Wednesday, May 04, 2011

Jingki

Seingat saya, sewaktu kami masih kecil di tahun awal delapan puluhan, hanya adal empat jingki di kampung kami. Satu buah terdapat di lorong kami, yaitu di rumah Wa Ti Sumi yang letaknya persis di sebelah timur rumah kami, sebuah terletak di lorong Meunasah, sebuah di lorong Tutue Sirong dan sebuah lagi di lorong Panyang. Jingki-jingki tersebut dipergunakan untuk menumbuk padi, tepung, sagu, emping beras, kopi dan lain-lain. Terbuat dari kayu liat, alat utamanya adalah sebuah jungkitan yang terbuat dari kayu berdiameter sekitar dua puluh senti, dengan lubang untuk memasukkan alu di ujung yang satu, dan ujung satunya lagi yang dibuat pipih seabgai tempat pijakan. Ada tiga tiang di bagian tempat berpijak, di depan dan di belakang yang tingginya mendekati sepinggang, yang diberi papan datar sehingga bisa dipakai untuk duduk, dan tiang tengah yang dipalang dengan kayu berbentuk bulat untuk tempat pegangan. Di ujung jungkitan tempat memasang alu terdapat lesung, biasanya terbuat dari semen coran, dengan lubang tempat untuk memasukkan benda yang akan ditumbuk. Untuk alu biasanya terbuat dari kayu mane yang liat dan getas, berdiameter sekitar lima belas sentimeter.

Mengoperasikan jingki - bisanya dilakukan oleh perempuan - selamanya merupakan hal yang menarik bagi kami anak kecil. Seorang akan berdiri di bagian belakang jingki, berpegangan pada tiang tengah, kemudian menekan jungkitan ke bawah dengan kakinya sehingga alunya akan naik. Sebelum mencapai titik tertinggi, dia akan melepaskan kakinya, sehingga alu yang diberati oleh kayu jungkitan akan menghantam lesung. begitu berulang-ulang. Bunyi jingki yang dioperasikan menimbulkan irama yang unik, bunyi gesekan as jingki di bagian tengah dan bunyi alu menghantam lesung beton. "Ieet - dhum - ieet - dhum" berulang-ulang. Seorang lagi akan duduk di dekat lesung, untuk menyorongkan bahan yang ditumbuk ke tempat jatuhan alu. Kadang saat jingki tidak dipakai, kami sering menggunakannya untuk bermain jungkat-jungkit. Tentu saja hal ini menimbulkan amarah orang-orang tua, karena bisa menimbulkan bahaya jatuh ataupun kejepit jingki yang berat.

Orang-orang sekeliling akan membawa barang-barang yang akan ditumbuk ke jingki tersebut dan mengoperasikannya sendiri. Sebelumnya dia akan permisi dulu sama yang punya jingki. Tidak ada biaya apa-apa yang diambil oleh yang punya jingki. Karena itu, biasanya rumah-rumah yang punya jingki, biasanya pada waktu-waktu tertentu akan ramai dikunjungi orang-orang - biasanya kaum perempuan - untuk menumbuk. Barang yang akan ditumbuk biasanya adalah padi untuk dibuang kulitnya untuk menjadi beras, dan menumbuk beras untuk dijadikan tepung.

Kegiatan menumbuk padi biasanya dimulai sejak pagi. Jika diperkirakan cuaca akan terik sepanjang hari, sejumlah padi akan dikeluarkan untuk dijemur di halaman rumah ataupun tanah kosong yang terkena langsung dengan sinar matahari, dengan beralaskan tikar "on iboh". Padi akan dijaga sehingga tidak akan dimakan oleh ayam dan itik yang berkeliaran. Lewat tengah hari, padi akan dikumpulkan dan dibawa kejingki untuk ditumbuk. Jika ada beberapa orang yang akan menumbuk padi, masing-masing akan menunggu giliran tergantung siapa yang datang duluan. Sejumlah padi akan dituangkan ke dalam lubang lesung, kemudian kegiatan menumbuk padi dimulai. Hentaman alu yang naik turun oleh pijakan kaki menimbulkan irama monoton. Seorang akan duduk di dekat lesung untuk membalikkan padi dengan tangan sehingga semuanya akan terkena hantaman alu. Harus gesit dalam menyorongkan padi ke tempat jatuhan alu, karena bisa saja tangan akan terkena hantaman alu sehingga menimbulkan cedera, tetapi hal tersebut jarang sekali terjadi. Setelah kulit padi terkupas dari bulir-bulir beras, kegiatan selanjutnya adalah tampoe breueh, memisahkan beras dari patahan ujung beras - neukuet - yang biasanya untuk makanan ternak, lhek - dedak padi, juga untuk makanan ternak dan sikeuem - kulit padi. Yang terakhir tidak dimanfaatkan dan dibuang, kadang dibakar di kandang sapi atau kerbau untuk menimbulkan asap guna pengusir nyamuk. Jika banyak orang yang menunggu giliran untuk menumbuk padi, kegiatan di sekitar jingki bisa berlangsung sampai malam hari. Dengan diterangi oleh panyet pliek - sebutan orang Aceh untuk lampu minyak yang sinarnya temaram - kaum ibu berkumpul di sekitar jingki untuk menyelesaikan pekerjaan. Setelah selesai, lesung akan dibersihkan dan kemudian ditutup dengan penutup lesung yang biasanya terbuat dari pelepah rumbia ataupun papan. Alunya akan dilepaskan dari jingki dan disimpan.

Menumbuk beras menjadi tepung tidak memerlukan persiapan seperti menumbuk padi. Beras yang akan ditumbuk direndam dalam air selama beberapa waktu sehingga menjadi lunak dan gampang hancur. Setelah airnya dibuang, beras dimasukkan ke dalam lesung dan ditumbuk sehingga menjadi hancur. Tepung kemudian dipisahkan antara yang kasar dan yang halus dengan menggunakan ayakan. Yang kasar akan kembali dimasukkan ke dalam lesung untuk ditumbuk kembali. Sisa ayakan yang terakhir akan ditumbuk dengan parutan kelapa dan gula, untuk membuat penganan yang disebut dengan jeuleupak dan akan dimakan bersama-sama. Kami anak-anak akan mendapat jeuleupak yang dibulatkan seukuran segenggaman kami, dan kami makan sedikit-sedikit sambil bermain.

Saat akan memasuki bulan puasa, kegiatan di sekitar jingki menjadi bertambah. Kaum ibu mempersiapkan tepung beras dan tepung ketan untuk bekal selama bulan puasa, sebagai bahan pembuat berbagai macam penganan berbuka puasa. Tepung buatan pabrik dan tepung yang digiling dengan mesin tidak populer di masa-masa tersebut. Saat-saat ramai seperti itu, kesibukan di sekitar jingki bisa sampai tengah malam. Saat kami beranjak tidur, irama decitan as jingki dan hantaman alu ke lesung memenuhi ronga kepala kami, menjadi lagu penghantar tidur.

Begitu juga saat akan memasuki hari raya, baik hari raya puasa ataupun hari raya haji. Top tupong uroe raya - menumbuk tepung untuk hari raya - seakan sudah menjadi tradisi. Di tengah keletihan menjalankan ibadah puasa, selalu ada sisa tenaga untuk kegiatan menumbuk tepung. Tepung-tepung tersebut adalah bahan untuk membuat kue hari raya. Kadang karena ramainya yang menunggu giliran menumbuk tepung, kegiatan bisa berlanjut setelah shalat tarawih di menasah sampai menjelang sahur.

Sekarang, kegiatan di sekitar jingki semakin berkurang seiring perjalanan waktu. Menggiling padi di penggilingan padi dengan sejumlah upah jauh lebih praktis dibandingkan dengan menumbuk padi di jingki. Penggilingan padi sekarang ada di mana-mana, bahkan ada yang menyediakan jasa antar jemput dari penggilingan padi ke rumah. Begitu juga dengan menumbuk tepung. Tepung dalam kemasan yang dijual di pasar ternyata juga lebih praktis, walaupun bagi sebagian orang-orang tua rasanya berbeda, kurang enak dibandingkan dengan tepung yang ditumbuk sendiri.

Saat ini jingki di rumah Wa Ti Sumi semakin jarang dipergunakan. Walaupun kondisinya masih tetap baik, namun lebih banyak mengganggur sampai-sampai kayunya ditumbuhi lumut. Sesekali mungkin ada juga yang meminjam untuk menumbuk tepung, dan ketika itu saat mendengan bunyi hantaman alu dalam kesung kenangan kemasa kecil kembali menggeliat, saat sisa beras dalam lesung dicampurkan dengan parutan kelapa dan gula untuk membuat jeuleupak, dan kami berkeliling di sekitar lesung sambil menadahkan tangan untuk mengambil jeulepak bagian kami dari beulidi - baskom - Ma Insyah, yang membagikan sekepal seorang dengan adil dan rata sehingga tidak ada keributan antara kami anak-anak. Masa kecil yang ceria.




No comments:

Post a Comment