... - Sidimpuan (6): Prapat - ...
Siang hari sekitar setengah dua belas kami memasuki kota Prapat. Langsung kami belok kiri melalui gapura besar menuju objek wisata Danau Toba. Biaya masuk lima ribu rupiah saja per kenderaan dan penumpang. Hari ini adalah hari Minggu, dan pengunjung sedang ramai-ramainya. Kami kesulitan mencari tempat parkir. Setelah berputar-putar akhirnya kami mendapat parkir di depan rumah penduduk. Bayar lagi tentunya. Tempat ini adalah satu dari banyak lokasi wisata yang ada di sekeliling danau Toba. Tempatnya luas, dengan berbagai fasilitas. Hotel dan penginapan semuanya menghadap ke danau. Dermaga ferry dan kapal tersedia bagi mereka yang ingin berkeliling di danau.
Dari tempat kami berada, halaman sebuah hotel, pemandangan ke sekililing danau sungguh mempesona. Apalagi langit biru cerah dengan sedikit awan. Pengunjung berdatangan tidak habis-habisnya. Beberapa kenderaan dengan plat dari Aceh parkir tidak jauh dari tempat kami. Penumpangnya turun dan menyebar. Sebagian menggelar tikar dan menyiapkan makanan. Anak-anak berlarian di lapangan berumput yang dipangkas rapi.
Kami berkeliling untuk menikmati suasana danau. Angin berhembus sejuk, walaupun matahari terik menyengat. Pinggiran danau yang landai dipenuhi oleh pengunjung yang ingin berenang. Dipinggir dipenuhi anak-anak, lebih ketengah adalah mereka yang lebih besar dan lebih berani. Rata-rata menggunakan pelampung dan ban dalam mobil. Perahu-perahu kecil juga ramai, dpenuhi penumpang. Sesekali speedboat melintas dengan kencang, menimbulkan ombak besar yang menghempas ke tepian. Nyaris tidak ada tempat lapang dipinggiran danau. Di beberapa tempat dipenuhi oleh pondokan yang disewakan. Tempatnya berupa bangunan beratap yang luas, yang disekat-sekat dengan dinding separoh, benlantaikan semen atau papan. Pengunjung bisa menyewa tempat ini sekalian dengan tikarnya. Biasanya sehabis mandi di danau, para pengunjung akan beristirahat di tempat-tempat seperti ini, untuk makan makanan yang dibawa mereka. Ada juga yang membakar ikan, baunya menyebar kemana-mana.
Dibagian yang lebih tinggi, dipenuhi dengan kios suvenir yang berjajar. Isinya berupa pernak-pernik khas danau Toba, mulai dari kaus sampai gantungan kunci. Harganya tergantung tawar menawar. Di salah satu kios kami membeli kaus dengan tulisan dan gambar mengenai Danau Toba. Harganya tidak terlalu menganiaya. Inang-inang penjual mangga khas daerah sini sibuk dengan tembakau suginya. Mangganya kecil dan kekuningan. Untuk menikmati mangga tersebut, tinggal kupas kulitnya dan kulum bijinya. Kami tidak tertarik untuk mencobanya, setidaknya untuk saat ini.
Sekitar jam empat sore kami berangkat menuju Siantar. Jalan berkelok-kelok menuruni gunung dengan pemandangan indah ke arah danau. Dari Siantar kami berbelok ke LImapuluh, untuk menempuh perjalanan pulang lewat Rantau Prapat. Hujan lebat sepanjang jalan, ditambah dengan kemacetan sepanjang lebih dari lima kilometer di Baganbatu membuat perjalanan menjadi lambat. Kami mengambil jalur alternatif melewati kebun sawit. Di beberapa pos petugas Security menyetop kami, minta uang rokok. Pagi hari kami sampai di Simpang Bangko, dan sarapan di salah satu rumah makan di pinggir jalan.
Siang hari baru kami sampai kembali ke kota kecil kami. Perjalanan panjang yang melelahkan, juga memberi kesan dan keinginan untuk melakukannya lagi.
Tuesday, April 20, 2010
Monday, April 19, 2010
... - Sidimpuan (5): Balige
Sampai ke Siborong-borong, tidak ada mesjid yang kami temui. Akhirnya kami sampai ke wilayah Balige. Kami meneruskan perjalanan, dan berhenti disebuah tempat dekat dengan monumen Siahaan, dimana kami bisa menikmati pemandangan Danau Toba di kejauhan. Matahari belum muncul dari timur, tetapi langit kemerahan ditutupi awan tipis menunjukkan sang surya akan segera muncul di langit. Beberapa anak kecil bermain di monumen Siahaan, mereka baru pulang dari berolah raga pagi. Mesjid terdekat ada di Tambunan, sekitar lima belas menit perjalanan lagi, kata mereka. Truk-truk bermuatan kayu balak menintas, mengantar kayu bahan baku pabrik pulp di Porsea. Selebihnya masih sepi.
Matahari baru naik ketika kami kembali melanjutkan perjalanan. Memasuki kota Balige, kami belok ke kiri ke arah pinggir danau Toba. Disebuah pencucian mobih yang juga ada warungnya, kami berhenti. Tempat ini juga tempat pemancingan, pondok-pondok menjorok ke danau disediakan bagi pengunjung. Beberapa pegawai sudah bekerja mencuci mobil, sepagi itu. Kami memesan minum dan duduk di pondok di pinggir danau. Matahari yang baru naik di atas danau menimbulkan panorama yang luar biasa. Di pinggir danau, aktivitas keseharian sudah dimulai. Beberapa ibu muda mandi sambil mencuci. Di dekatnya, seorang laki-laki sedang mencuci karpet. Tidak jauh dari tempat tersebut, beberapa orang gadis sedang mencuci peralatan memasak. Beberapa perahu pencari ikan melintas.
Berbeda dengan Danau Maninjau yang sama-sama danau vulkanis, air Danau toba tidak berbau amis. Airnya tenang tidak berombak. Langit sekarang biru berawan, tidak lagi kemerahan. Dikejauhan samar-samar nampak pulau Samosir, tertutup oleh kabut tipis pagi. Sebuah kapal penumpang melintas dikejauhan menuju ke Balige. Selesai minum, Yan dan Tan main catur, yang kebetulan ada di pondok tersebut. Tejo menyaksikan sambil terkantuk-kantuk. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan dan mengambil gambar di sekitar. Sebuah gereja berdiri megah di atas bukit. Kuburan Batak yang berukuran besar dan megah berjejer, selang seling dengan perumahan penduduk. Orang-orang lalu lalang dengan santai. Di sebuah rumah makan yang ada penginapan dan dermaganya, beberapa orang sedang menunggu ferry penyeberangan yang akan membawa mereka ke Samosir.
Hampir dua jam kami bermalas-malasan di sini. Sekitar jam sembilan kami bertolak menuju Prapat. Jalanan mulus sekarang, aspal lebar dan lurus. Sawah menghijau di kiri kanan jalan, berisi padi. Kuburan Batak yang megah nampak di sana-sini. Kami berhenti kembali untuk makan di sebuah warung di Desa Sihiong, antara Balige dan Prapat. Sekalian kami mandi di kamar mandinya yang bersih dan rapi. Airnya air gunung yang jernih dan sejuk
Sampai ke Siborong-borong, tidak ada mesjid yang kami temui. Akhirnya kami sampai ke wilayah Balige. Kami meneruskan perjalanan, dan berhenti disebuah tempat dekat dengan monumen Siahaan, dimana kami bisa menikmati pemandangan Danau Toba di kejauhan. Matahari belum muncul dari timur, tetapi langit kemerahan ditutupi awan tipis menunjukkan sang surya akan segera muncul di langit. Beberapa anak kecil bermain di monumen Siahaan, mereka baru pulang dari berolah raga pagi. Mesjid terdekat ada di Tambunan, sekitar lima belas menit perjalanan lagi, kata mereka. Truk-truk bermuatan kayu balak menintas, mengantar kayu bahan baku pabrik pulp di Porsea. Selebihnya masih sepi.
Matahari baru naik ketika kami kembali melanjutkan perjalanan. Memasuki kota Balige, kami belok ke kiri ke arah pinggir danau Toba. Disebuah pencucian mobih yang juga ada warungnya, kami berhenti. Tempat ini juga tempat pemancingan, pondok-pondok menjorok ke danau disediakan bagi pengunjung. Beberapa pegawai sudah bekerja mencuci mobil, sepagi itu. Kami memesan minum dan duduk di pondok di pinggir danau. Matahari yang baru naik di atas danau menimbulkan panorama yang luar biasa. Di pinggir danau, aktivitas keseharian sudah dimulai. Beberapa ibu muda mandi sambil mencuci. Di dekatnya, seorang laki-laki sedang mencuci karpet. Tidak jauh dari tempat tersebut, beberapa orang gadis sedang mencuci peralatan memasak. Beberapa perahu pencari ikan melintas.
Berbeda dengan Danau Maninjau yang sama-sama danau vulkanis, air Danau toba tidak berbau amis. Airnya tenang tidak berombak. Langit sekarang biru berawan, tidak lagi kemerahan. Dikejauhan samar-samar nampak pulau Samosir, tertutup oleh kabut tipis pagi. Sebuah kapal penumpang melintas dikejauhan menuju ke Balige. Selesai minum, Yan dan Tan main catur, yang kebetulan ada di pondok tersebut. Tejo menyaksikan sambil terkantuk-kantuk. Saya memutuskan untuk berjalan-jalan dan mengambil gambar di sekitar. Sebuah gereja berdiri megah di atas bukit. Kuburan Batak yang berukuran besar dan megah berjejer, selang seling dengan perumahan penduduk. Orang-orang lalu lalang dengan santai. Di sebuah rumah makan yang ada penginapan dan dermaganya, beberapa orang sedang menunggu ferry penyeberangan yang akan membawa mereka ke Samosir.
Hampir dua jam kami bermalas-malasan di sini. Sekitar jam sembilan kami bertolak menuju Prapat. Jalanan mulus sekarang, aspal lebar dan lurus. Sawah menghijau di kiri kanan jalan, berisi padi. Kuburan Batak yang megah nampak di sana-sini. Kami berhenti kembali untuk makan di sebuah warung di Desa Sihiong, antara Balige dan Prapat. Sekalian kami mandi di kamar mandinya yang bersih dan rapi. Airnya air gunung yang jernih dan sejuk
Sunday, April 18, 2010
... - Sidimpuan (4): Sidimpuan - Tarutung
Jam sembilan lewat kami pamitan pada tuan rumah untuk melanjutkan perjalanan kami. Rencananya kami akan menuju Tarutung lewat Sibolga, karena lewat Sipirok jalanan sangat jelek, saat kami lewat daerah itu Agustus 2009. Lewat Sibolga memang lebih jauh sektar 60-an kilometer diibandingkan dengan lewat Sipirok. Ternyata dugaan kami meleset. Keluar dari Sidimpuan, kami menghadapi jalan yang kecil dan rusak. Jika ada kenderaan roda empat dari berlawanan arah, salah satu terpaksa mengalah dan berhenti sehingga yang lainnya bisa lewat. Beberapa kali kami terpaksa mundur untuk mencari tempat yang lapang, karena jalan begitu sempitnya saat truk besar melintas. Sangat menyiksa. Belum lagi perut lapar minta diisi, sementara tidak ada satu rumah makanpun yang nampak. Baru jam sebelas malam lewat kami mendapati sebuah rumah makan muslim di Batangtoru, yang halaman parkirnya dipenuhi truk-truk berisi berbagai macam barang. Kami berhenti di sana dan memesan makanan. Warungnya besar, dengan berbagai fasilitas. Kamar kecil sedang dibangun ulang, di depan kolam besar dengan pondok-pondok kecil di atasnya. Balai-balai tempat beristirahat cukup besar. Musalah tersedia. Ini memang warung persinggahan bagi pelintas jarak jauh yang kekelahan dan butuh tempat beristirahat. Tetapi, pelayannanya minim. Para pelayan sudah kelelahan dan ketus dengan permintaan. Menu sudah jauh berkurang, yang masih dipajang di rak sudah tidak bisa menimbulkan selera makan lagi. Menu baru sedang dimasak, beberapa orang sedang bekerja. Sebuah kuali besar mendesis-desis berisi ikan yang sedang digoreng. Saya memesan mi instant, yang lain memesan nasi dengan lauk apa yang ada. Kopi dan teh segera diantar ke meja kami. Selesai makan, saya solat dan kemudian mencoba untuk tidur di mushola. Hanya sebentar, karena kemudian seorang tukang pijat memijat seorang pelanggannya di sini. Dari arah warung kedengaran suara ramai, pertandingan bola ditelevisi sedang seru-serunya.
Selesai makan kami kembali melanjutkan perjalanan ke SIbolga. Kondisi jalan tidak berubah, kecil, sempit dan berlubang. Truk-truk dan mobil penumpang sesekali melintas. Tidak banyak yang bisa dinikmati karena gelapnya malam. Seharusnya pemandangannya bagus.
Kami sampai di Sibolga jam satu lewat. Seharusnya kami bisa menikmati pemandangan kota Sibolga, cuma diputuskan untuk terus melanjutkan perjalanan ke Tarutung sehingga kami bisa sampai di Prapat pada pagi hari. Saya mendapat giliran pertama menyetir. Jalanan berganti-ganti, aspal yang rusak, jalanan tanah dengan kubangan yang menganga. Beberapa kenderaan parkir di pinggir jalan, penumpangnya duduk di pinggir jalan. Mereka menuju ke arah yang sama dengan kami. Mungkin mereka sedang beristirahat. Kami mencapai puncak Panggabean, diaman dua terowongan terdapat - jalan menembus gunung. Dari sini seharusnya seluruh panorama kota Sibolga bisa nampak, cuma karena gelapnya malam, tidak ada yang nampak. Mungkin lain kali kami akan kembali ke sini.
Jalan luar biasa jelek. Kubangan menganga di badan jalan di berbagai tempat. Dibandingkan dengan lintas Sipirok Tarutung, jalur ini jauh lebih rusak. Seharusnya kami memilih jalur Sipirok Tarutung, dimana jalan yang rusak hanya belasan kilometer saja di daerah Aek Lotung. Lintas Sibolga - Tarutung ini nyaris seluruhnya hancur! Kami merayap sangat pelan di kegelapan malam, tidak ada kenderaan yang melintas dari kedua arah. Warung-warung dipinggir jalan tidak ada yang buka. Persediaan air minum kami habis, dan kami memutuskan akan berhenti di warung pertama yang kami temui.
Di pertengahan antara Sibolga Tarutung, sebuah warung nampak masih buka. Beberapa bus dan truk parkir di depannya. Penerangan berasal dari genset, dan bagian depan warung dibiarkan gelap gulita. Kami mencari tempat parkir, yang hanya tersedia di sebelah kanan jalan, di seberang warung. Tan dan Tejo tidak mau turun, mereka mau meneruskan tidurnya. Didepan warung sekelompok orang duduk-duduk dibangku yng disediakan. Mereka penumpang bus yang akan menuju ke Tarutung. Penumpang lainnya tidur dalam bus. Dalam warung juga disediakan tempat beristirahat bagi supir dan penumpang. Penjaga warung sangat ramah. Minuman hangat segera disediakan, dan saya memesan mi instan. Beberapa botol air minum dalam kemasan juga saya ambil untuk perbekalan. Jam menunjukkan jam setengah empat pagi.
Tarutung tinggal setengah jam perjalanan lagi, kata penjaga warung.
Hujan mulai turun saat kami melanjutkan perjalanan. Jalanan mulai bagus, berganti menjadi aspal. Tiba-tiga saja di sebelah kanan kami , dibawah, nampak panorama kota dengan lampu-lampu yang gemerlapan. Kami sudah memasuki kota Tarutung. Hujan mulai melebat. Beberapa orang nampak melintas dalam pakaian olah raga. Mungkin mereka sedang mau berolah raga pagi saat hujan mulai turun. Kota Tarutung masih sepi, aktivitas belum dimulai. Jam menunjukkan jam lima lewat lima belas menit. Waktunya solat subuh, tetapi tidak ada mesjid yang nampak. Jadi kami tidak berhenti dan melanjutkan perjalanan, sambil berharap ada mesjid yang bisa kami temui di perjalanan. Kios penjual kacang sihobuk berjejer di kiri kanan jalan, buka tetapi penjaganya duduk dengan malas ditempat mereka. Cuaca dingin dalam hujan membuat semua kegiatan menjadi lamban.
Jam sembilan lewat kami pamitan pada tuan rumah untuk melanjutkan perjalanan kami. Rencananya kami akan menuju Tarutung lewat Sibolga, karena lewat Sipirok jalanan sangat jelek, saat kami lewat daerah itu Agustus 2009. Lewat Sibolga memang lebih jauh sektar 60-an kilometer diibandingkan dengan lewat Sipirok. Ternyata dugaan kami meleset. Keluar dari Sidimpuan, kami menghadapi jalan yang kecil dan rusak. Jika ada kenderaan roda empat dari berlawanan arah, salah satu terpaksa mengalah dan berhenti sehingga yang lainnya bisa lewat. Beberapa kali kami terpaksa mundur untuk mencari tempat yang lapang, karena jalan begitu sempitnya saat truk besar melintas. Sangat menyiksa. Belum lagi perut lapar minta diisi, sementara tidak ada satu rumah makanpun yang nampak. Baru jam sebelas malam lewat kami mendapati sebuah rumah makan muslim di Batangtoru, yang halaman parkirnya dipenuhi truk-truk berisi berbagai macam barang. Kami berhenti di sana dan memesan makanan. Warungnya besar, dengan berbagai fasilitas. Kamar kecil sedang dibangun ulang, di depan kolam besar dengan pondok-pondok kecil di atasnya. Balai-balai tempat beristirahat cukup besar. Musalah tersedia. Ini memang warung persinggahan bagi pelintas jarak jauh yang kekelahan dan butuh tempat beristirahat. Tetapi, pelayannanya minim. Para pelayan sudah kelelahan dan ketus dengan permintaan. Menu sudah jauh berkurang, yang masih dipajang di rak sudah tidak bisa menimbulkan selera makan lagi. Menu baru sedang dimasak, beberapa orang sedang bekerja. Sebuah kuali besar mendesis-desis berisi ikan yang sedang digoreng. Saya memesan mi instant, yang lain memesan nasi dengan lauk apa yang ada. Kopi dan teh segera diantar ke meja kami. Selesai makan, saya solat dan kemudian mencoba untuk tidur di mushola. Hanya sebentar, karena kemudian seorang tukang pijat memijat seorang pelanggannya di sini. Dari arah warung kedengaran suara ramai, pertandingan bola ditelevisi sedang seru-serunya.
Selesai makan kami kembali melanjutkan perjalanan ke SIbolga. Kondisi jalan tidak berubah, kecil, sempit dan berlubang. Truk-truk dan mobil penumpang sesekali melintas. Tidak banyak yang bisa dinikmati karena gelapnya malam. Seharusnya pemandangannya bagus.
Kami sampai di Sibolga jam satu lewat. Seharusnya kami bisa menikmati pemandangan kota Sibolga, cuma diputuskan untuk terus melanjutkan perjalanan ke Tarutung sehingga kami bisa sampai di Prapat pada pagi hari. Saya mendapat giliran pertama menyetir. Jalanan berganti-ganti, aspal yang rusak, jalanan tanah dengan kubangan yang menganga. Beberapa kenderaan parkir di pinggir jalan, penumpangnya duduk di pinggir jalan. Mereka menuju ke arah yang sama dengan kami. Mungkin mereka sedang beristirahat. Kami mencapai puncak Panggabean, diaman dua terowongan terdapat - jalan menembus gunung. Dari sini seharusnya seluruh panorama kota Sibolga bisa nampak, cuma karena gelapnya malam, tidak ada yang nampak. Mungkin lain kali kami akan kembali ke sini.
Jalan luar biasa jelek. Kubangan menganga di badan jalan di berbagai tempat. Dibandingkan dengan lintas Sipirok Tarutung, jalur ini jauh lebih rusak. Seharusnya kami memilih jalur Sipirok Tarutung, dimana jalan yang rusak hanya belasan kilometer saja di daerah Aek Lotung. Lintas Sibolga - Tarutung ini nyaris seluruhnya hancur! Kami merayap sangat pelan di kegelapan malam, tidak ada kenderaan yang melintas dari kedua arah. Warung-warung dipinggir jalan tidak ada yang buka. Persediaan air minum kami habis, dan kami memutuskan akan berhenti di warung pertama yang kami temui.
Di pertengahan antara Sibolga Tarutung, sebuah warung nampak masih buka. Beberapa bus dan truk parkir di depannya. Penerangan berasal dari genset, dan bagian depan warung dibiarkan gelap gulita. Kami mencari tempat parkir, yang hanya tersedia di sebelah kanan jalan, di seberang warung. Tan dan Tejo tidak mau turun, mereka mau meneruskan tidurnya. Didepan warung sekelompok orang duduk-duduk dibangku yng disediakan. Mereka penumpang bus yang akan menuju ke Tarutung. Penumpang lainnya tidur dalam bus. Dalam warung juga disediakan tempat beristirahat bagi supir dan penumpang. Penjaga warung sangat ramah. Minuman hangat segera disediakan, dan saya memesan mi instan. Beberapa botol air minum dalam kemasan juga saya ambil untuk perbekalan. Jam menunjukkan jam setengah empat pagi.
Tarutung tinggal setengah jam perjalanan lagi, kata penjaga warung.
Hujan mulai turun saat kami melanjutkan perjalanan. Jalanan mulai bagus, berganti menjadi aspal. Tiba-tiga saja di sebelah kanan kami , dibawah, nampak panorama kota dengan lampu-lampu yang gemerlapan. Kami sudah memasuki kota Tarutung. Hujan mulai melebat. Beberapa orang nampak melintas dalam pakaian olah raga. Mungkin mereka sedang mau berolah raga pagi saat hujan mulai turun. Kota Tarutung masih sepi, aktivitas belum dimulai. Jam menunjukkan jam lima lewat lima belas menit. Waktunya solat subuh, tetapi tidak ada mesjid yang nampak. Jadi kami tidak berhenti dan melanjutkan perjalanan, sambil berharap ada mesjid yang bisa kami temui di perjalanan. Kios penjual kacang sihobuk berjejer di kiri kanan jalan, buka tetapi penjaganya duduk dengan malas ditempat mereka. Cuaca dingin dalam hujan membuat semua kegiatan menjadi lamban.
... - Sidempuan (3): Bukit Tor Simago-mago
Meninggalkan kota Sidimpuan, kami meluncur menuju ke Sipirok, yang berjarak sekitar tiga puluhan kilometer. Jalan cukup bagus, walaupun kecil. Kenderaan ramai melintas. Jalan ini adalah jalur lintas tengah Sumatera yang melewati Sipirok menuju Tarutung. Musim durian sudah lama lewat, pondok-pondok penjual durian kosong di kiri kanan jalan. Kios-kios penjual salak Sidimpuan disesaki dengan karung-karung berisi salak yang akan dikirim ke berbagai tempat. Jam lima lewat kami sampai ke kaki bukit Tor Simago-mago, salah satu objek wisata yang ada di Sipirok. Pemandangannya mengesankan, sayang sekali langitnya ditutupi awan. Kami berhenti di sini. Hamparan sawah berisi padi menghijau sampai ke kejauhan. Matahari sore sudah tidak tampak lagi. Udara dingin menusuk tulang. Sebelah kiri kami, bukit Tor Simago-mago nampak samar-samar tertutup kabut. Itulah asal namanya, hilang dan timbul (Tor simago-mago) karena kabut. Kami akan mendaki kesana dan menikmati pemandangan.
Puas menikmati panorama di kaki bukit, kami berangkat kembali. Sekitar lima ratus meter kemudian, kami berbelok ke kanan, memasuki gerbang untuk mendaki bukit. Dua orang pemuda tanggung muncul entah dari mana, menghentikan kami dan minta biaya masuk. Anwar mengatakan sesuatu dalam bahasa Mandailing yang tidak kami mengerti, kemudian menyerahkan selembar uang. Kami kemudian meneruskan perjalanan mendaki. Jalanan kerikil dan mendaki curam. Bekas roda kenderaan roda empat merupakan jalan yang harus kami ikuti. Selebihnya rumput. Di atas bukit pemandangan sangat mengesankan. Dari bukit kecil gundul yang berbentuk hampir seperti tempurung, kami bisa melihat sekeliling kami, 360 derajad. Luar biasa. Pemandangan akan semakin indah seandainya langit cerah. Tanah bukit ditutupi rumput yang tumbuh dengan subur. Sayang sekali sampah bekas pengunjung berserakan di mana-mana. Di titik tertinggi bukit, menara telekomunikasi menjulang tinggi.
Lewat jam enam kami menuruni bukit Tor Simago-mago. Tujuan selanjutnya adala pemandian air panas Aek Milas Sosopan, Hutabaru, yang berjarak sekitar satu kilometer dari tempat kami sekarang. Jalanan penuh dengan pengunjung. Kenderaan roda dua dan roda empat parkir di kiri kanan jalan membuat jalan sempit menjadi lebih sempit. Kami ikut parkir di sebelah kiri jalan. Kolam air panasnya terletak di sebuah mesjid kecil, dengan jarak sekitar seratus meter menuruni jalan. Catatan pada tangga menunjukkan tempat ini dibangun pada tahun 1972. Pengunjung ramai dan sepertinya terus berdatangan. Anwar masuk sebuah warung, meminjam ember dan kain basahan. Tempat mandi terpisah untuk laki-laki dan perempuan. Untuk perempuan berada di sebelah kiri mesjid, tertutup dengan dinding. Untuk laki-laki berada di sebelah kanan. Kolamnya cukup besar, sekitar tigapuluh kali lima meter. Tersedia toilet dan kamar mandi. Lantainya semen. Para pengunjung memenuhi pinggir kolam, menyiduk air dengan gayung dan mandi. Sebagian masuk ke dalam kolam yang mengepul. Airnya cukup panas, jauh lebih panas dibandingkan dengan air panas di Padang Gantiang, Sumatera Barat. Saya dan Tan memutuskan untuk tidak mandi. Anwar, Yan dan Tejo bersiap untuk mandi. Air panas di sini dipercaya menyembuhkan berbagai penyakit. Itulah sebabnya pengunjungnya tidak pernah sepi, berdatangan dari berbagai tempat, bahkan dari luar daerah.
Solat magrib dilakukan secara berjamaah di mesjid kecil tersebut. Pengunjung terus berdatangan, saat kami meninggalkan kolam. Kami masuk sebuah warung yang terletak di pinggir tangga. Hanya ada minuman dan makanan kecil. Kopi dan teh dipesan. Kerupuk ubi yang dimakan dengan sambal cabe merah nampaknya enak. Saat kami coba, rasanya memang enak! Mengingatkan kembali akan masa kecil culu, makan opak yang diberi sambal cabe merah. "Ini sambal taruma", Anwar menjelaskan. Taruma artinya kolong rumah. Kenapa namanya sampai aneh begitu, Anwar tidak bisa menjelaskan. Tetapi rasanya memang enak. Mungkin karena cuaca dingin dan perut sudah lapar minta diisi.
Sekitar jam setengah delapan kami meninggalkan lokasi pemandian air panas kembali ke Sidimpuan. Jalanan tetap ramai seperti siang tadi, bahkan sekarang bus-bus besar ikut melintas. Jam delapan lewat kami sampai kembali ke rumah duka, yang sudah ramai oleh orang-orang yang bertakziah dan membaca doa. Kami ikut bergabung dengan mereka. Acaranya berlangsung sekitar setengah jalm, kemudian orang-orang mulai pulang. Tuan rumah kembali bergabung dengan kami.
Meninggalkan kota Sidimpuan, kami meluncur menuju ke Sipirok, yang berjarak sekitar tiga puluhan kilometer. Jalan cukup bagus, walaupun kecil. Kenderaan ramai melintas. Jalan ini adalah jalur lintas tengah Sumatera yang melewati Sipirok menuju Tarutung. Musim durian sudah lama lewat, pondok-pondok penjual durian kosong di kiri kanan jalan. Kios-kios penjual salak Sidimpuan disesaki dengan karung-karung berisi salak yang akan dikirim ke berbagai tempat. Jam lima lewat kami sampai ke kaki bukit Tor Simago-mago, salah satu objek wisata yang ada di Sipirok. Pemandangannya mengesankan, sayang sekali langitnya ditutupi awan. Kami berhenti di sini. Hamparan sawah berisi padi menghijau sampai ke kejauhan. Matahari sore sudah tidak tampak lagi. Udara dingin menusuk tulang. Sebelah kiri kami, bukit Tor Simago-mago nampak samar-samar tertutup kabut. Itulah asal namanya, hilang dan timbul (Tor simago-mago) karena kabut. Kami akan mendaki kesana dan menikmati pemandangan.
Puas menikmati panorama di kaki bukit, kami berangkat kembali. Sekitar lima ratus meter kemudian, kami berbelok ke kanan, memasuki gerbang untuk mendaki bukit. Dua orang pemuda tanggung muncul entah dari mana, menghentikan kami dan minta biaya masuk. Anwar mengatakan sesuatu dalam bahasa Mandailing yang tidak kami mengerti, kemudian menyerahkan selembar uang. Kami kemudian meneruskan perjalanan mendaki. Jalanan kerikil dan mendaki curam. Bekas roda kenderaan roda empat merupakan jalan yang harus kami ikuti. Selebihnya rumput. Di atas bukit pemandangan sangat mengesankan. Dari bukit kecil gundul yang berbentuk hampir seperti tempurung, kami bisa melihat sekeliling kami, 360 derajad. Luar biasa. Pemandangan akan semakin indah seandainya langit cerah. Tanah bukit ditutupi rumput yang tumbuh dengan subur. Sayang sekali sampah bekas pengunjung berserakan di mana-mana. Di titik tertinggi bukit, menara telekomunikasi menjulang tinggi.
Lewat jam enam kami menuruni bukit Tor Simago-mago. Tujuan selanjutnya adala pemandian air panas Aek Milas Sosopan, Hutabaru, yang berjarak sekitar satu kilometer dari tempat kami sekarang. Jalanan penuh dengan pengunjung. Kenderaan roda dua dan roda empat parkir di kiri kanan jalan membuat jalan sempit menjadi lebih sempit. Kami ikut parkir di sebelah kiri jalan. Kolam air panasnya terletak di sebuah mesjid kecil, dengan jarak sekitar seratus meter menuruni jalan. Catatan pada tangga menunjukkan tempat ini dibangun pada tahun 1972. Pengunjung ramai dan sepertinya terus berdatangan. Anwar masuk sebuah warung, meminjam ember dan kain basahan. Tempat mandi terpisah untuk laki-laki dan perempuan. Untuk perempuan berada di sebelah kiri mesjid, tertutup dengan dinding. Untuk laki-laki berada di sebelah kanan. Kolamnya cukup besar, sekitar tigapuluh kali lima meter. Tersedia toilet dan kamar mandi. Lantainya semen. Para pengunjung memenuhi pinggir kolam, menyiduk air dengan gayung dan mandi. Sebagian masuk ke dalam kolam yang mengepul. Airnya cukup panas, jauh lebih panas dibandingkan dengan air panas di Padang Gantiang, Sumatera Barat. Saya dan Tan memutuskan untuk tidak mandi. Anwar, Yan dan Tejo bersiap untuk mandi. Air panas di sini dipercaya menyembuhkan berbagai penyakit. Itulah sebabnya pengunjungnya tidak pernah sepi, berdatangan dari berbagai tempat, bahkan dari luar daerah.
Solat magrib dilakukan secara berjamaah di mesjid kecil tersebut. Pengunjung terus berdatangan, saat kami meninggalkan kolam. Kami masuk sebuah warung yang terletak di pinggir tangga. Hanya ada minuman dan makanan kecil. Kopi dan teh dipesan. Kerupuk ubi yang dimakan dengan sambal cabe merah nampaknya enak. Saat kami coba, rasanya memang enak! Mengingatkan kembali akan masa kecil culu, makan opak yang diberi sambal cabe merah. "Ini sambal taruma", Anwar menjelaskan. Taruma artinya kolong rumah. Kenapa namanya sampai aneh begitu, Anwar tidak bisa menjelaskan. Tetapi rasanya memang enak. Mungkin karena cuaca dingin dan perut sudah lapar minta diisi.
Sekitar jam setengah delapan kami meninggalkan lokasi pemandian air panas kembali ke Sidimpuan. Jalanan tetap ramai seperti siang tadi, bahkan sekarang bus-bus besar ikut melintas. Jam delapan lewat kami sampai kembali ke rumah duka, yang sudah ramai oleh orang-orang yang bertakziah dan membaca doa. Kami ikut bergabung dengan mereka. Acaranya berlangsung sekitar setengah jalm, kemudian orang-orang mulai pulang. Tuan rumah kembali bergabung dengan kami.
Saturday, April 17, 2010
... - Sidimpuan (2)
Kondisi jalan yang rusak di sekitar Rao
Memasuki wilayah Sumatera Utara, jalan kembali mendaki dan berliku. Tejo kembali muntah. Sekitar jam sembilan pagi, kami berhenti di sebuah mesjid dipinggir jalan, sekitar 3 km sebelum Kotanopan. Nama daerahnya adalah Muara Siambak. Yan dan Tan mandi di kamar mandi. Airnya air dari gunung bersih dan dingin. Saya dan Tejo memilih tidur sebentar di dalam mesjid. Dibelakang mesjid sebuah kolam dangkal penuh berisi berbagai macam ikan air tawar. Sawah-sawah di sekitarnya berisi padi yang menghijau. Seorang bule lewat dengan sepedanya yang digayuti tas-tas yang dipenuhi berbagai macam barang, menuju ke arah yang kami tinggalkan. Sepertinya dia sedang dalam perjalanan jauh.
Selesai Yan dan Tan mandi, kami menuju sebuah warung. Beberapa orang sedang menikmati kopi dan teh dalam warung tersebut. Mereka ramah-ramah, pembicaraan mengalir lancar. Hari ini adalah hari pekan di Kotanopan, kata mereka. Banyak makanan dan jajanan khas setempat yang dijual. Cukup lama kami di warung tersebut. Lewat jam sepuluh kami melanjutkan perjalanan. Kotanopan sedang ramai-ramainya oleh orang-orang. Jalanan macet - kiri kanan jalan dijejali oleh pedagang dan pembeli. Berbagai kenderaan mencoba untuk melintas. Angkutan umum reyot-reyot, tetapi nampaknya masih cukup tangguh untuk menghadapi medan jalan di sini. Lewat Kotanopan, kemi memasuki daerah Purba, yang terkenal dengan pesantrennya. Pemondokan para santri khas - rumah-rumah kecil seperti gubuk, berdinding papan yang dicat warna hijau muda. Atapnya beragam, seng, asbes dan daun rumbia. Para santri sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Informasi yang kami peroleh, setiap santri membangun pondoknya sendiri. Semua kegiatan dilakukan di sana. Ukurannya mungil, paling 2x3, atau 3x4 paling besar. Tidak nampak santri perempuan. Sepertinya pemondokannya terpisah. Ada juga pondok dengan atap berbentuk atap rumah adat Minang. Kayaknya pemiliknya berasal dari Sumatera Barat. Setelah para santri selesai menempuh pendidikan di sini, pondoknya dijual atau dihibahkan ke penghuni berikutnya. Sepanjang beberapa kilometer kiri kanan jalan dipenuhi pondok-pondok para santri, selang seling dengan sekolah dan asrama, mesjid dan sarana umum lainnya. Ada juga kompleks pesantren modern yang cukup luas. Namanya di plang nama
adalah "Mustafawiyah".
Memasuki Panyabungan, kami mencari tempat untuk mengisi perut yang mulai lapar kembali. Hari memang sudah menjelang jam dua belas siang. Tiba-tiba saja di pinggir jalan sebelah kiri kami melihat plang nama warung, yang menjual berbagai makanan Aceh. Kami berenti dan masuk. Ditengah warung, sebuah kuali besar berisi rendang ayam yang masih mengepul. Orang-orang memenuhi bangku warung, menikmati makanan. Kami menunggu sebentar sebelum akhirnya memperoleh meja kosong. Pertanyaan saya dalam bahasa Aceh pada ibu penjaga warung dijawab dalam bahasa Indonesia. Dia bukan orang Aceh, katanya. Suaminya yang asli Aceh, dan sedang tidak ada ditempat saat ini. Hanya ada nasi dan lauk pauknya, tambahnya. Mi Aceh baru tersedia sore hari. Jadi kami memesan nasi dan rendang ayam kampung.
Rendangnya khas Aceh, pedasnya minta ampun. Tidak kecoklatan seperti rendang padang umumnya, melainkan kuning kemerahan. Semuanya makan seperti musafir. Harganya sangat bersahabat dan tidak menganiaya.
Selesai istirahat sebentar seusai makan, Anwar, adik tuan rumah - yang juga kawan sekerja kami - mengajak kami keliling Sidimpuan. Tawaran yang jelas tidak akan kami tolak. Dari rumah, kami menuju ke Mesjid Agung untuk salat Ashar. Mesjidnya besar dan megah. Di depan mesjid, sebuah bangunan dengan gaya kolonial berdiri megah. Lapangan parkirnya luas sekali, cukup untuk ratusan kenderaan. Selesai solat, kami memutuskan untuk ke Sipirok, mandi air panas. Kota Sidimpuan sore hari ramai dengan kenderaan, dibeberapa tempat bahkan macet. Becak khas Sidimpuan - vespa yang ditambah gandengan untuk tempat penumpang - lalu lalang setiap saat. Pedagang kaki lima tumpah ruah sampai ke badan jalan.
adalah "Mustafawiyah".
Memasuki Panyabungan, kami mencari tempat untuk mengisi perut yang mulai lapar kembali. Hari memang sudah menjelang jam dua belas siang. Tiba-tiba saja di pinggir jalan sebelah kiri kami melihat plang nama warung, yang menjual berbagai makanan Aceh. Kami berenti dan masuk. Ditengah warung, sebuah kuali besar berisi rendang ayam yang masih mengepul. Orang-orang memenuhi bangku warung, menikmati makanan. Kami menunggu sebentar sebelum akhirnya memperoleh meja kosong. Pertanyaan saya dalam bahasa Aceh pada ibu penjaga warung dijawab dalam bahasa Indonesia. Dia bukan orang Aceh, katanya. Suaminya yang asli Aceh, dan sedang tidak ada ditempat saat ini. Hanya ada nasi dan lauk pauknya, tambahnya. Mi Aceh baru tersedia sore hari. Jadi kami memesan nasi dan rendang ayam kampung.
Rendangnya khas Aceh, pedasnya minta ampun. Tidak kecoklatan seperti rendang padang umumnya, melainkan kuning kemerahan. Semuanya makan seperti musafir. Harganya sangat bersahabat dan tidak menganiaya.
Menjelang Padang Sidimpuan, kami berhenti sebentar di kompleks pesantren modern Baharuddin untuk sholat. Bangunannya megah, dan luas. Mesjidnya besar. Sayang sekali, kami tidak bisa menumpang mandi di sini, karena kamar mandinya terbuka. Agak risih rasanya, karena kami tidak membawa kain basahan. Jadi rencana mandi dibatalkan dan kami melenjutkan perjalanan. Di SPBU pertama yang kami temui di pinggir kota Sidimpuan, kami berhenti untuk mandi dan shalat. Airnya bersih sekali, jernih dan dingin. Hari sudah jam setengah dua.
Sekitar jam tiga sore, kami sampai ke tujuan, rumah keluarga Harahap yang sedang berduka. Itulah tujuan kami sebenarnya, untuk bertakziah ke keluarga dan menyatakan belasungkawa. Kami disambut dengan hangat, minuman dan makanan kecil segera dikeluarkan. Obrolan mengalir dengan lancar, tuan rumah - yang juga atasan kami - dan saudara-saudara lainnya berkumpul. Mereka terkejut dengan kehadiran kami, karena tidak memberi kabar terlebih dahulu. Mereka pulang hari Kamis malam, begitu mendapat telepon bahwa ibu dari atasan kami tersebut meninggal dunia. Perjalanan mereka melalui lintas timur, yang jauh lebih dekat. Jalannya jelek sekali. Saya pernah melewati daerah tersebut tahun 2007 lalu. Jadi, walaupun lebih jauh, kami sengaja memilih jalur tengah yang medannya relatif lebih baik, walaupun lebih jauh.Selagi berbincang-bincang, tuan rumah mengajak makan. Makan nasi dengan lauk pauk lengkap. Itu adalah tradisi, dan tamu tidak boleh menolak. Tamu jauh selalu diberi makan nasi, tidak peduli jam berapapun. Sama seperti adat kami Aceh juga. Semua ikut makan, walaupun saya yakin mereka baru saja makan siang. Selama tamunya masih makan, mereka tetap makan. Tidak ada yang mencuci tangan sebelum tamunya mencuci tangan. Sungguh sebuah tradisi yang luar biasa dalam menghormati tamu.
Selesai istirahat sebentar seusai makan, Anwar, adik tuan rumah - yang juga kawan sekerja kami - mengajak kami keliling Sidimpuan. Tawaran yang jelas tidak akan kami tolak. Dari rumah, kami menuju ke Mesjid Agung untuk salat Ashar. Mesjidnya besar dan megah. Di depan mesjid, sebuah bangunan dengan gaya kolonial berdiri megah. Lapangan parkirnya luas sekali, cukup untuk ratusan kenderaan. Selesai solat, kami memutuskan untuk ke Sipirok, mandi air panas. Kota Sidimpuan sore hari ramai dengan kenderaan, dibeberapa tempat bahkan macet. Becak khas Sidimpuan - vespa yang ditambah gandengan untuk tempat penumpang - lalu lalang setiap saat. Pedagang kaki lima tumpah ruah sampai ke badan jalan.
Subscribe to:
Posts (Atom)