Yang membutuhkan sketsa jalan di Sumatra Barat dengan perkiraan jarak dalam kilometer silahkan download di sini. Mudah-mudahan bermanfaat.
http://www.ziddu.com/download/13657066/peta_sumbar_jarak.jpg.html
http://www.4shared.com/photo/2Ut10ps2/peta_sumbar_jarak.html
Tuesday, December 28, 2010
Sunday, December 26, 2010
Aceh 2005 (1): Kenangan 6 Tahun Tsunami Aceh: 26 Desember 2004
Tidak terasa bencana tsunami yang melanda Aceh sudah enam tahun berlalu. Masih segar dalam ingatan kami semua, seolah kejadiannya baru berlangsung minggu yang lalu. Masih terasa di indera penciuman kami, bau anyir air laut yang menggenang, kemungkinan bercampur dengan bau mayat yang belum terurus. Masih nampak dalam ingatan mayat-mayat yang bergelimpangan, berbalut lumpur, bangunan yang hancur, tumpukan sampah yang menggunung. Belum bisa kami lupakan sosok-sosok yang kami kenal, yang kami cintai, yang menjadi korban tsunami. Enam tahun beluim cukup untuk menghapus semuanya dari ingatan.
Minggu, 26 Desember 2004. Kami sedang berada di pasar mingguan saat panggilan telepon masuk dari Banda Aceh. Suara panik kakak istri mengabarkan gempa besar baru saja melanda Banda Aceh. Gempanya kuat dan lama. Orang-orang berjatuhan, tidak bisa berdiri dengan tegak. Air di parit dan selokan tercampak ke jalan. Kerusakan dalam kota belum diketahui. Rumah keluarga istri tidak mengalami kerusakan yang berarti, hanya retak di beberapa tempat. Mengetahui bahwa Aceh – terlebih Banda Aceh adalah daerah yang sangat sering mengalami gempa, kami tidak menanggapi dengan serius.
Pulang dari pasar, seorang kawan sekerja datang ke rumah. Dia mengabarkan getarannya terasa di water treatment basin, air bergelombang kuat. Dugaan mereka gempa berasal dari Sumbar, daerah yang juga paling sering mengalami gempa bumi. Saat saya mengatakan gempa berasal dari Banda Aceh, kawan tersebut kaget. Gempa yang luar biasa kuatnya, katanya, getarannya sampai ke Riau.
Kemudian berita mengejutkan tiba. Pak Yusuf, atasan saya – yang juga orang Aceh – berbicara di telepon dengan suara yang jelas-jelas panik. ”Air laut melanda Banda Aceh! Kerusakan dan korban sangat parah!”. Tidak mungkin, pikiran saya. Penasaran, kami mencoba menelepon keluarga ke Banda Aceh. Tidak tersambung. Coba lagi ke Medan. Tidak tersambung juga. Coba lagi ke Nong, adik perempuan saya di Tapaktuan, juga tanpa hasil. Sesuatu yang besar telah terjadi. Tetapi kenapa berita di televisi tidak ada sama sekali? Biasanya informasi cepat menyebar, walaupun hanya sekedar running teks di televisi. Segera saya ketempat kerja – yang ada sambungan internet. Informasi yang diperoleh mengejutkan: tsunami melanda Banda Aceh dan Sigli, sesaat setelah gempa. Korban ratusan orang meninggal dan hilang dan diperkirakan terus bertambah. Pusat gempa ada di lautan Hindia di sebelah pulau Sinabang. Segera saya pulang ke rumah. Di televisi sudah mulai ada berita mengenai petaka di Aceh. Pemberitaan terutama di Banda Aceh dan Sigli. Daerah yang lainnya belum ada informasi. Usaha kami untuk mencari informasi lewat telepon ke Aceh dan Medan terus gagal. Saya berunding dengan istri, apa tindakan yang akan diambil. Pulang segera, atau mencari informasi dulu. Keputusan diambil, kami akan menunggu informasi dulu mengenai kondisi keluarga yang ada di sana.
Sampai malam, berita di televisi terus menayangkan berita mengenai bencana yang melanda Aceh. Korban meninggal sudah mencapai ribuan dan diperkirakan terus bertambah. Kerusakan sangat parah. Gambar-gambar yang ditayangkan di televisi sangat terbatas dan terus diulang-ulang.
Esoknya, pembicaraan di tempat kerja melulu mengenai bencana yang melanda tanah Aceh. Kerusakan yang luar biasa parah dan korban yang mencapai ribuan. Pak Ridwan memutuskan untuk pulang hari ini. Keluarga istrinya ada yang menjadi korban dan belum ditemukan. Sementara, informasi sudahh kami terima dari abang yang ada di Medan, bahwa keluarga inti kami tidak ada yang menjadi korban. Keluarga istri juga selamat semuanya. Hanya rumah keluarga istri yang terendam dalam air. Untuk sejenak kami bisa tenang.
Informasi terus berdatangan. Orang-orang Aceh yang tinggal di daerah ini yang kami kenal memutuskan untuk balik ke Aceh. Perusahaan tempat kami bekerja memberikan kompensasi untuk karyawan yang keluarganya menjadi korban. Pak Yusuf memberikan sebuah nomor telepon genggam di Banda Aceh – nomor keluarganya. Saya menelepon dan menanyakan kondisi disana. Suara yang terdengar adalah suara tangisan seorang perempuan. ”Semuanya hancur di sini. Tidak ada yang tersisa. Kiamat sudah”, katanya dalam isak tangis. Saya mencoba mengatakan berbagai hal klise untuk menenangkan dan menghibur dia. Kedengarannya memalukan, tetapi itu yang saya lakukan saat itu. ”Kami perlu air dan makanan”, perempuan itu melanjutkan. Kedua barang tersebut tidak ada di sana saat itu.
Sore hari, informasi kembali masuk dari Medan. Sepupu kami yang tinggal di Kaju – daerah antara Banda Aceh dan Krueng Raya, terletak di pinggir laut – hilang bersama keluarganya. Sepupu kami yang lain yang kebetulan sedang berada di Banda Aceh – mereka tinggal di Medan – belum ada beritanya sampai saat ini. Jeulingke hancur total, sepupu yang tinggal di sana belum diketahui nasibnya. Lamprit – tempat tinggal keluarga istri – masih terendam air. Han - abang kami yang tinggal di Medan pulang ke Sigli untuk menengok keluarga kami. Rumah keluarga kami jauh dari laut.
Malamnya, berita di televisi sudah menjangkau daerah-daerah lain. Meulaboh hancur total. Korban diperkirakan mencapai puluhan ribu. Kami memutuskan untuk balik ke Aceh besok pagi.
Mengetahui kami akan balik ke Aceh, kawan-kawan sekerja secara spontan mengumpulkan sumbangan sekedarnya. Ada juga yang juga yang menyampaikan sumbangan dari kelompok pengajian, dari mesjid-mesjid untuk dititipkan dan disampaikan ke korban bencana di Aceh. Seorang kawan bersedia untuk mengantarkan kami dengan mobil sewaan ke Medan. Bersama dengan seorang kawan lain, sekitar jam sembilan kami berangkat menggunakan mobil Panther. Sewanya satu juta rupiah sampai ke Medan. Perjalanan diperkirakan akan memakan waktu selama empat belas jam. Saya menelepon Faisal di Medan, minta dicarikan tiket bus – ataupun kenderaan lainnya - ke Aceh malam ini juga.
Ternyata perjalanan sangat lambat. Jalanan dipenuhi oleh kenderaan-kenderaan, truk-truk besar bertuliskan ”bantuan kemanusiaan tragedi Aceh” dengan berbagai logo organisasi. Secara menyolok kami mengamati banyak truk dan kenderaan lainnya lang bertuliskan ”Bantuan untuk ACEH – PKS”. Aceh memang memerlukan bantuan saat ini. Bantuan sekecil apapun sangat berarti.
Kemacetan terjadi di Ujung Tanjung yang sedang dilanda banjir. Selamat empat jam kami tidak bergerak sama sekali, terjebak dalam antrian yang mencapai sepuluh kilometer lebih. Sempat supir kami dimarahi petugas karena berusaha menyerobot.
Informasi kembali masuk dari Aceh. Dua orang keponakan istri yang tinggal di Sigli menjadi korban bersama anaknnya yang masih balita. Mayatnya ditemukan dan sekarang dibawa pulang ke Teupin Raya.
Lewat tengah malam kami baru sampai ke Medan dan langsung menuju ke rumah Han. Faisal sudah menunggu di sana dengan kabar tidak ada tiket dan kenderaan ke Aceh hari ini. Semuanya sudah habis. Besok pagi-pagi sekali ada bus Pelangi yang akan ke Aceh, dan tiketnya harus dibeli pagi-pagi juga.
Kedua rekan saya langsung pergi. Tawaran kami untuk menginap ditolak dengan halus. Mereka ingin menginap di tempart keluarga, katanya.
Rabu pagi, 29 Desember 2004. Ternyata bus berangkat jam sepuluh pagi, jadi kami masih punya waktu untuk membeli beberapa perbekalan. Terminal bus penuh sesak dengan calon penumpang. Wajah-wajah kelelahan nampak di mana-mana.
Bus berangkat tepat waktu, dan penuh sesak oleh penumpang. Tempat untuk berdiripun nyaris tidak ada. Percakapan yang terdengar dalam bus melulu mengenai bencana yang melanda daerah Aceh. Dua orang ibu yang berdiri di samping kursi kami dalam perjalanan menuju Banda Aceh. Mereka baru tiba kemarin sore di Medan, karena mendengar suami mereka – mereka berdua punya suami yang sama, alias istri tua dan istri muda - selamat dari tsunami dan sekarang ada di salah satu rumah sakit di Medan. Pencarian mereka di berbagai rumah sakit tidak memberi hasil, dan sekarang mereka akan kembali ke Banda Aceh untuk meneruskan usaha mereka mencari keluarga yang hilang. Kemarin mereka juga tidak mendapat tempat duduk dalam bus, dan berdiri nyaris sepanjang perjalanan. Wajah mereka nampak kelelahan, dan salah seorang dari mereka minta izin untuk duduk di pegangan kursi kami.
Dari merekalah saya mendengar betapa dahsyatnya bencana yang melanda. Kawasan Merduati hancur total – mereka tinggal di sekitar tempat tersebut – dan mereka beruntung selamat karena berada di tempat yang tidak terjangkau air. Banda Aceh menjadi kota mati sekarang. Kawasan pasar Aceh merupakan daerah terlarang, jam malam berlaku dengan perintah tembak di tempat bagi siapa yang melanggar. Penjarah menjarah toko-toko mencari barang berharga. Sasaran mereka terutama toko-toko mas yang ada di pasar Aceh. Sepertinya mereka bukan berasal dari Aceh, tetapi dari luar Aceh, kata salah satu ibu tersebut.
Di Besitang, perbatasan Aceh dan Sumatra Utara bus dihentikan oleh petugas. Seorang polisi militer masuk ke dalam bus, meminta setiap orang mengeluarkan kartu tanda pengenal. ”Yang tidak punya kartu tanda pengenal supaya turun untuk membuat surat jalan.” katanya. Tanda pengenal diri sangat diperlukan di Aceh yang sedang dilanda konflik.
Sepanjang perjalanan ke Banda Aceh jalanan padat oleh kenderaan. Kenderaan dari arah Medan membawa penumpang dan barang, kebanyakan barang bantuan untuk para korban bencana. Kenderaan dari arah Aceh membawa penumpang dan berbagai barang, berisi pengungsi. Pikap-pikap dan kenderaan bak terbuka penuh dengan penumpang yang kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh. Rata-rata mereka mencari keluarga di Banda Aceh, dan pulang dengan membawa mayat.
Memasuki daerah Idi, tanda-tanda kerusakan karena tsunami mulai nampak, walaupun belum parah. Memasuki Lhokseumawe, kerusakan karena tsunami mulai kentara. Daerah-daerah yang berdekatan dengan pinggir laut nampak jelas sekarang, rumah-rumah habis menyisakan sampah bekas bangunan yang berserakan. Jalan raya retak menganga di berbagai tempat, kadang permukaan jalan menjadi tidak rata. Ini adalah akibat gempa yang terjadi sebelum tsunami. Semakin ke barat, kerusakan semakin besar. Keude Panteraja tersapu bersih, menyisakan dataran yang lenggang dengan sisa bekas bangunan di sana-sini.
Lewat magrib kami sampai di Teupin Raya. Kami turun di sini. Rencananya akan singgah di kampung dulu, mencari kenderaan – kalau dapat truk – untuk besok di bawa ke Banda Aceh.
Kampung kami ramai oleh orang-orang dari Banda Aceh. Mereka aslinya berasal dari kampung kami juga yang merantau dan tinggal di Banda Aceh. Puluhan warga kampung kami menjadi korban. Ada yang mayatnya sudah ditemukan, ada yang masih hilang entah dimana. Dari Han kami mendengar berbagai informasi. Sepupu kami yang tinggal di Kaju Banda Aceh sekeluarga hilang dan belum ditemukan. Yang selamat dari keluarga besar tersebut hanya tiga orang, dan seorang sedang di rawat di rumah sakit Gleneagles Medan karena cedera yang parah. Dua lagi selamat karena berada jauh dari lokasi jangkauan tsunami. Sepupu kami yang tinggal di Medan yang kebetulan sedang berada di Banda Aceh ditemukan selamat tidak kurang apapun. Mereka hanya trauma dengan bencana yang sedemikan dahsyat. Beberapa warga kampung selamat dari amukan tsunami. Ada yang sudah ke Medan untuk berobat – kabarnya gratis – ada juga yang mencoba bertahan di kampung.
Sepanjang malam kami nyaris tidak tidur mendengar berbagai cerita mengerikan mengenai tsunami. Beberapa dari mereka bercerita bagaimana mereka melarikan diri dari kejaran air setinggi tujuh meter. Airnya berwarna hitam dan panas, dengan suara gemuruh yang dahsyat, melanda apa saja yang menghalangi.
Paginya, Kamis 30 Desember 2004, kami memperoleh truk sewaan yang akan di bawa ke Banda Aceh. Sebuah truk Colt Diesel dengan supirnya, dengan sewa enam ratus ribu rupiah termasuk bahan bakar. Sekitar jam delapan pagi, kami dan beberapa kerabat lainnya berangkat ke Banda Aceh. Han dan Bang Don – sepupu kami – ikut serta. Rumah Bang Don di Sigli juga rusak parah kena hantaman tsunami, tetapi tidak ada yang korban. Begitu juga dengan keluarga lainnya di Trieng Gadeng, semuanya selamat. Di Grong-grong kami membeli bekal makan siang, nasi bungkus. Kabarnya di Banda Aceh susah sekali mendapatkan makanan, jadi sebaiknya kami membawa persiapan.
Memasuki Banda Aceh melewati Simpang Surabaya kami mendapati suasana kota yang sesungguhnya sekarang. Orang-orang lalu lalang. Banyak orang asing di mana-nama. Di trotoar di pinggir jalan, tumpukan air minum ditunggui oleh tentara. Semua orang boleh mengambil, hanya untuk dikonsumsi sendiri, tidak boleh lebih. Sebuah truk sarat dengan buah-buahan lewat. Orang di belakang truk melemparkan buah ke siapa saja yang mau. Kami menuju ke wilayah sekitar Neusu, tempat keluarga istri mengungsi ke salah satu rumah kerabat yang ada di sana.
Pertemuan mengharukan terjadi di rumah tersebut. Air mata tumpah, air mata syukur karena semuanya selamat tidak kurang satu apapun. Kakak istri pulang dari Jakarta bersama dengan suaminya. Mereka menumpang pesawat Herkules TNI. Cerita-cerita kembali diutarakan pada saat hari bencana terjadi.
Tepat setelah gempa besar melanda, salah satu kakak istri menelepon kami. Sekitar lima belas menit kemudian, terdengar keributan dan teriakan bahwa air laut naik. Lamprit memang jauh dari laut, tetapi ada kemungkinan air akan sampai ke situ. Jadi semuanya mengungi. Mertua perempuan dibonceng adik istri dengan sepeda motor, menuju ke arah Lueng Bata. Para keponakan yang masih kecil dibawa lari dengan jalan kaki melalui Jambo Tape, terus ke Simpang Surabaya. Mertua laki-laki menyusul. Semuanya bertemu kembali – secara kebetulan – di Gedung Sosial di Peuniti. Daerah tersebut aman dari jangkauan air. Semuanya belum sarapan, dan uang yang kebetulan terbawa tidak mencukupi untuk semua orang. Anak-anak diutamakan dulu. Lama kemudian terdengar kabar bahwa air sudah surut. Bapak mertua pulang kembali ke rumah untuk mengunci rumah – tadi sewaktu lari ditinggalkan begitu saja – dan menemukan tumpukan sampah bekas bangunan yang menggunung di sekeliling rumah. Air masih setinggi dada, dan mayat berserakan di mana-mana. Sama sekali tidak bisa masuk kerumah karena terhalang oleh berbagai sampah.
Beramai-ramai kami makan siang dengan menu seadanya. Makanan yang kami bawa tidak tersentuh. Sehabis shalat lohor rencananya kami semua akan ke Lamprit untuk mengambil apa saja yang bisa diselamatkan.Kami juga berusaha membujuk keluarga untuk ikut pulang ke kampung. Awalnya bapak mertua menolak, karena khawatir rumah akan dijarah orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Perjalanan ke Lamprit melewati Beurawe. Menyeberang jembatan Beurawe, jalanan masih basah oleh lumpur hitam yang pekat. Kami menyaksikan mayat-mayat di sungai Beurawe, belum terurus, dalam kondisi yang memprihatinkan. Terrgeletak begitu saja, dalam air pinggiran sungai yang dangkal, tersangkut di tiang jembatan, menghitam. Pakaian terlepas dari jasad mereka.
Memasuki Jambo Tape, kondisi semakin menggenaskan. Lumpur menutupi seluruh permukaan. Kenderaan berbagai jenis tergeletak begitu saja, compang camping dengan berbagai tingkat kerusakan. Pohon-pohon meranggas seperti terbakar. Bau anyir meruak menghantam indra penciuman. Masker kain tipis yang kami pakai tidak mampu mencegah bau tersebut mencapai hidung kami.
Memasuki Lamprit, lumpur semakin tebal. Pekat dan tebal, berwarna menghitam. Sampah bertumpuk-tumpuk menggunung di kiri kanan jalan, bahkan kadang di tengah jalan. Toko-toko tertutup rapat, sebagian terbuka – mungkin dibuka paksa – menampilkan isi toko yang berantakan. Pepohonan mati seperti tersambar hawa panas. Suasana kusam dan kelabu. Seluruh daerah menjadi seperti padang lumpur yang mengerikan. Rumah-rumah di kiri kanan jalan terhalangi oleh tumpukan sampah yang menggunung. Tingginya kadang mencapai atap rumah. Sampah-sampah ini berasal dari daerah yang berdekatan dengan pinggir laut yang dibawa air ke sini. Sebuah truk besar tersungkur di tanah kosong di pinggir jalan, mukanya nyungsep dengan posisi yang aneh. Bagian belakang truk terngkat tinggi. Truk tersebut kemungkinan dihanyutkan air dari daerah lain, karena truk tidak boleh masuk daerah sini. Di depan rumah mertua, beberapa mobil sedan nampak terduduk dengan kondisi hancur berantakan. Sampah bekas bangunan bertumpuk di halaman rumah. Lumpur dengan air setinggi lutut masih menggenangi air. Kenderaan kami berhenti di jalan di muka rumah dan kami turun. Di halaman rumah tetangga, kami menyaksikan sesosok mayat pria dewasa tertelentang di atas sebuah meja. Tubuh mayat menghitam, tertutup lumpur dan mulai membengkak. Di sebelahnya, sesosok mayat bayi utuh dengan mata terpejam menghadap langit. Kedua tangan kecilnya mengepal ke depan, seolah minta digendong. Tertutup lumpur di sekujur tubuhnya, bayi tersebut seakan terbuat dari tanah liat yang belum kering. Nampak jelas wajah mungilnya begitu damai, dengan garis mulut yang membentuk senyuman, matanya terpejam dalam keabadian. Disebelahnya terletak buaian bayi yang terbuat dari rotan. Tidak ada yang sanggup menyaksikan pemandangan tersebut. Semuanya memalingkan muka ke arah lain. Diam-diam saya melihat seorang famili menghapus air matanya. Saya mengeluarkan kaca mata hitam yang saya bawa, memakainya untuk menutupi genangan air yang muncul di mata ...
Rumah masih digenangi air bercampur lumpur hitam setinggi lutut. Keadaan dalam rumah betul-betul berantakan. Perabotan bergelimpangan. Batas air menghitam nyaris mencapai langit-langit rumah. Tidak ada tanda-tanda kerusakan rumah yang berarti, hanya retak dibeberpa tempat. Barang pecah belah berserakan dalam genangan air. Kami melangkah dengan hati-hati melewati sepotong papan yang dipasang sebagai jempatan. Sedapat mungkin kami berusaha mengeluarkan barang-barang yang masih bisa dipergunakan dan dibawa ke truk. Pakaian, perabotan dan lain-lain. Bahan yang terbuat dari kain setelah terendam air laut menjadi lapuk – robek saat diangkat.
Menjelang asar kami kembali ke pengungsian. Barang-barang tidak kami turunkan, karena akan dibawa ke kampung. Meminjam sepeda motor adik ipar, saya dan Mar akan berkeliling sebentar. Rencananya ke Jeulingke, kemudian ke Darussalam, dan pulang lewat Peurada melalui Lampineng.
Lewat Simpang Lima kami berbelok ke rumah sakit Kesdam. Suasana ramai di sana, orang-orang hilir mudik untuk berbagai urusan. Kantong-kantong mayat berwarna orange berjejer di salah satu sudut halaman rumah sakit, berisi mayat-mayat. Kami tidak berhenti di sini. Melewati simpang Beurawe, kami terus menuju Lampineung dan keluar kembali ke jalan utama di depan kantor Gubernur. Jalanan penuh dengan berbagai sampah dan lumpur. Kayu-kayu bekas bahan bangunan yang rusak, sampah-sampah pohon dan lain-lain memenuhi kiri kanan jalan. Bau anyir menusuk tajam. Tidak tampak ada mayat. Suasana sangat lenggang, bangunan-bangunan sama sekali tidak berpenghuni. Hanya orang-orang lalu lalang di jalan seperti kami menunjukkan bahwa masih ada tanda-tanda kehidupan di sini.
Lokasi markas Brimop di Jeulingke hancur berantakan. Tumpukan sampah nyaris setinggi atap bangunan. Kenderaan-kenderaan dinas polisi jungkir balik, beberapa sampai bertindihan dalam kondisi rusak parah. Sebuah helikopter tertungging dengan ekor ke atas, baling-baling ekornya sudah hilang. Tidak ada tanda-tanda kegiatan apapun di situ.
Semakin kami meninggalkan pusat kota ke arah Darussalam, jalanan utama semakin menyempit oleh sampah yang belum dibersihkan. Kenderaan roda empat tidak mungkin bisa lewat. Beberapa kali saya harus turun dari boncengan karena motor harus dilewatkan dengan hati-hati melewati tumpukan sampah. Kadang tumpukan lumpur hitam menghalangi, dan kami harus mencari jalan memutar untuk bisa lewat.
Melewati simpang Mesra, diujung jembatan Alue Naga yang menuju ke Krueng Raya, kami menyaksikan hanya satu rumah yang tersisa, tegak nyaris tidak ada kerusakan apapun. Sebatang pohon masih tegak di luar pagar rumah tersebut, menderita, merangggas seperti terbakar. Sekelilingnya bersih, sama sekali bersih, bahkan sampahpun nyaris tidak ada. Dulu kawasan ini ramai dengan perumahan, sekarang semuanya tersapu oleh gelombang. Bersih sama sekali. Daerah ini dekat dengan laut. Melewati daerah Lamnyong, kami menemui sebuah truk polisi yang merayap pelan, berusaha melewati gundukan-gundukan sampah. Dibelakangnya beberapa relawan berjalan, menengok kiri kanan. Kantong mayat bergeletakan dalam truk, beberapa diantaranya sudah terisi. Mereka sedang berusaha mengevakuasi para korban yang masih ada di antara sampah dan reruntuhan bangunan.
Menjelang magrib kami sampai ke Rukoh. Listrik tidak menyala, suasana kusam dan mengerikan. Langit berawan mendung kelabu menambah kengerian suasana. Tidak ada makhluk hidup yang kami temui di daerah ini. Berbelok ke perumahan pada dosen, nampak jelas batas air di dinding yang mencapai dua meter. Daerah ini sudah ditinggalkan penghuninya untuk mengungsi. Suasana begitu tenang, sepotong daunpun tidak bergerak karena angin tidak bertiup. Kami memutar melewati Gelanggang Mahasiswa dan pulang.
Di bawah jembatan Lamnyong air Krueng Aceh begitu tenang. Beberapa kilometer di sebelah kanan, lautan begitu tenang membiru, tidak ada riak gelombang. Kami berbelok ke arah kiri menuju ke Lampineung. Sama seberti daerah lainnya, daerah inipun tidak berpenghuni lagi. Berbagai macam sampah menumpuk di mana-mana. Serombongan orang melintas berjalan kaki ke arah kota. Pakaian mereka kumal berlumpur dan kebanyakan dari mereka tidak beralas kaki. Kemungkinan mereka adalah pengungsi yang baru kembali dari menengok kediaman mereka. Dari Lampineung kami terus ke Beurawe dan kembali ke tempat pengungsian melewati Simpang Surabaya.
Usai magrib kami berangkat meninggalkan Banda Aceh. Truk penuh dengan muatan berbagai barang yang akan dibawa ke kampung. Sebagian besar bekas terendam air, kotor dan berlumpur. Perumpang tegak di bak belakang truk. Sepanjang perjalanan lalu lintas padat, bahkan di beberapa tempat antrian kenderaan merayap pelan dalam kemacetan. Sebagian besar adalah sama seperti kami, membawa berbagai barang dari Banda Aceh ke kampung halaman. Beberapa kenderaan membawa mayat-mayat yang akan dikebumikan di tempat asalnya.
Saree bukan main ramainya. Semua warung yang buka penuh sesak oleh pengunjung. Tidak ada tempat duduk. Memesan makanan harus antri lama. Barisan kenderaan yang parkir di badan jalan membuat jalan menjadi sempit, menambah kemacetan lalu lintas.
Menjelang tengah malam kami sampai ke kampung. Kotor, kelelahan dan mengantuk, selesai membongkar barang, kami segera tertidur, mengumpulkan tenaga untuk esok hari.
Kenderaan yang akan membawa kami ke Meulaboh sudah menunggu di jalan di depan rumah toko keluarga Bang Hasbi. Sebuah pickup yang lebih tua daripada yang kami bayangkan, walaupun nampaknya masih cukup kuat. Mesinnya menderum halus seperti kenderaan yang lebih baru. Supirnya, Bang Mukhtar, bersosok tinggi besar dengan kumis dan cambang yang menyeramkan, apalagi dengan rambut gondrongnya yang nampak semrawut. Orangnya sangat ramah ternyata, dengan suara yang lembut menenangkan, kontradiktif dengan penampilannya. Dia minta maaf karena telah membuat kami menunggu, karena harus menjemput solar tambahan. Ada tiga jerigen di bak belakang kenderaan, masing-masing berisi dua puluh lima liter solar, yang akan mencukupi untuk perjalanan pulang pergi ke Meulaboh dari Takengon. Bahan bakar adalah barang langka di kebanyakan daerah di Aceh sehabis tsunami. SPBU banyak yang hancur, dan depot supplai wilayah Aceh yang ada di Krueng Raya dan di Meulaboh hancur tak bersisa. Harga minyak menggila, solar bisa mencapai sepuluh ribu rupiah per liter. Bensin lebih parah lagi, pada saat-saat paling sulit harganya mencapai dua puluh ribu rupiah per liter. Di Takengon, harga bahan bakar tidak terpengaruh.
Beberapa peti kayu berisi cabe dan tomat matang yang segar nampak juga termuat di bak belakang pickup. “Untuk membuat kenderaan lebih berat supaya tidak melintir di jalan tanah,” kata Bang Mukhtar menjelaskan. Harga tomat dan cabe juga menggila di daerah-daerah yang terkena bencana. Beberapa peti tomat dan cabe jelas akan memberikan untung yang lumayan bagi yang membawanya. Tempat kami sudah disiapkan di bak belakang. Anak Bang Hasbi meletakkan beberapa lembar kardus supaya tempatnya lebih empuk. Saya dan Bang Don akan mengambil tempat di belakang selama perjalanan, sementara Han akan berada di kabin depan. Hanya kami berempat yang akan menempuh perjalanan ini. Saya, Han, Bang Don dan Bang Mukhtar.
Dibalik keramahan dan keriangannya, Bang Mukhtar ternyata sama seperti kami dan mungkin ribuan keluarga Aceh lainnya, menyimpan duka yang tersembunyi. Istrinya yang berada di Meulaboh, tepatnya di daerah Ujong Kalak dan sedang hamil tua belum diketahui nasibnya. Daerah Ujong Kalak merupakan suatu lokasi padat penduduk di Meulaboh, dengan rumah-rumah berdesakan di lokasi yang dipisahkan oleh sungai dengan kota Meulaboh. Lokasinya menjorok ke laut. Kami hanya bisa membayangkan kondisi Ujong Kalak sekarang ini dari berita-berita di televisi yang menayangkan kondisi Meulaboh.
Bekal kami naikkan ke atas pickup. Roti-roti kering, air minum dalam botol besar dan kecil, makanan-makanan ringan. Ketidakpastian daerah yang akan kami jalani membuat kami melakukan persiapan-persiapan. Tas saya diletakkan di kabin depan, berjaga-jaga seandainya akan hujan. Dua orang pengendara sepeda motor berhenti disamping kenderaan kami. Mereka terbungkus jaket tebal, tas-tas mereka diletakkan di bagian depan sepeda motor. Dua buah jerigen masing-masing berisi bensin lima liter tergantung disisi belakang sepeda motor mereka. Mereka ingin berkendara beriringan dengan kami selama perjalanan ke Meulaboh. Tidak ada masalah. Semakin banyak orang semakin mudah jika ada permasalahan di jalan nanti.
Informasi yang kami terima lewat keponakan yang tinggal di Sawangbunga – Aceh Selatan, cukup jelas. Hari Minggu tanggal 26 Desember 2004 Nong dan keluarganya sedang berada di Meulaboh untuk melepas mertuanya pergi naik haji. Dirumah tersebut akan mengadakan kenduri keberangkatan padi hari itu. Lima orang belum diketahui nasibnya. Nong dan kedua anaknya, Fabio dan Firlo, yang masing-masing berusia 4 dan 1.5 tahun. Mertuanya yang perempuan dan istri adik iparnya juga belum ditemukan. Suami Nong selamat, begitu juga dengan mertuanya yang laki-laki. Mereka semua sedang berada di Meulaboh sekarang ini, berusaha mencari semua keluarga, selamat atau tidak. Info ini kami terima sekembali dari Banda Aceh Kamis lalu. Sejenak kami – saya, Han dan Faisal – berusaha mencerna informasi yang kami dengar. Keputusan diambil. Ummi tidak akan kami beritahu sampai kami menemukan kabar yang pasti, karena kami khawatir keadaannya akan menjadi lebih buruk. Kami akan berangkat ke Meulaboh lewat Takengon. Han akan mengatur segala yang diperlukan melalui kawannya di Takengon. Dia akan ke Medan malam ini, saya dan Bang Don akan menyusul besok bagi. Faisal akan tinggal di kampung, menunggu kabar dari kami. Perjalanan ke Medan dengan menggunakan bus merupakan penderitaan selama hampir dua belas jam. Bus penuh sesak sejak meninggalkan Banda Aceh, dan hanya menyisakan tempat berdiri bagi kami. Perjalanan lama dan melelahkan. Jalanan ramai. Jam tujuh malam kami sampai ke Medan, menginap di rumah Han. Bus sudah dipesan Han dan kami akan berangkat ke Takengon besok malam. Paginya kami berangkat mengunjungi sepupu yang rumahnya kena hantaman tsunami juga di daerah Blower, Banda Aceh. Pertemuan yang mengharukan, diisi dengan tangis dan air mata. Dari tempat tersebut kami menuju ke rumah sakit Gleneagles, dimana seorang keponakan sedang dirawat. Kakinya patah saat tsunami terjadi. Dari seluruh keluarganya, hanya dia dan dua saudaranya yang selamat. Ibunya – sepupu kami - dan bapaknya serta saudara-saudaranya yang lain, tidak diketahui nasibnya. Tempat tinggal mereka didaerah Kaju, Banda Aceh, tak tersisa. Lebih banyak lagi tangisan dan air mata di sini, terlebih karena kedatangan saudara-saudara lain yang juga berkunjung. Bisa diperkirakan, seluruh keluarga di Aceh, baik langsung atau tidak langsung, mengetahuinya atau tidak, kehilangan sanak familinya dalam musibah tsunami ini. Ribuan mayat yang kondisinya sudah berubah dan tidak diketahui identitasnya, dikumpulkan di Lam Baro, menunggu pemakaman di kuburan massal. Hanya doa yang bisa kami kirimkan untuk mereka, saudara-saudara kami dan juga orang Aceh lainnya… Tangisan dan air mata tidak akan merubah apapun, hanya sekedar peringan beban bagi mereka yang kehilangan …
Kami bersalaman dengan keluarga Bang Hasbi dan naik ke kenderaan. Jam menunjukkan pukul 10:45 sekarang. Lambaian tangan mengiringi keberangkatan kami. Pengendara sepeda motor yang rencananya akan beriringan dengan kami berada di belakang kami, lampu sepeda motornya menyala. Udara segar dan sejuk. Sinar matahari terasa hangat di kulit, bergantian dengan udara dingin pegunungan yang menyengat. Langit biru cerah, dengan sedikit awan. Kabut mulai terusir pergi oleh cahaya matahari. Jalanan tidak terlalu ramai, orang-orang bergerak dengan santai. Tidak ada yang diburu di sini, jarum waktu bergerak dengan lambat. Tempat yang menyenangkan. Disebekah kiri kami, danau Laut Tawar dengan airnya yang memantulkan birunya langit nampak tenang tanpa ombak. Dalam waktu sekitar satu jam, jalan aspal mulus berganti dengan aspal tipis berlubang-lubang, sebelum akhirnya menjadi tanah merah yang dipadatkan. Jalanan ini sekarang sedang dalam tahap pengerjaan, dengan nama Ladia Galaska, yang akan menembus pegunungan menuju Simpang Empat Jeuram dan akhirnya ke Meulaboh. Sama seperti jalan lintas Geumpang yang membuka isolasi daerah antara Pidie dan Aceh Barat, jalan ini juga akan menghubungkan Aceh Tengah dengan Aceh Barat. Orang-orang dalam perjalanan dari Medan akan punya beberapa pilihan untuk menuju Meulaboh: melewati Sidikalang dan Tapak Tuan, melewati Takengon, melewati Beureunuen – Geumpang, atau melewati Banda Aceh. Semuanya menawarkan eksotisme tersendiri yang khas dan unik, dengan pemandangan yang menawan sepanjang perjalanan.
Jalan yang nampaknya belum lama diratakan membelah gunung yang menjulang di sebelah kiiri kami. Jurang menganga dalam disebelah kanan. Proyek ini terus dikerjakan, walaupun konflik berdarah terus mengancam, dan memasuki jeda saat ini dikarenakan bencana tsunami yang melanda. Dahsyatnya bencana dan akibat yang ditimbulkan membuat pihak-pihak yang bertikai saling menahan diri, dan lebih memusatkan perhatian pada korban bencana. Pos-pos militer yang kami lewati hanya menanyakan tujuan kami. Tidak ada pemeriksaan ketat, seperti yang kami khawatirkan. Kadangkala mereka minta beberapa tomat dan cabe, yang dengan senang hati kami berikan. Dua pengendara motor dengan setia membuntuti kami, kadangkala debu menyelimuti mereka. Perjalanan berlangsung lancar sampai saat ini.
Kami mulai mendaki Gunung Kala. Jalanan menjadi lebih sempit sekarang. Dengan rasa percaya diri yang besar, Bang Mukhtar menjalankan kenderaan dengan hati-hati. Di berapa tempat, jalan berlumpur bekas hujan, dan kami bisa melewatinya dengan mudah. Dua mobil Kijang parkir di pinggir jalan di depan kami, kapnya terbuka. Mogok. Penumpangnya, semuanya laki-laki, berkumpul di pinggir jalan dengan wajah yang cemas. Mereka memang layak cemas, mogok di tengah belantara di pegunungan di daerah yang dilanda konflik bersenjata. Beberapa orang mengerumuni kap mesin, orang lainnya berada di kolong mobil yang satunya. Kami berhenti, dan Han mendekati mereka. Sama seperti kami, mereka juga berasal dari Medan menuju ke Meulaboh. Kenderaan yang mereka bawa merupakan mobil rental dari Medan, yang nampaknya kurang siap untuk dibawa ke medan berat seperti ini. Setelah berbasa basi sejenak, kami meneruskan perjalanan.
Pada sebuah penurunan curam dengan tikungan tajam, beberapa orang berdiri disamping. tumpukan air minum dalam kemasan yang berserakan dekat mereka. Kotak-kota berisi mi instan juga ditumpukkan secara serampangan. Mereka melambai dan kami berhenti. ”Ini tolong dibagikan ke siapa saja yang memerlukan,” kata salah satu dari mereka. Kotak-kotak berisi air minum dan makanan dinaikkan ke bak pikup. Ternyata sebuah kecelakaan mengerikan telah terjadi disini beberapa hari yang lalu: sebuah truk penuh dengan muatan untuk bantuan kemanusiaan yang akan dikirimkan ke Meulaboh tidak dapat dikendalikan oleh supirnya dan jatuh kejurang. Secara ajaib penumpangnya selamat, sementara supirnya meninggal dunia di tempat. Jurang tersebut sangat dalam, truk tersebut nampak kecil sekali di dasar jurang. Muatan truk tersebut dinaikkan sedapatnya oleh awak truk lain yang ikut dalam rombongan tersebut. Karena tidak muat lagi dalam truk lainnya, muatannya dibagikan ke para pelintas dan orang-orang yang memerlukan.
Pada suatu jalanan menurun yang licin, sebuah kenderaan yang berpapasan dengan kami tidak mau memperlambat jalannya. Bang Mukhtar berusaha sia-sia untuk mengerem, tetapi kenderaan terus meluncur lurus dengan ban yang tidak lagi terputar. Jurang menganga di sebelah kanan kami – untung sekali bukan sisi yang harus kami lewati. Melewati kenderaan tadi, hanya berjarak beberapa sentimeter, dengan wajah seram Bang Mukhtar menggeram, “Harusnya kau lebih toleran dengan membiarkan kami lewat dulu. Tidakkah kau lihat kami dalam kesulitan?” Setelah kejadian itu, kami lebih memilih turun dan berjalan kaki pada saat ada pendakian dan penurunan curam. Han dengan badan gemuknya tidak menunjukkan kesulitan apa-apa menempuh beberapa ratus meter jalan mendaki terjal. Bagi saya dan Bang Don, belum merupakan masalah.
Makan siang di Beutong Ateueh kami lakukan di bawah jembatan. Nasi bungkus kami beli disebuah warung dadakan di samping pos TNI. Pelintas ramai melewati daerah ini. Puluhan pos TNI yang kami lewati dari Takengon sampai ke Beutong Ateueh menunjukkan suasana damai yang masih jauh. Moncong senapan mesin yang diarahkan ke jalan menimbulkan kengerian. Pemeriksaan KTP di pos-pos tertentu menghabiskan waktu dan banyak pertanyaan yang harus di jawab, terlebih karena saya memakai KTP Riau dan Han memakai KTP Medan.
Air sungai mengalir deras melewati batu-batu besar di bawah jembatan memberi suasana sejuk saat kami makan. Sebungkus nasi dengan lauk ala kadarnya mengisi perut kami yang lapar. Tomat segar yang kami makan sepanjang perjalanan tidak mampu menghilangkan lapar kami. Hari memang sudah melewati jam dua siang.
Di Beutong Ateueh inilah, 23 Juli 1999 lalu, Teungku Bantakiah dan puluhan santrinya tewas secara mengenaskan di moncong senapan TNI. Warga setempat yang saya temui bercerita dengan berbisik-bisik: mayat-mayat mereka yang tewas dan mereka yang luka-luka dinaikkan ke truk tentara dan dibawa entah kemana. Tidak ada yang kembali. Pesantren mereka terletak di atas bukit, beberapa ratus meter dari jembatan. Suasana Beutong Ateueh saat ini ramai oleh lalu lintas dan orang-orang yang ingin beristirahat. Mesjid kecil penuh dengan orang-orang yang sedang shalat. Ada juga yang mandi di sungai, menikmati air yang sejuk dan jernih. Air sungai yang mengalir deras tidak megurangi minat mereka untuk mandi.
Selesai shalat kami melanjutkan perjalanan kembali. Kenderaan dipacu dengan lebih kencang, karena sekarang jalan aspal mulus membentang, walaupun jalannya tidak lebar.
Lepas dari Beutong Ateueh, perjalanan semakin berat. Jalan berupa kubangan berisi air dan lumpur, yang harus dilewati dengan hati-hati. Dua kami kami terjebak lumpur dan nyaris tidak bisa keluar. Penumpang kenderaan lain dari arah yang berlawanan turun dan membantu kami mendorong kenderaan keluar dari kubangan lumpur. Kemudian, secara berangsur jalan mulai membaik, menjadi tanah keras yang berbatu. Menuruni lereng gunung yang landai, jalan beraspal mulus membuat kenderaan bisa dipacu lebih kencang, walaupun suasana ramai. Cuaca mulai mendung. Langit semakin menggelap, disusul kemudian dengan hujan yang mulai turun. Sejenak kemudian hujan turun seperti dicurahkan dari langit. Sepotong plastik yang kami gunakan sebagai atap berkibar-kibar tertiup angin. Karena kenderaan terus melaju, kami terlindung dari air hujan. Beberapa kali kami dihentikan oleh TNI di pos-pos pemeriksaan.
Menjelang magrib kami sampai ke Ujong Jalan (Simpang Beutong). Banyak mobil parkir di depan puskesmas. Seorang lelaki dengan menggunakan mantel hujan melambai meminta kami berhenti. “Istirahat dulu”, katanya. Tenda dengan kursi-kursi dipenuhi oleh orang-orang, laki-laki dan perempuan. Mereka sedang makan nasi bungkus. Kami turun dan berlari menuju tenda untuk berteduh.
Kerena jalan lintas barat dari Banda Aceh menuju Meulaboh hancur total dan tidak bisa dilewati sama sekali, pilihan ke Meulaboh hanya menyisakan tiga jalur: lewat Geumpang yang juga rusak parah, lewat Medan yang bisa memakan waktu berhari-hari, atau lewat Takengon yang walaupun kondisi jalannya rusak tetapi masih bisa dilewati. Banyak pelintas yang melewati jalur ini. Warga Simpang Beutong mengambil insiatif untuk menutup semua warung makan yang ada, dan membuka dapur umum yang menyediakan makan minum kepada para pelintas secara gratis. Tempat beristirahatpun mereka sediakan, tikar untuk tempat berbaring ala kadarnya di Puskesmas dan di Meunasah yang berdekatan. “Hanya ini yang bisa kami lakukan untuk membantu” kata seorang warga yang saya temui. Pelintas-pelintas dari dan ke Meulaboh berdatangan tidak putus-putusnya dengan sepeda motor, mobil, pikup dan truk. Semua mereka dipersilahkan untuk makan dan minum. Nasi bungkus datang dalam baskom-baskom besar. Baskom-baskom lainnya berisi kopi dan teh manis dalam kantong plastik. Kami memutuskan untuk bermalam di situ sambil mengumpulkan informasi jalan ke Meulaboh.Sambil menghirup kopi panas, seorang bapak bercerita. “Meulaboh sudah binasa. Jalan ke sana masih tertutup sampah sampai tadi pagi. Mobil masih belum bisa lewat. Meureubo hancur total. Tumpukan lumpur dan sampah setinggi pohon kelapa menghalangi jalan di Meureubo.” Tetapi harapan selalu ada, “Beberapa alat berat sedang membersihkan jalan tersebut tadi siang” seorang lelaki menambahkan,”Mungkin besok sudah bisa lewat”. Rasa pesimis juga membayang, “kalian harus bawa bahan bakar dari sini. Bensin berharga Rp. 25.000 seliter di sana”. Kami menggunakan kenderaan bermesin diesel, jadi masalah kami lebih kecil. Kami menginap di Puskesmas ini malam ini. Tidur berdesakan di atas tikar yang dibentangkan di atas lantai. Suasana di dalam puskesmas gelap gulita karena listrik mati. Tidak ada penerangan. Di luar, suasana terang karena api unggun dan beberapa lampu petromaks yang terus menyala. Orang-orang terus berdatangan dari arah Takengon dan Meulaboh. Rata-rata mereka – seperti kami – memilih untuk beristirahat sejenak disini, sekedar melepas lelah dan mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan menuju tujuan masing-masing esok harinya.
Pagi-pagi selesai salat subuh saya dan Bang Don berjalan-jalan sekeliling. Lingkungan ini merupakan lingkungan pertanian, tanah sawah terbentang luas dengan padi yang sedang menguning sebagian. Rumah-rumah beton menunjukkan kemakmuran pemiliknya. Kondisi rumah rata-rata rusak, retak bahkan ada yang miring disebabkan gempa dahsyat kemarin dulu. Irigasi tertata dengan baik. Gubuk-gubuk kecil yang terketak di atas parit yang airnya mengalir deras ternyata toilet. Kami minta izin untuk menggunakan WC cempung tersebut di depan sebuah rumah. Sebuah bendungan besar mengalirkan air ke sungai-sungai yang lebih kecil, untuk diteruskan ke parit-parit kecil yang berakhir di sawah-sawah. Penduduk setempat ramah-ramah. Kami ditawari untuk sarapan di salah satu rumah.
Sekitar jam setengah sembilan pagi kami melanjutkan perjalanan kembali. Sawah menghijau di kiri kanan kami, dibelah oleh jalan aspal yang walaupun sempit namun mulus dan terawat baik. Rumah-rumah di pinggir jalan berada dalam kondisi rusak karena gempa. Kebanyakan rumah disini tidak menggunakan batu bata untuk dinding, melainkan dicor.
Lima belas menit kemudian kami sampai di Jeuram .Kami berhenti sebentar. Para pedagang langsung mendekati kenderaan kami. Tomat yang dibawa Bang Mukhtar berpindah tangan dengan harga yang bagus. “Lumayan untuk ongkos di jalan,” kata Bang Mukhtar. Kami membeli makanan kecil tambahan untuk di jalan.
Melewati Jeuram, kami melewati jalan yang berdekatan dengan pinggir pantai. Laut nampak jelas, tenang membiru, dengan riak-riak kecil yang menghantam pantai. Semuanya damai. Tidak ada bekas keganasan beberapa hari yang lalu. Sekitar wilayah ini memang belum ada kerusakan yang berarti. Mulai dari Alue Bili, bekas kerusakan karena tsunami mulai nampak. Pantai yang kerontang dan bersih, tanaman yang tercabut, sampah-sampah yang menumpuk di kiri kanan jalan, bekas dibersihkan sekedar untuk membolehkan kenderaan bisa melewati jalan. Hutan karet yang mulai meranggas di sebelah kanan kami, hangus oleh air laut yang melanda. Mesjid di Gunong Kleng yang berantakan, dengan kubah yang pindah ke bawah. Mesjidnya sendiri masih tegak dengan perkasa, penuh dengan sampah yang menggunung. Dan di depan kami, penjara yang dulunya megah, sekarang runtuh. Total. Hanya sebuah menara sudut yang masih tegak, sisa-sisa kemegahan yang tidak sanggup menahan amukan gelombang laut yang murka. Jalanan retak menganga, membuat kenderaan yang melintas harus minggir jauh dari badan jalan. Dua orang bapak dan seorang ibu-ibu menyetop kenderaan kami. Mereka ingin menumpang ke Meulaboh. Salah seorang dari mereka bercerita, dia ingin menjemput sepeda motornya di Meulaboh, tetapi tidak boleh keluar kota Meulaboh karena tidak ada surat keterangan dari RT. Sekaranng surat tersebut sudah ada – dia harus mencari RT ke Gunong Kleng – dan berharap hari ini motornya bisa dibawa dari Meulaboh.
Dan inilah Meureubo. Kami sampai di sini sekitar jam sepuluh pagi. Kedai-kedai kayu di pinggir jalan masih tegak, doyong menunggu runtuh. Atapnya entah kemana. Di belakang kedai laut nampak jelas. Rumah-rumah tinggal lantai dan sumur cincin yang menonjol di permukaan tanah. Tumpukan sampah kayu yang masih basah menggunung, dengan tinggi yang nyaris mencapai atap. Sebuah eksavator masih terus bekerja, menyingkirkan sampah dari badan jalan. Kenderaan antri untuk bisa lewat, diantur oleh tentara berseragam dan bersenjata lengkap. Orang-orang lalu lalang, menyeruak diantara tumpukan sampah. Meja-meja kecil di pinggir jalan menjual rokok dan air minum dalam kemasan. Asap mengepul dari sampah basah yang dibakar. Semuanya nampak kusam dan kelabu, sekelabu wajah orang-orang yang melintas. Sebelah kanan kami, dinding sebuah kantor polisi hilang semuanya, tinggal tiang sudut dan atapnya. Beberapa kenderaan polisi diparkir di sebelahnya, compang camping dan berantakan.
Antara Meurebo dan Meulaboh dipisahkan oleh Krueng Meureubo, yang dihubungkan oleh Jeumbatan Besi. Jembatan ini selamat dari amukan gelombang, walaupun pagar teralinya compang camping dan berlepasan dilanda sampah. Jarak dari jembatan ini ke laut kurang dari satu kilometer. Laut nampak jelas saat kami melintasi jempatan, indah membiru. Orang-orang semakin ramai, kenderaan-kenderaan melaju. Polisi dan tentara berjaga di setiap tempat. Orang-orang yang keluar dari kota Meulaboh dan membawa barang diperiksa dan surat-suratnya ditanyai. Jangan berharap bisa membawa sesuatu keluar dari kota tanpa surat pengantar dari pejabat yang berwewenang.
Di simpang empat Rundeng kami berbelok ke kanan, masuk ke Jalan Imam Bonjol, menuju ke kantor Bupati, yang merupakan salah satu titik pengungsian. Jalan ini merupakan pemisah saat terjadi bencana tanggal 24 Desember lalu. Air hanya mencapai batas jalan ini dan tidak pernah menyeberang. Semua yang terletak di seberang jalan tidak terjamah dan tinggal kering.
Kantor Bupati penuh sesak oleh pengungsi. Nyaris semua tempat ditempati oleh orang-orang. Tenda-tenda memenuhi halaman depan dan belakang. Wartawan, tentara asing, relawan, dan juga orang-orang yang mencari sanak saudaranya lalu lalang. Kami mencari tahu dimana pengungsi dari daerah Suak Ribee ditempatkan. “Coba cari ke SMA Cut Nyak Dien”, kata seorang di pos informasi. SMA Cut Nyak Dien terletak di Jalan Imam Bonjol juga, di simpang ke Manek Roo kalau kekiri, dan ke Tutut kalau ke kanan. Jaraknya sekitar 10 menit berjalan kaki.
Suasana di SMA Cut Nyak Dien juga tidak kalah ramainya dengan kantor Bupati, hanya saja tidak ada tenda di sini. Seluruh ruang kelas berubah fungsi menjadi tempat tinggal sementara para pengungsi. Sebuah ruang kelas difungsikan menjadi pos kesehatan, dan saat itu sedang ramai oleh orang-orang yang memerlukan parawatan medis. Dokternya terdiri dari berbagai bangsa, saat saat kami ke sana beberapa dokter asing sedang bertugas. Anak-anak bermain di halaman sekolah, seolah sudah melupakan bencana yang baru berlalu. Seorang ibu sedang memasak di dapur darurat yang dibuat dari beberapa potongan batu bata. Seorang petugas berteriak keras memanggil nama-nama untuk mendapatkan bahan makanan hari ini. Pembagian bahan kebutuhan pokok sedang dilakukan. Berkarung-karung beras diletakkan di bawah pohon beringin, kardus-kardus mi instan di sebelahnya. Orang-orang berdatangan, dan proses pembagian tidak berlangsung lama.
Sanitasi nyaris tidak ada di sini. Kotoran terapung di parit yang sumbat oleh berbagai macan sampah. WCnya jorok dan sepertinya sumbat juga. Air untuk kebutuhan para pengungsi ditempatkan dekat dapur umum dalam sebuah tangki berwarna biru. Berbagai macam sampah berserakan, dan saat itu sedang disapu oleh beberapa orang relawan berseragam. Wartawan foto mengambil gambar-gambar dari berbagai kegiatan, dan di dekat gerbang, tim peliput dari sebuah stasiun TV luar sedang bekerja. Dari logo dan bendera yang ada di seragam mereka bisa diketahui mereka berasal dari Jepang.
Orang yang kami cari tidak ada di sini. Dari informasi yang kami peroleh dari Kepala Lorong Suak Ribee yang kami temui di sini, suami Nong dan bapaknya pulang ke Sawangbunga, Kecamatan Samadua, Aceh Selatan. Pencarian sia-sia selama beberapa hari tidak membuahkan hasil. Orang-orang yang hilang sewaktu tsunami tidak bisa ditemukan. Kemungkinan mereka baru akan balik ke Meulaboh besok pagi. Kami meninggalkan pesan untuk keluarga Nong dan keluarga Bang Aiyub untuk menunggu kami di sini saat mereka kembali.
Setelah berunding sebentar, kami memutuskan untuk berangkat ke Sawangbunga, yang berjarak sekitar duaratusan kilometer ke arah Tapaktuan dari Meulaboh. Sebelumnya kami akan ke Suak Ribee dulu, ingin menengok secara langsung rumah mertua Nong. Lagipula di sana ada sepupu kami yang lain, abang dari Bang Don. Jalan ke Suak Ribee melalui Kuta Padang tidak bisa dilalui, karena jembatan sudah putus. Ke sana mungkin bisa melalui Seueneuebok, begitu informasi yang kami peroleh. Di jalan kami meminta Muhajir, seorang pemuda tanggung warga Seuneubok untuk ikut kami, untuk menjadi penunjuk jalan.
Suak Ribee merupakan salah satu wilayah terparah pada saat tsunami lalu. Berjarak hanya beberapa ratus meter dari pinggir laut, gelombang tsunami menghantam dengan dahsyat, merusak rumah-rumah yang berdekatan dengan pinggir laut, mencabut pepohonan, mengumpulkan sampah dan mendorongnya ke arah kota untuk menciptakan kerusakan yang lebih parah. Tiang-tiang listrik bertumbangan menghalangi jalan. Kenderaan tidak bisa melintas dan kami harus berjalan kaki. Berbagai jenis sampah menggunung, kebanyakan kayu bekas bangunan. Alat-alat rumah tangga berserakan. Mobil-mobil dalam berbagai kondisi kerusakan terserak di mana-mana, ada yang terbalik dengan roda ke atas. Di dalam sebuah rumah sebuah sedan menerobos dinding, meninggalkan lubang menganga besar dan berhenti di ruang tamu. Rumah-rumah compang camping, rusak parah dalam berbagai kondisi. Sebagian besar dindingnya hilang, ada yang runtuh total meninggalkan fondasi dan lantai serta sisa-sisa tembok dinding yang cukup kuat untuk bertahan. Daerah ini nampaknya merupakan salah satu wilayah elit Meulaboh dulu, berdasarkan rumah-rumah yang masih menyisakan kemegahan dan kemewahan. Kebanyakan rumah bertingkat mampu bertahan tidak sampai rubuh total, namun rata-rata mengalami kerusakan yang parah.
Di depan rumah mertua Nong kami berhenti. Nyaris hancur total, rumah ini hanya menyisakan dinding-dinding yang menunggu roboh. Sebuah kamar di tingkat dua masih cukup baik kondisinya. Tembok dinding rumah berserakan dihempas air sampai berjarak lima puluh meter dari rumah tersebut. Antena parabola masih tegak di atas atap teras yang tidak runtuh, terayun pelan oleh tiupan angin. Mobil keluarga Nong dihanyutkan air dan tercampak di sawah-sawah yang berjarak seratus meter dari rumah. Kondisinya rusak parah, dengat atap penyok dan kaca depan hilang.
Rumah Bang Ayub – sepupu kami, abang Bang Don – yang terletak di ujung jalan ini, nasibnya tidak jauh berbeda. Dinding depan rumah hilang, meninggalkan lubang menganga penuh berisi sampah. Atapnya utuh, begitu juga dengan dinding samping dan dinding belakang. Bang Ayub tidak ada di Meulaboh saat ini, sedang mengungsi ke daerah Blang Pidie, ke tempat mertua anak perempuannya, kata Surya, anak Bang Ayub yang sedang membersihkan rumah pada saat kami sampai. Mukti, anak perempuan Bang Ayub yang baru melahirkan hilang beserta bayinya dan tidak pernah ditemukan.
Tidak lama kami di Suak Ribee. Setelah berkeliling sebentar, kami pamit dari Surya. Penunjuk jalan kami tidak mau kembali, dia mau tinggal sebentar di sana, katanya. Di depan Rumah Sakit Umum - simpang Jl Manek Roo, kami berhenti untuk makan siang di depan sebuah warung yang buka. Pengunjung ramai, dan disuruh mengambil nasi sendiri. Pemilik warung, seorang perempuan tua berwajah ramah walaupun nampak letih – melayani kami dalam ketergesaan dikarenakan ramainya pengunjung. Lauknya telor asin yang dibagi dua, sebuah kemewahan saat ini untuk mengisi perut lapar. Saat saya ingin menambah lauk, sepotong ikan goreng, “Tidak boleh. Nanti yang lain tidak kebagian”, kata ibu tua itu dengan serius. Ketika saya ingin protes, ia menambahkan, “Saya tahu anak akan bayar. Tetapi yang lain memerlukan makanan juga, walaupun sekedarnya”. Saya mundur dengan kagum. Harga makanannyapun wajar, tidak menganiaya pengunjung.
Sehabis makan, dan sedang duduk-duduk di pintu masuk SMA Cut Nyak Dien, secara kebetulan Bang Mukhtar berjumpa dengan mertuanya yang sedang lewat. Istrinya selamat, dan melahirkan pas berhasil mengindari amukan air tsunami. Sekarang mereka berada di rumah mertuanya di Alue Kuyuen, sekitar satu jam perjalanan ke arah Tutut.
Sekitar jam enam sore kami melanjutkan perjalanan menuju Tapaktuan. Di Jembatan Besi kembali kami dihentikan oleh polisi, yang hendak memeriksa barang bawaan kami. Tidak ada apa-apa dalam pikap, jadi kami dipersilahkan meneruskan perjalanan. Kami berharap akan sampai di Tapaktuan selepas magrib jika tidak ada kendala yang berarti di jalan. Namun perjalanan sangat lamban. Selepas dari Simpang Empat Jeuram, perjalanan harus dilakukan dengan hati-hati, karena kondisi sajan yang rusak karena gempa. Di beberapa tempat jalan terbelah menganga, dengan badan jalan yang turun. Kadang kami juga menemui badan jalan yang hilang sebagian karena longsor, dan sedang ditimbun dengan alat-alat berat.
Menjelang malam, hujan yang turun dengan lebat membuat perjalanan kami semakin lambat. Laut yang berombak berada di sebelah kanan jalan. Tidak ada bekas-bekas kerusakan karena tsunami di daerah ini. Selepas isya, kami berhenti untuk makan di sebuah rumah makan kecil di daerah Blang Pidie. Menu utamanya adalah ikan lele yang dimasak asam pedas. Semua makan dengan lahap dalam penerangan lampu petromaks. Listik mati semenjak gempa dan belum hidup sampai sekarang. Diluar, hujan masih turun dengan derasnya. Suasana gelap gulita. Tidak nampak cahaya dari rumah-rumah penduduk.
Memasuki kota Blang Pidie, hujan berhenti. Jalanan mulus membuat kenderaan bisa dipacu lebih cepat. Sepanjang jalan dari Blang Pidie, pos-pos ronda dipenuhi oleh para peronda, suatu kewajiban bagi para penduduk untuk ikut menjaga keamanan dalam masa konflik ini. Kadang-kadang kami dihentikan, kepala-kepala menjulur ke dalam terpal plastik untuk memeriksa muatan kenderaan. Hanya pencari keluarga yang ditimpa musibah, Bang Mukhtar menjelaskan dalam bahasa Aceh dengan logat setempat. Mereka menanyakan tujuan kami dan berpesan supaya berhati-hati di perjalanan.
Kami melewati Sawangbunga dalam kegelapan. Suasana sepi dan mencekap dalam kegelapan. Nampaknya tidak memungkinkan untuk berhenti di sini. Jadi diputuskan untuk meneruskan perjalanan ke Tapaktuan dan mencari penginapan di sana. Penginapan Rahmat, milik keluarga suami Nong, dengan alamat yang sudah dicatat dari keluarga di Medan. Tidak sudah untuk mencarinya, katanya. Nyatanya, kami berputar-putar di kota Tapaktuan pada tengah malam untuk mencari penginapan tersebut. Saat kami memutuskan untuk mencari penginapan lain, tiba-tiba saya kami melihat plang nama penginapan Rahmat di sebelah kiri jalan. Kami memarkir kenderaan dan masuk ke lobi. Sebuah kepala dengan wajah mengantuk milik seorang pemuda tanggung muncul, dan kami menanyakan kamar untuk kami pakai menginap. Saya dan Bang Don menempati sebuah kamar, sementara Han dan Bang Mukhtar menempati kamar yang lainnya. Kotor dan kumal oleh debu dan air hujan, saya memutuskan untuk mandi, sementara Bang Don memilih langsung untuk tidur. Air berwarna kekuningan dengan rasa payau. Sangat lelah, saya langsung tertidur. Kami akan kembali ke Sawangbunga esok pagi.
Walaupun terletak persis di pinggir laut dan berhadapan langsung dengan Pulau Simeulu, Tapaktuan luput dari bencana. Tidak ada kerusakan apapun yang melanda kota ini, bahkan tidak tampak akibat dari gempa besar tersebut. Di pagi yang cerah, orang lalu lalang seperti biasa. Anak sekolah berlarian dengan riang. Pegawai-pegawai negeri dalam balutan seragam kebesaran mereka membentuk kelompok-kelompok di meja-meja warung kopi, sarapan yang lama sebelum masuk kantor. Kehidupan berjalan normal di sini. Hanya bendera merah putih yang berkibar di setiap sudut kota menunjukkan sesuatu yang berbeda, suasana konflik bersenjata antar pihak yang berseteru. Pemandangan luar biasa. Langit biru cerah dihiasi sedikit awan, deburan ombak yang menghantam batu-batu besar di pinggir pantai, perahu-perahu nelayan yang terlambat pulang dari melaut melintas dengan malas.
Kami sarapan di sebuah warung kopi di tengah kota. Sarapan khas masyarakat Aceh, kopi hitam atau teh hangat – orang Aceh menyebutnya teh setengah panas – dan kue-kue. Pagi-pagi sekali kami keluar dari penginapan, dan menanyakan alamat keluarga suami Nong di Sawangbunga. Hanya sekitar setengah jam perjalanan dari sini.
Keluar dari kota Tapaktuan, kami disambut oleh lautan yang tenang membiru di sebelah kiri kami. Di sebelah kanan di seberang jalan, sebuah air terjun kecil menderu, mengalirkan air ke kolam dibawahnya, jernih dan dingin. Tempat yang cantik, tetapi sekarang ini bukan saatnya untuk menikmati semua itu.
Di Sawangbunga, kami berhenti di rumah kos seorang keponakan yang bekerja sebagai guru SMA di sana. Hanya ada suaminya di rumah, sedang menjaga anaknya yang masih bayi. Sepupu kami, ibu keponakan tersebut, berpesan saat kami mau berangkat, supaya anaknya pulang sebentar ke kampung. Setelah berbasa basi sebentar, kami menuju ke SMA Negeri Sawangbunga tempat keponakan kami menjadi guru. Pesan kami sampaikan, ditambah dengan berita duka tentang sanak saudara yang menjadi korban bencana. Kami bertemu dengan kepala sekolah yang ketus, dan berkeras tidak mau memberi izin cuti. Setelah berdebat lama dan seru, akhirnya keponakan kami mendapat izin cuti selama seminggu untuk pulang kampung. Kemudian kami menuju ke rumah keluarga suami Nong. Mereka memang sudah menunggu kedatangan kami. Suami Nong dan Bapaknya ternyata sudah balik ke Meulaboh pagi-pagi tadi. Berita kedatangan kami diterima setelah keberangkatan mereka. Keluarga besar yang ramah, walaupun nampak kedukaan yang mendalam di wajah mereka. Semalam baru diadakan tahlilan untuk mendoakan semua keluarga yang menjadi korban, begitu kata mereka. Walaupun belum saatnya makan siang, kami dijamu makan siang di sini. Ini adalah kebiasaan masyarakat Aceh lainnya, menjamu tamu yang dihormati dan dari jauh dengan makan – dan biasanya menunya nasi beserta laup pauknya. Makan dilakukan di lantai yang dialas tikar bersama-sama, diselingi dengan percakapan-percakapan kecil. Keramahan mereka seakan tidak habisnya.
Kami melanjutkan perjalanan kembali ke Meulaboh. Seorang famili Suami Nong ikut dengan kami. Orangnya ramah dan menyenangkan, dan suka bicara. Logat Aceh Selatannya sangat kental, dan kedengaran lucu bagi saya. Daerah ini memang sehari-hari berbahasa Minang, di samping Bahasa Aceh. Sejenak kedukaan terlupakan dan kami bisa ketawa lagi sekarang.
Sekitar jam dua belas kami berhenti di Susoh, menemui keluarga Bang Aiyub yang mengungsi di rumah besannya, Pak Asmin. Setelah bencana Bang Aiyub beserta dua orang anaknya mengungsi ke desa Baharu, Susoh. Surya tetap tinggal di Meulaboh. Pertemuan yang mengharukan. Ini ada pertemuan saya yang pertama kalinya dengan Bang Aiyub. Lama kami mengobrol. Ajakan kami pada Bang Aiyub sekeluarga untuk pulang ke Pidie ditolak dengan halus. Bang Aiyub akan segera kembali ke Meulaboh untuk mengurus berbagai hal. Dengan halus kami menolak ajakan makan siang di sini karena tidak ingin merepotkan mereka.
Makan siang kami lakukan di sebuah warung makan di kota Blang Pidie. Lauknya ikan bawal bakar yang sangat segar. Harganya sangat bersahabat.
Lewat asar kembali kami memasuki kota Meulaboh. Kami langsung menuju ke Seuneubok – Jalan Imam Bonjol – tempat suami Nong dan bapaknya mengungsi. Tempatnya adalah sebuah ruko bertingkat dua, persis disamping jalan Imam Bonjol. Pemiliknya adalah seorang pegawai Dinas Kesehatan, yang kantornya hanya berjarak sekitar dua ratus dari tempat tersebut. Di sebelah ruko tersebut terletak Mesjid Seuneubok yang sedang dibangun, dan sekarang dalam kondisi rusak parah karena gempa. Seberang jalan merupakan pesawahan, dengan lumpur hitam dari air tsunami dan rumput-rumput yang meranggas. Air tidak pernah menyeberang Jalan Imam Bonjol saat tsunami.
Pertemuan yang mengharukan, dengan banyak air mata yag tumpah. Mertua Nong bercerita diantara isak tangisnya tentang bencana yang melanda. Suami Nong – dengan badan penuh bekas luka saat tsunami – nampak kurus dan letih. Selama sepuluh hari mereka mencoba mencari kerabat yang hilang, memilah jenazah demi jenazah dalam timbunan lumpur dan kubangan air. Tidak ada satupun keluarga yang hilang bisa ditemukan kembali. Kini mereka susah pasrah, menyerahkan semuanya kepada yang Maha Kuasa.
Ada beberapa keluarga yang mengungsi di rumah ini. Pemilik rumah yang baik hati, menyambut mereka dengan ikhlas. Bahan makanan diambil dari toko kelontong miliknya, beras dan kebutuhan lainnya, semuanya disedekahkan untuk para pengungsi ini. Beramai-ramai mereka masak di dapur, dan semua bisa makan walaupun seadanya. Air bersih tersedia dalam jumlah yang cukup. Menengok anak-anak kecil yang bercanda-canda dengan ceria, air mata mertua Nong kembali menggenang, teringat kepada cucu-cucunya yang hilang dan tidak pernah ditemukan ...
Kami menginap di sini malam ini. Bang Don dan Bang Mukhtar akan menginap di Alue Kuyuen di rumah mertuanya. Besok rencananya kami akan ke Takengon, untuk seterusnya kembali ke kampung di Sigli bersama-sama dengan suami Nong dan keluarganya. Saat ini sebagian keluarga suami Nong berkumpul di sini, yang dari Jakarta, dari Takengon dan dari Sawangbunga. Sejenak kesedihan terlupakan dalam kebersamaan.
Pagi-pagi sekali setelah sarapan kami berangkat menuju Takengon. Rombongan menjadi ramai. Selain pikup kami, sebuah FJ40 juga akan ikut, ditambah beberapa sepeda motor. Penumpang pikap kami juga bertambah dua orang, famili dari suami Nong. Penuh rasa haru kami mengucapkan terima kasih dan pamitan pada Pak Rusli, pemilik rumah yang ramah dan baik hati.
Han tidak ikut pulang bersama kami. Dia akan langsung ke Medan untuk suatu urusan dengan kenderaan minibus L300. Ongkos ke Medan lebih tiga kali lipat. Biasanya hanya delapan puluhan ribu, sekarang dipatok dua ratus lima puluh ribu rupiah sekali jalan. Selalu saja ada yang menanfaatkan kesempatan dalam berbagai keadaan.
Minggu, 26 Desember 2004. Kami sedang berada di pasar mingguan saat panggilan telepon masuk dari Banda Aceh. Suara panik kakak istri mengabarkan gempa besar baru saja melanda Banda Aceh. Gempanya kuat dan lama. Orang-orang berjatuhan, tidak bisa berdiri dengan tegak. Air di parit dan selokan tercampak ke jalan. Kerusakan dalam kota belum diketahui. Rumah keluarga istri tidak mengalami kerusakan yang berarti, hanya retak di beberapa tempat. Mengetahui bahwa Aceh – terlebih Banda Aceh adalah daerah yang sangat sering mengalami gempa, kami tidak menanggapi dengan serius.
Pulang dari pasar, seorang kawan sekerja datang ke rumah. Dia mengabarkan getarannya terasa di water treatment basin, air bergelombang kuat. Dugaan mereka gempa berasal dari Sumbar, daerah yang juga paling sering mengalami gempa bumi. Saat saya mengatakan gempa berasal dari Banda Aceh, kawan tersebut kaget. Gempa yang luar biasa kuatnya, katanya, getarannya sampai ke Riau.
Kemudian berita mengejutkan tiba. Pak Yusuf, atasan saya – yang juga orang Aceh – berbicara di telepon dengan suara yang jelas-jelas panik. ”Air laut melanda Banda Aceh! Kerusakan dan korban sangat parah!”. Tidak mungkin, pikiran saya. Penasaran, kami mencoba menelepon keluarga ke Banda Aceh. Tidak tersambung. Coba lagi ke Medan. Tidak tersambung juga. Coba lagi ke Nong, adik perempuan saya di Tapaktuan, juga tanpa hasil. Sesuatu yang besar telah terjadi. Tetapi kenapa berita di televisi tidak ada sama sekali? Biasanya informasi cepat menyebar, walaupun hanya sekedar running teks di televisi. Segera saya ketempat kerja – yang ada sambungan internet. Informasi yang diperoleh mengejutkan: tsunami melanda Banda Aceh dan Sigli, sesaat setelah gempa. Korban ratusan orang meninggal dan hilang dan diperkirakan terus bertambah. Pusat gempa ada di lautan Hindia di sebelah pulau Sinabang. Segera saya pulang ke rumah. Di televisi sudah mulai ada berita mengenai petaka di Aceh. Pemberitaan terutama di Banda Aceh dan Sigli. Daerah yang lainnya belum ada informasi. Usaha kami untuk mencari informasi lewat telepon ke Aceh dan Medan terus gagal. Saya berunding dengan istri, apa tindakan yang akan diambil. Pulang segera, atau mencari informasi dulu. Keputusan diambil, kami akan menunggu informasi dulu mengenai kondisi keluarga yang ada di sana.
Sampai malam, berita di televisi terus menayangkan berita mengenai bencana yang melanda Aceh. Korban meninggal sudah mencapai ribuan dan diperkirakan terus bertambah. Kerusakan sangat parah. Gambar-gambar yang ditayangkan di televisi sangat terbatas dan terus diulang-ulang.
Esoknya, pembicaraan di tempat kerja melulu mengenai bencana yang melanda tanah Aceh. Kerusakan yang luar biasa parah dan korban yang mencapai ribuan. Pak Ridwan memutuskan untuk pulang hari ini. Keluarga istrinya ada yang menjadi korban dan belum ditemukan. Sementara, informasi sudahh kami terima dari abang yang ada di Medan, bahwa keluarga inti kami tidak ada yang menjadi korban. Keluarga istri juga selamat semuanya. Hanya rumah keluarga istri yang terendam dalam air. Untuk sejenak kami bisa tenang.
Informasi terus berdatangan. Orang-orang Aceh yang tinggal di daerah ini yang kami kenal memutuskan untuk balik ke Aceh. Perusahaan tempat kami bekerja memberikan kompensasi untuk karyawan yang keluarganya menjadi korban. Pak Yusuf memberikan sebuah nomor telepon genggam di Banda Aceh – nomor keluarganya. Saya menelepon dan menanyakan kondisi disana. Suara yang terdengar adalah suara tangisan seorang perempuan. ”Semuanya hancur di sini. Tidak ada yang tersisa. Kiamat sudah”, katanya dalam isak tangis. Saya mencoba mengatakan berbagai hal klise untuk menenangkan dan menghibur dia. Kedengarannya memalukan, tetapi itu yang saya lakukan saat itu. ”Kami perlu air dan makanan”, perempuan itu melanjutkan. Kedua barang tersebut tidak ada di sana saat itu.
Sore hari, informasi kembali masuk dari Medan. Sepupu kami yang tinggal di Kaju – daerah antara Banda Aceh dan Krueng Raya, terletak di pinggir laut – hilang bersama keluarganya. Sepupu kami yang lain yang kebetulan sedang berada di Banda Aceh – mereka tinggal di Medan – belum ada beritanya sampai saat ini. Jeulingke hancur total, sepupu yang tinggal di sana belum diketahui nasibnya. Lamprit – tempat tinggal keluarga istri – masih terendam air. Han - abang kami yang tinggal di Medan pulang ke Sigli untuk menengok keluarga kami. Rumah keluarga kami jauh dari laut.
Malamnya, berita di televisi sudah menjangkau daerah-daerah lain. Meulaboh hancur total. Korban diperkirakan mencapai puluhan ribu. Kami memutuskan untuk balik ke Aceh besok pagi.
Mengetahui kami akan balik ke Aceh, kawan-kawan sekerja secara spontan mengumpulkan sumbangan sekedarnya. Ada juga yang juga yang menyampaikan sumbangan dari kelompok pengajian, dari mesjid-mesjid untuk dititipkan dan disampaikan ke korban bencana di Aceh. Seorang kawan bersedia untuk mengantarkan kami dengan mobil sewaan ke Medan. Bersama dengan seorang kawan lain, sekitar jam sembilan kami berangkat menggunakan mobil Panther. Sewanya satu juta rupiah sampai ke Medan. Perjalanan diperkirakan akan memakan waktu selama empat belas jam. Saya menelepon Faisal di Medan, minta dicarikan tiket bus – ataupun kenderaan lainnya - ke Aceh malam ini juga.
Ternyata perjalanan sangat lambat. Jalanan dipenuhi oleh kenderaan-kenderaan, truk-truk besar bertuliskan ”bantuan kemanusiaan tragedi Aceh” dengan berbagai logo organisasi. Secara menyolok kami mengamati banyak truk dan kenderaan lainnya lang bertuliskan ”Bantuan untuk ACEH – PKS”. Aceh memang memerlukan bantuan saat ini. Bantuan sekecil apapun sangat berarti.
Kemacetan terjadi di Ujung Tanjung yang sedang dilanda banjir. Selamat empat jam kami tidak bergerak sama sekali, terjebak dalam antrian yang mencapai sepuluh kilometer lebih. Sempat supir kami dimarahi petugas karena berusaha menyerobot.
Informasi kembali masuk dari Aceh. Dua orang keponakan istri yang tinggal di Sigli menjadi korban bersama anaknnya yang masih balita. Mayatnya ditemukan dan sekarang dibawa pulang ke Teupin Raya.
Lewat tengah malam kami baru sampai ke Medan dan langsung menuju ke rumah Han. Faisal sudah menunggu di sana dengan kabar tidak ada tiket dan kenderaan ke Aceh hari ini. Semuanya sudah habis. Besok pagi-pagi sekali ada bus Pelangi yang akan ke Aceh, dan tiketnya harus dibeli pagi-pagi juga.
Kedua rekan saya langsung pergi. Tawaran kami untuk menginap ditolak dengan halus. Mereka ingin menginap di tempart keluarga, katanya.
Rabu pagi, 29 Desember 2004. Ternyata bus berangkat jam sepuluh pagi, jadi kami masih punya waktu untuk membeli beberapa perbekalan. Terminal bus penuh sesak dengan calon penumpang. Wajah-wajah kelelahan nampak di mana-mana.
Bus berangkat tepat waktu, dan penuh sesak oleh penumpang. Tempat untuk berdiripun nyaris tidak ada. Percakapan yang terdengar dalam bus melulu mengenai bencana yang melanda daerah Aceh. Dua orang ibu yang berdiri di samping kursi kami dalam perjalanan menuju Banda Aceh. Mereka baru tiba kemarin sore di Medan, karena mendengar suami mereka – mereka berdua punya suami yang sama, alias istri tua dan istri muda - selamat dari tsunami dan sekarang ada di salah satu rumah sakit di Medan. Pencarian mereka di berbagai rumah sakit tidak memberi hasil, dan sekarang mereka akan kembali ke Banda Aceh untuk meneruskan usaha mereka mencari keluarga yang hilang. Kemarin mereka juga tidak mendapat tempat duduk dalam bus, dan berdiri nyaris sepanjang perjalanan. Wajah mereka nampak kelelahan, dan salah seorang dari mereka minta izin untuk duduk di pegangan kursi kami.
Dari merekalah saya mendengar betapa dahsyatnya bencana yang melanda. Kawasan Merduati hancur total – mereka tinggal di sekitar tempat tersebut – dan mereka beruntung selamat karena berada di tempat yang tidak terjangkau air. Banda Aceh menjadi kota mati sekarang. Kawasan pasar Aceh merupakan daerah terlarang, jam malam berlaku dengan perintah tembak di tempat bagi siapa yang melanggar. Penjarah menjarah toko-toko mencari barang berharga. Sasaran mereka terutama toko-toko mas yang ada di pasar Aceh. Sepertinya mereka bukan berasal dari Aceh, tetapi dari luar Aceh, kata salah satu ibu tersebut.
Di Besitang, perbatasan Aceh dan Sumatra Utara bus dihentikan oleh petugas. Seorang polisi militer masuk ke dalam bus, meminta setiap orang mengeluarkan kartu tanda pengenal. ”Yang tidak punya kartu tanda pengenal supaya turun untuk membuat surat jalan.” katanya. Tanda pengenal diri sangat diperlukan di Aceh yang sedang dilanda konflik.
Sepanjang perjalanan ke Banda Aceh jalanan padat oleh kenderaan. Kenderaan dari arah Medan membawa penumpang dan barang, kebanyakan barang bantuan untuk para korban bencana. Kenderaan dari arah Aceh membawa penumpang dan berbagai barang, berisi pengungsi. Pikap-pikap dan kenderaan bak terbuka penuh dengan penumpang yang kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh. Rata-rata mereka mencari keluarga di Banda Aceh, dan pulang dengan membawa mayat.
Memasuki daerah Idi, tanda-tanda kerusakan karena tsunami mulai nampak, walaupun belum parah. Memasuki Lhokseumawe, kerusakan karena tsunami mulai kentara. Daerah-daerah yang berdekatan dengan pinggir laut nampak jelas sekarang, rumah-rumah habis menyisakan sampah bekas bangunan yang berserakan. Jalan raya retak menganga di berbagai tempat, kadang permukaan jalan menjadi tidak rata. Ini adalah akibat gempa yang terjadi sebelum tsunami. Semakin ke barat, kerusakan semakin besar. Keude Panteraja tersapu bersih, menyisakan dataran yang lenggang dengan sisa bekas bangunan di sana-sini.
Lewat magrib kami sampai di Teupin Raya. Kami turun di sini. Rencananya akan singgah di kampung dulu, mencari kenderaan – kalau dapat truk – untuk besok di bawa ke Banda Aceh.
Kampung kami ramai oleh orang-orang dari Banda Aceh. Mereka aslinya berasal dari kampung kami juga yang merantau dan tinggal di Banda Aceh. Puluhan warga kampung kami menjadi korban. Ada yang mayatnya sudah ditemukan, ada yang masih hilang entah dimana. Dari Han kami mendengar berbagai informasi. Sepupu kami yang tinggal di Kaju Banda Aceh sekeluarga hilang dan belum ditemukan. Yang selamat dari keluarga besar tersebut hanya tiga orang, dan seorang sedang di rawat di rumah sakit Gleneagles Medan karena cedera yang parah. Dua lagi selamat karena berada jauh dari lokasi jangkauan tsunami. Sepupu kami yang tinggal di Medan yang kebetulan sedang berada di Banda Aceh ditemukan selamat tidak kurang apapun. Mereka hanya trauma dengan bencana yang sedemikan dahsyat. Beberapa warga kampung selamat dari amukan tsunami. Ada yang sudah ke Medan untuk berobat – kabarnya gratis – ada juga yang mencoba bertahan di kampung.
Sepanjang malam kami nyaris tidak tidur mendengar berbagai cerita mengerikan mengenai tsunami. Beberapa dari mereka bercerita bagaimana mereka melarikan diri dari kejaran air setinggi tujuh meter. Airnya berwarna hitam dan panas, dengan suara gemuruh yang dahsyat, melanda apa saja yang menghalangi.
Paginya, Kamis 30 Desember 2004, kami memperoleh truk sewaan yang akan di bawa ke Banda Aceh. Sebuah truk Colt Diesel dengan supirnya, dengan sewa enam ratus ribu rupiah termasuk bahan bakar. Sekitar jam delapan pagi, kami dan beberapa kerabat lainnya berangkat ke Banda Aceh. Han dan Bang Don – sepupu kami – ikut serta. Rumah Bang Don di Sigli juga rusak parah kena hantaman tsunami, tetapi tidak ada yang korban. Begitu juga dengan keluarga lainnya di Trieng Gadeng, semuanya selamat. Di Grong-grong kami membeli bekal makan siang, nasi bungkus. Kabarnya di Banda Aceh susah sekali mendapatkan makanan, jadi sebaiknya kami membawa persiapan.
Memasuki Banda Aceh melewati Simpang Surabaya kami mendapati suasana kota yang sesungguhnya sekarang. Orang-orang lalu lalang. Banyak orang asing di mana-nama. Di trotoar di pinggir jalan, tumpukan air minum ditunggui oleh tentara. Semua orang boleh mengambil, hanya untuk dikonsumsi sendiri, tidak boleh lebih. Sebuah truk sarat dengan buah-buahan lewat. Orang di belakang truk melemparkan buah ke siapa saja yang mau. Kami menuju ke wilayah sekitar Neusu, tempat keluarga istri mengungsi ke salah satu rumah kerabat yang ada di sana.
Pertemuan mengharukan terjadi di rumah tersebut. Air mata tumpah, air mata syukur karena semuanya selamat tidak kurang satu apapun. Kakak istri pulang dari Jakarta bersama dengan suaminya. Mereka menumpang pesawat Herkules TNI. Cerita-cerita kembali diutarakan pada saat hari bencana terjadi.
Tepat setelah gempa besar melanda, salah satu kakak istri menelepon kami. Sekitar lima belas menit kemudian, terdengar keributan dan teriakan bahwa air laut naik. Lamprit memang jauh dari laut, tetapi ada kemungkinan air akan sampai ke situ. Jadi semuanya mengungi. Mertua perempuan dibonceng adik istri dengan sepeda motor, menuju ke arah Lueng Bata. Para keponakan yang masih kecil dibawa lari dengan jalan kaki melalui Jambo Tape, terus ke Simpang Surabaya. Mertua laki-laki menyusul. Semuanya bertemu kembali – secara kebetulan – di Gedung Sosial di Peuniti. Daerah tersebut aman dari jangkauan air. Semuanya belum sarapan, dan uang yang kebetulan terbawa tidak mencukupi untuk semua orang. Anak-anak diutamakan dulu. Lama kemudian terdengar kabar bahwa air sudah surut. Bapak mertua pulang kembali ke rumah untuk mengunci rumah – tadi sewaktu lari ditinggalkan begitu saja – dan menemukan tumpukan sampah bekas bangunan yang menggunung di sekeliling rumah. Air masih setinggi dada, dan mayat berserakan di mana-mana. Sama sekali tidak bisa masuk kerumah karena terhalang oleh berbagai sampah.
Beramai-ramai kami makan siang dengan menu seadanya. Makanan yang kami bawa tidak tersentuh. Sehabis shalat lohor rencananya kami semua akan ke Lamprit untuk mengambil apa saja yang bisa diselamatkan.Kami juga berusaha membujuk keluarga untuk ikut pulang ke kampung. Awalnya bapak mertua menolak, karena khawatir rumah akan dijarah orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Perjalanan ke Lamprit melewati Beurawe. Menyeberang jembatan Beurawe, jalanan masih basah oleh lumpur hitam yang pekat. Kami menyaksikan mayat-mayat di sungai Beurawe, belum terurus, dalam kondisi yang memprihatinkan. Terrgeletak begitu saja, dalam air pinggiran sungai yang dangkal, tersangkut di tiang jembatan, menghitam. Pakaian terlepas dari jasad mereka.
Memasuki Jambo Tape, kondisi semakin menggenaskan. Lumpur menutupi seluruh permukaan. Kenderaan berbagai jenis tergeletak begitu saja, compang camping dengan berbagai tingkat kerusakan. Pohon-pohon meranggas seperti terbakar. Bau anyir meruak menghantam indra penciuman. Masker kain tipis yang kami pakai tidak mampu mencegah bau tersebut mencapai hidung kami.
Memasuki Lamprit, lumpur semakin tebal. Pekat dan tebal, berwarna menghitam. Sampah bertumpuk-tumpuk menggunung di kiri kanan jalan, bahkan kadang di tengah jalan. Toko-toko tertutup rapat, sebagian terbuka – mungkin dibuka paksa – menampilkan isi toko yang berantakan. Pepohonan mati seperti tersambar hawa panas. Suasana kusam dan kelabu. Seluruh daerah menjadi seperti padang lumpur yang mengerikan. Rumah-rumah di kiri kanan jalan terhalangi oleh tumpukan sampah yang menggunung. Tingginya kadang mencapai atap rumah. Sampah-sampah ini berasal dari daerah yang berdekatan dengan pinggir laut yang dibawa air ke sini. Sebuah truk besar tersungkur di tanah kosong di pinggir jalan, mukanya nyungsep dengan posisi yang aneh. Bagian belakang truk terngkat tinggi. Truk tersebut kemungkinan dihanyutkan air dari daerah lain, karena truk tidak boleh masuk daerah sini. Di depan rumah mertua, beberapa mobil sedan nampak terduduk dengan kondisi hancur berantakan. Sampah bekas bangunan bertumpuk di halaman rumah. Lumpur dengan air setinggi lutut masih menggenangi air. Kenderaan kami berhenti di jalan di muka rumah dan kami turun. Di halaman rumah tetangga, kami menyaksikan sesosok mayat pria dewasa tertelentang di atas sebuah meja. Tubuh mayat menghitam, tertutup lumpur dan mulai membengkak. Di sebelahnya, sesosok mayat bayi utuh dengan mata terpejam menghadap langit. Kedua tangan kecilnya mengepal ke depan, seolah minta digendong. Tertutup lumpur di sekujur tubuhnya, bayi tersebut seakan terbuat dari tanah liat yang belum kering. Nampak jelas wajah mungilnya begitu damai, dengan garis mulut yang membentuk senyuman, matanya terpejam dalam keabadian. Disebelahnya terletak buaian bayi yang terbuat dari rotan. Tidak ada yang sanggup menyaksikan pemandangan tersebut. Semuanya memalingkan muka ke arah lain. Diam-diam saya melihat seorang famili menghapus air matanya. Saya mengeluarkan kaca mata hitam yang saya bawa, memakainya untuk menutupi genangan air yang muncul di mata ...
Rumah masih digenangi air bercampur lumpur hitam setinggi lutut. Keadaan dalam rumah betul-betul berantakan. Perabotan bergelimpangan. Batas air menghitam nyaris mencapai langit-langit rumah. Tidak ada tanda-tanda kerusakan rumah yang berarti, hanya retak dibeberpa tempat. Barang pecah belah berserakan dalam genangan air. Kami melangkah dengan hati-hati melewati sepotong papan yang dipasang sebagai jempatan. Sedapat mungkin kami berusaha mengeluarkan barang-barang yang masih bisa dipergunakan dan dibawa ke truk. Pakaian, perabotan dan lain-lain. Bahan yang terbuat dari kain setelah terendam air laut menjadi lapuk – robek saat diangkat.
Menjelang asar kami kembali ke pengungsian. Barang-barang tidak kami turunkan, karena akan dibawa ke kampung. Meminjam sepeda motor adik ipar, saya dan Mar akan berkeliling sebentar. Rencananya ke Jeulingke, kemudian ke Darussalam, dan pulang lewat Peurada melalui Lampineng.
Lewat Simpang Lima kami berbelok ke rumah sakit Kesdam. Suasana ramai di sana, orang-orang hilir mudik untuk berbagai urusan. Kantong-kantong mayat berwarna orange berjejer di salah satu sudut halaman rumah sakit, berisi mayat-mayat. Kami tidak berhenti di sini. Melewati simpang Beurawe, kami terus menuju Lampineung dan keluar kembali ke jalan utama di depan kantor Gubernur. Jalanan penuh dengan berbagai sampah dan lumpur. Kayu-kayu bekas bahan bangunan yang rusak, sampah-sampah pohon dan lain-lain memenuhi kiri kanan jalan. Bau anyir menusuk tajam. Tidak tampak ada mayat. Suasana sangat lenggang, bangunan-bangunan sama sekali tidak berpenghuni. Hanya orang-orang lalu lalang di jalan seperti kami menunjukkan bahwa masih ada tanda-tanda kehidupan di sini.
Lokasi markas Brimop di Jeulingke hancur berantakan. Tumpukan sampah nyaris setinggi atap bangunan. Kenderaan-kenderaan dinas polisi jungkir balik, beberapa sampai bertindihan dalam kondisi rusak parah. Sebuah helikopter tertungging dengan ekor ke atas, baling-baling ekornya sudah hilang. Tidak ada tanda-tanda kegiatan apapun di situ.
Semakin kami meninggalkan pusat kota ke arah Darussalam, jalanan utama semakin menyempit oleh sampah yang belum dibersihkan. Kenderaan roda empat tidak mungkin bisa lewat. Beberapa kali saya harus turun dari boncengan karena motor harus dilewatkan dengan hati-hati melewati tumpukan sampah. Kadang tumpukan lumpur hitam menghalangi, dan kami harus mencari jalan memutar untuk bisa lewat.
Melewati simpang Mesra, diujung jembatan Alue Naga yang menuju ke Krueng Raya, kami menyaksikan hanya satu rumah yang tersisa, tegak nyaris tidak ada kerusakan apapun. Sebatang pohon masih tegak di luar pagar rumah tersebut, menderita, merangggas seperti terbakar. Sekelilingnya bersih, sama sekali bersih, bahkan sampahpun nyaris tidak ada. Dulu kawasan ini ramai dengan perumahan, sekarang semuanya tersapu oleh gelombang. Bersih sama sekali. Daerah ini dekat dengan laut. Melewati daerah Lamnyong, kami menemui sebuah truk polisi yang merayap pelan, berusaha melewati gundukan-gundukan sampah. Dibelakangnya beberapa relawan berjalan, menengok kiri kanan. Kantong mayat bergeletakan dalam truk, beberapa diantaranya sudah terisi. Mereka sedang berusaha mengevakuasi para korban yang masih ada di antara sampah dan reruntuhan bangunan.
Menjelang magrib kami sampai ke Rukoh. Listrik tidak menyala, suasana kusam dan mengerikan. Langit berawan mendung kelabu menambah kengerian suasana. Tidak ada makhluk hidup yang kami temui di daerah ini. Berbelok ke perumahan pada dosen, nampak jelas batas air di dinding yang mencapai dua meter. Daerah ini sudah ditinggalkan penghuninya untuk mengungsi. Suasana begitu tenang, sepotong daunpun tidak bergerak karena angin tidak bertiup. Kami memutar melewati Gelanggang Mahasiswa dan pulang.
Di bawah jembatan Lamnyong air Krueng Aceh begitu tenang. Beberapa kilometer di sebelah kanan, lautan begitu tenang membiru, tidak ada riak gelombang. Kami berbelok ke arah kiri menuju ke Lampineung. Sama seberti daerah lainnya, daerah inipun tidak berpenghuni lagi. Berbagai macam sampah menumpuk di mana-mana. Serombongan orang melintas berjalan kaki ke arah kota. Pakaian mereka kumal berlumpur dan kebanyakan dari mereka tidak beralas kaki. Kemungkinan mereka adalah pengungsi yang baru kembali dari menengok kediaman mereka. Dari Lampineung kami terus ke Beurawe dan kembali ke tempat pengungsian melewati Simpang Surabaya.
Usai magrib kami berangkat meninggalkan Banda Aceh. Truk penuh dengan muatan berbagai barang yang akan dibawa ke kampung. Sebagian besar bekas terendam air, kotor dan berlumpur. Perumpang tegak di bak belakang truk. Sepanjang perjalanan lalu lintas padat, bahkan di beberapa tempat antrian kenderaan merayap pelan dalam kemacetan. Sebagian besar adalah sama seperti kami, membawa berbagai barang dari Banda Aceh ke kampung halaman. Beberapa kenderaan membawa mayat-mayat yang akan dikebumikan di tempat asalnya.
Saree bukan main ramainya. Semua warung yang buka penuh sesak oleh pengunjung. Tidak ada tempat duduk. Memesan makanan harus antri lama. Barisan kenderaan yang parkir di badan jalan membuat jalan menjadi sempit, menambah kemacetan lalu lintas.
Menjelang tengah malam kami sampai ke kampung. Kotor, kelelahan dan mengantuk, selesai membongkar barang, kami segera tertidur, mengumpulkan tenaga untuk esok hari.
========================
Sekitar jam sembilan pagi kami berangkat meninggalkan Takengon menuju Meulaboh. Udara yang dingin menusuk tulang tidak terasa lagi, matahari dengan malu-malu mengintip dari balik bukit, menghalau kabut yang menggantung rendah. Mata masih terasa berat. Semalaman berada dalam bus antar kota dari Medan menuju Takengon tidak memberi kesempatan untuk terlelap dengan baik. Bayangan-bayangan mengerikan tentang gelombang raksasa yang menghantam sebagian besar pesisir Aceh terus menghantui. Tertidur sejenak di jok nyaman bus hanya untuk diisi mimpi buruk yang mengerikan tentang korban-korban yang kami saksikan sewaktu di Banda Aceh.
Selasa, 4 Januari 2005. Jam enam pagi tadi kami sampai di Takengon yang dingin. Tidak ada jaket yang kami bawa, jadi saya berusaha menghangatkan badan dengan sepotong pakaian tambahan, usaha sia-sia untuk melawan dingin. Bang Hasbi, kawan Han sudah menunggu kami di terminal dengan jaket tebalnya. Orang yang menyenangkan, dengan wajah riang dan bahan pembicaraan yang seakan tak pernah habis. Kami menuju warung kopi, dimana segelas kopi panas atau teh manis hangat akan sangat membantu.
Mobih yang dipesan Han sudah disiapkan, kata Bang Hasbi. Sebuah pickup tua, merek Chevrolet, jenis LUV dengan mesin Isuzu yang tangguh. Bang Hasbi meyakinkan kami bahwa pickup tua tersebut dengan supirnya Bang Mukhtar sama-sama tangguh untuk melintas pegunungan menuju ke Meulaboh. Kalau tidak hujan, perlu sekitar sepuluh jam untuk sampai ke Meulaboh. Setelah menghabiskan segelas minuman hangat dan penganan kecil, kami berjalan kaki menuju rumah keluarga Bang Hasbi, yang sekaligus merupakan toko tempat dia menjalankan usaha dagangnya sehari-hari. Keluarga yang menyenangkan, dengan istri yang ramah seperti suaminya. Anak-anaknya sedang bersiap berangkat ke sekolah. Sarapan dipesan di warung sebelah, nasi gurih khas Aceh dengan lauk kari bebek. Sambil menunggu pesanan datang, saya dan Han bergantian mandi, dengan air sedingin es. Bang Don menolak mandi, hanya cuci muka saja.
Sambil menikmati sarapan, istri Bang Hasbi terus bercerita mengenai berita di televisi tentang korban yang semakin meningkat. Berita pagi ini korban sudah mencapai puluhan ribu dan diperkirakan akan terus bertambah. Calang sudah dijangkau dengan kapal laut, dan kapal perang RI merupakan yang pertama berlabuh. Tidak banyak yang tersisa di Calang, semua bangunan rata dengan tanah, hanya menyisakan lantai dan fondasi-fondasi yang menyiratkan bahwa dulu pernah ada bangunan di sini.
Anak Bang Hasbi masuk dan memberikan saya nomor telepon selular yang saya pesan. Kartu Halo dari Telkomsel tidak akan berguna di sana nantinya. Sinyalnya akan hilang begitu kami meninggalkan kota Takengon. Jaringan kartu Mentari lebih luas, kata Bang Hasbi. Di gunung ataupun tempat lainnya selama perjalanan, bahkan di Meulabohpun sinyalnya tetap ada dan kuat.
Selasa, 4 Januari 2005. Jam enam pagi tadi kami sampai di Takengon yang dingin. Tidak ada jaket yang kami bawa, jadi saya berusaha menghangatkan badan dengan sepotong pakaian tambahan, usaha sia-sia untuk melawan dingin. Bang Hasbi, kawan Han sudah menunggu kami di terminal dengan jaket tebalnya. Orang yang menyenangkan, dengan wajah riang dan bahan pembicaraan yang seakan tak pernah habis. Kami menuju warung kopi, dimana segelas kopi panas atau teh manis hangat akan sangat membantu.
Mobih yang dipesan Han sudah disiapkan, kata Bang Hasbi. Sebuah pickup tua, merek Chevrolet, jenis LUV dengan mesin Isuzu yang tangguh. Bang Hasbi meyakinkan kami bahwa pickup tua tersebut dengan supirnya Bang Mukhtar sama-sama tangguh untuk melintas pegunungan menuju ke Meulaboh. Kalau tidak hujan, perlu sekitar sepuluh jam untuk sampai ke Meulaboh. Setelah menghabiskan segelas minuman hangat dan penganan kecil, kami berjalan kaki menuju rumah keluarga Bang Hasbi, yang sekaligus merupakan toko tempat dia menjalankan usaha dagangnya sehari-hari. Keluarga yang menyenangkan, dengan istri yang ramah seperti suaminya. Anak-anaknya sedang bersiap berangkat ke sekolah. Sarapan dipesan di warung sebelah, nasi gurih khas Aceh dengan lauk kari bebek. Sambil menunggu pesanan datang, saya dan Han bergantian mandi, dengan air sedingin es. Bang Don menolak mandi, hanya cuci muka saja.
Sambil menikmati sarapan, istri Bang Hasbi terus bercerita mengenai berita di televisi tentang korban yang semakin meningkat. Berita pagi ini korban sudah mencapai puluhan ribu dan diperkirakan akan terus bertambah. Calang sudah dijangkau dengan kapal laut, dan kapal perang RI merupakan yang pertama berlabuh. Tidak banyak yang tersisa di Calang, semua bangunan rata dengan tanah, hanya menyisakan lantai dan fondasi-fondasi yang menyiratkan bahwa dulu pernah ada bangunan di sini.
Anak Bang Hasbi masuk dan memberikan saya nomor telepon selular yang saya pesan. Kartu Halo dari Telkomsel tidak akan berguna di sana nantinya. Sinyalnya akan hilang begitu kami meninggalkan kota Takengon. Jaringan kartu Mentari lebih luas, kata Bang Hasbi. Di gunung ataupun tempat lainnya selama perjalanan, bahkan di Meulabohpun sinyalnya tetap ada dan kuat.
Kenderaan yang akan membawa kami ke Meulaboh sudah menunggu di jalan di depan rumah toko keluarga Bang Hasbi. Sebuah pickup yang lebih tua daripada yang kami bayangkan, walaupun nampaknya masih cukup kuat. Mesinnya menderum halus seperti kenderaan yang lebih baru. Supirnya, Bang Mukhtar, bersosok tinggi besar dengan kumis dan cambang yang menyeramkan, apalagi dengan rambut gondrongnya yang nampak semrawut. Orangnya sangat ramah ternyata, dengan suara yang lembut menenangkan, kontradiktif dengan penampilannya. Dia minta maaf karena telah membuat kami menunggu, karena harus menjemput solar tambahan. Ada tiga jerigen di bak belakang kenderaan, masing-masing berisi dua puluh lima liter solar, yang akan mencukupi untuk perjalanan pulang pergi ke Meulaboh dari Takengon. Bahan bakar adalah barang langka di kebanyakan daerah di Aceh sehabis tsunami. SPBU banyak yang hancur, dan depot supplai wilayah Aceh yang ada di Krueng Raya dan di Meulaboh hancur tak bersisa. Harga minyak menggila, solar bisa mencapai sepuluh ribu rupiah per liter. Bensin lebih parah lagi, pada saat-saat paling sulit harganya mencapai dua puluh ribu rupiah per liter. Di Takengon, harga bahan bakar tidak terpengaruh.
Beberapa peti kayu berisi cabe dan tomat matang yang segar nampak juga termuat di bak belakang pickup. “Untuk membuat kenderaan lebih berat supaya tidak melintir di jalan tanah,” kata Bang Mukhtar menjelaskan. Harga tomat dan cabe juga menggila di daerah-daerah yang terkena bencana. Beberapa peti tomat dan cabe jelas akan memberikan untung yang lumayan bagi yang membawanya. Tempat kami sudah disiapkan di bak belakang. Anak Bang Hasbi meletakkan beberapa lembar kardus supaya tempatnya lebih empuk. Saya dan Bang Don akan mengambil tempat di belakang selama perjalanan, sementara Han akan berada di kabin depan. Hanya kami berempat yang akan menempuh perjalanan ini. Saya, Han, Bang Don dan Bang Mukhtar.
Dibalik keramahan dan keriangannya, Bang Mukhtar ternyata sama seperti kami dan mungkin ribuan keluarga Aceh lainnya, menyimpan duka yang tersembunyi. Istrinya yang berada di Meulaboh, tepatnya di daerah Ujong Kalak dan sedang hamil tua belum diketahui nasibnya. Daerah Ujong Kalak merupakan suatu lokasi padat penduduk di Meulaboh, dengan rumah-rumah berdesakan di lokasi yang dipisahkan oleh sungai dengan kota Meulaboh. Lokasinya menjorok ke laut. Kami hanya bisa membayangkan kondisi Ujong Kalak sekarang ini dari berita-berita di televisi yang menayangkan kondisi Meulaboh.
Bekal kami naikkan ke atas pickup. Roti-roti kering, air minum dalam botol besar dan kecil, makanan-makanan ringan. Ketidakpastian daerah yang akan kami jalani membuat kami melakukan persiapan-persiapan. Tas saya diletakkan di kabin depan, berjaga-jaga seandainya akan hujan. Dua orang pengendara sepeda motor berhenti disamping kenderaan kami. Mereka terbungkus jaket tebal, tas-tas mereka diletakkan di bagian depan sepeda motor. Dua buah jerigen masing-masing berisi bensin lima liter tergantung disisi belakang sepeda motor mereka. Mereka ingin berkendara beriringan dengan kami selama perjalanan ke Meulaboh. Tidak ada masalah. Semakin banyak orang semakin mudah jika ada permasalahan di jalan nanti.
Informasi yang kami terima lewat keponakan yang tinggal di Sawangbunga – Aceh Selatan, cukup jelas. Hari Minggu tanggal 26 Desember 2004 Nong dan keluarganya sedang berada di Meulaboh untuk melepas mertuanya pergi naik haji. Dirumah tersebut akan mengadakan kenduri keberangkatan padi hari itu. Lima orang belum diketahui nasibnya. Nong dan kedua anaknya, Fabio dan Firlo, yang masing-masing berusia 4 dan 1.5 tahun. Mertuanya yang perempuan dan istri adik iparnya juga belum ditemukan. Suami Nong selamat, begitu juga dengan mertuanya yang laki-laki. Mereka semua sedang berada di Meulaboh sekarang ini, berusaha mencari semua keluarga, selamat atau tidak. Info ini kami terima sekembali dari Banda Aceh Kamis lalu. Sejenak kami – saya, Han dan Faisal – berusaha mencerna informasi yang kami dengar. Keputusan diambil. Ummi tidak akan kami beritahu sampai kami menemukan kabar yang pasti, karena kami khawatir keadaannya akan menjadi lebih buruk. Kami akan berangkat ke Meulaboh lewat Takengon. Han akan mengatur segala yang diperlukan melalui kawannya di Takengon. Dia akan ke Medan malam ini, saya dan Bang Don akan menyusul besok bagi. Faisal akan tinggal di kampung, menunggu kabar dari kami. Perjalanan ke Medan dengan menggunakan bus merupakan penderitaan selama hampir dua belas jam. Bus penuh sesak sejak meninggalkan Banda Aceh, dan hanya menyisakan tempat berdiri bagi kami. Perjalanan lama dan melelahkan. Jalanan ramai. Jam tujuh malam kami sampai ke Medan, menginap di rumah Han. Bus sudah dipesan Han dan kami akan berangkat ke Takengon besok malam. Paginya kami berangkat mengunjungi sepupu yang rumahnya kena hantaman tsunami juga di daerah Blower, Banda Aceh. Pertemuan yang mengharukan, diisi dengan tangis dan air mata. Dari tempat tersebut kami menuju ke rumah sakit Gleneagles, dimana seorang keponakan sedang dirawat. Kakinya patah saat tsunami terjadi. Dari seluruh keluarganya, hanya dia dan dua saudaranya yang selamat. Ibunya – sepupu kami - dan bapaknya serta saudara-saudaranya yang lain, tidak diketahui nasibnya. Tempat tinggal mereka didaerah Kaju, Banda Aceh, tak tersisa. Lebih banyak lagi tangisan dan air mata di sini, terlebih karena kedatangan saudara-saudara lain yang juga berkunjung. Bisa diperkirakan, seluruh keluarga di Aceh, baik langsung atau tidak langsung, mengetahuinya atau tidak, kehilangan sanak familinya dalam musibah tsunami ini. Ribuan mayat yang kondisinya sudah berubah dan tidak diketahui identitasnya, dikumpulkan di Lam Baro, menunggu pemakaman di kuburan massal. Hanya doa yang bisa kami kirimkan untuk mereka, saudara-saudara kami dan juga orang Aceh lainnya… Tangisan dan air mata tidak akan merubah apapun, hanya sekedar peringan beban bagi mereka yang kehilangan …
Kami bersalaman dengan keluarga Bang Hasbi dan naik ke kenderaan. Jam menunjukkan pukul 10:45 sekarang. Lambaian tangan mengiringi keberangkatan kami. Pengendara sepeda motor yang rencananya akan beriringan dengan kami berada di belakang kami, lampu sepeda motornya menyala. Udara segar dan sejuk. Sinar matahari terasa hangat di kulit, bergantian dengan udara dingin pegunungan yang menyengat. Langit biru cerah, dengan sedikit awan. Kabut mulai terusir pergi oleh cahaya matahari. Jalanan tidak terlalu ramai, orang-orang bergerak dengan santai. Tidak ada yang diburu di sini, jarum waktu bergerak dengan lambat. Tempat yang menyenangkan. Disebekah kiri kami, danau Laut Tawar dengan airnya yang memantulkan birunya langit nampak tenang tanpa ombak. Dalam waktu sekitar satu jam, jalan aspal mulus berganti dengan aspal tipis berlubang-lubang, sebelum akhirnya menjadi tanah merah yang dipadatkan. Jalanan ini sekarang sedang dalam tahap pengerjaan, dengan nama Ladia Galaska, yang akan menembus pegunungan menuju Simpang Empat Jeuram dan akhirnya ke Meulaboh. Sama seperti jalan lintas Geumpang yang membuka isolasi daerah antara Pidie dan Aceh Barat, jalan ini juga akan menghubungkan Aceh Tengah dengan Aceh Barat. Orang-orang dalam perjalanan dari Medan akan punya beberapa pilihan untuk menuju Meulaboh: melewati Sidikalang dan Tapak Tuan, melewati Takengon, melewati Beureunuen – Geumpang, atau melewati Banda Aceh. Semuanya menawarkan eksotisme tersendiri yang khas dan unik, dengan pemandangan yang menawan sepanjang perjalanan.
Jalan yang nampaknya belum lama diratakan membelah gunung yang menjulang di sebelah kiiri kami. Jurang menganga dalam disebelah kanan. Proyek ini terus dikerjakan, walaupun konflik berdarah terus mengancam, dan memasuki jeda saat ini dikarenakan bencana tsunami yang melanda. Dahsyatnya bencana dan akibat yang ditimbulkan membuat pihak-pihak yang bertikai saling menahan diri, dan lebih memusatkan perhatian pada korban bencana. Pos-pos militer yang kami lewati hanya menanyakan tujuan kami. Tidak ada pemeriksaan ketat, seperti yang kami khawatirkan. Kadangkala mereka minta beberapa tomat dan cabe, yang dengan senang hati kami berikan. Dua pengendara motor dengan setia membuntuti kami, kadangkala debu menyelimuti mereka. Perjalanan berlangsung lancar sampai saat ini.
Kami mulai mendaki Gunung Kala. Jalanan menjadi lebih sempit sekarang. Dengan rasa percaya diri yang besar, Bang Mukhtar menjalankan kenderaan dengan hati-hati. Di berapa tempat, jalan berlumpur bekas hujan, dan kami bisa melewatinya dengan mudah. Dua mobil Kijang parkir di pinggir jalan di depan kami, kapnya terbuka. Mogok. Penumpangnya, semuanya laki-laki, berkumpul di pinggir jalan dengan wajah yang cemas. Mereka memang layak cemas, mogok di tengah belantara di pegunungan di daerah yang dilanda konflik bersenjata. Beberapa orang mengerumuni kap mesin, orang lainnya berada di kolong mobil yang satunya. Kami berhenti, dan Han mendekati mereka. Sama seperti kami, mereka juga berasal dari Medan menuju ke Meulaboh. Kenderaan yang mereka bawa merupakan mobil rental dari Medan, yang nampaknya kurang siap untuk dibawa ke medan berat seperti ini. Setelah berbasa basi sejenak, kami meneruskan perjalanan.
Pada sebuah penurunan curam dengan tikungan tajam, beberapa orang berdiri disamping. tumpukan air minum dalam kemasan yang berserakan dekat mereka. Kotak-kota berisi mi instan juga ditumpukkan secara serampangan. Mereka melambai dan kami berhenti. ”Ini tolong dibagikan ke siapa saja yang memerlukan,” kata salah satu dari mereka. Kotak-kotak berisi air minum dan makanan dinaikkan ke bak pikup. Ternyata sebuah kecelakaan mengerikan telah terjadi disini beberapa hari yang lalu: sebuah truk penuh dengan muatan untuk bantuan kemanusiaan yang akan dikirimkan ke Meulaboh tidak dapat dikendalikan oleh supirnya dan jatuh kejurang. Secara ajaib penumpangnya selamat, sementara supirnya meninggal dunia di tempat. Jurang tersebut sangat dalam, truk tersebut nampak kecil sekali di dasar jurang. Muatan truk tersebut dinaikkan sedapatnya oleh awak truk lain yang ikut dalam rombongan tersebut. Karena tidak muat lagi dalam truk lainnya, muatannya dibagikan ke para pelintas dan orang-orang yang memerlukan.
Pada suatu jalanan menurun yang licin, sebuah kenderaan yang berpapasan dengan kami tidak mau memperlambat jalannya. Bang Mukhtar berusaha sia-sia untuk mengerem, tetapi kenderaan terus meluncur lurus dengan ban yang tidak lagi terputar. Jurang menganga di sebelah kanan kami – untung sekali bukan sisi yang harus kami lewati. Melewati kenderaan tadi, hanya berjarak beberapa sentimeter, dengan wajah seram Bang Mukhtar menggeram, “Harusnya kau lebih toleran dengan membiarkan kami lewat dulu. Tidakkah kau lihat kami dalam kesulitan?” Setelah kejadian itu, kami lebih memilih turun dan berjalan kaki pada saat ada pendakian dan penurunan curam. Han dengan badan gemuknya tidak menunjukkan kesulitan apa-apa menempuh beberapa ratus meter jalan mendaki terjal. Bagi saya dan Bang Don, belum merupakan masalah.
Makan siang di Beutong Ateueh kami lakukan di bawah jembatan. Nasi bungkus kami beli disebuah warung dadakan di samping pos TNI. Pelintas ramai melewati daerah ini. Puluhan pos TNI yang kami lewati dari Takengon sampai ke Beutong Ateueh menunjukkan suasana damai yang masih jauh. Moncong senapan mesin yang diarahkan ke jalan menimbulkan kengerian. Pemeriksaan KTP di pos-pos tertentu menghabiskan waktu dan banyak pertanyaan yang harus di jawab, terlebih karena saya memakai KTP Riau dan Han memakai KTP Medan.
Air sungai mengalir deras melewati batu-batu besar di bawah jembatan memberi suasana sejuk saat kami makan. Sebungkus nasi dengan lauk ala kadarnya mengisi perut kami yang lapar. Tomat segar yang kami makan sepanjang perjalanan tidak mampu menghilangkan lapar kami. Hari memang sudah melewati jam dua siang.
Di Beutong Ateueh inilah, 23 Juli 1999 lalu, Teungku Bantakiah dan puluhan santrinya tewas secara mengenaskan di moncong senapan TNI. Warga setempat yang saya temui bercerita dengan berbisik-bisik: mayat-mayat mereka yang tewas dan mereka yang luka-luka dinaikkan ke truk tentara dan dibawa entah kemana. Tidak ada yang kembali. Pesantren mereka terletak di atas bukit, beberapa ratus meter dari jembatan. Suasana Beutong Ateueh saat ini ramai oleh lalu lintas dan orang-orang yang ingin beristirahat. Mesjid kecil penuh dengan orang-orang yang sedang shalat. Ada juga yang mandi di sungai, menikmati air yang sejuk dan jernih. Air sungai yang mengalir deras tidak megurangi minat mereka untuk mandi.
Selesai shalat kami melanjutkan perjalanan kembali. Kenderaan dipacu dengan lebih kencang, karena sekarang jalan aspal mulus membentang, walaupun jalannya tidak lebar.
Lepas dari Beutong Ateueh, perjalanan semakin berat. Jalan berupa kubangan berisi air dan lumpur, yang harus dilewati dengan hati-hati. Dua kami kami terjebak lumpur dan nyaris tidak bisa keluar. Penumpang kenderaan lain dari arah yang berlawanan turun dan membantu kami mendorong kenderaan keluar dari kubangan lumpur. Kemudian, secara berangsur jalan mulai membaik, menjadi tanah keras yang berbatu. Menuruni lereng gunung yang landai, jalan beraspal mulus membuat kenderaan bisa dipacu lebih kencang, walaupun suasana ramai. Cuaca mulai mendung. Langit semakin menggelap, disusul kemudian dengan hujan yang mulai turun. Sejenak kemudian hujan turun seperti dicurahkan dari langit. Sepotong plastik yang kami gunakan sebagai atap berkibar-kibar tertiup angin. Karena kenderaan terus melaju, kami terlindung dari air hujan. Beberapa kali kami dihentikan oleh TNI di pos-pos pemeriksaan.
Menjelang magrib kami sampai ke Ujong Jalan (Simpang Beutong). Banyak mobil parkir di depan puskesmas. Seorang lelaki dengan menggunakan mantel hujan melambai meminta kami berhenti. “Istirahat dulu”, katanya. Tenda dengan kursi-kursi dipenuhi oleh orang-orang, laki-laki dan perempuan. Mereka sedang makan nasi bungkus. Kami turun dan berlari menuju tenda untuk berteduh.
Kerena jalan lintas barat dari Banda Aceh menuju Meulaboh hancur total dan tidak bisa dilewati sama sekali, pilihan ke Meulaboh hanya menyisakan tiga jalur: lewat Geumpang yang juga rusak parah, lewat Medan yang bisa memakan waktu berhari-hari, atau lewat Takengon yang walaupun kondisi jalannya rusak tetapi masih bisa dilewati. Banyak pelintas yang melewati jalur ini. Warga Simpang Beutong mengambil insiatif untuk menutup semua warung makan yang ada, dan membuka dapur umum yang menyediakan makan minum kepada para pelintas secara gratis. Tempat beristirahatpun mereka sediakan, tikar untuk tempat berbaring ala kadarnya di Puskesmas dan di Meunasah yang berdekatan. “Hanya ini yang bisa kami lakukan untuk membantu” kata seorang warga yang saya temui. Pelintas-pelintas dari dan ke Meulaboh berdatangan tidak putus-putusnya dengan sepeda motor, mobil, pikup dan truk. Semua mereka dipersilahkan untuk makan dan minum. Nasi bungkus datang dalam baskom-baskom besar. Baskom-baskom lainnya berisi kopi dan teh manis dalam kantong plastik. Kami memutuskan untuk bermalam di situ sambil mengumpulkan informasi jalan ke Meulaboh.Sambil menghirup kopi panas, seorang bapak bercerita. “Meulaboh sudah binasa. Jalan ke sana masih tertutup sampah sampai tadi pagi. Mobil masih belum bisa lewat. Meureubo hancur total. Tumpukan lumpur dan sampah setinggi pohon kelapa menghalangi jalan di Meureubo.” Tetapi harapan selalu ada, “Beberapa alat berat sedang membersihkan jalan tersebut tadi siang” seorang lelaki menambahkan,”Mungkin besok sudah bisa lewat”. Rasa pesimis juga membayang, “kalian harus bawa bahan bakar dari sini. Bensin berharga Rp. 25.000 seliter di sana”. Kami menggunakan kenderaan bermesin diesel, jadi masalah kami lebih kecil. Kami menginap di Puskesmas ini malam ini. Tidur berdesakan di atas tikar yang dibentangkan di atas lantai. Suasana di dalam puskesmas gelap gulita karena listrik mati. Tidak ada penerangan. Di luar, suasana terang karena api unggun dan beberapa lampu petromaks yang terus menyala. Orang-orang terus berdatangan dari arah Takengon dan Meulaboh. Rata-rata mereka – seperti kami – memilih untuk beristirahat sejenak disini, sekedar melepas lelah dan mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan menuju tujuan masing-masing esok harinya.
Pagi-pagi selesai salat subuh saya dan Bang Don berjalan-jalan sekeliling. Lingkungan ini merupakan lingkungan pertanian, tanah sawah terbentang luas dengan padi yang sedang menguning sebagian. Rumah-rumah beton menunjukkan kemakmuran pemiliknya. Kondisi rumah rata-rata rusak, retak bahkan ada yang miring disebabkan gempa dahsyat kemarin dulu. Irigasi tertata dengan baik. Gubuk-gubuk kecil yang terketak di atas parit yang airnya mengalir deras ternyata toilet. Kami minta izin untuk menggunakan WC cempung tersebut di depan sebuah rumah. Sebuah bendungan besar mengalirkan air ke sungai-sungai yang lebih kecil, untuk diteruskan ke parit-parit kecil yang berakhir di sawah-sawah. Penduduk setempat ramah-ramah. Kami ditawari untuk sarapan di salah satu rumah.
Sekitar jam setengah sembilan pagi kami melanjutkan perjalanan kembali. Sawah menghijau di kiri kanan kami, dibelah oleh jalan aspal yang walaupun sempit namun mulus dan terawat baik. Rumah-rumah di pinggir jalan berada dalam kondisi rusak karena gempa. Kebanyakan rumah disini tidak menggunakan batu bata untuk dinding, melainkan dicor.
Lima belas menit kemudian kami sampai di Jeuram .Kami berhenti sebentar. Para pedagang langsung mendekati kenderaan kami. Tomat yang dibawa Bang Mukhtar berpindah tangan dengan harga yang bagus. “Lumayan untuk ongkos di jalan,” kata Bang Mukhtar. Kami membeli makanan kecil tambahan untuk di jalan.
Melewati Jeuram, kami melewati jalan yang berdekatan dengan pinggir pantai. Laut nampak jelas, tenang membiru, dengan riak-riak kecil yang menghantam pantai. Semuanya damai. Tidak ada bekas keganasan beberapa hari yang lalu. Sekitar wilayah ini memang belum ada kerusakan yang berarti. Mulai dari Alue Bili, bekas kerusakan karena tsunami mulai nampak. Pantai yang kerontang dan bersih, tanaman yang tercabut, sampah-sampah yang menumpuk di kiri kanan jalan, bekas dibersihkan sekedar untuk membolehkan kenderaan bisa melewati jalan. Hutan karet yang mulai meranggas di sebelah kanan kami, hangus oleh air laut yang melanda. Mesjid di Gunong Kleng yang berantakan, dengan kubah yang pindah ke bawah. Mesjidnya sendiri masih tegak dengan perkasa, penuh dengan sampah yang menggunung. Dan di depan kami, penjara yang dulunya megah, sekarang runtuh. Total. Hanya sebuah menara sudut yang masih tegak, sisa-sisa kemegahan yang tidak sanggup menahan amukan gelombang laut yang murka. Jalanan retak menganga, membuat kenderaan yang melintas harus minggir jauh dari badan jalan. Dua orang bapak dan seorang ibu-ibu menyetop kenderaan kami. Mereka ingin menumpang ke Meulaboh. Salah seorang dari mereka bercerita, dia ingin menjemput sepeda motornya di Meulaboh, tetapi tidak boleh keluar kota Meulaboh karena tidak ada surat keterangan dari RT. Sekaranng surat tersebut sudah ada – dia harus mencari RT ke Gunong Kleng – dan berharap hari ini motornya bisa dibawa dari Meulaboh.
Dan inilah Meureubo. Kami sampai di sini sekitar jam sepuluh pagi. Kedai-kedai kayu di pinggir jalan masih tegak, doyong menunggu runtuh. Atapnya entah kemana. Di belakang kedai laut nampak jelas. Rumah-rumah tinggal lantai dan sumur cincin yang menonjol di permukaan tanah. Tumpukan sampah kayu yang masih basah menggunung, dengan tinggi yang nyaris mencapai atap. Sebuah eksavator masih terus bekerja, menyingkirkan sampah dari badan jalan. Kenderaan antri untuk bisa lewat, diantur oleh tentara berseragam dan bersenjata lengkap. Orang-orang lalu lalang, menyeruak diantara tumpukan sampah. Meja-meja kecil di pinggir jalan menjual rokok dan air minum dalam kemasan. Asap mengepul dari sampah basah yang dibakar. Semuanya nampak kusam dan kelabu, sekelabu wajah orang-orang yang melintas. Sebelah kanan kami, dinding sebuah kantor polisi hilang semuanya, tinggal tiang sudut dan atapnya. Beberapa kenderaan polisi diparkir di sebelahnya, compang camping dan berantakan.
Antara Meurebo dan Meulaboh dipisahkan oleh Krueng Meureubo, yang dihubungkan oleh Jeumbatan Besi. Jembatan ini selamat dari amukan gelombang, walaupun pagar teralinya compang camping dan berlepasan dilanda sampah. Jarak dari jembatan ini ke laut kurang dari satu kilometer. Laut nampak jelas saat kami melintasi jempatan, indah membiru. Orang-orang semakin ramai, kenderaan-kenderaan melaju. Polisi dan tentara berjaga di setiap tempat. Orang-orang yang keluar dari kota Meulaboh dan membawa barang diperiksa dan surat-suratnya ditanyai. Jangan berharap bisa membawa sesuatu keluar dari kota tanpa surat pengantar dari pejabat yang berwewenang.
Di simpang empat Rundeng kami berbelok ke kanan, masuk ke Jalan Imam Bonjol, menuju ke kantor Bupati, yang merupakan salah satu titik pengungsian. Jalan ini merupakan pemisah saat terjadi bencana tanggal 24 Desember lalu. Air hanya mencapai batas jalan ini dan tidak pernah menyeberang. Semua yang terletak di seberang jalan tidak terjamah dan tinggal kering.
Kantor Bupati penuh sesak oleh pengungsi. Nyaris semua tempat ditempati oleh orang-orang. Tenda-tenda memenuhi halaman depan dan belakang. Wartawan, tentara asing, relawan, dan juga orang-orang yang mencari sanak saudaranya lalu lalang. Kami mencari tahu dimana pengungsi dari daerah Suak Ribee ditempatkan. “Coba cari ke SMA Cut Nyak Dien”, kata seorang di pos informasi. SMA Cut Nyak Dien terletak di Jalan Imam Bonjol juga, di simpang ke Manek Roo kalau kekiri, dan ke Tutut kalau ke kanan. Jaraknya sekitar 10 menit berjalan kaki.
Suasana di SMA Cut Nyak Dien juga tidak kalah ramainya dengan kantor Bupati, hanya saja tidak ada tenda di sini. Seluruh ruang kelas berubah fungsi menjadi tempat tinggal sementara para pengungsi. Sebuah ruang kelas difungsikan menjadi pos kesehatan, dan saat itu sedang ramai oleh orang-orang yang memerlukan parawatan medis. Dokternya terdiri dari berbagai bangsa, saat saat kami ke sana beberapa dokter asing sedang bertugas. Anak-anak bermain di halaman sekolah, seolah sudah melupakan bencana yang baru berlalu. Seorang ibu sedang memasak di dapur darurat yang dibuat dari beberapa potongan batu bata. Seorang petugas berteriak keras memanggil nama-nama untuk mendapatkan bahan makanan hari ini. Pembagian bahan kebutuhan pokok sedang dilakukan. Berkarung-karung beras diletakkan di bawah pohon beringin, kardus-kardus mi instan di sebelahnya. Orang-orang berdatangan, dan proses pembagian tidak berlangsung lama.
Sanitasi nyaris tidak ada di sini. Kotoran terapung di parit yang sumbat oleh berbagai macan sampah. WCnya jorok dan sepertinya sumbat juga. Air untuk kebutuhan para pengungsi ditempatkan dekat dapur umum dalam sebuah tangki berwarna biru. Berbagai macam sampah berserakan, dan saat itu sedang disapu oleh beberapa orang relawan berseragam. Wartawan foto mengambil gambar-gambar dari berbagai kegiatan, dan di dekat gerbang, tim peliput dari sebuah stasiun TV luar sedang bekerja. Dari logo dan bendera yang ada di seragam mereka bisa diketahui mereka berasal dari Jepang.
Orang yang kami cari tidak ada di sini. Dari informasi yang kami peroleh dari Kepala Lorong Suak Ribee yang kami temui di sini, suami Nong dan bapaknya pulang ke Sawangbunga, Kecamatan Samadua, Aceh Selatan. Pencarian sia-sia selama beberapa hari tidak membuahkan hasil. Orang-orang yang hilang sewaktu tsunami tidak bisa ditemukan. Kemungkinan mereka baru akan balik ke Meulaboh besok pagi. Kami meninggalkan pesan untuk keluarga Nong dan keluarga Bang Aiyub untuk menunggu kami di sini saat mereka kembali.
Setelah berunding sebentar, kami memutuskan untuk berangkat ke Sawangbunga, yang berjarak sekitar duaratusan kilometer ke arah Tapaktuan dari Meulaboh. Sebelumnya kami akan ke Suak Ribee dulu, ingin menengok secara langsung rumah mertua Nong. Lagipula di sana ada sepupu kami yang lain, abang dari Bang Don. Jalan ke Suak Ribee melalui Kuta Padang tidak bisa dilalui, karena jembatan sudah putus. Ke sana mungkin bisa melalui Seueneuebok, begitu informasi yang kami peroleh. Di jalan kami meminta Muhajir, seorang pemuda tanggung warga Seuneubok untuk ikut kami, untuk menjadi penunjuk jalan.
Suak Ribee merupakan salah satu wilayah terparah pada saat tsunami lalu. Berjarak hanya beberapa ratus meter dari pinggir laut, gelombang tsunami menghantam dengan dahsyat, merusak rumah-rumah yang berdekatan dengan pinggir laut, mencabut pepohonan, mengumpulkan sampah dan mendorongnya ke arah kota untuk menciptakan kerusakan yang lebih parah. Tiang-tiang listrik bertumbangan menghalangi jalan. Kenderaan tidak bisa melintas dan kami harus berjalan kaki. Berbagai jenis sampah menggunung, kebanyakan kayu bekas bangunan. Alat-alat rumah tangga berserakan. Mobil-mobil dalam berbagai kondisi kerusakan terserak di mana-mana, ada yang terbalik dengan roda ke atas. Di dalam sebuah rumah sebuah sedan menerobos dinding, meninggalkan lubang menganga besar dan berhenti di ruang tamu. Rumah-rumah compang camping, rusak parah dalam berbagai kondisi. Sebagian besar dindingnya hilang, ada yang runtuh total meninggalkan fondasi dan lantai serta sisa-sisa tembok dinding yang cukup kuat untuk bertahan. Daerah ini nampaknya merupakan salah satu wilayah elit Meulaboh dulu, berdasarkan rumah-rumah yang masih menyisakan kemegahan dan kemewahan. Kebanyakan rumah bertingkat mampu bertahan tidak sampai rubuh total, namun rata-rata mengalami kerusakan yang parah.
Rusak ...
Di depan rumah mertua Nong kami berhenti. Nyaris hancur total, rumah ini hanya menyisakan dinding-dinding yang menunggu roboh. Sebuah kamar di tingkat dua masih cukup baik kondisinya. Tembok dinding rumah berserakan dihempas air sampai berjarak lima puluh meter dari rumah tersebut. Antena parabola masih tegak di atas atap teras yang tidak runtuh, terayun pelan oleh tiupan angin. Mobil keluarga Nong dihanyutkan air dan tercampak di sawah-sawah yang berjarak seratus meter dari rumah. Kondisinya rusak parah, dengat atap penyok dan kaca depan hilang.
Rumah Bang Ayub – sepupu kami, abang Bang Don – yang terletak di ujung jalan ini, nasibnya tidak jauh berbeda. Dinding depan rumah hilang, meninggalkan lubang menganga penuh berisi sampah. Atapnya utuh, begitu juga dengan dinding samping dan dinding belakang. Bang Ayub tidak ada di Meulaboh saat ini, sedang mengungsi ke daerah Blang Pidie, ke tempat mertua anak perempuannya, kata Surya, anak Bang Ayub yang sedang membersihkan rumah pada saat kami sampai. Mukti, anak perempuan Bang Ayub yang baru melahirkan hilang beserta bayinya dan tidak pernah ditemukan.
Mobil Nong
Tidak lama kami di Suak Ribee. Setelah berkeliling sebentar, kami pamit dari Surya. Penunjuk jalan kami tidak mau kembali, dia mau tinggal sebentar di sana, katanya. Di depan Rumah Sakit Umum - simpang Jl Manek Roo, kami berhenti untuk makan siang di depan sebuah warung yang buka. Pengunjung ramai, dan disuruh mengambil nasi sendiri. Pemilik warung, seorang perempuan tua berwajah ramah walaupun nampak letih – melayani kami dalam ketergesaan dikarenakan ramainya pengunjung. Lauknya telor asin yang dibagi dua, sebuah kemewahan saat ini untuk mengisi perut lapar. Saat saya ingin menambah lauk, sepotong ikan goreng, “Tidak boleh. Nanti yang lain tidak kebagian”, kata ibu tua itu dengan serius. Ketika saya ingin protes, ia menambahkan, “Saya tahu anak akan bayar. Tetapi yang lain memerlukan makanan juga, walaupun sekedarnya”. Saya mundur dengan kagum. Harga makanannyapun wajar, tidak menganiaya pengunjung.
Sehabis makan, dan sedang duduk-duduk di pintu masuk SMA Cut Nyak Dien, secara kebetulan Bang Mukhtar berjumpa dengan mertuanya yang sedang lewat. Istrinya selamat, dan melahirkan pas berhasil mengindari amukan air tsunami. Sekarang mereka berada di rumah mertuanya di Alue Kuyuen, sekitar satu jam perjalanan ke arah Tutut.
Sekitar jam enam sore kami melanjutkan perjalanan menuju Tapaktuan. Di Jembatan Besi kembali kami dihentikan oleh polisi, yang hendak memeriksa barang bawaan kami. Tidak ada apa-apa dalam pikap, jadi kami dipersilahkan meneruskan perjalanan. Kami berharap akan sampai di Tapaktuan selepas magrib jika tidak ada kendala yang berarti di jalan. Namun perjalanan sangat lamban. Selepas dari Simpang Empat Jeuram, perjalanan harus dilakukan dengan hati-hati, karena kondisi sajan yang rusak karena gempa. Di beberapa tempat jalan terbelah menganga, dengan badan jalan yang turun. Kadang kami juga menemui badan jalan yang hilang sebagian karena longsor, dan sedang ditimbun dengan alat-alat berat.
Menjelang malam, hujan yang turun dengan lebat membuat perjalanan kami semakin lambat. Laut yang berombak berada di sebelah kanan jalan. Tidak ada bekas-bekas kerusakan karena tsunami di daerah ini. Selepas isya, kami berhenti untuk makan di sebuah rumah makan kecil di daerah Blang Pidie. Menu utamanya adalah ikan lele yang dimasak asam pedas. Semua makan dengan lahap dalam penerangan lampu petromaks. Listik mati semenjak gempa dan belum hidup sampai sekarang. Diluar, hujan masih turun dengan derasnya. Suasana gelap gulita. Tidak nampak cahaya dari rumah-rumah penduduk.
Memasuki kota Blang Pidie, hujan berhenti. Jalanan mulus membuat kenderaan bisa dipacu lebih cepat. Sepanjang jalan dari Blang Pidie, pos-pos ronda dipenuhi oleh para peronda, suatu kewajiban bagi para penduduk untuk ikut menjaga keamanan dalam masa konflik ini. Kadang-kadang kami dihentikan, kepala-kepala menjulur ke dalam terpal plastik untuk memeriksa muatan kenderaan. Hanya pencari keluarga yang ditimpa musibah, Bang Mukhtar menjelaskan dalam bahasa Aceh dengan logat setempat. Mereka menanyakan tujuan kami dan berpesan supaya berhati-hati di perjalanan.
Kami melewati Sawangbunga dalam kegelapan. Suasana sepi dan mencekap dalam kegelapan. Nampaknya tidak memungkinkan untuk berhenti di sini. Jadi diputuskan untuk meneruskan perjalanan ke Tapaktuan dan mencari penginapan di sana. Penginapan Rahmat, milik keluarga suami Nong, dengan alamat yang sudah dicatat dari keluarga di Medan. Tidak sudah untuk mencarinya, katanya. Nyatanya, kami berputar-putar di kota Tapaktuan pada tengah malam untuk mencari penginapan tersebut. Saat kami memutuskan untuk mencari penginapan lain, tiba-tiba saya kami melihat plang nama penginapan Rahmat di sebelah kiri jalan. Kami memarkir kenderaan dan masuk ke lobi. Sebuah kepala dengan wajah mengantuk milik seorang pemuda tanggung muncul, dan kami menanyakan kamar untuk kami pakai menginap. Saya dan Bang Don menempati sebuah kamar, sementara Han dan Bang Mukhtar menempati kamar yang lainnya. Kotor dan kumal oleh debu dan air hujan, saya memutuskan untuk mandi, sementara Bang Don memilih langsung untuk tidur. Air berwarna kekuningan dengan rasa payau. Sangat lelah, saya langsung tertidur. Kami akan kembali ke Sawangbunga esok pagi.
Walaupun terletak persis di pinggir laut dan berhadapan langsung dengan Pulau Simeulu, Tapaktuan luput dari bencana. Tidak ada kerusakan apapun yang melanda kota ini, bahkan tidak tampak akibat dari gempa besar tersebut. Di pagi yang cerah, orang lalu lalang seperti biasa. Anak sekolah berlarian dengan riang. Pegawai-pegawai negeri dalam balutan seragam kebesaran mereka membentuk kelompok-kelompok di meja-meja warung kopi, sarapan yang lama sebelum masuk kantor. Kehidupan berjalan normal di sini. Hanya bendera merah putih yang berkibar di setiap sudut kota menunjukkan sesuatu yang berbeda, suasana konflik bersenjata antar pihak yang berseteru. Pemandangan luar biasa. Langit biru cerah dihiasi sedikit awan, deburan ombak yang menghantam batu-batu besar di pinggir pantai, perahu-perahu nelayan yang terlambat pulang dari melaut melintas dengan malas.
Kami sarapan di sebuah warung kopi di tengah kota. Sarapan khas masyarakat Aceh, kopi hitam atau teh hangat – orang Aceh menyebutnya teh setengah panas – dan kue-kue. Pagi-pagi sekali kami keluar dari penginapan, dan menanyakan alamat keluarga suami Nong di Sawangbunga. Hanya sekitar setengah jam perjalanan dari sini.
Keluar dari kota Tapaktuan, kami disambut oleh lautan yang tenang membiru di sebelah kiri kami. Di sebelah kanan di seberang jalan, sebuah air terjun kecil menderu, mengalirkan air ke kolam dibawahnya, jernih dan dingin. Tempat yang cantik, tetapi sekarang ini bukan saatnya untuk menikmati semua itu.
Di Sawangbunga, kami berhenti di rumah kos seorang keponakan yang bekerja sebagai guru SMA di sana. Hanya ada suaminya di rumah, sedang menjaga anaknya yang masih bayi. Sepupu kami, ibu keponakan tersebut, berpesan saat kami mau berangkat, supaya anaknya pulang sebentar ke kampung. Setelah berbasa basi sebentar, kami menuju ke SMA Negeri Sawangbunga tempat keponakan kami menjadi guru. Pesan kami sampaikan, ditambah dengan berita duka tentang sanak saudara yang menjadi korban bencana. Kami bertemu dengan kepala sekolah yang ketus, dan berkeras tidak mau memberi izin cuti. Setelah berdebat lama dan seru, akhirnya keponakan kami mendapat izin cuti selama seminggu untuk pulang kampung. Kemudian kami menuju ke rumah keluarga suami Nong. Mereka memang sudah menunggu kedatangan kami. Suami Nong dan Bapaknya ternyata sudah balik ke Meulaboh pagi-pagi tadi. Berita kedatangan kami diterima setelah keberangkatan mereka. Keluarga besar yang ramah, walaupun nampak kedukaan yang mendalam di wajah mereka. Semalam baru diadakan tahlilan untuk mendoakan semua keluarga yang menjadi korban, begitu kata mereka. Walaupun belum saatnya makan siang, kami dijamu makan siang di sini. Ini adalah kebiasaan masyarakat Aceh lainnya, menjamu tamu yang dihormati dan dari jauh dengan makan – dan biasanya menunya nasi beserta laup pauknya. Makan dilakukan di lantai yang dialas tikar bersama-sama, diselingi dengan percakapan-percakapan kecil. Keramahan mereka seakan tidak habisnya.
Kami melanjutkan perjalanan kembali ke Meulaboh. Seorang famili Suami Nong ikut dengan kami. Orangnya ramah dan menyenangkan, dan suka bicara. Logat Aceh Selatannya sangat kental, dan kedengaran lucu bagi saya. Daerah ini memang sehari-hari berbahasa Minang, di samping Bahasa Aceh. Sejenak kedukaan terlupakan dan kami bisa ketawa lagi sekarang.
Sekitar jam dua belas kami berhenti di Susoh, menemui keluarga Bang Aiyub yang mengungsi di rumah besannya, Pak Asmin. Setelah bencana Bang Aiyub beserta dua orang anaknya mengungsi ke desa Baharu, Susoh. Surya tetap tinggal di Meulaboh. Pertemuan yang mengharukan. Ini ada pertemuan saya yang pertama kalinya dengan Bang Aiyub. Lama kami mengobrol. Ajakan kami pada Bang Aiyub sekeluarga untuk pulang ke Pidie ditolak dengan halus. Bang Aiyub akan segera kembali ke Meulaboh untuk mengurus berbagai hal. Dengan halus kami menolak ajakan makan siang di sini karena tidak ingin merepotkan mereka.
Makan siang kami lakukan di sebuah warung makan di kota Blang Pidie. Lauknya ikan bawal bakar yang sangat segar. Harganya sangat bersahabat.
Lewat asar kembali kami memasuki kota Meulaboh. Kami langsung menuju ke Seuneubok – Jalan Imam Bonjol – tempat suami Nong dan bapaknya mengungsi. Tempatnya adalah sebuah ruko bertingkat dua, persis disamping jalan Imam Bonjol. Pemiliknya adalah seorang pegawai Dinas Kesehatan, yang kantornya hanya berjarak sekitar dua ratus dari tempat tersebut. Di sebelah ruko tersebut terletak Mesjid Seuneubok yang sedang dibangun, dan sekarang dalam kondisi rusak parah karena gempa. Seberang jalan merupakan pesawahan, dengan lumpur hitam dari air tsunami dan rumput-rumput yang meranggas. Air tidak pernah menyeberang Jalan Imam Bonjol saat tsunami.
Pertemuan yang mengharukan, dengan banyak air mata yag tumpah. Mertua Nong bercerita diantara isak tangisnya tentang bencana yang melanda. Suami Nong – dengan badan penuh bekas luka saat tsunami – nampak kurus dan letih. Selama sepuluh hari mereka mencoba mencari kerabat yang hilang, memilah jenazah demi jenazah dalam timbunan lumpur dan kubangan air. Tidak ada satupun keluarga yang hilang bisa ditemukan kembali. Kini mereka susah pasrah, menyerahkan semuanya kepada yang Maha Kuasa.
Ada beberapa keluarga yang mengungsi di rumah ini. Pemilik rumah yang baik hati, menyambut mereka dengan ikhlas. Bahan makanan diambil dari toko kelontong miliknya, beras dan kebutuhan lainnya, semuanya disedekahkan untuk para pengungsi ini. Beramai-ramai mereka masak di dapur, dan semua bisa makan walaupun seadanya. Air bersih tersedia dalam jumlah yang cukup. Menengok anak-anak kecil yang bercanda-canda dengan ceria, air mata mertua Nong kembali menggenang, teringat kepada cucu-cucunya yang hilang dan tidak pernah ditemukan ...
Kami menginap di sini malam ini. Bang Don dan Bang Mukhtar akan menginap di Alue Kuyuen di rumah mertuanya. Besok rencananya kami akan ke Takengon, untuk seterusnya kembali ke kampung di Sigli bersama-sama dengan suami Nong dan keluarganya. Saat ini sebagian keluarga suami Nong berkumpul di sini, yang dari Jakarta, dari Takengon dan dari Sawangbunga. Sejenak kesedihan terlupakan dalam kebersamaan.
Pagi-pagi sekali setelah sarapan kami berangkat menuju Takengon. Rombongan menjadi ramai. Selain pikup kami, sebuah FJ40 juga akan ikut, ditambah beberapa sepeda motor. Penumpang pikap kami juga bertambah dua orang, famili dari suami Nong. Penuh rasa haru kami mengucapkan terima kasih dan pamitan pada Pak Rusli, pemilik rumah yang ramah dan baik hati.
Han tidak ikut pulang bersama kami. Dia akan langsung ke Medan untuk suatu urusan dengan kenderaan minibus L300. Ongkos ke Medan lebih tiga kali lipat. Biasanya hanya delapan puluhan ribu, sekarang dipatok dua ratus lima puluh ribu rupiah sekali jalan. Selalu saja ada yang menanfaatkan kesempatan dalam berbagai keadaan.
Dari Meulaboh sampai Beutong Ateueh tidak ada masalah yang berarti. Beberapa kali kami harus berhenti untuk pemeriksaan kenderaan dan barang oleh petugas bersenjata, dan juga pemeriksaan KTP seperti biasanya. Kami berhenti untuk istirahat dan makan di Beutong Ateueh. Pelintas-pelintas lain dengan kenderaan roda dua dan roda empat juga berhenti. Warung-warung dadakan menjual berbagai makanan dan minuman. Kami mampir di sebuah warung dan memesan makanan untuk dibawa, kemudian makan di bawah jempatan di pinggir sungai.
Bang Mukhtar mendekati pos TNI dan menanyakan kondisi jalan di puncak gunung. Setelah berkomunikasi sebentar melalui radio, tentara tersebut menjalaskan kondisi aman dan bisa dilewati. “Tetapi, kalau sore ini mendung dan kemungkinan untuk hujan besar, sebaiknya menginap di sini saja. Lebih aman perjalanan dilanjutkan besok pagi”, tambahnya. Hujan akan menyebabkan jalanan menjadi lumpur licin. Menginap di gunung jelas tidak menyenangkan, apalagi dalam kondisi hujan. Tetapi langit nampaknya cukup cerah, hanya ada sedikit awan. Nampaknya cukup aman untuk melanjutkan perjalanan. Kami mengucapkan terima kasih dan berlalu.
Cukup lama kami beristirahat di sini. Beutong Ateueh menjadi ramai sekarang oleh para pelintas dari dan menuju Meulaboh.Sungai di bawah jembatan menderu dengan air yang cukup kencang melewati dasar sungai yang penuh bebatuan, sejuk dan jernih. Para pelintas beristirahat di bawah jembatan. Ada juga yang mandi. Para perempuan mandi di kamar mandi umum yang banyak terletak di pinggir sungai. Setelah salat zuhur perjalanan kami lanjutkan kembali. Langit mulai mendung sekarang, gumpalan-gumpalan awan mulai menutupi matahari. Jalanan aspal berakhir, kami kembali memasuki jalanan tanah. Kondisi jalan semakin rusak sekarang, oleh banyaknya pelintas. Beberapa tempat malah sudah berubah menjadi kubangan berisi air dengan kedalaman yang tidak tertebak. Kami harus berhati-hati sekarang. Perjalanan menjadi sangat lambat.
Di sebuah penurunan curam, sebuah truk Fuso terguling rebah kuda nyaris melintang menghalangi jalan. Muatannya berserak, ditinggalkan begitu saja: puluhan sepeda motor dengan nomor polisi Meulaboh dan sekitarnya. Kami melewati truk tersebut dan berbagai kecurigaan tumbuh dalam kepala kami.
Semakin lama perjalanan semakin lambat. Iring-iringan kenderaan semakin merapat, membentuk konvoi panjang melintasi jalan tanah pegunungan. Rombongan kami pisah entah kemana. Beberapa kali penumpang pikup kami harus turun supaya kenderaan bisa melintasi kondisi jalanan yang buruk. Kadang harus dibantu dengan mendorong. Pakaian kami sudah penuh Lumpur. Lewat asar kami sampai di pendakian terjal, dan lalu lintas menjadi macet total. Jalan di pendakian tersebut sudah menjadi lumpur tebal. Kenderaan dipastikan tidak bisa mendaki, kecuali yang berpenggerak roda empat. Sebuah traktor merek John Deer dengan roda terbalut rantai menderu-deru menarik kenderaan satu persatu melintasi tanjakan. Kami menepi untuk menunggu giliran. Penumpang kenderaan lain juga banyak yang memilih untuk menunggu di pinggir jalan.
Cukup lama kami menunggu. Menjelang magrib kegiatan traktor terhenti karena kehabisan bahan baker. Beberapa orang berinisiatif mengumpulkan bahan bakar solar dari mobil dan truk yang bermesin diesel.
Serombongan TNI nampak baru sampai dan berjaga-jaga. Mungkin informai kemacetan di sini sudah sampai ke pos TNI terdekat dan serombongan tentara dikirim untuk menjaga keamanan. Bisik-bisik terdengar. Di lokasi konflik bersenjata seperti ini, adalah lebih aman jika tidak berdekatan dengan pihak manapun yang bertikai. Salah satu pihak yang bisa nekat menyerang tidak akan peduli dengan kehadiran masyarakat sipil. Orang-orang tidak berdosa bisa jatuh sebagai korban.
Hari sudah gelap ketika giliran kami untuk ditarik ke atas tiba. Pikup dicantolkan ke traktor dengan menggunakan rantai. Dengan ringan traktor menghela kenderaan kami ke atas, yang hanya berjarak kurang dari seratus meter. Kenderaan meliuk ke kiri dan ke kanan oleh sentakan tenaga kerbau traktor, dan tibalah kami di atas. Jalanan lebih datar sekarang. Kami melepaskan diri dari cantolan rantai traktor dan menepi menunggu semua penumpang naik. Saat akan berangkat, seorang ibu dan dua anaknya yang masih kecil memohon ikut serta. Mereka ditinggalkan kenderaan tumpangan mereka sewaktu ditarik traktor ke atas bukit. Kami tidak keberatan.
Hujan mulai turun begitu hari semakin gelap. Mula-mula rintik-rintik yang tipis, kemudian menjadi lebat dan semakin lebat. Lembaran plastik yang kami bawa kami gunakan untuk atap. Makanan yang kami bawa sudah habis, tinggal air minum. Gerakan kenderaan semakin lambat, karena iring-iringan kenderaan yang semakin padat. Di depan kami, sebuah truk diesel penuh dengan jerigen kosong menderu-deru mancoba mengalahkan pendakian yang tidak seberapa terjal, tetapi licin. Kondisi jalan lebih bagus sekarang, tidak lagi lumpur, tetapi tanah yang dipadatkan dengan batu-batu dan kerikil. Lebih kokoh memang, sekaligus lebih berbahaya, karena licin. Sesekali pecahan batu tajam muncul begitu saja, menawarkan bahaya bagi ban yang melindasnya. Sebelah kanan kami, jurang gelap menganga. Tidak jauh di depan kami, terdapat pendakian dengan jurang dalam di sebelah kanan, tempat sebuah truk bermuatan bantuan kemanusian jatuh ke jurang beberapa hari lalu.
Beberapa kali kami harus turun dan basah kuyup oleh hujan untuk mendorong kenderaan yang kehilangan daya pijak untuk mendaki jalanan yang licin. Kami lelah, basah kuyup, kotor oleh Lumpur, dan masih jauh di tengah pegunungan dari perkampungan terdekat.
Pas di lokasi truk jatuh kejurang, truk yang di depan kami tidak mau mendaki lagi. Pijakan gas hanya menghasilkan roda belakang yang berputar di tempat dengan kencang, menghasilkan bau karet hangus terbakar. Penumpang dari kenderaan ikut membantu melepaskan kenderaan dari kondisi lengketnya, karena jika kenderaan itu tidak bergerak, kenderaan lain di belakangnya juga tidak akan bisa lewat. Truk tersebut lengket dalam kondisi nyaris melintang menutupi jalan, menyisakan sedikit ruang di sebelah kanan. Dengan jurang menganga dalam, tidak ada yang berani melewati truk tersebut dari sebelah kanan. Hal ini disadari betul oleh pengemudi truk, karena jika mereka mogok dipinggir jalan, mereka akan ditinggal sendirian di puncak pegunungan.
Seutas tali besar datang dan segera diikatkan di muka truk. Belasan orang mencoba menghela truk tersebut, dibantu oleh belasan orang lainnya mendorong. Tidak ada hasil. Tiba-tiba dengan letusan keras, ban truk sebelah kanan belakang meletus. Dua-duanya. Sekarang sudah pasti. Kami akan menginap di puncak gunung ini malam ini, bersama dengan puluhan kenderaan lainnya, dalam hujan lebat, tanpa makanan. Tidak ada lagi yang bisa kami perbuat saat ini selain menunggu hujan reda, atau lebih baik lagi, menunggu pagi datang.
Bang Mukhtar mengeluarkan peti-peti bekas tomat dari bak pikup ke pinggir jalan. “Sebaiknya jangan tidur di mobil”, katanya, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Dia mengangsurkan sebungkus indomie untuk setiap orang. “Hanya ini makanan kita malam ini”, katanya. Entah darimana dia dapatkan indomie tersebut. Kami turun dari mobil dan mencoba untuk berjalan dalam gelap untuk melihat keadaan. Senter kecil yang saya bawa sudah mulai kehabisan tenaga, menyisakan cahaya yang kemerahan. Rupanya bukan cuma kami yang harus menginap di sini malam ini. Di depan kami, puluhan kenderaan juga memilih menginap di sini malam ini, walaupun sebenarnya mereka bisa meneruskan perjalanan. Tenda-tenda didirikan di pinggir jalan seadanya, api mulai dihidupkan. Di sebuah tenda kami meminta sedikit air panas untuk menyeduh mi instan. Hujan masih turun, menjadi rintik berkepanjangan. Kemungkinan, hujan akan tetap turun sepanjang malam. Kabut mulai merayap dalam kegelapan. Dingin malam tidak lagi kami rasakan, walaupun pakaian kami basah kuyup. Pakaian kering sebenarnya masih ada, tetapi percuma saja, karena sebentar juga akan menjadi basah kembali.
Selesai makan mi, kami memutuskan untuk kembali ke kenderaan untuk mencoba tidur. Bang Don mengatakan dia akan mencari tumpangan di depan ke Takengon. Jadi kami berpisah. Di pinggir jalan, kami mendapati Bang Mukhtar sudah tertidur di atas peti. Hari memang sudah mendekali jam sebelas malam. Tinggal kami bertiga penumpang pikup sekarang. Bang Don nampaknya sudah berhasil memperoleh tumpangan ke Takengon, sementara ibu-ibu dan kedua anaknya yang tadi menumpang kenderaan kami juga sudah menghilang. Sepertinya mereka mencoba mencari tumpangan di depan, sama seperti Bang Don.
Sekitar jam dua pagi suara gemuruh samara-samar di belakang kami membuat saya tersentak dari tidur. Mobil kami terasa bergerak, terayun ayun dan mundur. Reflek saya membuka pintu dan melompat keluar. Dengan segera saya kepinggir jalan menjauhi jurang. Orang-orang lain juga sama tegak berdiri. Gempa yang cukup kuat baru saja terjadi lagi.
Hujan sama sekali sudah berhenti. Lampu-lampur parkir mobil memberi sedikit penerangan pada gelapnya malam, membantu api unggun yang hidup lamat-lamat ditenda-tenda darurat di pinggir jalan. Udara dingin sekali, menusuk tulang. Kabut tebal merayap menutupi pemandangan. Bergabung dengan orang-orang lain, kami bergadang sepanjang malam. Usaha untuk tidur kembali tidak berhasil, ngeri mengingat gempa bisa saja terjadi lagi.
Saat cahaya pagi mulai tampak, usaha untuk menghela truk dilanjutkan. Ban belakang truk yang pecah sudah diganti – tinggal satu saja, tetapi setidaknya bisa meneruskan perjalanan. Sekitar dua puluhan orang menghela truk dengan tali di depan, dan belasan orang mendorong. Sejenak kemudian truk lepas dari jebakan, dan sekarang giliran kami. Karena ringan, tidak ada masalah yang berarti. Sebentar saja kami lepas dari jebakan tersebut, mengucapkan terima kasih kepada semua orang dan melanjutkan perjalanan. Rupanya lebih dari seratus kendaraan menginap di sini malam tadi. Ada yang mogok, ada yang rusak dan tidak bisa bergerak lagi, dan ada juga yang tidak berani melanjutkan perjalanan karena jalanan licin karena hujan. Sekarang, saat hari mulai terang, mereka besiap untuk melanjutkan perjalanan.
Tidak ada makanan untuk sarapan pagi ini. Semua bekal yang kami bawa sudah habis tandas, menyisakan sedikit air minum dalam kemasan. Mau meminta kepada pelintas lain segan rasanya, lagipula nyaris semuanya bernasib seperti kami. Semuanya menginap di gunung karena terpaksa dan tidak membawa persiapan makanan yang memadai.
Tidak ada masalah lagi sepanjang perjalanan ke Takengon. Matahari bersinar cerah, langin biru dengan hiasan sedikit awan di sana-sini, udara sejuk dan segar. Memasuki jalanan yang beraspal, beberapa truk penuh muatan parkir di pinggir jalan. Seorang menyetop kami. Mereka minta tolong memesankan spare part truk yang rusak ke perwakilan mereka di Takengon. Contoh spare parts yang rusak diberikan ke Bang Mukhtar. Sebuah panci sedang terjerang di atas api. Isinya telur yang sedang direbus. Kelaparan, kami meminta beberapa. Itulah telur rebus terenak yang pernah kami rasakan.
Jam dua belas siang lewat kami sampai di Takengon. Persinggahan kami yang pertama tentu saja rumah makan. Kelaparan, kumal, berlumuran lumpur kering dan tanpa alas kami kami memesan makanan di salah satu rumah makan. Di kamar mandi rumah makan tersebut kami membersihkan diri seadanya. Rasanya kami bisa menghabiskan semua makanan yang terhidang.
Selesai makan, kami meneruskan perrjalanan ke kediaman Bang Hasbi. Bisa saja Bang Don sudah sampai dan menunggu kami di sana. Kami melewati kantor bupati Aceh Tengah, pagar betonnya penuh dengan pesan dan tulisan mengenai pencarian keluarga yang hilang karena tsunami. Dan memang, Bang Don sudah menunggu kami. Pakaian pinjaman Bang Hasbi nampak kebesaran pada Bang Don. Dia sampai di Takengon lewat tengah malam, menumpang sebuah truk, dan langsung menuju ke kediaman Bang Hasbi. Keluarga Nong menunggu kami, katanya, dan kamipun langsung bergerak lagi rumah kakak ipar Nong yang lokasinya tidak terlalu jauh.
Mereka sudah melakukan persiapan untuk menyambut kami. Makanan sudah disiapkan untuk perjamuan –mereka juga mengundang tetangga-tetangga untuk makan bersama. Saya menumpang mandi dulu. Air dingin kota Takengon terasa menyegarkan, sedikit menghilangkan rasa penat karena perjalanan panjang yang melelahkan. Air panas sudah disiapkan sebenarnya, tetapi saya lebih memilih air dingin, karena seorang kawan pernah mengingatkan, bahwa di tempat dingin, mandi air dingin lebih baik dibandingkan dengan mandi air panas. Setelah air panas habis, rasa dingin akan menjadi lebih parah.
Makan siang dilakukan bersama-sama dan penuh dengan suasana kekeluargaan. Walaupun kami kekenyangan karena baru saja makan, tetap saja cuaca dingin membuat selera makan tetap timbul.
Selesai shalat lohor kami pamitan pada keluarga Nong. Mereka akan mengunjungi Ummi dalam beberapa hari ke depan. Dari rumah ipar Nong, kami kembali ke rumah Bang Hasbi untuk pamitan. Rasa terima kasih kami tidak akan pernah cukup untuk membalas kebaikan mereka menerima dan membantu kami. Bang Mukhtar mengantar kami ke terminal bus. Tumpangan kami ke Bireuen adalah sebuah L300 yang hanya berisi separuh penumpang. Kenderaan dipacu kencang, melibas tikungan-tikungan tajam dengan kecepatan tinggi. Supirnya cukup mahir dan sudah terbiasa dengan kondisi jalan. Pemandangan indah terpampang di depan kami. Sebelah kanan, jurang dalam hijau tertutup rapat oleh pepohonan. Kurang dari dua jam kami mencapai Bireuen, dan terus mencari bus ke Teupin Raya.
Magrib kami sampai ke rumah. Awalnya bingung bagaimana menyampaikan berita buruk ke Ummi dengan tidak menimbulkan kejutan yang bisa memperburuk kondisi Ummi. Ternyata naluri keibuannya sudah bisa menduga apa yang terjadi. Tidak ada air mata yang tumpah, tidak ada ratapan kesedihan. Hanya doa yang meluncur dari mulut Ummi, untuk anak perempuan satu-satunya dan kedua cucunya yang sudah mendahului menghadap Sang Khalik bersama ratusan ribu orang lainnya, melalui tsunami. Semoga Nong di saat-saat terakhirnya dijemput Sang Khalik dalam kondisi keimanan yang purna, dan semoga Allah mengampuni semua dosanya semasa hidupnya dan menerima semua amal ibadahnya … Kami semua yang ditinggalkannya akan selalu mengenangnya dalam doa, yang akan terhatur setiap saat, memohon keampunan dan keridhaan Yang Kuasa …
Bang Mukhtar mendekati pos TNI dan menanyakan kondisi jalan di puncak gunung. Setelah berkomunikasi sebentar melalui radio, tentara tersebut menjalaskan kondisi aman dan bisa dilewati. “Tetapi, kalau sore ini mendung dan kemungkinan untuk hujan besar, sebaiknya menginap di sini saja. Lebih aman perjalanan dilanjutkan besok pagi”, tambahnya. Hujan akan menyebabkan jalanan menjadi lumpur licin. Menginap di gunung jelas tidak menyenangkan, apalagi dalam kondisi hujan. Tetapi langit nampaknya cukup cerah, hanya ada sedikit awan. Nampaknya cukup aman untuk melanjutkan perjalanan. Kami mengucapkan terima kasih dan berlalu.
Cukup lama kami beristirahat di sini. Beutong Ateueh menjadi ramai sekarang oleh para pelintas dari dan menuju Meulaboh.Sungai di bawah jembatan menderu dengan air yang cukup kencang melewati dasar sungai yang penuh bebatuan, sejuk dan jernih. Para pelintas beristirahat di bawah jembatan. Ada juga yang mandi. Para perempuan mandi di kamar mandi umum yang banyak terletak di pinggir sungai. Setelah salat zuhur perjalanan kami lanjutkan kembali. Langit mulai mendung sekarang, gumpalan-gumpalan awan mulai menutupi matahari. Jalanan aspal berakhir, kami kembali memasuki jalanan tanah. Kondisi jalan semakin rusak sekarang, oleh banyaknya pelintas. Beberapa tempat malah sudah berubah menjadi kubangan berisi air dengan kedalaman yang tidak tertebak. Kami harus berhati-hati sekarang. Perjalanan menjadi sangat lambat.
Di sebuah penurunan curam, sebuah truk Fuso terguling rebah kuda nyaris melintang menghalangi jalan. Muatannya berserak, ditinggalkan begitu saja: puluhan sepeda motor dengan nomor polisi Meulaboh dan sekitarnya. Kami melewati truk tersebut dan berbagai kecurigaan tumbuh dalam kepala kami.
Semakin lama perjalanan semakin lambat. Iring-iringan kenderaan semakin merapat, membentuk konvoi panjang melintasi jalan tanah pegunungan. Rombongan kami pisah entah kemana. Beberapa kali penumpang pikup kami harus turun supaya kenderaan bisa melintasi kondisi jalanan yang buruk. Kadang harus dibantu dengan mendorong. Pakaian kami sudah penuh Lumpur. Lewat asar kami sampai di pendakian terjal, dan lalu lintas menjadi macet total. Jalan di pendakian tersebut sudah menjadi lumpur tebal. Kenderaan dipastikan tidak bisa mendaki, kecuali yang berpenggerak roda empat. Sebuah traktor merek John Deer dengan roda terbalut rantai menderu-deru menarik kenderaan satu persatu melintasi tanjakan. Kami menepi untuk menunggu giliran. Penumpang kenderaan lain juga banyak yang memilih untuk menunggu di pinggir jalan.
Cukup lama kami menunggu. Menjelang magrib kegiatan traktor terhenti karena kehabisan bahan baker. Beberapa orang berinisiatif mengumpulkan bahan bakar solar dari mobil dan truk yang bermesin diesel.
Serombongan TNI nampak baru sampai dan berjaga-jaga. Mungkin informai kemacetan di sini sudah sampai ke pos TNI terdekat dan serombongan tentara dikirim untuk menjaga keamanan. Bisik-bisik terdengar. Di lokasi konflik bersenjata seperti ini, adalah lebih aman jika tidak berdekatan dengan pihak manapun yang bertikai. Salah satu pihak yang bisa nekat menyerang tidak akan peduli dengan kehadiran masyarakat sipil. Orang-orang tidak berdosa bisa jatuh sebagai korban.
Hari sudah gelap ketika giliran kami untuk ditarik ke atas tiba. Pikup dicantolkan ke traktor dengan menggunakan rantai. Dengan ringan traktor menghela kenderaan kami ke atas, yang hanya berjarak kurang dari seratus meter. Kenderaan meliuk ke kiri dan ke kanan oleh sentakan tenaga kerbau traktor, dan tibalah kami di atas. Jalanan lebih datar sekarang. Kami melepaskan diri dari cantolan rantai traktor dan menepi menunggu semua penumpang naik. Saat akan berangkat, seorang ibu dan dua anaknya yang masih kecil memohon ikut serta. Mereka ditinggalkan kenderaan tumpangan mereka sewaktu ditarik traktor ke atas bukit. Kami tidak keberatan.
Hujan mulai turun begitu hari semakin gelap. Mula-mula rintik-rintik yang tipis, kemudian menjadi lebat dan semakin lebat. Lembaran plastik yang kami bawa kami gunakan untuk atap. Makanan yang kami bawa sudah habis, tinggal air minum. Gerakan kenderaan semakin lambat, karena iring-iringan kenderaan yang semakin padat. Di depan kami, sebuah truk diesel penuh dengan jerigen kosong menderu-deru mancoba mengalahkan pendakian yang tidak seberapa terjal, tetapi licin. Kondisi jalan lebih bagus sekarang, tidak lagi lumpur, tetapi tanah yang dipadatkan dengan batu-batu dan kerikil. Lebih kokoh memang, sekaligus lebih berbahaya, karena licin. Sesekali pecahan batu tajam muncul begitu saja, menawarkan bahaya bagi ban yang melindasnya. Sebelah kanan kami, jurang gelap menganga. Tidak jauh di depan kami, terdapat pendakian dengan jurang dalam di sebelah kanan, tempat sebuah truk bermuatan bantuan kemanusian jatuh ke jurang beberapa hari lalu.
Beberapa kali kami harus turun dan basah kuyup oleh hujan untuk mendorong kenderaan yang kehilangan daya pijak untuk mendaki jalanan yang licin. Kami lelah, basah kuyup, kotor oleh Lumpur, dan masih jauh di tengah pegunungan dari perkampungan terdekat.
Pas di lokasi truk jatuh kejurang, truk yang di depan kami tidak mau mendaki lagi. Pijakan gas hanya menghasilkan roda belakang yang berputar di tempat dengan kencang, menghasilkan bau karet hangus terbakar. Penumpang dari kenderaan ikut membantu melepaskan kenderaan dari kondisi lengketnya, karena jika kenderaan itu tidak bergerak, kenderaan lain di belakangnya juga tidak akan bisa lewat. Truk tersebut lengket dalam kondisi nyaris melintang menutupi jalan, menyisakan sedikit ruang di sebelah kanan. Dengan jurang menganga dalam, tidak ada yang berani melewati truk tersebut dari sebelah kanan. Hal ini disadari betul oleh pengemudi truk, karena jika mereka mogok dipinggir jalan, mereka akan ditinggal sendirian di puncak pegunungan.
Seutas tali besar datang dan segera diikatkan di muka truk. Belasan orang mencoba menghela truk tersebut, dibantu oleh belasan orang lainnya mendorong. Tidak ada hasil. Tiba-tiba dengan letusan keras, ban truk sebelah kanan belakang meletus. Dua-duanya. Sekarang sudah pasti. Kami akan menginap di puncak gunung ini malam ini, bersama dengan puluhan kenderaan lainnya, dalam hujan lebat, tanpa makanan. Tidak ada lagi yang bisa kami perbuat saat ini selain menunggu hujan reda, atau lebih baik lagi, menunggu pagi datang.
Bang Mukhtar mengeluarkan peti-peti bekas tomat dari bak pikup ke pinggir jalan. “Sebaiknya jangan tidur di mobil”, katanya, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Dia mengangsurkan sebungkus indomie untuk setiap orang. “Hanya ini makanan kita malam ini”, katanya. Entah darimana dia dapatkan indomie tersebut. Kami turun dari mobil dan mencoba untuk berjalan dalam gelap untuk melihat keadaan. Senter kecil yang saya bawa sudah mulai kehabisan tenaga, menyisakan cahaya yang kemerahan. Rupanya bukan cuma kami yang harus menginap di sini malam ini. Di depan kami, puluhan kenderaan juga memilih menginap di sini malam ini, walaupun sebenarnya mereka bisa meneruskan perjalanan. Tenda-tenda didirikan di pinggir jalan seadanya, api mulai dihidupkan. Di sebuah tenda kami meminta sedikit air panas untuk menyeduh mi instan. Hujan masih turun, menjadi rintik berkepanjangan. Kemungkinan, hujan akan tetap turun sepanjang malam. Kabut mulai merayap dalam kegelapan. Dingin malam tidak lagi kami rasakan, walaupun pakaian kami basah kuyup. Pakaian kering sebenarnya masih ada, tetapi percuma saja, karena sebentar juga akan menjadi basah kembali.
Selesai makan mi, kami memutuskan untuk kembali ke kenderaan untuk mencoba tidur. Bang Don mengatakan dia akan mencari tumpangan di depan ke Takengon. Jadi kami berpisah. Di pinggir jalan, kami mendapati Bang Mukhtar sudah tertidur di atas peti. Hari memang sudah mendekali jam sebelas malam. Tinggal kami bertiga penumpang pikup sekarang. Bang Don nampaknya sudah berhasil memperoleh tumpangan ke Takengon, sementara ibu-ibu dan kedua anaknya yang tadi menumpang kenderaan kami juga sudah menghilang. Sepertinya mereka mencoba mencari tumpangan di depan, sama seperti Bang Don.
Sekitar jam dua pagi suara gemuruh samara-samar di belakang kami membuat saya tersentak dari tidur. Mobil kami terasa bergerak, terayun ayun dan mundur. Reflek saya membuka pintu dan melompat keluar. Dengan segera saya kepinggir jalan menjauhi jurang. Orang-orang lain juga sama tegak berdiri. Gempa yang cukup kuat baru saja terjadi lagi.
Hujan sama sekali sudah berhenti. Lampu-lampur parkir mobil memberi sedikit penerangan pada gelapnya malam, membantu api unggun yang hidup lamat-lamat ditenda-tenda darurat di pinggir jalan. Udara dingin sekali, menusuk tulang. Kabut tebal merayap menutupi pemandangan. Bergabung dengan orang-orang lain, kami bergadang sepanjang malam. Usaha untuk tidur kembali tidak berhasil, ngeri mengingat gempa bisa saja terjadi lagi.
Saat cahaya pagi mulai tampak, usaha untuk menghela truk dilanjutkan. Ban belakang truk yang pecah sudah diganti – tinggal satu saja, tetapi setidaknya bisa meneruskan perjalanan. Sekitar dua puluhan orang menghela truk dengan tali di depan, dan belasan orang mendorong. Sejenak kemudian truk lepas dari jebakan, dan sekarang giliran kami. Karena ringan, tidak ada masalah yang berarti. Sebentar saja kami lepas dari jebakan tersebut, mengucapkan terima kasih kepada semua orang dan melanjutkan perjalanan. Rupanya lebih dari seratus kendaraan menginap di sini malam tadi. Ada yang mogok, ada yang rusak dan tidak bisa bergerak lagi, dan ada juga yang tidak berani melanjutkan perjalanan karena jalanan licin karena hujan. Sekarang, saat hari mulai terang, mereka besiap untuk melanjutkan perjalanan.
Tidak ada makanan untuk sarapan pagi ini. Semua bekal yang kami bawa sudah habis tandas, menyisakan sedikit air minum dalam kemasan. Mau meminta kepada pelintas lain segan rasanya, lagipula nyaris semuanya bernasib seperti kami. Semuanya menginap di gunung karena terpaksa dan tidak membawa persiapan makanan yang memadai.
Tidak ada masalah lagi sepanjang perjalanan ke Takengon. Matahari bersinar cerah, langin biru dengan hiasan sedikit awan di sana-sini, udara sejuk dan segar. Memasuki jalanan yang beraspal, beberapa truk penuh muatan parkir di pinggir jalan. Seorang menyetop kami. Mereka minta tolong memesankan spare part truk yang rusak ke perwakilan mereka di Takengon. Contoh spare parts yang rusak diberikan ke Bang Mukhtar. Sebuah panci sedang terjerang di atas api. Isinya telur yang sedang direbus. Kelaparan, kami meminta beberapa. Itulah telur rebus terenak yang pernah kami rasakan.
Jam dua belas siang lewat kami sampai di Takengon. Persinggahan kami yang pertama tentu saja rumah makan. Kelaparan, kumal, berlumuran lumpur kering dan tanpa alas kami kami memesan makanan di salah satu rumah makan. Di kamar mandi rumah makan tersebut kami membersihkan diri seadanya. Rasanya kami bisa menghabiskan semua makanan yang terhidang.
Selesai makan, kami meneruskan perrjalanan ke kediaman Bang Hasbi. Bisa saja Bang Don sudah sampai dan menunggu kami di sana. Kami melewati kantor bupati Aceh Tengah, pagar betonnya penuh dengan pesan dan tulisan mengenai pencarian keluarga yang hilang karena tsunami. Dan memang, Bang Don sudah menunggu kami. Pakaian pinjaman Bang Hasbi nampak kebesaran pada Bang Don. Dia sampai di Takengon lewat tengah malam, menumpang sebuah truk, dan langsung menuju ke kediaman Bang Hasbi. Keluarga Nong menunggu kami, katanya, dan kamipun langsung bergerak lagi rumah kakak ipar Nong yang lokasinya tidak terlalu jauh.
Mereka sudah melakukan persiapan untuk menyambut kami. Makanan sudah disiapkan untuk perjamuan –mereka juga mengundang tetangga-tetangga untuk makan bersama. Saya menumpang mandi dulu. Air dingin kota Takengon terasa menyegarkan, sedikit menghilangkan rasa penat karena perjalanan panjang yang melelahkan. Air panas sudah disiapkan sebenarnya, tetapi saya lebih memilih air dingin, karena seorang kawan pernah mengingatkan, bahwa di tempat dingin, mandi air dingin lebih baik dibandingkan dengan mandi air panas. Setelah air panas habis, rasa dingin akan menjadi lebih parah.
Makan siang dilakukan bersama-sama dan penuh dengan suasana kekeluargaan. Walaupun kami kekenyangan karena baru saja makan, tetap saja cuaca dingin membuat selera makan tetap timbul.
Selesai shalat lohor kami pamitan pada keluarga Nong. Mereka akan mengunjungi Ummi dalam beberapa hari ke depan. Dari rumah ipar Nong, kami kembali ke rumah Bang Hasbi untuk pamitan. Rasa terima kasih kami tidak akan pernah cukup untuk membalas kebaikan mereka menerima dan membantu kami. Bang Mukhtar mengantar kami ke terminal bus. Tumpangan kami ke Bireuen adalah sebuah L300 yang hanya berisi separuh penumpang. Kenderaan dipacu kencang, melibas tikungan-tikungan tajam dengan kecepatan tinggi. Supirnya cukup mahir dan sudah terbiasa dengan kondisi jalan. Pemandangan indah terpampang di depan kami. Sebelah kanan, jurang dalam hijau tertutup rapat oleh pepohonan. Kurang dari dua jam kami mencapai Bireuen, dan terus mencari bus ke Teupin Raya.
Magrib kami sampai ke rumah. Awalnya bingung bagaimana menyampaikan berita buruk ke Ummi dengan tidak menimbulkan kejutan yang bisa memperburuk kondisi Ummi. Ternyata naluri keibuannya sudah bisa menduga apa yang terjadi. Tidak ada air mata yang tumpah, tidak ada ratapan kesedihan. Hanya doa yang meluncur dari mulut Ummi, untuk anak perempuan satu-satunya dan kedua cucunya yang sudah mendahului menghadap Sang Khalik bersama ratusan ribu orang lainnya, melalui tsunami. Semoga Nong di saat-saat terakhirnya dijemput Sang Khalik dalam kondisi keimanan yang purna, dan semoga Allah mengampuni semua dosanya semasa hidupnya dan menerima semua amal ibadahnya … Kami semua yang ditinggalkannya akan selalu mengenangnya dalam doa, yang akan terhatur setiap saat, memohon keampunan dan keridhaan Yang Kuasa …
Subscribe to:
Posts (Atom)