Wednesday, April 20, 2011

Pantai Malin Kundang

Jika Panyabungan di Tapanuli Selatan punya Sampuraga dan Aceh punya Amat Rhang Manyang, maka Sumatera Barat punya legenda anak durhaka versi setempat, Malin Kundang yang ketenarannya melebihi Sampuraga dan Amat Rhang Manyang. Berlokasi di pantai Air Manis yang indah di Kota Padang, gundukan karang yang sudah dimodifikasi oleh para tukang batu menampilkan sisa-sisa bentuk kapal layar jaman dahulu kala,lengkap dengan tali temali dan tong-tong serta peti-peti. Juga dihiasi dengan patahan tiang kapal yang berserakan, semuanya dibentuk dari semen jaman modern oleh para tukang batu sebagai penguat legenda yang ada. Juga ada jasad si Malin yang meringkuk di haluan kapal, membatu terhempas kutukan sang bunda yang murka.

Dari Situjuh, dengan menggunakan dua kenderaan roda empat kami bertolak menuju ke Padang. Perjalanan selama sekiktar tiga jam melewati Bukittinggi, Padang Panjang, Lembah Anai, Sicincin. Hamparan pemandangan indah tempampang nyaris sepanjang perjalanan. Awalnya kami berencana ke Pantai Padang, tetapi cuaca terik sekali dan tidak ada pepohonan tempat berteduh. Dipinggir pantai yang dipasangi penahan gelombang dipenuhi oleh warung dan pondok penjual berbagai makanan dan minuman, terutama ikan bakar. Jadi kami memutuskan mencari tempat lain yang lebih rindang.

Jalan ke Pantai Maling Kundang atau Pantai Air Manis mengerikan, sempit mendaki tanjakan curam dan dipenuhi dengan kelokan-kelokan patah. Harus punya trik sendiri untuk mendaki, karena sempat kenderaan kami tidak mau bergerak pada pendakian yang sangat curam. Bau kopling tergesek meruap tajam ke dalam kabin kenderaan dan menimbulkan panik. Di belakang kami, dua bus berukuran sedang malah memilih untuk parkir di lokasi tersebut, membiarkan para penumpangnya berjalan kaki beberapa kilometer mendaki bukit menuju pantai. Setelah dibiarkan sebentar, kenderaan kami mendaki lancar dengan gigi rendah. Sebelah kanan kami, lautan membentang, biru dengan alur garis ombak yang putih memanjang menuju pantai. Dari ketinggian, kami memandang pulau Pandan yang kecil di bawah tebing.

Untuk masuk ke lokasi, kami dikenakan biaya sepuluh ribu rupiah untuk satu kenderaan. Untuk parkir kenderaan, ada biaya lain yang dikutip sebesar lima ribu rupiah lagi. Pantai diteduhi oleh pohon-pohon pinus yang daunnya bersiul tertiup angin pantai yang sepoi. Cuaca panas terik sedikit berkurang karena keteduhan pepohonan. Mendekati garis pantai, banyak pondok-pondok tempat beristirahat yang bisa dipakai. Tikar-tikar juga disediakan bagi yang ingin duduk di mana saja diantara pepohonan. Semuanya ada angkanya, harga sewa yang harus dibayar. Agak jauh dari garis pantai, jejeran warung menjual bermacam makanan dan minuman. Juga terdapat tempat-tempat yang menyewakan peralatan untuk berselancar.

Setelah makan siang yang dilakukan di bawah keteduhan pohon-pohon pinus, dan ditunggui oleh kambing dan anjing yang mengharapkan makanan sisa, kami bergerak sendiri-sendiri. Anak-anak main di garis pantai menyambut gelombang, sambil mencari kepiting dan kerang kecil. Yang lainnya memilih berjalan-jalan sepanjang garis pantai.

Pantai ini tidak berpasir lepas, tetapi dibalut lumpur halus berwarna coklat kehitaman yang padat. Hempasan gelombang di pasir pantai membuat pasirnya selalu basah, dan lama keringnya. Sampah berserakan dimana-mana, peninggalan para pelancong yang serampangan. Air lautnya juga tidak bening, tetapi keruh berwarna gelap. Karena hari Minggu, pantai dipenuhi oleh orang-orang. Turis asing banyak juga di sini, memanfaatkan gelombang besar untuk berselancar. Orang-orang mandi di laut yang kotor, berdiri di kedalaman air sepinggang menyambut hempasang gelombang yang datang.

Di ujung kanan pantai, tepat sebelum garis pantai dipotong oleh bukit kecil, terletak situs legenda Malin Kundang. Sebuah aliran kecil memotong pantai, memisahkan situs legenda Maling Kundang dengan bagian pantai lainnya. Beberapa lembar papan diletakkan di sana oleh anak-anak tanggung, berkaki krat minuman. Orang-orang yang melintasi jembatan darurat tersebut karena tidak mau kakinya basah oleh air laut yang keruh ditarik bayaran seikhlasnya. Orang-orang ramai di sana, melihat-lihat lokasi, kadang mengambil gambar untuk kenangan. Para tukang foto menunggu pelanggan. Sebuah plang nama memberi ketegasan kehadiran mereka "Mohon!!! Digunakan jasa amatir".

Di bagian atas situs Malin Kundang, persis di kaki bukit, terdapat jejeran kios penjual berbagai macam cendera mata, mulai dari kaos-kaos dengan sablon setempat sampai kulit kerang. Semuanya mengharapkan kesediaan para pengunjung untuk singgah dan berbelanja.

Makin sore, pengunjung pantai semakin ramai. Ombak semakin membesar, dan nampaknya air laut semakin tinggi karena pasang. Bibir pantai semakin menyempit, air laut semakin mendekat ke lokasi tempat kami membentang tikar. Saatnya untuk kembali.


















No comments:

Post a Comment