Sunday, January 17, 2010

Palai Rinuek

Salah satu makanan khas dari daerah sekitar Danau Maninjau adalah palai (payeh = pepes) ikan rinuek. Ikan ini - kabarnya - hanya ada di Danau Maninjau, dan tidak bisa hidup di daerah lain. Palai rinuek banyak tersedia di rumah makan di daerah Maninjau, kadang dijual di pinggir jalan. Beberapa kali kami mencobanya, cuma walaupun enak, rasanya terlalu langu bagi lidah Aceh kami. Ternyata, di kota kecil tempat kami tinggal, kami menemukan ikan rinuek segar di pasar mingguan tradisional. Dengan bermodal bumbu-bumbu Aceh untuk membuat eungkot payeh, kami membuat palai rinuek, dengan cita rasa Aceh. Rasanya luar biasa!

Tentu saja ikan rinuek diperlukan sebagan bahan utama. Sebanyak 1/4 kg ikan rinuek segar sudah cukup untuk membuat beberapa pepes. Bahan lainnya adalah lima butir bawang merah yang digiling kasar, enam buah cabe hijau dibelah dan dipotong dua, enam lembar daun "teumeurui" - daun kari, satu sendok teh kunyit bubuk, empat sendok makan asam sunti yang sudah digiling halus. Asam sunti adalah belimbing wuluh yang dikeringkan dan digarami. Selain itu juga diperlukan tiga sendok makan minyak goreng dan garam secukupnya. Campurnya ikan dan semua bumbu, kemudian bungkus dengan daun pisang, lebih baik yang segar. Pepes sampai matang.


Asam sunti yang sudah digiling

Daun kari

Tuesday, January 12, 2010

Sumbar (hari 3)

Makan malam kami lakukan di Baso, menjelang Payakumbuh. Dari sini kami bertolak menuju Padang Ganting, ke pemandian air panas. Jalan kebanyakan menurun dengan tikungan-tikungan yang patah. Kondisi jalan mulus.
Sepanjang malam, pemandian air panas Padang Ganting ramai dikunjungi orang. Orang-orang datang dan pergi. Kenderaan-kenderaan parkir berderet di samping pemandian. Sumber air panas terdapat di sebuah kolam penampungan, airnya kemudian dialirkan ke lolam pemandian laki-laki yang terbuka dan kolam pemandian perempuan yang tertutup. Bau belerang samar-samar tercium dari air. Airnya cukup panas, di beberapa tempat uap mengepul. Perlu penyesuaian terlebih dulu sebelum masuk kolam, karena panas. Disamping pemandian, terdapat sebuah mushola yang penuh dengan orang-orang beristirahat. Dua kedai makanan menyediakan berbagai makanan untuk pengunjung. Salah satu kedai buka sepanjang malam.Orang-orang mandi berulang-ulang. Setelah berendam beberapa lama, keluar dari kolam, beristirahat, kemudian mandi lagi. Konon ceritanya air panas di sini berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit.


Paginya, setelah puas berendam di kolam air panas, kami menuju ke Pagaruyung, ke Istana Basa Pagaruyung yang sedang dibangun ulang setelah habis terbakar beberapa waktu yang lalu.




Tidak kalah cantiknya Istana Silinduang Bulan yang letaknya tidak terlalu jauh dari Istano Basa Pagarurung.


Mesjid Sungai Tarap mempunyai kolam pemandian besar di depannya. Airnya dingin dan jernih, yang terus mengalir. Disamping mesjid terdapat kolam lain yang berisi ikan larangan.


Kami sarapan disebuah warung kecil di pinggir jalan di Rao-rao. Menunya gulai katupek, mi dan lain-lain. Durian yang baru semalam jatuh dari pohon juga tersedia.


Rupanya sedang diadakan acara buru babi besar-besaran di daerah ini. Pemilik warung bersiap-siap pergi ke acara dengan anjing buruannya.

Tujuan terakhir dari perjalanan kami sebelum pulang adalah Lembah Harau.


Ada beberapa air terjun di Lembah Harau yang saat ini sedang ramai dengan pengunjung. Airnya dingin. Karena sekarang sedang musim hujan, debit air terjun membesar. Bunga-bunga hutan, berbagai anggrek dan pakis dijual sebagai cendera mata.









Dari Lembah Harau kami berangkat pulang kembali ...
Pemandangan dari Jembatan Rantau Berangin.

Monday, January 11, 2010

Sumbar (hari 2)
Jalan ke Padang melalui Tinjau Laut curam dan berkelok-kelok, dan rawan longsor saat hujan lebat. Papan-papan peringatan untuk tidak melanjutkan perjalanan saat hulan lebat terpampang dimana-mana. Lewat asar kami sampai di Indarung. Setelah beristirahat untuk shalat, perjalanan kembali diteruskan ke Lubuk Alung, untuk kemudian berhenti lagi untuk beristirahat di salah satu pondok jagung rebus yang banyak terdapat didaerah Sicincin. Menjalang malam, kami sampai di lembah Anai, dimana kami beristirahat dan makan malam.


Air terjun Lembah Anai

Kami menghabiskan malam di sebuah rumah makan di Pariaman, yang menyediakan fasilitas untuk penumpang kenderaan yang ingin beristrirahat. Paginya setelah sarapan kami langsung ke Pantai Arta, Pariaman.



Bekas gempa di Pantai Arta, Pariaman


Anak-anak penjual makanan kecil (udang dan kepiting goreng) di Pantai Arta
Dari Pariaman, perjalanan diteruskan ke Maninjau melewati Lubuk Basung dan Muko-muko. Menjelang pendakian kelok empat-puluh-empat, kami berhenti disebuah rumah makan sederhana untuk makan siang.



Menu ini tidak pernah ketinggalan ...

Palai Rinuek, ikan yang hanya ada di Danau Maninjau.


Kelok empat puluh empat terkenal dengan kecuraman pendakian/penurunan dan tikungan-tikungan yang tajam. Ada 44 kelokan yang dinomori pada setiap tikungan. Tikungan yang paling patah dan paling terjal adalah kelok 22.


Melewati kelok 44, kami berhenti di Embun Pagi, dimana panorama Danau Maninjau bisa dinikmati dengan luas. Toko-toko suvenir berjejer di sini, menawarkan beragam cendera mata yang eksotis.



Ini dia geng lengkapnya ...

Puas menikmati panorama Danau Maninjau, kami kembali ke Bukittinggi melewati Matur dan Padang Luar. Tidak berapa jauh dari Embun Pagi, kami kembali berhenti untuk menikmati panorama luar biasa dari jalan yang kami tempuh saat ke Maninjau tadi.

Sampai ke Bukittinggi jalanan macet luar biasa, karena sekarang adalah musim liburan dan pengunjung yang cukup padat. Rencana untuk ke Jam Gadang dialihkan ke Taman Panorama.

Monyet-monyet taman Panorama dan panorama Ngarai Sianok

Dari Taman Panorama, kami berjalan kaki menuju Jam Gadang, yang padat oleh pengunjung. Pasar Atas juga padat oleh para pengunjung.



Kemudian kami turun ke dasar Ngarai Sianok, dimana Sungai Batang Sianok mengalir. Airnya berwarna kehitaman.