Wednesday, January 18, 2012

Durian ...

Rasanya, nyaris tidak ada yang tidak kenal buah durian dengan segala ciri khasnya. Dari bentuknya, durinya, dan baunya yang tajam orang akan dengan mudah untuk mengatakan bahwa itu adalah durian, walaupun buahnya sendiri tidak kelihatan. Dan rasanya juga nyaris tidak ada yang tidak menyukai rasanya. Tua dan muda, lelaki dan perempuan, hampir semuanya menyukai durian. Setiap musimnya, semuanya menyisihkan sedikit anggaran untuk bisa menikmati rasa buah yang "wah" tersebut. Yang punya kantong tebal bisa menikmati durian kapan saja durian tersebut ada, tidak perduli berapapun harganya. Yang berkantong tipis mungkin harus bersabar dulu untuk bisa menahan diri tidak menikmati durian di awal musim, kerena keberadaannya masih langka dan harganya masih diluar anggaran. Dengan sedikit menunggu hingga puncak musim durian, sehingga keberadaannya berlimpah dan harganya menjadi sangat terjangkau.

Sedikit sekali orang-orang yang tidak menyukai durian. Salah satunya adalah keluarga kami. Selama diperantauan, musim demi musim durian kami lewati, tanpa kehadiran bau durian di kediaman kami. Istri saya sama sekali tidak menyukai durian, dari kecilnya. Semua usahanya untuk bisa menikmati durian selalu gagal. Tekstur daging buah durian yang lembek dan baunya yang tajam mengingatkannya pada sesuatu yang kotor dan jorok, dan ini membuatnya tidak bisa menelan sama sekali. Kedua putri kami juga sangat tidak menyukai durian. Jangankan untuk memakannya, kehadiran durian di rumah saja sudah membuat keduanya resah. Pernah sekali, sewaktu putri kami yang besar berusia sekitar empat tahun, kami mencoba membeli beberapa durian - siapa tahu kedua putri kami mau memakannya. Yang terjadi adalah putri kami yang besar menangis meminta supaya durian tersebut dibuang. Yang kecil - masih bayi memalingkan muka sewaktu membaui durian. Sampai sekarang, makanan yang beraroma durian - martabak, eskrim dan lain-lain - tidak akan mereka sentuh.

Saya sendiri bukannya tidak suka durian sama sekali. Sewaktu kecil, sama seperti yang lainnya, saya juga menyukai durian. Setiap musim durian, Abu selalu menyisihkan sedikit uang untuk bisa membeli durian. Tidak banyak, karena harga durian cukup tinggi bagi keluarga kami yang pas-pasan. Jadi kami tidak pernah bisa makan durian sepuas-puasnya, karena memang jumlahnya yang sedikit. Ummi menyiasati durian yang sedikit tersebut dengan memasaknya dengan santan, dan kemudian dimakan berama-ramai dengan nasi ataupun ketan. Jarang sekali kami sekeluarga makan durian yang segar.

Sama seperti istri saya, adik perempuan saya - satu-satunya saudara perempuan kami - semasa hidupnya juga tidak pernah menyukai durian. Saya tidak pernah mengerti kenapa ada orang tidak menyukai durian yang rasanya begitu "hebat". Seingat saya, tidak pernah sekalipun saya melihat Nong makan durian.

Setelah kuliah dan tinggal terpisah dari orang tua, saya bisa menikmati durian sepuas-puasnya. Setiap musim durian, kawan-kawan satu kos iuran untuk membeli durian. Membelinya setelah lewat tengah malam pada puncak musim durian, dimana durian berlimpah dan pembeli sudah berkurang. Durian tengah malam biasanya yang sudah terlalu masak dan kulitnya rengkah tidak akan tahan lagi untuk disimpan sampai keesokan harinya untuk dijual lagi. Jadi penjualnya akan menjual dengan harga yang sangat murah, yang penting laku, supaya kerugiannya bisa diperkecil. Saya masih ingat suatu malam Minggu, berlima kami membeli durian sebanyak 26 buah seharga cuma enam ribu rupiah. Biasanya durian-durian tersebut - semuanya kelas satu berukuran besar - dijual sekitar tiga ribu sampai lima ribu rupiah sebuah (harga bensin masih empat ratus rupiah, harga nasi bungkus juga sekitar empat ratus rupiah sebungkus). Dengan naik becak bermotor kami bawa durian tersebut ke rumah kos, sekitar jam dua pagi. Mulailah kami berlima pesta durian dengan berisik. Duriannya luar biasa, kuning berdaging tebal dengan biji kecil. Bang Boi, kawan kos kami yang paling senior, mengatakan bahwa itu adalah durian tembaga dari daerah Tangse yang luar biasa. Semua berebut makan, habis yang satu belah yang lainnya, susul menyusul. Kemudia saya mulai merasa aneh. kepala mulai berat, rasa mual meruap, mau muntah tetapi tidak bisa. Suara berisik kami mulai menghilang, kami terduduk diam malas untuk bergerak. Kami mulai mabuk durian. Kemudian saya tidak sanggup lagi untuk duduk, juga yang lainnya. Kami berlima terbaring begitu saja di lantai, diantara kulit durian yang berserakan. Ruangan seolah berputar, walaupun mata sudah tertutup, Suara gemerisik membuat saya membuka mata, dan nampak Samsul sedang merayap berusaha turun tangga ke ruangan bawah. Katanya untuk membuat kopi pahit, yang diyakininya bisa menghilangkan mabuk. Saya tidak ingat lagi karena tertidur. Pagi-pagi sekali, sehabis subuh, pas terbangun saya mendapati Samsul dan Bang Boi sedang berusaha membelah durian lagi. Tanda-tanda mabuk tidak ada lagi. Nampaknya kopi pahit memang berhasil menghilangkan mabuk durian mereka berdua.

Saat kos di rumah seorang dosen - yang penggila durian - kami selalu diundang tuan rumah untuk menikmati durian bersama-sama. Ibu kos kami memasak sebagian durian dengan santan untuk dimakan dengan ketan. Sebagian lagi dibiarkan mentah untuk dimakan begitu saja.

Pusat durian yang terkenal di Aceh adalah Keumala, Tangse dan Geumpang. Yang berdekatan dengan kami yang juga terkenal adalah durian Meureudu, Jinjiem dan Tringgadeng. Di wilayah barat yang terkenal adalah durian Leupueng, Lamno . Durian dari daerah-daerah tersebut terkenal dengan ciri khasnya masing-masing. Pada musimnya, seringkali orang langsung ke Lamno untuk bisa menikmati durian langsung di bawah pohonnya, yang masih sangat segar dan rata-rata masak di pohon.

Bagi kami masyarakat Pidie, dulu, sepertinya durian adalah status kemampuan seseorang. Orang yang mampu membawa banyak durian untuk dimakan bersama dengan keluarganya dan kadang dibagikan ke tetangganya. Yang kurang mampu - seperti kami sekeluarga - membawa sebiji kecil durian, dimasak menjadi masakan dalam jumlah yang banyak, sehingga duriannya hanya tinggal aromanya saja, kemudian dimakan berama-ramai, diam-diam. Yang penting kami bisa menikmati durian juga, seperti orang-orang yang lain. Pengantin baru di daerah kami, yang menurut adat dan kebiasaan tinggal di rumah istrinya, walaupun tidak ditentukan, berkewajiban untuk membawa pulang durian ke rumah istrinya. Jika tidak, cerita yang tidak mengenakkan akan banyak beredar. Itu dulu.

Setelah selesai kuliah dan merantau untuk bekerja, saya juga masih sering menikmati durian bersama kawan-kawan yang tinggal bersama dalam satu mess. Jarang saya makan durian sendirian.Sama seperti sewaktu kuliah dulu, membeli durian juga di puncak musimnya, dan lewat tengah malam. Durian lewat matang yang sudah rengkah, sehingga tidak bisa lagi disimpan, karenanya berharga murah. Tetapi seingat saya, di daerah ini tidak pernah saya mendapati durian yang "sehebat" durian di Aceh dulu. Belum pernah di sini kami makan durian tembaga yang kuning berdaging tebal, berbiji kecil dengan rasa sedikit pahit. Kebanyakan adalah durian berdaging putih, manis dan baunya luar biasa tajam. Biasanya, durian yang beredar di daerah kami adalah bukan durian jatuh, melainkan durian produksi massal alias hasil petikan prematur yang dipaksa matang dengan karbit. Kebanyakan berasal dari daerah Bangkinang, Pangkalan, Payakumbuh, Batusangkar dan berbagai daerah Sumbar lainnya. Kadang durian juga dibawa ke sini dari daerah Jambi, kalau lagi musimnya. Harganya kalau sedang melimpah sangat jatuh. Harga buah sukun lebih mahal. Yang berdiameter sekitar dua puluh sentimeter, sebuah sukun bisa berharga sampai dua puluh ribu rupiah, sementara durian seukuran segitu cuma dihargai sepuluh ribu rupiah per tiga buah. Bandingkan dengan harga kelapa muda yang enam ribu rupiah sebutir.

Sekali sewaktu masih tinggal di mess, saya dan seorang kawan keluar untuk membeli durian. Seperti biasa, kami membeli durian lewat tengah malam. Kami membeli beberapa biji, sebenarnya jauh di atas kemampuan kami untuk menghabiskannya, dan kami bawa ke lapangan tenis dekat mess, karena kalau makan di mess baunya akan tinggal dan lama hilangnya. Dua sisi lapangan tenis tersebut berhadapan dengan belukar yang lebat, sengaja dibiarkan perusahaan tempat kami bekerja sebagai daerah hijau pepohonan. Sedang asyik makan durian sambil cerita ngalor ngidul, tiba-tiba saja saya merasa merinding tidak menentu. Saya melihat sekeliling ke arah hutan karena merasa ada yang mengawasi. Kemudian saya menatap kawan saya. Dia juga menunjukkan ekspresi yang sama dengan saya, ketakutan akan sesuatu. Tanpa berkata apa-apa, durian yang belum termakan kami angkat ke mess. Selera makan durian hilang sama sekali. Keesokan harinya kawan tersebut bercerita bahwa dia tiba-tiba saja merasa merinding - sama seperti yang saya alami - dan merasa ada yang mengawasi dari tempat yang tidak diketahui di dalam belukar. Entah benar atau tidak keberadaan yang mengawasi kami saat itu, tidak pernah terungkap.

Di ibukota provinsi, enam puluh kilometer dari tempat kami tinggal sekarang, ada lokasi yang tidak pernah putus menjual durian. Durian yang dijual di sana berasal dari mana-mana, tidak kenal musim. Selalu saja ada durian yang dipajang pondok-pondok penjual durian setiap saat. Saya dan seorang kawan pernah makan sekali disitu. Harganya mengerikan untuk ukuran kantong kami. Ada harga ada rasa, memang. Duriannya - yang kami makan saat itu - memang luar biasa. Besar, padat, berdaging tebal dan berbiji kecil. Plus jaminan akan diganti seandainya ada yang mentah. Bisa dimakan dengan pilihan ketan ataupun lemang.

Kawan-kawan lain yang satu tempat kerja ada juga yang keluarganya - istri dan anak-anaknya - tidak menyukai durian. Tetapi, pas lagi tidak bersama dengan keluarga dan ada kesempatan untuk makan durian, semua makan seperti kera lepas keladang. Tidak terkendali. Saya takjub dengan kemampuan mereka menghabiskan begitu banyak durian tanpa efek mabuk seperti yang kami rasakan dulu. Ternyata ada triknya. Seorang kawan yang penggila durian memberi tip, "Jangan makan durian saat perut kenyang. Makanlah durian saat perut kosong. Dijamin aman!". Saya sendiri belum berkesempatan untuk mencobanya. Juga ada tip lainnya ," Durian yang sudah tua dan matang biasanya ringan saat dipegang". Itu karena kadar air di kulit durian sudah berkurang dibandingkan dengan durian yang masih mentah.

Ada juga kawan yang lebih menyukai durian yang mengkal. "Tetapi duriannya harus yang sudah tua", katanya. Durian mengkal (yang sudah tua) memiliki aroma dan rasa yang sama dengan durian yang sudah masak, hanya saja tidak lembek. Jadi tidak mengotori tangan saat dipegang untuk dimakan. Baunya tidak akan tinggal di tangan seusai makan durian.

Makan durian di perjalanan juga mengasyikkan bagi kawan-kawan. Katanya durian lebih "hebat" rasanya dibandingkan dengan durian yang dijual di kota tempat kami tinggal. Durian yang dibeli di perjalanan biasanya dijual dalam jumlah yang sedikit, berkualitas bagus dan pilihan. Bukan durian hasil panen massal yang dipaksa masak dengan karbit. Di pendakian Tujuh Baleh - selepas Pangkalan menuju Sumbar - misalnya. Pada musimnya pondok-pondok penjual durian bertaburan di kiri kanan jalan menunggu pembeli, nyaris sepanjang waktu. Daerah pegunungan yang sepi menjadi meriah dengan lampu-lampu mereka. Di Rao-Rao, kami sarapan dengan durian. "Ini durian jatuh, yang disisakan oleh inyiak", kata Uda penunggu warung. Kabarnya harimau memang menyukai durian juga. Setelah harimau mendapat jatah durian, baru kemudian giliran pemilik durian untuk memunguti durian yang jatuh. Di Tarutung, durian yang dijual di pondok-pondok di pinggir jalan juga luar biasa. Walaupun kecil, kualitasnya nomor satu. Begitu juga durian yang dijual di daerah Batu Anam, menjelang kota Siantar. Juga tidak ketinggalan durian Stabat yang dijejerkan penjualnya dalam tumpukan-tumpukan kecil di ujung jembatan di pinggir kota Stabat. Semuanya luar biasa. Apalagi durian yang dijual di pinggir jalan di Beuracan, Meureudu. Juga di jalan-jalan sepi di Keumala, Tangse dan Geumpang. Tempat-tempat di pelosok Aceh tersebut selain menawarkan durian yang luar biasa juga menawarkan pemandangan alam yang sungguh memikat.

Setelah menikah dan mengetahui bahwa istri tidak menyukai durian, saya semakin jarang makan durian. Nyaris tidak pernah lagi membeli durian setelah kasus anak saya minta durian yang dibeli supaya dibuang. Sesekali memang ada juga makan durian, dalam porsi yang kecil, bersama dengan kawan-kawan yang lain supaya tidak dianggap munafik. Tetangga kami yang berasal dari Sumbar, misalnya, sering dikirimi durian dari kampung. Kamipun diundang untuk ikut menikmati. Saya makan sekedarnya, untuk basa-basi. Istri saya tidak makan sama sekali, begitu juga dengan kedua anak kami. Mereka hanya makan ketan dengan kelapa, duduk jauh-jauh menghindari bau durian yang meruap kemana-mana.

Tidak semua orang suka durian, memang.

Sarapan durian di Rao-rao

Durian tinggalan inyiak di Rao-rao

Padat, tebal dan berbiji kecil ...

Tandas!

Pohon durian sedang berbuah di Situjuh, Payakumbuh

Memilih durian di Binjai

Menikmati durian Tarutung di Sipirok

No comments:

Post a Comment