Friday, July 13, 2012

Meuriam Trieng

Bulan puasa belum lagi tiba, tetapi lorong-lorong perumahan tempat kami tinggal sudah mulai berisik oleh gemeretak petasan yang dimainkan oleh anak-anak. Usai magrib, anak-anak kecil berkumpul, membakar lilin, memainkan kembang api dan membanting petasan. Anak-anak yang lebih kecil berlarian ke sana kemari, dikejar oleh anak-anak yang lebih besar dengan kembang api di tangannya.

Di kampung, dulu, kami tidak mengenal petasan. Petasan adalah mainan anak-anak kota yang tidak terjangkau oleh kami yang tidak punya uang saku. Sesekali saat hari raya anak-anak kampung kami yang tinggal di kota pulang membawa petasan, dan saat dimainkan, kami merubung dengan kagum.

Mainan kami yang seru di bulan puasa adalah meuriam trieng - meriam bambu dalam bahasa Aceh. Perlu nyali berlebih untuk memainkannya, karena berbahaya. Saat meletup, api akan menyembur keluar dari lubang sundut. Jika terlalu dekat, bisa kesambar.

Sebelum puasa - biasanya beberapa hari menjelang puasa sekolah sudah diliburkan - kami sudah masuk belukar untuk mencari bambu yang cocok untuk dijadikan meriam. Bambu yang cocok adalah dari jenis trieng phet - bahasa aceh untuk bambu betung - yang berdaging tebal dan beruas pendek yang sangat kuat. Biasanya yang dipilih adalah pangkalnya. Dengat gesit beberapa anak akan bergantian menebang pangkal bambu, menyingkirkan duri yang mengganggu. Bambu dipotong sepanjang sekitar dua setengah meter hingga tiga meter, kemudian disodok dengan menggunakan galah kayu untuk membuang ruas-ruasnya. Beberapa ruas di bagian pangkal akan ditinggalkan. Sebuah lubang dipahat di bagian atas, sebesar satu atau dua sentimeter, tempat untuk memasukkan bensin dan menyundut meriam. Sebagai bahan bakar, kami menggunakan bensin, bukan minyak tanah. Jika menggunakan minyak tanah, bunyinya redup, dibandingkan dengan menggunakan bensin yang suaranya menggelegar. Selesai dilubangi, bambu akan dijemur seharian sehingga menjadi liat. Ujung bambu kemudian diikat dengan tali yang cukup kuat, kadang kala menggunakan kawat, sehingga tidak pecah oleh getaran suaranya yang cukup kencang.

Untuk bahan bakar, kami iuran dengan uang saku kami yang tidak seberapa. Kadang kami juga mendapat sumbangan dari perantau yang pulang kampung.

Malah pertama bulan puasa, usai tarawih, anak-anak mulai memainkan meriam bambu. Karena suaranya yang cukup keras, orang-orang dewasa tidak membolehkan kami kami meriam dekat dengan rumah ataupun meunasah. Jadi kami memindahkan meriam kami ke pesawahan. Justru lebih mengasyikkan memainkan meriam bambu di pesawahan, karena suaranya menggelegar bersipongang dan berderak-derak oleh gema, bersahutan dengan meriam-meriam dari desa lain yang berdekatan.

Sebelum dinyalakan, bensin dalam bambu harus dipanaskan dulu. Ujung meriam diganjal sehingga sedikit mendongak. Sebuah tempurung kelapa kami isi dengan tanah kering, kemudian disiram dengan sedikit bensin, lalu diletakkan dibawah meriam tempat bensin betada. Api dari tempurung bambu akan memanaskan bensin. Setelah dirasa cukup, seorang anak akan menduduki meriam dan menyundut bensin melalui lubang sundut. Api akan membakar uap bensin seketika dengan letupan. Api akan menyembur dari lubang depan meriam dan dari lubang sundut. Saat masih dingin, suaranya tidak seberapa. Asap bekas bakaran harus dibuang dengan cara ditiup melalui lubang sundut. Asap tebal bercampur uap bensin akan keluar melalui lubang depan meriam. Kemudian meriam disundut kembali. Makin lama suaranya makin keras, dari letupan kecil menjadi ledakan menggelegar, yang bisa memekakkan telinga untuk sesaat. Bola api yang menyembur menerangi kegelapan malam sekitar kami. Kadang kami meletakkan tempurung kelapa di lubang depan meriam dan akan terbang saat meriam disundut.

Semakin puasa mendekati akhir, permainan meriam bambu semakin ramai. Kadang beberapa meriam diletakkan bergandengan dan disundut berurutan. Dentuman suaranya bersipongang panjang berirama, bergema dipantulkan oleh pepohonan di pinggiran desa sebelah.

Puncaknya adalah pada malam lebaran. Saat yang lain bertakbir di meunasah, kami anak-anak sibuk dengan meriam-meriam bambu. Sekali waktu kami meminjam becak barang seorang warga, dan mengikat dua meriam di atanya. Dengan berpindah-pindah tempat kami menyalakan meriam.

Memainkan meriam bambu bukan tidak ada bahayanya. Jika bambunya tidak kuat menahan ledakan, bambu bisa pecah dan menyebarkan bensin panas kemana-mana. Yang berdekatan bisa dipastikan akan kesambar oleh bensin dan api. Seorang kawan kami pernah kesambar bensin dan api ketika meriam yang disundutnya pecah. Dengan panik kami hanya bisa berteriak-teriak dan tidak berbuat apapun. Untung yang terkena api tidak kehilangan akan. Dia langsung melompat ke kubangan dan berguling-guling. Setelah api padam, kami memeriksa kerusakan: baju yang nyaris terbakar, alis gundul dan sebagian rambut tersambar api. Secara ajaib kawan kami tidak mengalami luka yang berarti.

Penyundut meriam jika terlalu dekat dengan lubang sundut juga bisa menuai bahaya. Semburan api dari lubang sundut bisa menyambar alis dan rambut. Tidak jarang setelah meriam meletup, kami membaui bau rambut hangus, berasal dari alis yang tersambar api. Jika bensin diisi terlalu banyak dalam meriam, saat meriam meletup, percikan bensin bisa tersembur keluar bersama api dari lubang sundut. Penyundut meriam harus sigap mengelak.

Seorang kawan sewaktu di SMP pernah terpaksa tidak bersekolah selama satu bulan setelah lebaran gara-gara meriam bambu. Sewaktu dimainkannya, meriam bambu tidak mau meledak. Suara yang keluar hanya desisan kecil dan api yang menyala di lubang sundut. Api dipadamkannya dengan memukulkan sandal pada lubang sundut, kemudian dihembus kembali untuk membuang asapnya. Disundut kembali, meriam tetap tidak mau meledak. Setelah kembali memukul-mukul lubang sundut untuk mematikan apinya, kawan tersebut pindah ke depan meriam untuk melihat dari lubang depan apakah lubang depan tersumbat - biasanya sehabis dimainkan lubang depan dan lubang sundut ditutup dengan dedaunan untuk mencegah bensin menguap. Persis saat mukanya berada di depan lubang meriam, meriam bambu tersebut meledak dengan suara luar biasa. Kawan tersebut tercampak ke depan, kemudian merangkak-rangkak ditanaj karena kaget. Kemudian diketahui alisnya habis terbakar, begitu juga dengan rambut depannya. Mukanya merah kehitaman, kemudian mulai membengkak. Orang tuanya membawanya berobat ke puskesmas. Untung luka bakarnya tidak parah, hanya saja dia harus berdiam diri di rumah sampai tidak bisa berlebaran dan tidak bisa bersekolah selama satu bulan.

Saat konflik memuncak di Aceh, permainan meriam bambu menghilang. Tidak ada yang berani memainkan meriam pada kondisi genting seperti itu. Nyaris selama lima belas tahun dentuman meriam bambu menghilang dari kampung kami dan daerah lainnya di Aceh. Setelah damai tercapai pada tahun 2005, gelegar meriam bambu kembali mulai terdengar di pelosok-pelosok. Malam-malam bulan puasa kembali riuh oleh dentuman meriam bambu yang dimaninkan bukan saja oleh anak-anak, kadang juga oleh orang-orang dewasa.

Jejak cahaya oleh kembang api anak-anak

No comments:

Post a Comment