Saturday, April 17, 2010

... - Sidimpuan (1)

Berempat kami berangkat meninggalkan Pekanbaru ke arah Bukittinggi sekitar jam sebelas malam. Perjalanan menuju Sidempuan akan melintasi jalan yang tidak biasa, melewti Bukittinggi, Panti, Rao, Lubuk Sikaping, Kotanopan sampai ke Sidempuan. Dari Sidempuan kami akan melanjutkan perjalanan ke Prapat, setelah sebelumnya ke Sipirok, Dari Prapat kami akan pulang kembali melewati Limapuluh, Duri, Baganbatu dan Duri. Perjalanan diperkirakan akan berlangsung selama tiga hari, dengan menggunakan mobil carteran. Secara bergantian kami akan menyupir, sementara yang lainnya bisa beristirahat dan menikmati pemandangan.

Perjalanan berlangsung lancar. Melewati Bangkinang, di daerah Rantau Berangin, kami melewati pemeriksaan polisi. Polisi suka melakukan pemeriksaan kenderaan-kenderaan yang melintas dari Riau ke Sumbar dan sebaliknya. Siang hari sepertinya pemeriksaan seperti ini tidak pernah kami jumpai. Melewati kelok sembilan yang semakin rusak parah - sementara jalan baru belum selesai dibangun, kami sampai di Lubuk Bangku. Di depan sebuah rumah makan kami berhenti untuk makan. Rumah makan tersebut ramai dengan pengunjung, nyaris semuanya penumpang kenderaan seperti kami yang ingin beristirahat. Beberapa bus parkir di depan rumah makan tersebut. Bale-bale tempat beristirahat - hal yang umum di sini, hampir semua rumah makan memilikinya - penuh berisi kaum perempuan dan anakn-anak yang mencoba untuk berbaring dan tidur. Anak-anak kecil berlarian dalam ruangan rumah makan tersebut. Cuaca dingin khas pegunungan yang menusuk tidak dipedulikan mereka. Jam menunjukkan pukul 2 pagi. Setelah makan dan beristirahat sebentar, kami meneruskan perjalanan. Kota Payakumbuh kami lewati, senyap dalam gulita malam. Menjelang jam empat pagi kami sampai ke Bukittinggi. Di sebuah warung yang menjual oleh-oleh khas Bukittinggi di pinggir jalan yang menuju ke Medan kami berhenti untuk ngopi. Beragam kerupuk dan makanan ringan lainnya dipajang di depan warung. Penjaga warung, nampaknya masih segar bugar - tidak ada tanda-tanda kantuk di wajahnya - sibuk melakukan ini itu. Tejo mencoba untuk tertidur sebentar di bangku panjang warung - agak mabuk kenderaan nampaknya. Tadi di Lubuk Bangku Tejo sempat muntah-muntah dan kami ketawai. Yang lainnya sibuk dengan minuman masing-masing.

Kios penjual berbagai oleh-oleh di Bukittinggi


Terkapar di Bukittinggi


Pagi di Panti
Dalam gelap malam kami melintasi Palupuh, dengan jalan berliku yang seakan tidak habisnya. Seharusnya pemandangan cukup indah di lokasi ini, tetapi tidak nampak apa-apa dalam kegelapan malam. Tidak ada kenderaan lain yang melintas. Tiba-tiba jalan berliku berakhir dan kami menempuh jalan mulus yang lurus, walaupun tidak lebar. Kota Bonjol kami lewati, dan niat untuk berhenti di tugu equator dibatalkan, karena terlalu gelap. Rencananya kami akan berhenti dan beristirahat di sebuah rumah makan Aceh yang ada di wilayah ini. Tahun lalu saya pernah singgah di sana. Tetapi rencana tersebut batal, karena rumah makan tersebut tidak kami temui. Kami kembali berhenti di sebuah mesjid di Panti untuk salat subuh. Dibelakang mesjid kedengaran deru sungai, yang tidak nampak. Udara cukup dingin. Air yang menyentuh kulit muka
serasa air es.

Menjelang terang, kami kembali berhenti di Hutan Wisata Rimbo Panti, yang masih sepi. Plang nama bertuliskan berbagai fasilitas wisata di wilayah Pasaman tegak di depan lapangan parkir. Di sebelahnya, pintu masuk pemandian air panas terbuka lebar, dan tidak ada yang menjaga. Hari memang masih pagi, dan belum ada orang yang lalu lalang. Kami masuk ke tempat tersebut. Uap air mengepul dari genangan air dan sungai kecil. Sepertinya air cukup panas, dengan dasar sungai yang menghitam. Papan pengumuman menyatakan temperatur air mencapai 100 derajad Celcius. Cukup berbahaya jika sampai terjatuh ke dalam air. Kandungan belerang kayaknya cukup tinggi, dari bau air yang khas. Hutan lebat dan alami, dan cukup terpelihara. Sulur-sulur akar menjulur dari pepohonan, nyaris menutupi separuh badan jalan, menimbulkan
aura hutan basah tropis yang lebat. Udara cukup dingin.







Memasuki Rao, kami sarapan di sebuah warung kecil yang menjual berbagai makanan untuk sarapan. Anak-anak sekolah memenuhi bangku-bangku panjang yang disediakan pemilik warung, bahkan ada yang berdiri dan jongkok sambil menikmati sarapan. Tersedia nasi goreng, mi goreng, lontong sayur, dan berbagai jajanan. Kopi dan teh juga bisa dipesan. Rasanya enak. Tidak jauh dari situ, pasar Rao sedang menggeliat. Barang dagangan digelar begitu saja di pinggir jalan, dirubungi oleh pembeli. Keluar dari Rao, jalan kembali jelek. Agustus tahun lalu saat kami melintas di sini, jalanan masih berupa aspal yang terkupas dengan kubangan dalam di sana-sini. Sekarang aspalnya sama sekali hilang, berganti dengan tanah berlumpur. Kubangan juga masih ada di beberapa tempat. Perbaikan yang sedang dilakukan sepertinya didahulukan ke tanggul penahan jalan. Jika ada kenderaan melintas dari arah yang berlawanan, salah satu harus mengalah dan minggir seminggir-minggirnya. Jalanan sempit, ditambah dengan tumpukan pasir dan batu yang ditumpahkan begitu saja di tengah jalan. Untung jalanan yang rusak hanya belasan kilometer saja. Tiba-tiba saja jalan aspal yang lumayan bagus sudah didepan kami kembali.

Pasar pagi di Rao



No comments:

Post a Comment