Wednesday, July 25, 2012
Tuesday, July 24, 2012
Pantai Sanur, Bali
Hari masih gelap ketika kami meninggalkan tempat kami menginap menuju pantai Sanur untuk menyaksikan matahari terbit. Kelelahan masih mendera kami dari kegiatan kami di hari sebelumnya, dan tidak pupus oleh istirahat tidur beberapa jam.
Sepagi itu pantai sudah ramai oleh pengunjung. Sampah masih berserakan di pasir pantai, belum dibersihkan oleh petugas. Semilir angin pantai sejuk menerpa wajah kami, mengusir sisa kantuk. Semakin terang, pantai semakin ramai. Para penjual makanan berjejer di kios-kios kecil sepanjang pantai. Kami memilih duduk di kios penjual jagung bakar, menikmati jagung bakar yang segar dan hangat.
Sepagi itu pantai sudah ramai oleh pengunjung. Sampah masih berserakan di pasir pantai, belum dibersihkan oleh petugas. Semilir angin pantai sejuk menerpa wajah kami, mengusir sisa kantuk. Semakin terang, pantai semakin ramai. Para penjual makanan berjejer di kios-kios kecil sepanjang pantai. Kami memilih duduk di kios penjual jagung bakar, menikmati jagung bakar yang segar dan hangat.
Monday, July 23, 2012
Pantai Kuta ...
Sore yang cerah dipantai Kuta. Matahari sudah jauh berkurang teriknya. Pantai dipenuhi oleh pengunjung dengan beragam kegiatan, mulai dari berjalan-jalan, berjemur, mandi hingga ada yang mencoba berselancar. Pengunjung mancanegara dengan santai berjemur dengan pakaian yang minim. Para ibu-ibu pemijat berkeliling menawarkan jasa pijat ditempat. Pedagang asongan menawarkan berbagai macam dagangan.
Matahari semakin menurun menuju titik tenggelam. Langit memerah. Di sebuah musholla kecil di restoran di seberang jalan tempat kami parkir azan magrib berkumandang. Matahari sudah menghilang, meninggalkan rona merah di langit senja. Saatnya beranjak meninggalkan pantai.
Saturday, July 21, 2012
Friday, July 20, 2012
Danau Beratan, Bedugul, Bali
Hujan yang semula rintik mulai deras ketika kami memasuki wilayah danau Beratan, Bedugul. Kabut tebal menutupi pemandangan ke arah danau. Hujan tidak menghalangi pengunjung untuk berjalan-jalan menikmati keindahan tempat tersebut. Sayang sekali kami tidak bisa menghabiskan waktu lebih lama di sana, karena azan panggilan shalat Jumat mulai berkumandang dari Mesjid yang terletak persis di sebarang jalan.
Menuju tepi danau
Kabut menghalangi pemandangan ...
Hujan tidak menghalangi pengunjung untuk menikmati keindahan alam
Shalat Jumat di Mesjid Jami' Al Hidayah
Menunggu hujan reda ...
Penjual strawberry di lokasi parkir Mesjid
Kera-kera Alas KEdaton
Dari Desa Brembeng kami meluncur ke objek wisata Alas Kedaton, yang juga terletak di wilayah Tabanan. Jalan aspal yang mulus membawa kami ke ketinggian. Udara mendung dan berkabut tipis, dan gerimis mulai turun. Kami menjadi rombongan pengunjung pengunjung pertama pagi itu. Setelah membayar tiket masuk, kenderaan kami diparkir di depan deretan kios suvenir. begitu turun dari kenderaan, kami langsung disambut oleh sekelompok kera. Kera-kera lainnya bertebaran di semua tempat, selang-seling dengan anjing, dan nampaknya hubungan antara kedua makhluk yang berbeda tersebut baik-baik saja. Kera-kera berbagai ukuran bergantungan di pepohonan, merangkak di lantai dan di kalanan, duduk di trotoar. Kera-kera ini bagian dari tempat ini, sebuah pura suci agama Hindu yang dikelilingi oleh hutan alam yang dipertahankan keasliannya. Rupanya dari hutan inilah para kera ini berasal. Sedikit berbeda dengan kera lain yang saya kenal, kera di sini memiliki semacam punuk di kepalanya, yang terdiri dari rambut yang meruncing di tengah kepalanya.
Dua orang wanita penjaga suvenir mendekati kami, mengatakan mereka akan memandu kami. Nanti, selesai mengelilingi pura, mereka sangat mengharapkan kami untuk singgah di kios suvenis milik mereka dan membeli beberapa oleh-oleh dengan harga yang "sangat wajar". Lebih jauh mereka menjelaskan, bahwa para penjual suvenir di sini menganut semacam sistem antrian, jadi mereka harus menunggu giliran untuk memandu para pelancong dan kemudian mengajaknya ke kios mereka. Karena banyaknya kios suvenir, di musim sepi, masa tunggu bisa berhari-hari, kata mereka.
Ada aturan mengunjungi objek wisata dan pura Alas Kedaton. Monyet-monyet itu, yang merupakan bagian dari pura tersebut, tidak boleh diapa-apakan. Karena kebebasannya tersebut, dan nampaknya para monyet mengetahuinya dan memanfaatkannya betul-betul, monyet-monyet tersebut bertidak sesuka hati mereka. Jika ada pengunjung yang membawa kantong, dengan segera gerombolan monyet akan mendekat merubung karena mengira kantong tersebut berisi makanan untuk mereka. Jika kita menggenggam tangan, para monyet akan berusaha menarik tangan dan membuka untuk mengambil isinya. Dan pengunjung tidak diperbolehkan untuk bertindak kasar kepada monyet-monyet tersebut.
Monyet tetaplah monyet, di pura suci atau tidak. Beberapa ekor monyet nakal melarikan sepotong pakaian yang dijual di sebuah kios suvenir, dan meninggalkannya di atas atap. Pemiliknya berteriak-teriak menghalau. Seorang lelaki memanjat atap dan mengambil kembali pakaian yang dilarikan oleh para monyet tersebut.
Terhadap pengunjung monyet bersikap lebih seenaknya lagi. Saat kita lengah, ada saja monyet yang berusaha memnjat ke bahu bahkan ke kepala. "Jangan diusir", kata perempuan pemandu kami."Kasih kacang, nanti dia akan turun sendiri". Atau, kalau tidak punya kacang, "Jongkok saja. Monyetnya akan turun". Kacang yang sudah dibeli sebelumnya disebarkan di jalanan, dan para monyet merubung, termasuk monyet yang masih hinggap di kepala. Jika monyet bertingkah berlebihan dan pengunjung merasa terganggu, pemandu akan mengusir monyet dengan tongkat yang mereka bawa.
Pengunjung lain mulai berdatangan. Ada beberapa pengunjung yang sepertinya berasal dari India, lengkap dengan pakaian tradisional mereka.
Kios-kior suvenir menjual berbagai cenderamata yang unik. Ada kaus dan pakaian khas Bali, kain pantai, berbagai ukiran, gantungan kunci, sampai patung unik berbentuk alat kelamin laki-laki yang berukuran raksasa. Tetapi, sepertinya aturan harus berbelanja di kios milik pemandu kami tidak mutlak berlaku. Kami juga singgah di kios lainnya dan membeli beberapa barang, dan tidak ada masalah apa-apa.
Dua orang wanita penjaga suvenir mendekati kami, mengatakan mereka akan memandu kami. Nanti, selesai mengelilingi pura, mereka sangat mengharapkan kami untuk singgah di kios suvenis milik mereka dan membeli beberapa oleh-oleh dengan harga yang "sangat wajar". Lebih jauh mereka menjelaskan, bahwa para penjual suvenir di sini menganut semacam sistem antrian, jadi mereka harus menunggu giliran untuk memandu para pelancong dan kemudian mengajaknya ke kios mereka. Karena banyaknya kios suvenir, di musim sepi, masa tunggu bisa berhari-hari, kata mereka.
Ada aturan mengunjungi objek wisata dan pura Alas Kedaton. Monyet-monyet itu, yang merupakan bagian dari pura tersebut, tidak boleh diapa-apakan. Karena kebebasannya tersebut, dan nampaknya para monyet mengetahuinya dan memanfaatkannya betul-betul, monyet-monyet tersebut bertidak sesuka hati mereka. Jika ada pengunjung yang membawa kantong, dengan segera gerombolan monyet akan mendekat merubung karena mengira kantong tersebut berisi makanan untuk mereka. Jika kita menggenggam tangan, para monyet akan berusaha menarik tangan dan membuka untuk mengambil isinya. Dan pengunjung tidak diperbolehkan untuk bertindak kasar kepada monyet-monyet tersebut.
Monyet tetaplah monyet, di pura suci atau tidak. Beberapa ekor monyet nakal melarikan sepotong pakaian yang dijual di sebuah kios suvenir, dan meninggalkannya di atas atap. Pemiliknya berteriak-teriak menghalau. Seorang lelaki memanjat atap dan mengambil kembali pakaian yang dilarikan oleh para monyet tersebut.
Terhadap pengunjung monyet bersikap lebih seenaknya lagi. Saat kita lengah, ada saja monyet yang berusaha memnjat ke bahu bahkan ke kepala. "Jangan diusir", kata perempuan pemandu kami."Kasih kacang, nanti dia akan turun sendiri". Atau, kalau tidak punya kacang, "Jongkok saja. Monyetnya akan turun". Kacang yang sudah dibeli sebelumnya disebarkan di jalanan, dan para monyet merubung, termasuk monyet yang masih hinggap di kepala. Jika monyet bertingkah berlebihan dan pengunjung merasa terganggu, pemandu akan mengusir monyet dengan tongkat yang mereka bawa.
Pengunjung lain mulai berdatangan. Ada beberapa pengunjung yang sepertinya berasal dari India, lengkap dengan pakaian tradisional mereka.
Kios-kior suvenir menjual berbagai cenderamata yang unik. Ada kaus dan pakaian khas Bali, kain pantai, berbagai ukiran, gantungan kunci, sampai patung unik berbentuk alat kelamin laki-laki yang berukuran raksasa. Tetapi, sepertinya aturan harus berbelanja di kios milik pemandu kami tidak mutlak berlaku. Kami juga singgah di kios lainnya dan membeli beberapa barang, dan tidak ada masalah apa-apa.
Subscribe to:
Posts (Atom)