Tuesday, January 24, 2012

Pasar Air Tiris, Kampar

Setiap pasar tradisional - terutama yang berada di daerah dan pelosok - menawarkan keunikan tersendiri dengan nuansa kedaerahan yang kental. Bagi dari bangunan, bahan dagangan sampai para pedagangnya. Makanan khas setempat, kadang hanya bisa didapatkan pada hari pasar di tempat-tempat tertentu. Begitu juga dengan berbagai komoditi lainnya.

Beberapa waktu lalu, dengan beberapa kawan sekerja kami singgah di Pasar Air Tiris, Kampar. Walaupun masih pagi, pasar sudah ramai oleh para pedagang dan pembeli. Pasar ini adalah pasar mingguan, dengan hari Sabtu sebagi hari pasar.Gapura pasar berdiri megah, dengan semacam dinding dipenuhi ukiran bermotif Melayu yang menawan. Pasanya bersih dan tidak becek, teratur dengan lorong-lorong yang gampang dijelajah dan tidak secara serampangan dijejali oleh para pedagang dengan lapaknya. Di bagian depan pasar, pengunjung langsung disambut oleh lapak para pedagang hasil bumi kebutuhan dapur. Berbagai macam cabe, mulai dari cabe keriting Medan yang berukuran kecil sampai cabe aneh, keriting melintir berukuran jumbo dengan panjang mencapai sekitar tiga puluh sampai empat puluh sentimeter. "Ini cabe Bukittinggi", uni penjual menjelaskan dengan logat Ocu - Melayu Kampar - yang kental.

Lebih masih ke dalam pasar, pada pedagang tradisional meenghamparkan berbagai produk alam di lapak-lapak kecil. Ada palasan - rambutan berbulu pendek yang kasar, nyaris botak - yang dijual dalam ikatan-ikatan kecil berisi beberapa buah, merah gelap menanti pembeli. "Lima liru rupiah seikat", kata ibu penunggu lapak. Beberapa durian juga diletakkan di sebelahnya. Harumnya meruap, harum durian jatuh yang alami. Bukan "durian digital" yang merupakan hasil petikan massal yang dipaksa masak dengan gas karbit. Harumnya adalah semu saja. Juga ada sayuran aneh mirip jamur, tetapi bukan. "Ini namanya buah kue", dengan ramah ibu penjual menjelaskan. "Dimakan mentah sebagai lalap". Bukan buah sebenarnya, lebih mirip sayuran. Dijual dalam tumpukan-tumpukan kecil dengan alas daun pisang. Di seberang lorong, sekelompok ibu-ibu menjual dadih - susu kerbau yang difermentasi - dikemas dalam potonga-potongan batang bambu berukuran sekitar lima sentimeter.

Di pasar ikan, berbagai macam ikan sungai digelar. Ada ikan tapa yang berasal dari sungai setempat yang mulai jarang ditemukan. Ada juga ikan selais tapung, yang berasal dari Sungai Tapung, yang katanya enak sekali jika dimasak asam pedas. Ada tumpukan-tumpukan telur ikan yang dijual secara terpisah. Kami kira itu telur ikan tapa, ternyata bukan. "Ini telur ikan gurame. Enak dipalai", kata bapak penjualnya. Palai adalah bahasa setempat untuk menyebut pepes. Ikan laut nyaris tidak terlihat di sini. Di meja-meja yang berjajar di belakang kami penjual daging dan ayam sedang ramai oleh pembeli.

Kami tidak berbelanja, memang. Tetapi saya menyempatkan diri membeli sejenis kue kering yang terbuat dari tepung beras, berbentuk lempengan-lempengan bulat setebal sekitar satu sentimeter dengan diameter sekitar sepuluh sentimeter. Terdiri dari beberapa warna, dengan pilihan taburan gula pasir di atasnya ataupun tidak. Saya memlihi yang tidak berwarna, alias putih, tanpa taburan gula. Teksturnya renyah, langsung lumer dalam mulut. Rasanya mengingatkan akan jajanan tradisional masa kecil dulu di pasar Lueng Putu, hanya saya yang di jual di sana berukuran lebih kecil. Di sini orang menyebutnya kue kariang. Harganya tiga puluh ribu rupiah sekilo. Ternyata sekilonya sangat banyak, karena kuenya ringan.


Dadih, susu kerbau yang difermentasi


Cabe keriting istimewa dari Bukittinggi

Pasar ikan, yang (nyaris) semuanya menjual ikan sungai

Selais Tapung

Udang sungai

Telur ikan

Hanya ikan sungai dan ikan air tawar

Kue karieng

Palasan, rambutan berambut pendek

"Ini buah kue, dimakan sebagai lalapan"

Buah kue, bukan buah dan sama sekali bukan kue

No comments:

Post a Comment