Wednesday, April 20, 2011

Pantai Malin Kundang

Jika Panyabungan di Tapanuli Selatan punya Sampuraga dan Aceh punya Amat Rhang Manyang, maka Sumatera Barat punya legenda anak durhaka versi setempat, Malin Kundang yang ketenarannya melebihi Sampuraga dan Amat Rhang Manyang. Berlokasi di pantai Air Manis yang indah di Kota Padang, gundukan karang yang sudah dimodifikasi oleh para tukang batu menampilkan sisa-sisa bentuk kapal layar jaman dahulu kala,lengkap dengan tali temali dan tong-tong serta peti-peti. Juga dihiasi dengan patahan tiang kapal yang berserakan, semuanya dibentuk dari semen jaman modern oleh para tukang batu sebagai penguat legenda yang ada. Juga ada jasad si Malin yang meringkuk di haluan kapal, membatu terhempas kutukan sang bunda yang murka.

Dari Situjuh, dengan menggunakan dua kenderaan roda empat kami bertolak menuju ke Padang. Perjalanan selama sekiktar tiga jam melewati Bukittinggi, Padang Panjang, Lembah Anai, Sicincin. Hamparan pemandangan indah tempampang nyaris sepanjang perjalanan. Awalnya kami berencana ke Pantai Padang, tetapi cuaca terik sekali dan tidak ada pepohonan tempat berteduh. Dipinggir pantai yang dipasangi penahan gelombang dipenuhi oleh warung dan pondok penjual berbagai makanan dan minuman, terutama ikan bakar. Jadi kami memutuskan mencari tempat lain yang lebih rindang.

Jalan ke Pantai Maling Kundang atau Pantai Air Manis mengerikan, sempit mendaki tanjakan curam dan dipenuhi dengan kelokan-kelokan patah. Harus punya trik sendiri untuk mendaki, karena sempat kenderaan kami tidak mau bergerak pada pendakian yang sangat curam. Bau kopling tergesek meruap tajam ke dalam kabin kenderaan dan menimbulkan panik. Di belakang kami, dua bus berukuran sedang malah memilih untuk parkir di lokasi tersebut, membiarkan para penumpangnya berjalan kaki beberapa kilometer mendaki bukit menuju pantai. Setelah dibiarkan sebentar, kenderaan kami mendaki lancar dengan gigi rendah. Sebelah kanan kami, lautan membentang, biru dengan alur garis ombak yang putih memanjang menuju pantai. Dari ketinggian, kami memandang pulau Pandan yang kecil di bawah tebing.

Untuk masuk ke lokasi, kami dikenakan biaya sepuluh ribu rupiah untuk satu kenderaan. Untuk parkir kenderaan, ada biaya lain yang dikutip sebesar lima ribu rupiah lagi. Pantai diteduhi oleh pohon-pohon pinus yang daunnya bersiul tertiup angin pantai yang sepoi. Cuaca panas terik sedikit berkurang karena keteduhan pepohonan. Mendekati garis pantai, banyak pondok-pondok tempat beristirahat yang bisa dipakai. Tikar-tikar juga disediakan bagi yang ingin duduk di mana saja diantara pepohonan. Semuanya ada angkanya, harga sewa yang harus dibayar. Agak jauh dari garis pantai, jejeran warung menjual bermacam makanan dan minuman. Juga terdapat tempat-tempat yang menyewakan peralatan untuk berselancar.

Setelah makan siang yang dilakukan di bawah keteduhan pohon-pohon pinus, dan ditunggui oleh kambing dan anjing yang mengharapkan makanan sisa, kami bergerak sendiri-sendiri. Anak-anak main di garis pantai menyambut gelombang, sambil mencari kepiting dan kerang kecil. Yang lainnya memilih berjalan-jalan sepanjang garis pantai.

Pantai ini tidak berpasir lepas, tetapi dibalut lumpur halus berwarna coklat kehitaman yang padat. Hempasan gelombang di pasir pantai membuat pasirnya selalu basah, dan lama keringnya. Sampah berserakan dimana-mana, peninggalan para pelancong yang serampangan. Air lautnya juga tidak bening, tetapi keruh berwarna gelap. Karena hari Minggu, pantai dipenuhi oleh orang-orang. Turis asing banyak juga di sini, memanfaatkan gelombang besar untuk berselancar. Orang-orang mandi di laut yang kotor, berdiri di kedalaman air sepinggang menyambut hempasang gelombang yang datang.

Di ujung kanan pantai, tepat sebelum garis pantai dipotong oleh bukit kecil, terletak situs legenda Malin Kundang. Sebuah aliran kecil memotong pantai, memisahkan situs legenda Maling Kundang dengan bagian pantai lainnya. Beberapa lembar papan diletakkan di sana oleh anak-anak tanggung, berkaki krat minuman. Orang-orang yang melintasi jembatan darurat tersebut karena tidak mau kakinya basah oleh air laut yang keruh ditarik bayaran seikhlasnya. Orang-orang ramai di sana, melihat-lihat lokasi, kadang mengambil gambar untuk kenangan. Para tukang foto menunggu pelanggan. Sebuah plang nama memberi ketegasan kehadiran mereka "Mohon!!! Digunakan jasa amatir".

Di bagian atas situs Malin Kundang, persis di kaki bukit, terdapat jejeran kios penjual berbagai macam cendera mata, mulai dari kaos-kaos dengan sablon setempat sampai kulit kerang. Semuanya mengharapkan kesediaan para pengunjung untuk singgah dan berbelanja.

Makin sore, pengunjung pantai semakin ramai. Ombak semakin membesar, dan nampaknya air laut semakin tinggi karena pasang. Bibir pantai semakin menyempit, air laut semakin mendekat ke lokasi tempat kami membentang tikar. Saatnya untuk kembali.


















Tuesday, April 19, 2011

Dalail Khairat

Di kampung kami di pelosok Pidie, Aceh, Dalail Khairat dibacakan pada acara peringatan Maulid Nabi dan saat kematian. Di Situjuh Batur, Payakumbuh, Dalail Khairat dibacakan saat acara pernikahan.

Beberapa waktu yang lalu, seorang tetangga mengajak kami ke kampungnya di Situjuh Batur, untuk menghadiri acara pernikahan kakak perempuannya - pernikahan yang kedua, setelah suaminya meninggal dunia tahun lalu. Malam harinya, ruang rumah yang punya hajat diramaikan oleh warga kampung setempat.

Mereka duduk bersila di ruang tengah yang dipenuhi dengan berbagai macam makanan yang sudah terhidang. Tetapi makanan-makanan tersebut baru akan dimakan setelah acara selesai, berbeda dengan di Aceh, makan dahulu baru acaranya kemudian. Mereka akan membacakan Dalail Khairat - yang secara setempat dikenal sebagai salawat.

Cara membawakannya sama seperti di Aceh. Setiap untaian kalimat dibacakan dengan suara lepas dan keras, dengan irama tertentu nyaris seperti nyanyian. Temponya mula-mula pelan, kemudian meningkat menjadi lebih cepat, semakin cepat sehingga mencapai puncaknya dengan gegap gempita, kemudian tiba-tiba berakhir.

Mendengar orang-orang membacakan Dalail Khairat persis dengan cara dan irama yang sama, membangkitkan kembali kenangan di kampung halaman belasan tahun silam. Saat kami masih remaja, dua kali seminggu di malam hari diadakan latihan membacakan Dalail Khairat untuk seluruh penduduk Gampong. Tua dan muda akan meramaikan Meunasah, masing-masing memegang kitab Dalail Khairat di tangan, mencoba mengikuti setiap kata. Yang belum fasih mencoba mengikuti dengan suara samar, sehingga jika ada kesalahan tidak akan terdengan orang sekitar. Yang sudah mahir membacakan dengan suara lepas dan sekerasnya, dan menyelaraskan dengan suara ramai sehingga menjadi suatu kesatuan suara yang terdengar gegap gempita. Minuman brandet - sorbat jahe - dan makanan kecil digilirkan secara beranting bke seluruh warga Gampong. Suara yang serak karena kebanyakan bersuara keras akan hilang dengan minum brandet.

Pada acara peringatan Maulid Nabi, undangan dari Meunasah yang ditunjuk - biasanya seluruh warga Gampong tersebut yang laki-laki, tua dan muda - akan membacakan Dalail Khairat sebelum makan bersama. Juga pada acara yang sama ditingkatan yang lebih tinggi, biasanya paling rendah tingkat Kemukiman, Daiali Khairat akan diperlombakan.

Selain pada acara peringatan Maulid Nabi, Dalail Khairat juga dibacakan pada acara menujuh hari kematian.





Membaca Dalail Khairat pada acara pernikahan di Situjuh Batur, Sumatera Barat

Monday, April 18, 2011

Jam Gadang Bukittinggi

Jalan di depan Jam Gadang dan Pasar Atas Bukittinggi sudah berubah fungsi menjadi taman. Juga tempat parkir di depan Pasar sekarang sudah tidak ada lagi, menjadi taman yang dilengkapi dengan bangku-bangku taman. Tidak ada lagi kenderaan yang boleh masuk ke lokasi tersebut, kecuali bendi, yang tetap parkir menunggu penumpang di depan Jam Gadang seperti biasanya.







Tuesday, April 12, 2011

Asam Udeueng

Asam udeueng atau sambal udang merupakan salah satu makanan khas Aceh. Rata-rata warung-warung nasi di Pidie dan berbagai bagian Aceh lainnya menyediakan asam udeueng ini dalam menu mereka. Rasanya adalah campuran gurih udang, rasa asam segar dari belimbing wuluh yang sudah tua, rasa pedar serai dan daun jeruk, plus asin dan pedas. Dimakan bersama nasi putih sebagai pelengkap lauk. Bahan-bahannya sangat sederhana. Udang segar yang direbus, bawang merah, daun jeruk, sebatang serai, belimbing buluh yang sudah agak lunak karena tua - rebus sebentar, cabe rawit dan garam. Iris serai dan daun jeruk, kemudian ulek kasar semua bahan sampai tercampur rata. Hanya itu. Asam udeueng sudah bisa dinikmati.

Wednesday, April 06, 2011

Toba - Langsa: Perjalanan

Rencananya kami akan mengunjungi kawan sekerja yang akan melaksanakan pesta pernikahan di Kuala Simpang, Nanggroe Aceh Darussalam. Kami akan berangkat Jumat malam, dan akan kembali dari sana Minggu, sehingga diusahakan bisa masuk kerja Senin pagi berikutnya. Sebenarnya pernikahan kawan tersebut akan dilakukan pada hari Senin, dan pestanya sendiri akan diadakan pada hari Selasa. Tetapi, kami tidak akan menunggu sampai pestanya, karena misi utama dari perjalanan ini bukan cuma untuk menghadiri pesta tersebut, tetapi lebih kepada jalan-jalan.

Rencana perjalanan sudah disiapkan sedetil mungkin. Rencananya ada enam orang yang akan ikut dalam perjalanan ini, sehingga lapang dan nyaman dalam perjalanan. Kenderaan yang akan dipakai adalah Avanza atau Xenia sewaan. Perjalanan direncanakan bermula dari kota kecil tempat kami tinggal, menuju ke arah Medan. Dari Limapuluh kami akan berbelok ke Siantar, terus ke Parapat untuk menikmati keindahan Danau Toba. Dari Parapat kami akan melanjutkan perjalanan ke Brastagi lewat Merek dan Kabanjahe, terus kemudian ke Medan. Dari Medan rencananya perjalanan akan diteruskan ke Langsa, untuk menikmati makanan khas Aceh yang ada di sana, baru kemudian balik ke arah Kuala Simpang untuk ke rumah kawan yang punya hajat. Kami akan bermalam di sana, dan Minggu siang kami akan melanjutkan perjalanan balik ke ke kota kami. Total perjalanan diperkirakan akan menempuh sekitar 1800 km. Menyetir akan dilakukan secara bergantian, sehingga tidak ada waktu yang terpakai untuk istirahat di jalan, kecuali untuk salat dan makan. Istirahat dan tidur akan dilakukan dalam kenderaan. Targetnya adalah sampai di Pematang Siantar pagi hari, kemudian Parapat sekitar jam sembilan pagi, lalu Brastagi sekitar jam empat sore. Sekitar jam delapan malam kami akan sampai di Langsa, dan sampai ke rumah yang punya hajat sekitar jam sepuluh malam.

Itu adalah di atas kertas. Perjalanan hampir batal karena beberapa orang menyatakan tidak bisa ikut karena berbagai alasan. Terakhir tinggal 5 orang peserta dengan adanya tambahan peserta baru, dan sudah disepakati untuk melanjutkan perjalanan berlima. Saat-saat terakhir seorang kawan menyatakan ikut serta, dan dia akan membawa serta istrinya. Tidak ada masalah, asal bersedia untuk bersempit-sempit selama perjalanan.

Jadwan perjalanan juga bergeser. Rencananya kami akan berangkat selepas magrib, cuma karena menjemput orang satu persatu, keberangkatan baru bisa dilakukan lewat jam sembilan malam. Setelah mengisi bensin sampai tangki penuh, membeli beberapa perbekalan, perjalanan dilanjutkan. Jalanan sedikit rusak menghadang kami di sekitar Kandis sampai Duri. Setelah beristirahat makan mi Aceh di salah satu warung Aceh di Duri, perjalanan kami lanjutkan kembali. Jalanan bagus membentang sampai ke Baganbatu, mulus dan lebar. Kenderaan bisa dipacu lebih kencang. Di Baganbatu kami beristirahat sebentar di SPBU, yang bersih dan asri. Di depan SPBU tersebut warung-warung berjejer menjual berbagai makanan dan minuman.


Foto Sulung Asmon Utama



Dari Baganbatu perjalanan kami teruskan tanpa ada kendala yang berarti. Sekitar jam tujuh pagi kami berhenti untuk sarapan di Aek Kanopan. Menunya soto medan dan nasi gurih. Juga ada lontong sayur medan dengan asesoris yang cukup lengkap, dibandingkan dengan lontong yang dijual di kota kami. Usai sarapan, kami meneruskan perjalanan. Sampai di Limapuluh, kami berbelok ke kiri ke arah Pematang Siantar. Jalanan lebih kecil sekarang, dengan kondisi berlubang-lubang di sana sini. Untuk saat kami melintas, lalu lintas tidak begitu padat, sehingga perjalanan bisa dilakukan dengan lancar. Melewati Perdagangan, kami berhenti di Batu Anam untuk makan durian yang dijual di pinggir jalan. Duriannya betul-betul segar, durian masak di pohon yang berdaging tebal dan padat. Satu buah durian yang berdaging tipis dan mengkal diganti penjualnya dengan yang lebih baik. Harganya cukup bersahabat dengan ukuran kantong kami. Lingkungan perkebunan sawit membuat udara sejuk dan dingin walaupun matahari bersinar terik.











Usai makan durian, perjalanan kami teruskan ke Siantar, dan kami memasuki kota menjelng jam sebelas siang. Becak-becak Siantar yang dibangun dari motor-motor tua, kebanyakan BSA atau Norton berkeliaran di mana-mana. Di beberapa tempat kami menemui simbol cecak - dua ekor - menghiasi bangunan dan plang nama.





Melewati Siantar menuju Parapat, jalanan mulai berkelok-kelok. Tidak banyak kenderaan yang berpapasan. Tiba-tiba saja panorama mulai muncul di sebelah kanan kami, hamparan danau Toba yang kelam dan misterius. Permukaan airnya tenang, biru gelap mengerikan. Entah berapa meter dalamnya, kemungkinan mencapai ratusan. Disebuah warung yang terletak di pinggir jalan dan berdiri di atas tebing curam danau Toba kami berhenti untuk mengambil gambar. Pemandangan sangat mempesona. Di bawah, sebuah kapal sedang melintas, membelah hamparan air danau Toba yang membiru, membawa penumpang berkeliling.







Dari kota Parapat, kami mencari tempat wisata untuk berhenti. Masuk ke lokasi wisata, dua orang petugas melongok ke dalam kenderaan. "Delapan ribu semuanya", katanya. Lokasi wisata cukup jauh dari pintu gerbang. Kami berputar-putar mencari tempat parkir yang pas, sekaligus untuk beristirahat. Kami berhenti persis di pinggiran danau, di depan sebuah rumah makan muslim. Seorang tukang parkir menyambut kami. Di depan kami, serombongan turis asing sedang bersiap untuk naik kapal, entah menyeberang ke Samosir atau sekedar berkeliling menikmati pemandangan.

Kami didekati seorang pemilik pondok. Di pinggir pantai danau, ada pondok-pondok yang disediakan untuk di sewa. Beratap seng, dengan lantai semen yang diisi pasir danau sehingga empuk, dan dihampari tikar. Tempat yang cukup nyaman untuk beristirahat bagi kami yang kelelahan seusai menempuh perjalanan panjang. Di bagian bawah tebing dekat jalan masuk menuju ke pondok, tersedia kamar mandi dan toilet. Biayanya antara 1000 - 4000 rupiah. Kami memutuskan untuk mandi di sini.

Cukup lama kami di danau Toba. Usai makan siang, kami mandi secara bergantian, kemudian beristirahat. Sebagian dari kami berjalan-jalan untuk menimkati pemandangan yang sangat mempesona, sambil mencari oleh-oleh khas Toba. Karena bukan hari libur, praktis danau Toba sepi dari pengunjung. Hari Minggu biasanya ramai. Kalau musim liburan, suasana menjadi sesak, untuk lalu lalang saja susah.

Sekitar jam empat sore kami meninggalkan danau Toba menuju Brastagi. Sewa pondok ternyata cukup mahal, apalagi kami tidak menawar dari awal. Setelah nego yang alot, diputuskan untuk membayar delapan puluh ribu, termasuk biaya kamar mandi.




Dari Parapat menuju Brastagi, kami memilih jalur alternatif melintasi Simarjarunjung dan Tongging. Jalanan cukup bagus walaupun sepi dan ada kemungkinan tebing longsor. Hanya beberapa kenderaan yang berpapasan, mereka sepertinya menuju ke Simarjarunjung atau Tongging, yang berada di sebelah kiri. Nyaris sepanjang separuh jalan pemandangan yang terpampang adalah hamparan danau yang indah. Sayang sekali kami tidak berhenti di Simarjarunjung ataupun Tongging karena kami berusaha mencapai Brastagi sebelum malam hari. Kiri kanan jalan dipenuhi dengan tanaman kopi yang sangat subur. Sesekali aroma pupuk kandang - yang ini spesial karena masih segar, dan berasa dari kerbau kaki pendek atau kerbau tanduk mulut - meruap melalui jendela kenderaan yang terbuka.




Menjelang jam enam sore, kami berhenti untuk salat di mesjid Man Banta Assalam, di desa Merek. Saya ingat betul nama mesjid tersebut, karena sepanjang jalan dari Parapat ke Merek, hanya ada dua mesjid. Satu kami lewati di tengah perjalanan, dan satu lagi tempat kami berhenti ini. Udaranya cukup dingin, walaupun matahari bersinar terik.






Lewat Merek ke Kabanjahe, jalanan sangat jelek. Aspal terkupas berlubang-lubang, beberapa diantaranya sangat dalam karena kemungkinan dilewati oleh kenderaan-kenderaan dengan tonase berat. Perjalanan menjadi sangat lambat. Jarak tempuh sekitar dua puluh kilometer kami tempuh lebih dari satu jam. Menjelang Kabanjahe, matahari sudah tenggelam. Memasuki kota Brastagi, hari sudah malam. Rencana yang sudah disusun untuk bisa menikmati pemandangan di Brastagi menjadi gagal. Jalanan macet oleh kenderaan, karena ini adalah malam Minggu. Kami berhenti di Brastagi untuk menikmati jagung bakar dan jagung rebus di salah satu kios penjual jagung yang berada di lereng gunung. Seharusnya pemandangan di sini sangat indah di siang hari, langsung menghadap ke lembah dengan hamparan kota di bawahnya. tetapi dalam kegelapan malam tidak ada yang bisa dinikmati di sini. Udara sangat dingin, ditambah dengan angin yang berhembus kencang. Perut lapar dan cuaca dingin membuat kami lahap makan jagung.



Kami memasuki Kota Medan sekitar jam sepuluh malam. Di Pondok Kelapa, kami kembali berhenti di warung-warung Aceh yang ad di depan stasiun Bus Kurnia. Warung-warung tersebut didirikan seadanya di atas selokan, berdempet-dempet, sesak dan cenderung kumuh. Tetapi makanannya cukup lengkap, mulai dari mi Aceh, nasi putih dengan lauk khas Aceh seperti kari bebek, kari kambing, ikan pepes dan lain-lain. Juga ada kuah pliek. Selain itu juga tersedia nasi goreng Aceh, nasi gurih dan nasi lemak. Semuanya enak dan dijamin harganya sangat terjangkau.

Kami masuk ke salah satu warung yang pilihan menunya paling lengkap. Beberapa dari kami memesan mi rebus dan mi goreng, yang lainnya memesan nasi dan kari bebek. Kari bebeknya sepertinya berasal dari Pidie, khas dengan kuah kental kemerahan, dengan nasa bumbu yang kuat. Ada juga kari bebek dengan kuah berwarna putih, tetapi menurut saya yang berkuah merah jauh lebih enak. Semua makan dengan lahap. Sementara, di luar warung, hujan rintik-rintik saat kami berhenti menjadi lebat sekarang.

Usai makan, perjalanan kami teruskan dalam hujan lebat. Kenderaan tidak bisa dipacu kencang karena cahaya lampu depan teredam oleh aspal yang mengilat karena hulan. Melewati kota Stabat, diujung jembatan kembali kami berhenti di salah satu kios penjual durian. "Ini durian Stabat", kata penjualnya mengomentari durian yang berdaging tebal dan kekuningan. Rasanya agak pahit. Hanya empat orang yang turun untuk menikmati durian. Yang lainnya memilih tidur dalam kenderaan.

Melewati perbatasan memasuki wilayah Aceh, kondisi jalan langsung berbeda. Hamparan jalan lebar dan sangat mulus menghadang. Jalanan sepi oleh kenderaan, sehingga kami bisa memacu kenderaan lebih kencang, apalagi sekarang hujannya sudah berhenti. Sekitar jam setengah dua dini hari kami sampai ke tujuan di Desa Matang Cincin, Kuala Simpang. Teman kami dan keluarganya sudah menunggu untuk menyambut kami. Minuman hangat segera dikeluarkan, dan kami duduk berkumpul saling bercerita. Tidak lama kemudian nasi dan lauk pauknya juga keluar - adat kebiasaan setempat, tamu jauh selalu harus diberi makan tidak peduli jam berapapun. Ternyata makanannya walaupun sederhana sangat enak, sehingga beberapa dari kami yang awalnya makan dengan segan-segan karena mengantuk, langsung terbuka matanya lebar-lebar dan bahkan nambah sampai beberapa kali. Usai makan, satu persatu kami membaringkan diri dan langsung terlelap.



Rencananya, usai subuh menjelang hari agak terang, saya dan Sulung akan berkeliling kampung, menikmati pemandangan sekaligus mengambil gambar. Ternyata kami semua ketiduran sampai hampir jam tujuh. Jadi rencana tersebut urung dilaksanakan. Apalagi lokasi ini ternyata sedang dilanda banjir, air limpangan dari Sungai Yu yang sedang meluap, sehingga banyak ruas jalan di desa yang terendam banjir dan tidak bisa dilewati. Airnya bisa mencapai sepinggang di titik terdalam. Rumah-rumah yang berada di lokasi rendah juga ikut terendam.

Gagal berjalan-jalan, kami membawa kenderaan ke lokasi banjir untuk dicuci dengan air banjir. Warga setempat yang lalu lalang menyapa kami dengan ramah. Nyaris sembilan puluh persen warga desa ini merupakan bukan orang aceh, orang yang berasal dari luar Aceh yang didominasi dari entis Jawa. Hanya sepuluh persen orang asli Aceh, itupun pendatang dari berbagai lokasi di Aceh. Tidak ada penduduk asli. Semuanya hidup rukun bersama-sama sampai konflik bersenjata menjangkau daerah ini. Warga desa dari etnis Jawa terpaksa mengungsi ke luar Aceh - ke Pangkalan Brandan, bahkan ada yang ke Medan ataupun lainnya - untuk alasan keselamatan. Sekarang semua sudah berakhir. Kehidupan kembali normal, dan hubungan antara warga etnis Aceh dan non Aceh kembali seperti sedia kala.





Sekitar jam sepuluh pagi kami berpamitan dengan tuan rumah. Rencananya perjalanan akan kami teruskan ke Langsa untuk mencari oleh-oleh, kemudian ke Kuala Langsa untuk makan mi kepiting. Sekitar jam setengah sebelas siang kami sampai ke Langsa dan berhenti di toko Bambu Runcing untuk membeli oleh-oleh khas Aceh. Saya membeli beberapa bungkus keripik ubi yang sangat renyah.Di sebelah toko oleh-oleh tersebut terdapat toko roti "Bread Boy" - kemungkinan gabungan dari "Bread Talk" dan "Roti Boy" yang terkenal.





Dari Langsa, kami menuju ke Kuala Langsa yang sepi walaupun hari libur. Sore hari biasanya ramai. Tidak lama kami di sini, karena tidak ada yang bisa dinikmati dan cuaca sangat panas. Tidak ada keteduhan pepohonan di sini. Jadi kami kembali ke lokasi rawa bakau di mana banyak terdapat warung yang menjual mi kepiting. Tempat duduknya adalah panggung-panggung yang dibuat dengan menggunakan pohon bakau hidup sebagai tiang, dengan berbagai ketinggian. Cukup kreatif.



Sekitar jam satu siang kami berangkat meninggalkan Langsa, menuju ke Medan. Lalu lintas yang padat menyebabkan perjalanan menjadi lambat. Menjelang magrib, kami sempat berbenti di Pasar Bengkel untuk membeli oleh-oleh, kemudian kembali berhenti untuk makan di salah satu rumah makan di simpang Inalum. Juga kami beristirahan di depan SBPU Baganbantu, menikmati mi instan dan minuman hangat. Rencana untuk masuk kerja hari Senin batal, karena jam tujuh pagi kami masih sarapan di pasar Minas. Jam delapan lewat baru kami sampai ke tujuan, kelelahan, mengantuk, namun puas.