Saturday, August 15, 2009

Sampuraga Na Maila Marina

Menjelang masuk Panyabungan, sebuah papan nama menarik perhatian kami: Sampuraga, 7 km. Nama tersebut membangkitkan kenangan lama mengenai sebuah legenda yang diceritakan oleh guru kami di Madrasah Ibtidayah dulu: Sampuraga, anak yang mengingkari ibunya. Rupanya disinilah tempatnya. Jadi kami memutar kembali dan masuk ke lokasi tersebut. Jalan aspal dengan kondisi berlubang-lubang hanya cukup dilewati oleh satu kenderaan roda empat. Jika ada mobil lain dari arah yang berlawanan, terpaksa salah satu mengalah dan menyingkir jauh-jauh. Sawah di sebelah kiri jalan berisi padi yang menguning, menunggu untuk dipanen. Anak-anak sekolah nampaknya sedang bersiap untuk mengadakan pawai tujuh belasan dalam pakaian yang beraneka ragam.

Perjalanan pendek sejauh 7 kilometer pun berakhir. Dan disinilah kami berada, sekitar seratus meter dari situs legenda Sampuraga. Kenderaan kami parkir di depan satu-satunya rumah yang ada di lokasi tersebut. Pintu dan jendela rumah tersebut tertutup rapat. Penghuninya mungkin sedang pergi bekerja.


Seorang anak belasan tahun sedang mencuci motor di sebuah sungai kecil di lokasi tersebut. Uap air berkepul dari beberapa bagian sungai, menyebarkan bau belerang yang menyengat. Saya mencoba menanyai sesuatu mengenai Sampuraga pada anak tersebut. Jawabannya hanya senyuman. Mungkin anak tersebut tidak mengerti apa yang saya maksud atau mungkin juga dia malah tidak bisa berbahasa Indonesia. Jadi kami tidak memperoleh informasi apa-apa.


Situs ini nampaknya tidak lagi dikelola dengan baik. Di pintu masuk tidak ada tanda apapun, selain sebuah papan yang menyatakan dengan jelas berapa jumlah uang yang harus dibayar oleh pengunjung yang ingin masuk ke situs. Belukar menyemak tidak pernah dibersihkan. Rumput dan ilalang tumbuh tidak terkendali. Sungai dangkal mengalir pelan. Lumpur mengendap di dasar sungai yang berkerikil. Di beberapa tempat uap air mengepul.
Di sebelah kiri kami, ada beberapa lokasi yang berpagar. Rupanya dari sinilah semuanya berasal: lubang-lubang mirip kancah untuk masak berisi air menggelegak dengan uap yang mengepul. Konon kabarnya, ini adalah bekas kancah untuk masak pada pesta perkawinan Sampuraga pada saat kutukan terjadi.

Dahulu, tersebutlah seorang pemuda bernama Sampuraga yang tinggal bersama ibunya di daerah Padang Bolak sebuah daerah Kecamatan di Kabupaten Padang Lawas Utara (dahulu masuk Tapanuli Selatan). Sampuraga dan ibunya hidup sangat miskin yang kesehariannya bekerja sebagai buruh tani di ladang orang sambil mencari kayu bakar. Pekerjaan keseharian ini dilakukan mereka dengan sungguh-sungguh dan jujur sehingga majikan menyayangi mereka. Kerajinan, kesungguhan dan kejujuran Sampuraga dan ibunya bekerja membuat sang majikan merasa iba akan tetapi tidak dapat berbuat banyak untuk membantu lebih dari apa yang mampu dia berikan.Disuatu sore sehabis bekerja di ladang majikannya dan sewaktu hendak pulang ke gubuknya, dia dipanggil oleh majikannya. Sambil duduk bersama dia disuguhkan makanan dan minuman sekedarnya sambil berbincang-bincang. Lalu majikannya membuka pembicaraan dengan menyarankan untuk mencari kehidupan baru disuatu daerah yang dikatakan sangat subur dan penduduknya makmur tersebut. Saran ini memunculkan semangatnya untuk berubah.Setelah Sampuraga pulang ke gubuknya, dia langsung mengutarakan kepada ibunya bahwa dia ingin pergi merantau ke negeri yang disebutkan oleh majikannya sangat subur dan penduduknya makmur. Tidak berapa lama kemudian Sampuraga pamitan dengan ibunya untuk memulai petualangannya merantau ke negeri orang. Ibunya merasa sedih untuk berpisah dari anaknya, namun dia harus teguh untuk melepaskan anaknya untuk mewujudkan cita-cita agar mereka tidak lagi miskin dan merana selamanya. Dengan derai airmata dan disertai doa seorang ibu maka Sampuragapun melangkahkan kakinya dengan pasti.Dalam perjalanannya yang melelahkan, Sampuraga sampai disuatu daerah yang disebut Pidelhi dan sekarang bernama Pidoli Lombang di Kecamatan Penyabungan Kabupaten Mandailing Natal. Setelah berdiam di desa ini untuk beristirahat memulihkan tenaganya, lalu dia kemudian melanjutkan perjalanannya sehingga sampai disebuah desa bernama Sirambas. Pada saat inipun desa tersebut masih ada dan bernama Desa Sirambas Kecamatan Penyabungan Barat Kabupaten Madina di Sumatera Utara.Sampuraga merasa cocok tinggal di desa itu lalu dia memantapkan keputusannya untuk tinggal di desa itu. Pada saat itu, Desa Sirambas dipimpin oleh seorang raja bernama Silanjang, kemudian dikenal sebagai Kerajaan Silancang. Sampuraga berkesempatan untuk mendapat pekerjaan pada usaha dagang yang dimiliki oleh raja Silanjang. Kebiasaannya bekerja dengan rajin dan jujur mendapat pujian dari sang raja sehingga rajapun mempercayakan sepenuhnya kepada usaha perdagangannya sehingga menjadi maju sangat pesat. Dengan sendirinya Sampuraga menjadi kaya raya. Kehidupannya sudah menjadi saudagar kaya dengan penampilan bagaikan raja pula.Raja Silanjang menjadi jatuh hati kepada kesuksesan Sampuraga sehingga dia berniat mengawinkan putrinya dengan Sampuraga. Niatan itu tidak disia-siakan oleh Sampuraga lalu dia secara resmi melakukan pinangan. Tiba saatnya perkawinan dilangsungkan dalam suatu pesta meriah dengan mengundang raja-raja di sekitar negri itu. Berita pesta perkawinan itupun sampai ke telinga ibunya. Ibunya serasa tidak percaya bahwa anaknya ternyata telah sukses di negri orang dan menjadi seorang raja yang sedang melangsungkan perkawinannya.Sempat terlintas dipikiran ibunya dan bertanya dalam hatinya mengapa Sampuraga tidak memberitahukan rencana perkawinannya dengan putri raja itu kepada ibunya? Apakah dia sudah melupakan ibunya? Namun masih terngiang ditelinganya bagaimana Sampuraga meyakinkan ibunya bahwa dia harus berhasil untuk merubah nasib mereka. Ibunya memberanikan diri untuk menghadiri pesta perkawinan Sampuraga anaknya itu. Dengan bersusah payah maka diapun sampailah di tempat acara berlangsung.Dengan tubuh tua dan lusuh, ibunya terlihat menyolok disekitar pesta itu. Ibunya berusaha untuk bertemu langsung kepada Sampuraga, namun dia selalu tersingkir dari keramaian para undangan para raja-raja dan orang-orang kaya. Kemudian ibunya memberanikan diri berkata kepada seseorang agar menyampaikan langsung kepada Sampuraga bahwa ibunya ada datang menghadiri pesta perkawinannya. Karena orang itu tau bahwa ibu Sampuraga yang sedang meminta tolong itu, lantas dia mengajak si ibu itu mendekat kearah Sampuraga yang sedang bersanding.Sampuraga merasa sangat malu mengetahui bahwa ibunya ada dihadapannya dalam keadaan lusuh dan tua. Diapun menyangkal bahwa itu adalah ibunya lantas dia membentak dan mengusir ibunya dan mengatakan bahwa dia bukanlah ibunya. Mengetahui sikap Sampuraga yang menyangkal ibunya, sehingga ibunya menangis dan sedih, sembari dia dipinggirkan oleh orang-orang sekitar.Ibunya meronta dari usiran orang-orang. Sambil menangis dengan sangat sedih, ibunya berdoa dan mengutuk Sampuraga sebagai orang durhaka terhadap ibunya. Dia memeras susunya dan berkata bahwa Sampuraga hidup dari air susu ibunya, dan kalau memang benar Sampuraga telah durhaka terhadap ibunya, maka Tuhan akan menunjukkan keadilannya.Seketika itu juga, tiba-tiba langit diselimuti awan tebal dan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, hujan deras pun turun diikuti suara guntur yang menggelegar seakan memecah gendang telinga. Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sementara ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat penyelenggaraan pesta itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya..Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu, juga terdapat dua unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan. Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu adalah penjelmaan dari upacara pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat, tempat itu kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga”. Hingga kini, tempat ini telah menjadi salah satu daerah pariwisata di daerah Mandailing yang ramai dikunjungi orang.


Di sebelah kanan lokasi ada prasasti yang berisi relief kejadian. Semuanya tergambar dengan jelas, pesta yang meriah, ibu tua yang bersedih, dan anak durhaka yang pongah. Dan kutukan. Kutukan yang menyisakan lubang besar di tanah yang mirip kuali, yang berisi air menggelegak sepanjang tahun. Kutukan yang menyisakan legenda tentang bagaimana seorang anak seharusnya bisa memperlakukan ibunya dengan lebih baik. Guru kami dulu bercerita, jika kita mengatakan Oh Sampuraga Na Maila Marina (Sampuraga sidurhakan pada ibunya) air akan tambah menggelegak. Kami mencoba hal tersebut, tetapi gelegak airnya sama saja seperti semula. Mungkin karena kami tidak mengatakannya dengan sepenuh hati.

Paling ujung di kompleks ini adalah sebuah bangunan kecil berbentuk bulat beratap seng yang sudah sepenuhnya berwarna coklat karena berkarat. Secara keseluruhan, lokasi ini sama sekali tidak terawatt, bahka nyaris diabaikan oleh pemiliknya, Pemda setempat.
Satu-satunya yang tersisa adalah legenda itu sendiri. Legenda yang pernah menjadi bagian dari masa kecil kami, yang diceritakan oleh guru kami menjelang pulang sekolah – sebuah sekolah reyot di pelosok ujung barat Sumatra. Legenda yang mengingatkan kami dan semua orang untuk tidak memperlakukan orang tuanya – khususnya ibunya – seperti Sampuraga memperlakukan ibunya. Dan kami sudah menyaksikan sendiri akibatnya. Setidaknya, apa yang tersisa dari legenda tersebut.










No comments:

Post a Comment