Sunday, August 16, 2009

Kacang Sihobuk

Inilah dia kota Tarutung, ibukota Tapanuli Utara, dengan jalan mulus membelah kota, dihiasi dengan bangunan-bangunan khas Batak di kiri kanan jalan. Lalu lintas ramai, tetapi teratur. Orang-orang berlalu lalang dengan santai, tanpa beban. Bukit-bukit di sebelah kanan kami nampak rimbun, diselang seling dengan rumah-rumah penduduk dan kuburan-kuburan Batak yang berukuran besar. Gereja-gereja berdiri megah, selang seling dengan mesjid-mesjid yang juga megah. Toleransi beragama nampaknya tidak menjadi masalah di sini.



Di sebelah kanan kami, sebuah bangunan menjulang: monument si Raja Panggabean. Atap-atap khas Batak berbentuk tinggi runcing menantang langit. Di depan bangunan, sebuah tiang berbentuk totem tinggi tegak. Kami berhenti di sini. Karena pintu pagarnya dalam keradaan terkunci, kami hanya mengambil gambar dari luar. Dua orang anak kecil mendekat dengan penuh rasa ingin tahu. Mereka membawa sebuah tangguk dan sebuah kantong berisi beberapa ekor ikan. Cengar cengir, mereka minta difoto. Saya mengambil gambar mereka, kemudian menunjukkannya kepada mereka dan menanyakan nama merea. Yang seorang memperkenalkan diri sebagai Yoshua, yang seorang lagi bernama Benni. Mereka berlalu dan kamipun meneruskan perjalanan. Melewati pertigaan, kami berbelok ke kiri menuju pusat kota. Kearah kanan adalah lokasi wisata Salib Kasih. Lalu lintas ramai, nyaris macet karena ada ruas jalan karena sedang diperbaiki.

Joshua dan Benny dari Tarutung
Semakin keluar kota, lalulintas semakin sepi. Bangunan semakin jarang. Tiba-tiba saja, melewati sebuah tikungan tajam, sebelah kiri kami berderet-deret kios dengan nama dan barang dagangan yang sama, kacang sihobuk. Dikemas dalam berbagai ukuran dan harga, semuanya menyandang label yang sama. Inilah kacang sihobuk yang terkenal kemana-mana. Rasanya khas. Di sebuah kios kami berhenti dan seorang anak belasan tahun keluar untuk melayani kami. Di samping kios, sebuah kuali besar tersandar. Kancah tersebut dipergunakan untuk menggongseng kacang dengan menggunakan pasir.

Beragam kemasan tersedia: bungkusan plastik kecil, sedang dan besar. Ada juga kemasan kaleng yang lebih besar. Tidak ada yang dijual kiloan atau curah.

Kacang tersebut memiliki karakter rasa yang kuat, sangat berbeda dengan jenis kacang yang dijual di berbagai swalayan. Rasa khas dan gurih itu tak lepas dari proses pembuatannya. Kacangnya pilihan, diutamakan yang berkulit tebal supaya tidak hangus selama proses. Kacang tersebut direndam di dalam air semalaman. Kadang garam ditambahkan untuk memperkuat rasa kacang. Kemudian dijemur sejenak, kemudian setelah kering digongseng dengan pasir dalam kancah besar sehingga suhu panasnya terjaga dan cita rasa kacang tidak berkurang. Selama proses penggongsengan, campuran kacang dan pasir harus terus diaduk. Cara ini melelahkan. Kemudian cara lain ditemukan, kacang digongseng dalam tabung berisi pasir yang bisa berputar dengan menggunakan tungku gas. Namum rasa kacang tetap terjaga.
Setelah digongseng beberapa jam, kembali kacang disortir. Setelah itu baru kacang siap untuk dibungkus dan dijual.

Aslinya kacang ini, berasal dari Desa Sihobuk, Pearaja. Tepatnya di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara. Memang banyak jenis kacang yang persis sama dengan kacang ini. Bahkan, tak jarang pembeli bingung menilai mana sebenarnya yang asli. Tapi, yang asli, sekali lagi, masih dari Desa Sihobuk. Bukan yang lain.


Kami membeli sebungkus untuk dimakan di kenderaan, bukan untuk oleh-oleh. Rasanya renyah, khas, unik, seperti seharusnya kacang sihobuk terasa. Berbeda dengan kacang lainnya, rasanya khas campuran asin dan manis serta renyah. Rasa memang tidak bohong. Seperti juga harganya.


No comments:

Post a Comment