Dari lokasi Bukik Takuruang, rombongan kecil kami bergerak ke arah Maninjau melewati Matur. Jalan walaupun beraspal, kecil dan berliku dengan kelokan tajam dan patah melintasi pinggang bukit. Pemandangan indah terpampang nyaris sepanjang jalan.
Belum pernah satupun dari kami yang pernah ke Puncak Lawang. Beberapa kali kami berhenti dan bertanya pada orang-orang yang kami termui di jalan. Sama seperti di Aceh, etika bertanya arah pada orang-orang sangat menentukan hasil. Adalah tidak sopan jika saat bertanya, orang yang bertanya masih berada dalam mobil, atau masih duduk di atas sadel sepeda motor. Jawaban yang diberikan bisa asal jawab dan ngawur, bahkan bisa menyesatkan. Jadi, saat melintasi serombongan orang-orang tua yang sedang mengobrol di pinggir jalan, kami berhenti, dan saya turun serta mengucapkan salam dengan santun. Jawaban salam yang saya terima lebih santun dan syahdu, diiringi dengan sedikit bungkukan badan. Arah jalan ke Puncak Lawang diberikan dengan jelas, dan diulang-ulangi sepaya saya bisa mengerti. Sambil mengucapkan terima kasih, saya menyalami mereka dan permisi untuk melanjutkan perjalanan.
Melewati pasar Matur, selelah Mesjid, kami berbelok ke kanan, melalui jalan sempit. Perjalanan mendaki sepanjang beberapa kilometer. Kiri kanan jalan dipenuhi dengan kebun tebu, diselingi dengan rumah-rumah penduduk, mesjid dan sarana umum lainnya. Ditengah kerimbunan batang tebu, kilang-kilang penggilingan tebu tradisional sedang beroperasi. Gilingan kayu ditarik oleh seekor kerbau dengan mata tertutup supaya tidak pusing karena jalannya yang melingkar. Daerah ini merupakan penghasil gula tebu tradisional yang dikenal dengan sebutan saka Lawang. Rencananya dalam perjalanan pulang kami akan singgah di salah satu kilang saka ini untuk melihat-lihat. Kabarnya kita bisa juga memesan air tebu segar yang baru digiling untuk diminum. Dan sudah pasti bisa membeli saka Lawang sebagai oleh-oleh.
Mendekati puncak, kami berbelok ke kanan, kearah lokasi yang sering dipakai untuk take off terbang layang. Jika terus, akan menuju ke lokasi wisata lainnya yang baru dibuka. Dua orang remaja tanggung mendekati kami dan menanyakan berapa orang yang akan masuk ke lokasi wisata. Biayanya lima belas ribu rupiah untuk lima orang, belum termasuk parkir. Biaya parkir sebesar lima ribu rupiah akan dibayarkan langsung di tempat parkir. Di ujung pendakian, barisan pohon pinus yang nampak samar-samar karena tertutup kabut menyambut kami. Sebelah kiri terletak lokasi parkir, yang hanya muat untuk belasan kenderaan roda empat saja. Beberapa kenderaan roda empat sudah parkir duluan di area tersebut, sebuah minibus milik agen perjalanan dan beberapa kenderaan pribadi. Diujung jalan, terletak tangga yang menuju ke atas. Dan kesanalah kami menuju, menaiki belasan anak tangga ke ruang terbuka yang tertutup kabut.
Di atas, hamparan wilayah terbuka menanti. Di semacam pondokan, beberapa wisatawan - dari gerak gerik dan bahasanya sepertinya berasal dari luar negeri - sedang menikmati pemandangan. Sebenarnya yang bisa dinikmati saat itu terbatas sekali, kareka pemandangan ke arah danau Maninjau sepenuhnya tertutup kabut, putih dan tebal. Seperti memandang dari ketinggian ke arah awan tebal di bawah. Batas ke arah tebing diberi semacam pagar pengaman. Di sebelah kanan, melewati pagar, hamparan tanah berumput yang dipotong rapi dan bersih menanti. Kabut menutupi pohon pinus menciptakan suasana magis yang misterius. Kami menuju ke tempat tersebut.
Lokasi terbuka ini ke arah tebing curam tidak ada pagar sama sekali. Bisa dibayangkan seandainya ada yang bernasib buruk karena terlalu ke pinggir tebing dan terjatuh ke bawah, nasibnya bisa ditebak. Jatuh dari ketinggian ratusan meter, rasanya sulit untuk bertahan hidup. Yang membawa anak-anak kecil harus ekstra hati-hati, supaya anak-anak tidak lepas dari pengawasan dan bermain terlalu kepinggir.
Tidak banyak yang bisa dinikmati di sini saat ini. Hanya udara dingin dan kabut tebal menutupi pemandangan, padahal hari sudah mendekati jam sebelas siang. Lalu secara tiba-tiba, pelan dan pasti, kabut di bawah mulai menyibak, menampilkan pemandangan ke arah kota Maninjau di bawah. Rasanya jauh sekali kebawah, seperti memandang dari pesawat udara. Danau mulai nampak, tenang seperti kaca, misterius dan berwarna biru menyeramkan. Semakin kabut menghilang, pemandangan luar biasa semakin jelas terpampang di hadapan kami. Danau Maninjau nampak jelas dari ketinggian Puncak Lawang, dikelilingi oleh gunung dan pebukitan yang nampak samar-samar di balik kabut. Keramba ikan berjejer di pinggir danau. Sayang sekali, langit berawan. Seandainya langit bersih dari awan, pemandangan akan lebih indah. Kami semua tegak nyaris tanpa kata menikmati pemandangan yang begitu mempesona.
Sumatra Barat memang dianugerahi alam yang luar biasa.
No comments:
Post a Comment