Menjelang masuk kota Langsa dari arah Medan, ada persimpangan. Kekiri menuju ke kota Langsa, yang tengah menuju ke terminal dan langsung ke luar kota Langsa ke arah Banda Aceh, sementara yang ke kanan adalah menuju ke Kuala Langsa. Kami sudah banyak mendengar mengenai Kuala Langsa ini, dan saat ini tertarik untuk menyaksikannya sendiri. Jalan menuju Kuala Langsa beraspal dan lebar, cukup untuk dua kenderaan untuk berpapasan tanpa perlu saling melambat. Beberapa kilometer pertama merupakan wilayah pemukiman, yang disesaki oleh rumah tinggal dan ruko-ruko. Makin ke arah kuala, tambak dan tebat mendominasi. Rumah-rumah penduduk yang dibangun di atas air yang ditopang oleh tiang-tiang sendiri, dengan jalan-jalan antar rumah dan ke jalan utama yang berupa jembatan-jembatan kecil yang terbuat dari susunan papan, memberikan pemandangan unik dan menarik. Perahu dan sampan milik warga setempat ditambatkan di depan atau di samping rumah, terayun-ayun oleh riak dan gelombang kecil. Aroma asin tambak bercampur amis meruap. Pohon-pohon bakau tumbuh subur di pematang-pematang tambak dan sekitar rumah-rumah panggung penduduk. Di berbagai tempat orang-orang sedang memancing ikan dalam cuaca panas menyengat. Langit biru bersih, dengan hiasan awan di sana-sini. Tanpa ada penghalang apa-apa, matahari langsung memancarkan sinarnya, menimbulkan suasana panas dan gerah. Sebelah kiri jalan, pelabuhan ikan sedang sepi dari aktivitas. Beberapa perahu nelayan sedang sandar, dan orang-orang bergerak dengan malas. Cuaca panas membuat semuanya melambat. Orang-orang lebih suka berada di keteduhan yang terlindung dari panas langsung cahaya matahari daripada berada di luar.
Jalan ini berakhir di pelabuhan. Inilah tempat yang setiap liburan dan sore hari ramai dipenuhi oleh pengunjung, mulai dari hanya sekedar jalan-jalan, menikmati suasana sore, ataupun memancing. Di pintu masuk kami dicegat seorang petugas berseragam mirip dengan seragam Dinas Perhubungan. Melalui jendela kenderaan yang dibuka, kepalangan menengok ke dalam, menghitung jumlah orang. "Tiga ribu rupiah semuanya", katanya sambil menyodorkan tiket. Terkesima menghadapi jumlah yang begitu murah, Bendahara Perjalanan menyodorkan uang yang diminta. Petugas yang sudah berumur lanjut tersebut mengucapkan terima kasih dan membuka gerbang dengan mendorongnya. Suatu keramahan yang lama hilang dari bumi Aceh semasa konflik bersenjata, kini secara pelan mulai mencuat lagi kepermukaan. Keramahan alami dari orang-orang Aceh yang bersahaja dan tidak dibuat-buat.
Ternyata Kuala Langsa saat kami kunjungi sangat sepi. Hanya ada sebuah kapal kayu yang sedang bersandar, dan sebuah kapal polisi yang sedang beristirahat. Sebuah beca motor yang dipenuhi dengan berbagai makanan kecil dan minuman ringan bersiap menunggu pembeli. Mengisi waktunya karena pembeli belum ada, pemilik warung bergerak tersebut memancing ikan di dermaga. Disebelahnya, sebuah becak penjual aneka juice yang ditunggui sepasang remaja juga sepi dari pembeli. Yang laki-laki sedang memasang umpan pada mata kail untuk memancing. "Pagi seperti ini pengunjungnya sepi, Bang", katanya. "Sore hari baru ramai". Di sisi seberang dermaga, gudang-gudang pelabuhan berjejer, sepi dari aktivitas.
Tidak lama kami di sini. Cuaca panas menyengat membuat kami tidak tahan. Lagipula tidak ada yang bisa dinikmati di sini. Jadi kami memutuskan untuk kembali ke jalan keluar dan menuntaskan tujuan kami sebenarnya ke sini: makan mi kepiting.
Ditempat yang banyak pohon bakaunya, warung-warung kecil berjejer menjual berbagai jajanan dan minuman. Pohon-pohon bakau tumbuh rapat, lurus tinggi keatas berlomba menggapai cahaya matahari. Di bawahnya, air laut memancarkan aroma asin bercampur amis khas tambak. Pohon-pohon bakau berdekatan disatukan dengan papan dan balok membentuk panggung, dan diberi lantai papan dan pagar pengaman. Kursi dan meja diletakkan di panggung tersebut, dan pengunjung bisa bersantai menikmati makanan di berbagai ketinggian. Sungguh sebuah kreatifitas yang unik. Terdapat banyak panggung-panggung kecil berbagai ukuran dan berbagai ketinggian di rawa bakau ini. Yang paling rendah sejajar dengan jalan, sementara yang paling tinggi setidaknya bisa sekitar empat atau lima meter di atas permukaan air. Tiupan angin yang lembut membuat pohon bakau bergoyang, dan panggung juga ikut terayun-ayun. Ukuran panggung berbeda-beda. Semakin tinggi biasanya daya tampungnya lebih kecil dibandingkan dengan yang lebih rendah. Panggung-panggung tersebut dihubungkan oleh jembatan-jembatan dari papan-papan yang dipakukan pada balok, dan diberi pagar pengaman. Saya naik ke panggung tertinggi untuk melihat-lihat. Di sebelah kanan saya, di posisi yang sama tingginya dengan panggung yang sana naiki, sebuah keluarga sedang bersantai. Mereka tidur-tiduran di tikar yang dibentangkan untuk pengganti kursi. Tempat makanan dan minuman yang sudah kosong menunjukkan bahwa mereka sudah lama berada di sana. Dua orang anak-anak sibut bercanda dengan monyet-monyet yang merubung mereka, mencoba untuk mengambili sisa-sisa makanan. Monyet-monyet tersebut sudah tidak takut lagi dengan kehadiran manusia, bahkan beberapa sudah begitu jinaknya sehingga bisa dipegang.
Kehadiran monyet-monyet ini sebenarnya merupakan hal yang menarik bagi pengunjung. Interaksi antar pengunjung - apalagi yang anak-anak - dengan satwa tersebut, yang dijembatani oleh makanan, adalah salah satu daya tarik yang membuat orang-orang ingin ke sini, selain untuk bersantai dan menikmati jajanan yang tersedia. Bagi pemilik tempat, kehadiran monyet-monyet ini lebih sebagai pengganggu. Mereka mengambili makanan, kadang bersama dengan piring-piringnya, kemudian mencampakkan piringnya ke dalam air setelah mengambil isinya. Saya menyaksikan sendiri bagaimana para monyet ini bertindak secara komunal: beberapa monyet bertingkah dekat dengan penjual jagung bakar sebagai pengalih perhatian, dan seekor monyet lain bertindak cepat diam-diam mengambil dua jagung mentah dan melarikannya dengan tangkas saat pemiliknya lengah. Di atas pohon bakau, mereka berkumpul kembali dan sama-sama memakani jagung sampai gundul dari tongkolnya dan melempar tonggol jagung yang sudah kosong ke bawah dekat dengan meja penjual jagung. Sungguh menyebalkan. Pengunjung yang mengambil tempat dekat dengan penjual jagung tersebut tertawa-tawa, terhibur dengan tingkah para monyet dan kesialan penjual jagung bakar.
Kemudian, seorang orang tua - nampaknya orang tua gadis muda penjual jagung bakar - berusaha untuk membalas dendam. Dengan menggunakan ketapel, dia menembaki para monyet yang segera berlarian untuk menyelamatkan diri. Ada yang kena, sehingga monyetnya kesakitan dan berteriak keras. Yang lain menghilang ke kerimbunan daun-daun pokok bakau, untuk sementara. Sejenak kemudian mereka turun lagi di tempat lain, menyeringai mengejek pemburunya yang tembakan katapelnya meleset.
Kami memesan mi kepiting dan es kelapa muda. Lama menunggu, sepertinya tidak ada kegiatan masak-memasak. Saya melongok ke dapur. Di warung-warung di Aceh, dapur minya diletakkan di depan dan diawaki oleh laki-laki. Kegiatan masaknya berisik: mulai dari kompor minyak tanah pompa yang bunyinya menderu-deru, celoteh tukang mi yang tidak pernah berhenti, dan bunyi kelontengan kuali yang dipukul dengan sudip pengaduk. Tapi, di warung ini, suasana masaknya senyap sekali. Yang masaknya ternyata bukan laki-laki, tetapi ibu-ibu pemilik warung. Sebuah kuali besar diletakkan di atas kompor gas, bukan kompor minyak tanah pompa yang bunyinya menderu-deru. Potongan-potongan kepiting yang sudah dibersihkan dimasak bersama dengan mi dalam kuali tersebut. Disebelahnya, seorang gadis muda sedang merajang sayur-sayuran untuk mi. Sepi dan tertib. Satu-satunya laki-laki yang ada di warung ini, anak usia remaja yang bertugas mencuci piring.
Akhirnya mi kepiting kami siap, tujuh porsi semuanya untuk kami yang berjumlah tujuh orang. Piring-piring berisi mi campur potongan kepiting menggunung, mengepulkan uap panas dan aroma sedap. Kuahnya kental, kuning kecoklatan berminyak-minyak, beruap putih karena masih panas. Rombongan monyet mendekat, tetapi tidak mengganggu. Mereka duduk mencangkung dikejauhan, menatapi kami dan piring kami. Seekor diantaranya cukup besar, monyet jantan yang duduk menyendiri. Saya berusaha mendekat, cukup dekat sehingga bisa memegangnya, untuk mengambil gambar. Monyetnya jinak dan pemalu, setiap kamera diarahkan ke mukanya, monyet tersebut memalingkan wajahnya ketempat lain. Sebelah matanya tidak ada, kosong menyisakan garis tipis kelopak mata yang tertutup rapat. Gagal mendapatkan gambar yang bagus, saya kembali untuk menikmati mi kepiting yang mulai mendingin.
Ternyata minya tidak terlalu enak. Bumbunya kurang meresap, minya tidak matang dan rasanya biasa-biasa saja. Saya pernah makan mi kepiting yang lebih enak di bagian Aceh lainnya. Tetapi kepitingnya sendiri luar biasa. Walaupun ukurannya sedang-sedang saja, kepitingnya gemuk dan padat. Setiap celah bagian tubuh kepiting sesak dengan daging. Cangkangnya penuh dengan telur yang berwarna orange kemerahan. Susah untuk makan mi kepiting menggunakan sendok dan garpu. Jari tangan lebih berfungsi untuk mengeluarkan daging kepiting dari celah-celah cangkangnya.
Semuanya makan dengan lahap, kecuali Refki yang sedang menderita flu, sehingga lidahnya tidak bisa merasai makanan. Sayang sekali, padahal dia sendiri memesan mi udang yang sama enaknya dengan mi kepiting. Hanya butuh waktu sebentar untuk mengosongkan piring-piring. Sampah cangkang kepiting memenuhi piring yang disediakan khusus untuk menampung sisa makanan. Angin laut yang bertiup sepoi-sepoi diantara dedaunan pohon bakau menambah semangat makan semuanya. Minuman es kelapa muda segar, dengan perpaduan manis gula dan asam jeruk nipis yang pas, dengan potongan-potongan es batu yang terapung di dalam gelas membuat kami betah berlama-lama di sini.
Tempat wisata yang bagus
ReplyDelete