinta Alam lebih banyak lagi polisi, tetap saja banyak daerah kosong dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi.

Sekarang, semuanya sudah berubah. Saat bencana tsunami menghantam pesisir Aceh tahun 2004 lalu, jalan ke Meulaboh rusak total. Otomatis, semua lalu lintas ke wilayah barat Aceh terpaksa melintasi jalur Seulawah. Kenderaan yang menuju dan dari Medan, yang ke Meulaboh, Tapaktuan, Takengon semuanya terpaksa melintasi daerah ini. Minggu pertama Januari 2005, suasana di gunung begitu ramainya setiap hari, kenderaan tidak putus-putusnya. Dibeberapa titik kemacetan terjadi, ratusan kenderaan mengantri dari kedua arah.
Saling serobot karena ketidak sabaran dan kekurang pedulian para pengendara membuat situasi kemacetan menjadi tambah parah. Warung-warung dan kios dadakan menjual berbagai makanan untuk para pelintas yang kelaparan terjebak kemacetan muncul di sepanjang jalan. Beberapa malah menjadi permanen, dan tetap buka sampai saat ini. Nyaris tidak ada lagi lokasi yang betul-betul sepi di sepanjang jalan Seulawah. Mulai keluar dari Padang Tiji, kios-kios darurat di pinggir jalan menjual berbagai hasil pertanian. Nangka, pisang, mentimun. Kadang durian kalau lagi musim. Tidak jauh dari lokasi tersebut, pondok penjual air tebu menanti. Daerah yang dulunya merupakan hutan belukar di kiri kanan jalan sudah beralih fungsi menjadi kebun. Ada hamparan kebun pisang yang luas, ada juga ladang-ladang yang ditanami dengan segala macam tanamam. Melewati Simpang Beutong, pondok-pondok penjual pisang menanti.

Pedagang makanan membuka tempat berjualan di berbagai tempat di sepanjang jalan di Seulawah. Ada yang berkelompok, ada yang berdiri sendiri. Beberapa lokasi yang menawarkan panorama indah menjadi daya tarik sendiri bagi para pelintas untuk berhenti dan beristirahat. Rumah makan yang besar bahkan melengkapi berbagai fasilitas, mulai dari pondok-pondok tempat makan bagi yang ingin menikmati suasana makan di tempat terbuka, toilet, kamar mandi, tempat sholat dan tempat beristirahat di mana para pelintas bisa sekedar meluruskan badan untuk menghilangkan penat. Rata-rata mereka buka selama dua puluh empat jam setiap hari. Makanan yang dijual beragam, mulai dari nasi dengan berbagai lauk khas, mie aceh dan martabak dan lain-lain. Tidak ketinggalan meja-meja yang berisi berbagai keripik dan makanan lainnya untuk oleh-oleh. Tempat seperti ini rata-rata punya pelanggan sendiri diantara supir bus. Ada ikatan kecocokan tertentu antara para supir bus dengan pemilik rumah makan. Dan, yang paling penting, awak bus tidak usah membayar apapun yang mereka makan dan mereka minum. Ini adalah bentuk terimakasih dari pemilik rumah makan kepada mereka karena membawa pembeli.

Jika melintas menggunakan bus, saat berhenti di tempat-tempat seperti itu, belum lagi penumpang turun, pedagang-pedagang asongan mulai berkerumun menawarkan berbagai dagangan. Jagung rebus, ubi jalar mentah, keripik ubi kayu dan keripik ubi jalar dalam berbagai rasa, bungkusan-bungkusan mie aceh dan martabak telur yang masih panas mengepul, tape dan lain-lain. Dan selalu saja ada yang membeli. Mungkin pembeli merasa lebih praktis dan lebih cepat membeli dari pedagang asongan ketimbang memesan makanan serupa dan harus menunggu disiapkan.

Kalau dulu keripik ubi saree hanya ditemukan di kota Saree, sekarang semua tempat menjualnya. Kadang kita bisa langsung membeli ditempat mereka membuatnya di pinggir jalan, dengan harga yang seringkali lebih murah daripada yang sudah dikemas ataupun yang dijual pedagang asongan.

Melewati Saree, kita akan disambut oleh monyet-monyet yang menunggu makanan yang dilemparkan para pelintas di pinggir jalan. Monyet-monyet ini tidak lagi ketakutan akan kehadiran manusia, malah seringkali mereka mendekat berombongan untuk minta makanan. Berkelompok-kelompok mereka bertengger di pembatas jalan, kadang duduk di pinggiran jalan. Ada juga yang bersembunyi malu-malu di pohon-pohon dan baru turun ketika makanan dilemparkan. Penumpang-penumpang berhenti untuk memberikan makanan. Bahkan kadang ada yang sengaja membeli makanan di Saree untuk dibagikan kepada monyet-monyet tersebut.

Beberapa kilometer melewati Saree, di sebelah kanan jalan terletak perumahan Brimob yang baru dibangun sekitar tahun 2007. Kompleks yang megah dan ramai, walaupun terletak di pegunungan di tengah hutan belantara.

Memasuki Seulimum, sebelah kiri pondok pesantren modern Gontor 10 berdiri megah. Beberapa kilometer di depan, pondok-pondok penjual air tebu berderet di kiri kanan jalan, menawarkan tempat beristirahat dengan pemandangan menakjubkan di sebelah kiri jalan. Hamparan sawah luas di dataran rendah dari ketinggian bukit, dengan pelintasan rel kereta api lama yang membelah pesawahan menawarkan panorama yang memikat. Di pagi hari, daerah ini seringkali tertutup kabut tipis yang membawa suasana yang berbeda.










No comments:

Post a Comment