Dari Meulaboh sampai Beutong Ateueh tidak ada masalah yang berarti. Beberapa kali kami harus berhenti untuk pemeriksaan kenderaan dan barang oleh petugas bersenjata, dan juga pemeriksaan KTP seperti biasanya. Kami berhenti untuk istirahat dan makan di Beutong Ateueh. Pelintas-pelintas lain dengan kenderaan roda dua dan roda empat juga berhenti. Warung-warung dadakan menjual berbagai makanan dan minuman. Kami mampir di sebuah warung dan memesan makanan untuk dibawa, kemudian makan di bawah jempatan di pinggir sungai.
Bang Mukhtar mendekati pos TNI dan menanyakan kondisi jalan di puncak gunung. Setelah berkomunikasi sebentar melalui radio, tentara tersebut menjalaskan kondisi aman dan bisa dilewati. “Tetapi, kalau sore ini mendung dan kemungkinan untuk hujan besar, sebaiknya menginap di sini saja. Lebih aman perjalanan dilanjutkan besok pagi”, tambahnya. Hujan akan menyebabkan jalanan menjadi lumpur licin. Menginap di gunung jelas tidak menyenangkan, apalagi dalam kondisi hujan. Tetapi langit nampaknya cukup cerah, hanya ada sedikit awan. Nampaknya cukup aman untuk melanjutkan perjalanan. Kami mengucapkan terima kasih dan berlalu.

Makan siang di bawah jembatan Beutong Ateueh
Cukup lama kami beristirahat di sini. Beutong Ateueh menjadi ramai sekarang oleh para pelintas dari dan menuju Meulaboh.Sungai di bawah jembatan menderu dengan air yang cukup kencang melewati dasar sungai yang penuh bebatuan, sejuk dan jernih. Para pelintas beristirahat di bawah jembatan. Ada juga yang mandi. Para perempuan mandi di kamar mandi umum yang banyak terletak di pinggir sungai. Setelah salat zuhur perjalanan kami lanjutkan kembali. Langit mulai mendung sekarang, gumpalan-gumpalan awan mulai menutupi matahari. Jalanan aspal berakhir, kami kembali memasuki jalanan tanah. Kondisi jalan semakin rusak sekarang, oleh banyaknya pelintas. Beberapa tempat malah sudah berubah menjadi kubangan berisi air dengan kedalaman yang tidak tertebak. Kami harus berhati-hati sekarang. Perjalanan menjadi sangat lambat.
Di sebuah penurunan curam, sebuah truk Fuso terguling rebah kuda nyaris melintang menghalangi jalan. Muatannya berserak, ditinggalkan begitu saja: puluhan sepeda motor dengan nomor polisi Meulaboh dan sekitarnya. Kami melewati truk tersebut dan berbagai kecurigaan tumbuh dalam kepala kami.
Semakin lama perjalanan semakin lambat. Iring-iringan kenderaan semakin merapat, membentuk konvoi panjang melintasi jalan tanah pegunungan. Rombongan kami pisah entah kemana. Beberapa kali penumpang pikup kami harus turun supaya kenderaan bisa melintasi kondisi jalanan yang buruk. Kadang harus dibantu dengan mendorong. Pakaian kami sudah penuh Lumpur. Lewat asar kami sampai di pendakian terjal, dan lalu lintas menjadi macet total. Jalan di pendakian tersebut sudah menjadi lumpur tebal. Kenderaan dipastikan tidak bisa mendaki, kecuali yang berpenggerak roda empat. Sebuah traktor merek John Deer dengan roda terbalut rantai menderu-deru menarik kenderaan satu persatu melintasi tanjakan. Kami menepi untuk menunggu giliran. Penumpang kenderaan lain juga banyak yang memilih untuk menunggu di pinggir jalan.
Cukup lama kami menunggu. Menjelang magrib kegiatan traktor terhenti karena kehabisan bahan baker. Beberapa orang berinisiatif mengumpulkan bahan bakar solar dari mobil dan truk yang bermesin diesel.
Serombongan TNI nampak baru sampai dan berjaga-jaga. Mungkin informai kemacetan di sini sudah sampai ke pos TNI terdekat dan serombongan tentara dikirim untuk menjaga keamanan. Bisik-bisik terdengar. Di lokasi konflik bersenjata seperti ini, adalah lebih aman jika tidak berdekatan dengan pihak manapun yang bertikai. Salah satu pihak yang bisa nekat menyerang tidak akan peduli dengan kehadiran masyarakat sipil. Orang-orang tidak berdosa bisa jatuh sebagai korban.
Hari sudah gelap ketika giliran kami untuk ditarik ke atas tiba. Pikup dicantolkan ke traktor dengan menggunakan rantai. Dengan ringan traktor menghela kenderaan kami ke atas, yang hanya berjarak kurang dari seratus meter. Kenderaan meliuk ke kiri dan ke kanan oleh sentakan tenaga kerbau traktor, dan tibalah kami di atas. Jalanan lebih datar sekarang. Kami melepaskan diri dari cantolan rantai traktor dan menepi menunggu semua penumpang naik. Saat akan berangkat, seorang ibu dan dua anaknya yang masih kecil memohon ikut serta. Mereka ditinggalkan kenderaan tumpangan mereka sewaktu ditarik traktor ke atas bukit. Kami tidak keberatan.
Hujan mulai turun begitu hari semakin gelap. Mula-mula rintik-rintik yang tipis, kemudian menjadi lebat dan semakin lebat. Lembaran plastik yang kami bawa kami gunakan untuk atap. Makanan yang kami bawa sudah habis, tinggal air minum. Gerakan kenderaan semakin lambat, karena iring-iringan kenderaan yang semakin padat. Di depan kami, sebuah truk diesel penuh dengan jerigen kosong menderu-deru mancoba mengalahkan pendakian yang tidak seberapa terjal, tetapi licin. Kondisi jalan lebih bagus sekarang, tidak lagi lumpur, tetapi tanah yang dipadatkan dengan batu-batu dan kerikil. Lebih kokoh memang, sekaligus lebih berbahaya, karena licin. Sesekali pecahan batu tajam muncul begitu saja, menawarkan bahaya bagi ban yang melindasnya. Sebelah kanan kami, jurang gelap menganga. Tidak jauh di depan kami, terdapat pendakian dengan jurang dalam di sebelah kanan, tempat sebuah truk bermuatan bantuan kemanusian jatuh ke jurang beberapa hari lalu.
Beberapa kali kami harus turun dan basah kuyup oleh hujan untuk mendorong kenderaan yang kehilangan daya pijak untuk mendaki jalanan yang licin. Kami lelah, basah kuyup, kotor oleh Lumpur, dan masih jauh di tengah pegunungan dari perkampungan terdekat.
Pas di lokasi truk jatuh kejurang, truk yang di depan kami tidak mau mendaki lagi. Pijakan gas hanya menghasilkan roda belakang yang berputar di tempat dengan kencang, menghasilkan bau karet hangus terbakar. Penumpang dari kenderaan ikut membantu melepaskan kenderaan dari kondisi lengketnya, karena jika kenderaan itu tidak bergerak, kenderaan lain di belakangnya juga tidak akan bisa lewat. Truk tersebut lengket dalam kondisi nyaris melintang menutupi jalan, menyisakan sedikit ruang di sebelah kanan. Dengan jurang menganga dalam, tidak ada yang berani melewati truk tersebut dari sebelah kanan. Hal ini disadari betul oleh pengemudi truk, karena jika mereka mogok dipinggir jalan, mereka akan ditinggal sendirian di puncak pegunungan.
Seutas tali besar datang dan segera diikatkan di muka truk. Belasan orang mencoba menghela truk tersebut, dibantu oleh belasan orang lainnya mendorong. Tidak ada hasil. Tiba-tiba dengan letusan keras, ban truk sebelah kanan belakang meletus. Dua-duanya. Sekarang sudah pasti. Kami akan menginap di puncak gunung ini malam ini, bersama dengan puluhan kenderaan lainnya, dalam hujan lebat, tanpa makanan. Tidak ada lagi yang bisa kami perbuat saat ini selain menunggu hujan reda, atau lebih baik lagi, menunggu pagi datang.
Bang Mukhtar mengeluarkan peti-peti bekas tomat dari bak pikup ke pinggir jalan. “Sebaiknya jangan tidur di mobil”, katanya, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Dia mengangsurkan sebungkus indomie untuk setiap orang. “Hanya ini makanan kita malam ini”, katanya. Entah darimana dia dapatkan indomie tersebut. Kami turun dari mobil dan mencoba untuk berjalan dalam gelap untuk melihat keadaan. Senter kecil yang saya bawa sudah mulai kehabisan tenaga, menyisakan cahaya yang kemerahan. Rupanya bukan cuma kami yang harus menginap di sini malam ini. Di depan kami, puluhan kenderaan juga memilih menginap di sini malam ini, walaupun sebenarnya mereka bisa meneruskan perjalanan. Tenda-tenda didirikan di pinggir jalan seadanya, api mulai dihidupkan. Di sebuah tenda kami meminta sedikit air panas untuk menyeduh mi instan. Hujan masih turun, menjadi rintik berkepanjangan. Kemungkinan, hujan akan tetap turun sepanjang malam. Kabut mulai merayap dalam kegelapan. Dingin malam tidak lagi kami rasakan, walaupun pakaian kami basah kuyup. Pakaian kering sebenarnya masih ada, tetapi percuma saja, karena sebentar juga akan menjadi basah kembali.
Selesai makan mi, kami memutuskan untuk kembali ke kenderaan untuk mencoba tidur. Bang Don mengatakan dia akan mencari tumpangan di depan ke Takengon. Jadi kami berpisah. Di pinggir jalan, kami mendapati Bang Mukhtar sudah tertidur di atas peti. Hari memang sudah mendekali jam sebelas malam. Tinggal kami bertiga penumpang pikup sekarang. Bang Don nampaknya sudah berhasil memperoleh tumpangan ke Takengon, sementara ibu-ibu dan kedua anaknya yang tadi menumpang kenderaan kami juga sudah menghilang. Sepertinya mereka mencoba mencari tumpangan di depan, sama seperti Bang Don.
Sekitar jam dua pagi suara gemuruh samara-samar di belakang kami membuat saya tersentak dari tidur. Mobil kami terasa bergerak, terayun ayun dan mundur. Reflek saya membuka pintu dan melompat keluar. Dengan segera saya kepinggir jalan menjauhi jurang. Orang-orang lain juga sama tegak berdiri. Gempa yang cukup kuat baru saja terjadi lagi.
Hujan sama sekali sudah berhenti. Lampu-lampur parkir mobil memberi sedikit penerangan pada gelapnya malam, membantu api unggun yang hidup lamat-lamat ditenda-tenda darurat di pinggir jalan. Udara dingin sekali, menusuk tulang. Kabut tebal merayap menutupi pemandangan. Bergabung dengan orang-orang lain, kami bergadang sepanjang malam. Usaha untuk tidur kembali tidak berhasil, ngeri mengingat gempa bisa saja terjadi lagi.

Menjelang malam di gunung
Saat cahaya pagi mulai tampak, usaha untuk menghela truk dilanjutkan. Ban belakang truk yang pecah sudah diganti – tinggal satu saja, tetapi setidaknya bisa meneruskan perjalanan. Sekitar dua puluhan orang menghela truk dengan tali di depan, dan belasan orang mendorong. Sejenak kemudian truk lepas dari jebakan, dan sekarang giliran kami. Karena ringan, tidak ada masalah yang berarti. Sebentar saja kami lepas dari jebakan tersebut, mengucapkan terima kasih kepada semua orang dan melanjutkan perjalanan. Rupanya lebih dari seratus kendaraan menginap di sini malam tadi. Ada yang mogok, ada yang rusak dan tidak bisa bergerak lagi, dan ada juga yang tidak berani melanjutkan perjalanan karena jalanan licin karena hujan. Sekarang, saat hari mulai terang, mereka besiap untuk melanjutkan perjalanan.
Tidak ada makanan untuk sarapan pagi ini. Semua bekal yang kami bawa sudah habis tandas, menyisakan sedikit air minum dalam kemasan. Mau meminta kepada pelintas lain segan rasanya, lagipula nyaris semuanya bernasib seperti kami. Semuanya menginap di gunung karena terpaksa dan tidak membawa persiapan makanan yang memadai.
Tidak ada masalah lagi sepanjang perjalanan ke Takengon. Matahari bersinar cerah, langin biru dengan hiasan sedikit awan di sana-sini, udara sejuk dan segar. Memasuki jalanan yang beraspal, beberapa truk penuh muatan parkir di pinggir jalan. Seorang menyetop kami. Mereka minta tolong memesankan spare part truk yang rusak ke perwakilan mereka di Takengon. Contoh spare parts yang rusak diberikan ke Bang Mukhtar. Sebuah panci sedang terjerang di atas api. Isinya telur yang sedang direbus. Kelaparan, kami meminta beberapa. Itulah telur rebus terenak yang pernah kami rasakan.
Jam dua belas siang lewat kami sampai di Takengon. Persinggahan kami yang pertama tentu saja rumah makan. Kelaparan, kumal, berlumuran lumpur kering dan tanpa alas kami kami memesan makanan di salah satu rumah makan. Di kamar mandi rumah makan tersebut kami membersihkan diri seadanya. Rasanya kami bisa menghabiskan semua makanan yang terhidang.
Selesai makan, kami meneruskan perrjalanan ke kediaman Bang Hasbi. Bisa saja Bang Don sudah sampai dan menunggu kami di sana. Kami melewati kantor bupati Aceh Tengah, pagar betonnya penuh dengan pesan dan tulisan mengenai pencarian keluarga yang hilang karena tsunami. Dan memang, Bang Don sudah menunggu kami. Pakaian pinjaman Bang Hasbi nampak kebesaran pada Bang Don. Dia sampai di Takengon lewat tengah malam, menumpang sebuah truk, dan langsung menuju ke kediaman Bang Hasbi. Keluarga Nong menunggu kami, katanya, dan kamipun langsung bergerak lagi rumah kakak ipar Nong yang lokasinya tidak terlalu jauh.
Mereka sudah melakukan persiapan untuk menyambut kami. Makanan sudah disiapkan untuk perjamuan –mereka juga mengundang tetangga-tetangga untuk makan bersama. Saya menumpang mandi dulu. Air dingin kota Takengon terasa menyegarkan, sedikit menghilangkan rasa penat karena perjalanan panjang yang melelahkan. Air panas sudah disiapkan sebenarnya, tetapi saya lebih memilih air dingin, karena seorang kawan pernah mengingatkan, bahwa di tempat dingin, mandi air dingin lebih baik dibandingkan dengan mandi air panas. Setelah air panas habis, rasa dingin akan menjadi lebih parah.
Makan siang dilakukan bersama-sama dan penuh dengan suasana kekeluargaan. Walaupun kami kekenyangan karena baru saja makan, tetap saja cuaca dingin membuat selera makan tetap timbul.
Selesai shalat lohor kami pamitan pada keluarga Nong. Mereka akan mengunjungi Ummi dalam beberapa hari ke depan. Dari rumah ipar Nong, kami kembali ke rumah Bang Hasbi untuk pamitan. Rasa terima kasih kami tidak akan pernah cukup untuk membalas kebaikan mereka menerima dan membantu kami. Bang Mukhtar mengantar kami ke terminal bus. Tumpangan kami ke Bireuen adalah sebuah L300 yang hanya berisi separuh penumpang. Kenderaan dipacu kencang, melibas tikungan-tikungan tajam dengan kecepatan tinggi. Supirnya cukup mahir dan sudah terbiasa dengan kondisi jalan. Pemandangan indah terpampang di depan kami. Sebelah kanan, jurang dalam hijau tertutup rapat oleh pepohonan. Kurang dari dua jam kami mencapai Bireuen, dan terus mencari bus ke Teupin Raya.

Ki-ka: Bang Mukhtar, seorang kenalan, Bang Hasbi dan Bang Don di Takengon
Magrib kami sampai ke rumah. Awalnya bingung bagaimana menyampaikan berita buruk ke Ummi dengan tidak menimbulkan kejutan yang bisa memperburuk kondisi Ummi. Ternyata naluri keibuannya sudah bisa menduga apa yang terjadi. Tidak ada air mata yang tumpah, tidak ada ratapan kesedihan. Hanya doa yang meluncur dari mulut Ummi, untuk anak perempuan satu-satunya dan kedua cucunya yang sudah mendahului menghadap Sang Khalik bersama ratusan ribu orang lainnya, melalui tsunami. Semoga Nong di saat-saat terakhirnya dijemput Sang Khalik dalam kondisi keimanan yang purna, dan semoga Allah mengampuni semua dosanya semasa hidupnya dan menerima semua amal ibadahnya … Kami semua yang ditinggalkannya akan selalu mengenangnya dalam doa, yang akan terhatur setiap saat, memohon keampunan dan keridhaan Yang Kuasa …