Jalur mudik yang kami pilih kali ini beda dari biasanya. Dari tempat kami tinggal, kami akan menuju Sumatera Barat melintasi Bukittinggi, kemudian ke Maninjau, terus turun melalui kelok empat puluh empat menuju Lubuk Basung dan Pariaman, kemudian kembali ke Bukittinggi melalui Lubuk Alung dan Lembah Anai. Dari Bukitinggi, kami akan meneruskan perjalanan ke Padang Sidempuan, melewati Lubuk Sikapung dan Kotanopan. Kemudian, perjalanan akan diteruskan ke Tarutung, melewati Sibolga atau Sipirok. Melewati Siantar, kami akan keluar ke Tebingtinggi, dan seterusnya akan sampai ke Medan Kami akan menikmati eksotisme pemandangan alam pegunungan Sumatera Barat yang terkenal.
Kami berangkat selepas magrib, karena rencananya kami akan banyak berhenti di jalan. Target kami adalah sampai di Bukittinggi pada pagi hari. Hujan mulai turun saat kami meninggalkan rumah. Jalanan rusak berlubang menyambut kami sepanjang dua puluh enam kilometer, sampai kami mencapai jalan lintas Sumatera yang kondisinya lumayan bagus. Menjelang Pekanbaru, hujan turun semakin lebat. Kami mengkhawatirkan jika hujan lebat di gunung yang bisa menyebabkan longsor sebagaimana yang sering terjadi. Tetapi kekhawatiran kami tidak beralasan, karena keluar dari Pekanbaru, hujan berhenti. Bahkan, di Bangkinang, nampaknya tidak ada tanda-tanda pernah hujan, semuanya kering. Dekat mesjid Agung Bangkinang kami berhenti untuk makan sate, sekedar pengisi perut yang lapar. Satenya agak aneh, kulit dan usus, dengan bumbu sate Padang yang pedas.
Melewati Bangkinang, penjalanan mulai mendaki. Kota-kota kecil kami lewati, semuanya sedang tidur lelap. Jembatan Rantau Berangin sepi total. Biasanya jam-jam seperti ini, Rantau Berangin ramai oleh kenderaan yang menginap untuk melanjutkan perjalanan selepas subuh. Di sebuah rumah makan di daerah Pangkalan kembali kami berhenti untuk beristirahat. Kantuk susah untuk dilawan, jadi saya mencoa tidur beberapa saat. Cuaca sangat dingin di pegunungan, udara lembab berkabut. Di Lubuk Bangku kembali kami berhenti untuk makan dan salat. Rumah makan kecil tersebut tidak menyediakan nasi, hanya makanan kecil Tersedua tempat salat dan panggung yang bisa dipakai untuk tidur. Kamar mandinya bersih dengan air gunung yang sangat dingin. Selesai salat kembali saya tidur sebentar.
Sekitar jam 6:30 kami memasuki kota Payakumbuh. Orang-orang yang baru pulang dari mesjid untuk salat subuh ramai di jalan. Kota ini mulai bangun, walaupun jalan masih sepi dari kenderaan. Di sebuah SPBU kami berhenti sebentar untuk salat dan mengisi bensin.
Memasuki Bukittinggi, jalanan mulai ramai oleh kenderaan dan orang-orang. Kami berhenti di pasar di depan Jam Gadang. Pasar masih sepi, pedagang-pedagang baru bersiap untuk membuka dagangannya. Menunggu pasar buka, kami menuju ke Taman Panorama yang sudah buka dan ramai oleh orang-orang yang berolah raga. Monyet-monyet berayun-ayun di pohon di pinggir jalan, menunggu makanan dilemparkan oleh orang-orang yang lewat. Seorang petugas kebersihan lewat dengan gerobaknya. Monyet-monyet tersebut langsung menyerbu makanan yang diberikan petugas kebersihan tersebut. Mereka makan dengan berebut, kadang saling usir. Orang-orang menonton.
Di Taman Panorama monyet-monyet lebih banyak lagi. Mereka merubungi kami, minta makanan, yang tidak ada sama kami. Kami terus berjalan kearah Ngarai Sianok, dan monyet-monyet tersebut terus mengikuti. Pemandangan kearah ngarai luar biasa. Kabut menggantung rendah, menutupi pemandangan kearah ngarai. Gunung Singgalang menjulang di balik kabut, hijau membiru dalam cuaca pagi sebelum matahari terbit.
Rencana untuk masuk ke Lubang Jepang – yang juga terletak di Taman Panorama – kami urungkan, karena masih sepi dalam suasana sepagi itu.
Di Taman Panorama monyet-monyet lebih banyak lagi. Mereka merubungi kami, minta makanan, yang tidak ada sama kami. Kami terus berjalan kearah Ngarai Sianok, dan monyet-monyet tersebut terus mengikuti. Pemandangan kearah ngarai luar biasa. Kabut menggantung rendah, menutupi pemandangan kearah ngarai. Gunung Singgalang menjulang di balik kabut, hijau membiru dalam cuaca pagi sebelum matahari terbit.
Rencana untuk masuk ke Lubang Jepang – yang juga terletak di Taman Panorama – kami urungkan, karena masih sepi dalam suasana sepagi itu.
Rencana untuk masuk ke Lubang Jepang – yang juga terletak di Taman Panorama – kami urungkan, karena masih sepi dalam suasana sepagi itu.
Dari Taman Panorama, kami kembali ke Jam Gadang. Pasar sudah mulai ramai dengan orang-orang, pedagang dan pembeli. Lorong-lorong pasar sesak oleh kios-kios pedagang, yang membuat jalur untuk membeli menjadi sempit. Pembeli berdesakan, antara orang-orang yang lewat dan orang-orang yang berbelanja. Kami sarapan di sebuah kedai, yang menjual berbagai makanan.
Pasar ini merupakan pasar pariwisata. Produk khas Bukitinggi, aneka sulaman, bordiran dijual diseantero pasar. Penjual souvenir menawarkan berbagai hasil kerajinan masyarakat setempat. Makanan khas daerah sini, sanjai dengan berbagai rasa, jagung goreng, snak angka delapan (tidak tahu nama sebenarnya apa, tetapi semuanya menyebut dengan angka delapan), kerupuk jangek dalam kantong plastic berukuran besar. Aneka opak dan kerupuk mentah lainnya memenuhi sebuah meja jualan di sebuah kios. Belut-belut seukuran jari yang dikeringkan dan dikemas dengan jepitan bambu dari jauh nampak seperti umbul-umbul kecil yang melambai menunggu pembeli. Penjual sate menuang minyak berbumbu ke dalam arang dan mengipas-ngipas, membuat asap membumbung dan menyebarkan harum sate. Penjual majalah dan buku bekas sedang merapikan jualannya di ujung lorong. Musik tradisional berdentum keras dari loudspeaker penjual kaset, yang volumenya dipasang pada posisi maksimum.
Lorong lainnya merupakan tempat penjualan barang bekas, baju, sepatu, jaket, tas. Kiri kanan lorong dipenuhi lapak-lapak penjual yang mengisi lapaknya dengan tumpukan jualannya. Jaket-jaket digantung dengan rapi, begitu juga dengan tas-tas. Beberapa tas nampaknya bagus, walaupun bekas. Iseng-iseng saya menanyakan sebuah tas selempang kulit berbentuk petak. Harganya tiga ratus ribu rupiah. “Masih bisa ditawar,” kata ibu penjualnya. Saya tersenyum dan berlalu.
Pasar ini merupakan pasar pariwisata. Produk khas Bukitinggi, aneka sulaman, bordiran dijual diseantero pasar. Penjual souvenir menawarkan berbagai hasil kerajinan masyarakat setempat. Makanan khas daerah sini, sanjai dengan berbagai rasa, jagung goreng, snak angka delapan (tidak tahu nama sebenarnya apa, tetapi semuanya menyebut dengan angka delapan), kerupuk jangek dalam kantong plastic berukuran besar. Aneka opak dan kerupuk mentah lainnya memenuhi sebuah meja jualan di sebuah kios. Belut-belut seukuran jari yang dikeringkan dan dikemas dengan jepitan bambu dari jauh nampak seperti umbul-umbul kecil yang melambai menunggu pembeli. Penjual sate menuang minyak berbumbu ke dalam arang dan mengipas-ngipas, membuat asap membumbung dan menyebarkan harum sate. Penjual majalah dan buku bekas sedang merapikan jualannya di ujung lorong. Musik tradisional berdentum keras dari loudspeaker penjual kaset, yang volumenya dipasang pada posisi maksimum.
Lorong lainnya merupakan tempat penjualan barang bekas, baju, sepatu, jaket, tas. Kiri kanan lorong dipenuhi lapak-lapak penjual yang mengisi lapaknya dengan tumpukan jualannya. Jaket-jaket digantung dengan rapi, begitu juga dengan tas-tas. Beberapa tas nampaknya bagus, walaupun bekas. Iseng-iseng saya menanyakan sebuah tas selempang kulit berbentuk petak. Harganya tiga ratus ribu rupiah. “Masih bisa ditawar,” kata ibu penjualnya. Saya tersenyum dan berlalu.
Sekitar jam sebelas siang kami meninggalkan Bukittinggi menuju Maninjau. Jalan kecil, sedikit rusak di beberapa tempat. Jika ada kenderaan besar melintas dari arah yang berlawanan, salah satu harus mengalah dan menepi. Kiri kanan jalan menawarkan pemandangan indah, sawah yang bertingkat yang sedang berisi padi yang menghijau, bukit-bukit kecil Sungai-sungai kecil yang kami lewati berair jernih mengalir deras. Polusi belum menjadi masalah di daerah ini.
Jalan semakin mendaki, berkelok-kelok dengan tikungan-tikungan tajam. Dari jendela kenderaan yang sengaja dibuka, angin sejuk segar masuk. Di Sungai Landia kami berhenti, menikmati pemandangan yang luar biasa. Sekelompok rumah dan mesjid nampak kecil di bawah sana. Ada toko souvenir di sini, menawarkan berbagai hasil kerajinan. Makanan dan minuman ringan juga dijual di sini. Beberapa turis asing sedang berbelanja. Saya membeli beberapa baterai untuk kamera di sini.
Di Embun Pagi kami kembali berhenti. Dari ketinggian, Danau Maninjau nampak jelas di bawah, berseliput awan tipis dipermukaannya. Matahari bersinar terik menyengat, tetapi angina dingin berhembus. Toko-toko souvenir yang berjejer sepi dari pengunjung. Sekarang memang bukan musim liburan. Saat liburan – kami pernah ke sini saat lebaran – tempat ini penuh sesak dengan pengunjung. Hotel di sebelah kiri kami berdiri megah menghadap danau. Seorang turis asing sedang menjelaskan menjelaskan sesuatu kepada kedua anak lelakinya, sambil sesekali menunjuk ke arah danau.
Maninjau adalah danau vulkanik. Cekungannya terbentuk karena letusan Gunung Merapi. Gunung berketinggian 2.891 meter dari permukaan laut (mdpl) itu berdiri di sekitarnya. Secara geografis, Maninjau berada di kecamatan Tanjung Raya, kabupaten Agam, sekitar 140 kilometer sebelah utara kota Padang. Danau ini berada di ketinggian 461,50 mdpl. Sementara, luas permukaan danau sekitar 99,5 kilometer persegi, dengan kedalaman maksimum 495 meter.
Jalan semakin mendaki, berkelok-kelok dengan tikungan-tikungan tajam. Dari jendela kenderaan yang sengaja dibuka, angin sejuk segar masuk. Di Sungai Landia kami berhenti, menikmati pemandangan yang luar biasa. Sekelompok rumah dan mesjid nampak kecil di bawah sana. Ada toko souvenir di sini, menawarkan berbagai hasil kerajinan. Makanan dan minuman ringan juga dijual di sini. Beberapa turis asing sedang berbelanja. Saya membeli beberapa baterai untuk kamera di sini.
Di Embun Pagi kami kembali berhenti. Dari ketinggian, Danau Maninjau nampak jelas di bawah, berseliput awan tipis dipermukaannya. Matahari bersinar terik menyengat, tetapi angina dingin berhembus. Toko-toko souvenir yang berjejer sepi dari pengunjung. Sekarang memang bukan musim liburan. Saat liburan – kami pernah ke sini saat lebaran – tempat ini penuh sesak dengan pengunjung. Hotel di sebelah kiri kami berdiri megah menghadap danau. Seorang turis asing sedang menjelaskan menjelaskan sesuatu kepada kedua anak lelakinya, sambil sesekali menunjuk ke arah danau.
Maninjau adalah danau vulkanik. Cekungannya terbentuk karena letusan Gunung Merapi. Gunung berketinggian 2.891 meter dari permukaan laut (mdpl) itu berdiri di sekitarnya. Secara geografis, Maninjau berada di kecamatan Tanjung Raya, kabupaten Agam, sekitar 140 kilometer sebelah utara kota Padang. Danau ini berada di ketinggian 461,50 mdpl. Sementara, luas permukaan danau sekitar 99,5 kilometer persegi, dengan kedalaman maksimum 495 meter.
Perjalanan kami teruskan menuruni kelok 44. Orang setempat menyebutnya kelok ampek puluah ampek. Ada empat puluh empat buah tikungan tajam, sebagian besar nyaris berbentuk huruf U, yang harus dituruni dari sini. Setiap kelokan dinomori. Harus sangat berhati-hati. Mungkin karena sekarang tengah hari, tidak banyak kenderaan yang melintas. Sampai ke kelok 1, nyaris tidak ada kenderaan lain yang kami temui. Melewati kota Maninjau, kami terus melanjutkan perjalanan. Penginapan, homestay dan hotel berdiri di sebalah kiri jalan, rata-rata menghadap danau, menawarkan pemandangan indah. Warung-warung keci berdiri di tempat-tempat terbuka, semuanya menawarkan tempat untuk bersantai di pinggir danau yang membiru. Keramba-keramba ikan memenuhi pinggiran danau. Orang-orang berlalu lalang dengan sampan dari keramba ke keramba lainnya. Disebuah tempat kami kembali berhenti, mencari tempat duduk yang dekat dengan pinggir danau.
Kami makan siang di Warung Mak Uniang, yang lagi sepi. Mungkin karena jam makan siang sebenarnya sudah lama lewat. Rencana untuk mandi ditempat ini kami urungkan, karena air tidak ada. Tahun lalu sewaktu lebaran, kami pernah ke sini. Kamar mandinya diisi dengan air gunung yang mengalir deras, sejuk dan segar. Sekarang semuanya kering kerontang. Kolam-kolam ikan yang dulu berisi air jernih dengan ikan mas dan nila yang berenang jinak di dalamnya, sekarang berisi tumpukan lumpur yang mengering, menimbulkan kesan jorok.
Perjalanan selanjutnya melewati Lubuk Basung, yang berjarak sekitar 24 km dari Maninjau. Melewati Manggopoh, kami menuju ke Tiku, yang berdekatan dengan laut. Sebelah kiri kami, sawah sedang berisi padi yang sedang menguning, sementara sebelah kanan kami pantai Tiku dengan pasir putih dan ombak besar menderu. Beberapa tempat wisata pantai juga sepi dari pengunjung. Di sebuah sungai lewat Pariaman, kami berhenti. Sungainya dangkal, dengan dasar berbatu kerikir. Air jenih mengalir menuju muara sungai yang berjarak hanya beberapa ratus meter sebelah kanan kami.
Melewati Lubuk Alung, Sicincin dan Kayu Tanam, kami mencapai Lembah Anai sore hari. Udara mulai berkabut, matahari tidak tampak lagi. Di sebuah kamar mandi umum, kami menumpang mandi dengan membayar seribu rupiah seorang. Airnya sedingin es. Air terjun Lembah Anai yang terkenal menderu di depan, dekat jembatan kereta api lama. Tidak ada lagi pengunjung di sana. Kios-kios penjual makanan ringan berjejer, di seberangnya sebuah rumah makan besar dengan beberapa kenderaan parkir di depannya.
No comments:
Post a Comment