Menjelang musim keumeukoh - panen padi - hujan semakin jarang turun. Parit-parit dan sungai-sungai kecil menjadi berkurang airnya, bahkan ada yang mengering sama sekali hanya menyisakan kubangan lumpur dengan sedikit genangan air di sana-sini. Di dalam kubangan tersebut, biasanya lubuk yang paling dalam dari dasar parit atau sungai, merupakan sarang berbagai macam ikan air tawar. Mulai dari ikan betok yang durinya keras dan tajam, dengan sirip-sirip tajam yang bisa mengoyak telapak tangan jika tidak hati-hati memegangnya, ikan lele, ikan gabus yang ganas. Ketiga macam ikan tersebut merupakan ikan yang paling tahan dalam kondisi kekurangan air. Mereka bisa bertahan hidup dalam lumpur. Seringkali kami mendapati ikan-ikan tersebut dalam lumpur yang dalamnya kadang mencapai selutut kami. Untuk menangkap ikan-ikan tersebut tidak bisa lagi dengan cara memancing, karena airnya nyaris tidak ada lagi, tetapi dengan menangkap langsung dengan menggunakan tangan. Kami anak-anak menyebutnya dengan "seumeuseuet" atau membuang air dengan menggunakan timba yang terbuat dari upih pinang atau situek adalam bahasa Aceh. Sebutan lainnya untuk kegiatan tersebut adalah "seuet paya" atau membuang air dari rawa untuk diambil ikannya. Kegiatan tersebut dilakukan oleh sekelompok orang - kadang orang-orang dewasa juga ikut serta - karena sulit untuk melakukannya sendiri.
Setelah menentukan lokasi, kami akan membuat semacam bendung dari lumpur untuk mencegah air yang dibuang balik kelubuk. Kemudian beberapa orang akan menimba air dan membuangnya ke balik bendungan tadi. Kalau airnya banyak, kami akan melakukannya secara bergantian. Begitu airnya mulai berkurang, ikan-ikan kecil yang kurang tahan akan muncul ke permukaan air. Ikan-ikan tersebut akan ditangkapi dan dikumpulkan dalam ember yang sudah disediakan. Kemudian lumpur akan dijelajah dengan menggunakan tangan untuk menangkapi ikan-ikan yang terperangkap di dalamnya. Butuh keahlian tersendiri untuk menangkapi ikan lele berpatil dua yang mengerikan dengan tidak melihatnya. Saya sendiri tidak pernah berani menangkapnya. Kawan-kawan kami tanpa rasa takut mengaduk lumpur dengan tangannya, kemudian menarik tangan yang menggenggam lele besar. Patilnya yang tajam dan bergerigi seperti sabit pemotong padi menyelinap diantara jari telunjuk dan jari tengah dan satu lagi di balik jempol. Lele besar berukuran nyaris sebesar lengan kami, berwarna hitam mengkilat, dengan kepala bertotol-totol putih seperti pendeta dalam film mengenai Shaolin. Lele tersebut menggeliat-geliat mencoba melepaskan diri, dengan bunyi "nget-nget". Kemudian ikan tersebut dilemparkan ke ember besar untuk dikumpulkan bersama ikan lainnya.
Kadang kecelakaan juga terjadi. Pernah seorang kawan tanggannya kena patil lele, dan kemudian demam selama beberapa hari. Kata orang patil lele yang berukuran kecil lebih "berbisa" dibandingkan dengan patil lele besar. Untuk penawarnya, menurut kepercayaan, begitu kena patil lele atau ikan lainnya, kepala lele tersebut dihancurkan kemudian ditempelkan ke tempat kena patil. Entah benar atau tidak, saya belum pernah mencoba.
Selain patil ikan, ada ancaman lain dari kubangan lumpur tersebut: ular air dan lintah. Ular air memang tidak berbisa - menurut teman-teman gigitannya cuma bikin gatal saja, tetapi membayangkan digigit ular cukup membuat miris. Dan lintah. Kita tidak akan pernah tahu kalau kita sedang digigit lintah. Tidak ada rasa sakit apa-apa. Lintah yang menempel dikulit akan gembung hitam kemerahan karena berisi darah. Jika ditarik, kulit bisa terluka karena gigi lintah masih menempel di kulit. Cara yang sering kami lakukan adalah merendam tembakau dan meneteskan airnya ke lintah. Tidak tahan, lintah akan melepaskan diri. Yang lebih berani dan ingin bebas dari lintah dengan cepat, akan memotong lintah dengan pisau. Kemudian, giginya yang masih menempel akan dilepaskan dengan menggunakan tangan.
Ikan gabus lebih gampang menangkapnya, karena tidak punya patil yang berbahaya. Rontaannya sangat kuat, apalagi yang berukuran besar. Saya ingat, pernah seorang kawan mementung kepala ikan gabus dengan tongkat karena terlalu gesit untuk ditangkap. Ikan betok atau puyu juga bisa berbahaya. Ujung siripnya berupa duri yang runcing dan tajam, dan sirip insangnya berupa sisik yang kuat dan nyaris setajam pisau. Kalau keliru menggenggamnya, tangan bisa terluka entah kena sirip punggungnya atau sirip insangnya. Seingat kami, inilah ikan yang paling tahan dalam kondisi tanpa air. Selesai menimba lubuk, saat pulang lewat tengah hari, ikan-ikan lain mulai bermatian dalam ember karena tidak ada air, tetapi ikan betok masih segar bugar dengan rontaan yang masih kuat.
Seorang kawan pernah menyimpan ikan-ikan puyu yang didapat dari seumeueseuet dalam ember selama satu malam. Supaya ikan tidak mati, ember diberi sedikit air sekedar supaya ikannya terendam. Esok paginya saat akan dibersihkan, kawan tersebut terkejut mendapati gerombolan ikan yang compang camping dalam ember. Rupanya ikan-ikan tersebut saling serang, memakan sisik dan saling melukai.
Ikan yang terkumpul- biasanya tidak terlalu banyak - akan dibagi merata. Beberapa orang yang bekerja lebih keras akan mendapat bagian lebih banyak. Tidak ada yang protes, semuanya menganggap hal tersebut adalah layak dan sewajarnya.
Ikan bagian kami - saya dan Han - akan dibersihkan terlebih dahulu sebelum dibawa pulang. Bau amis ikan yang menyengat akan melekat pada kami. Kalau ikannya banyak, Ummi akan memasak ikan tersebut dengan bumbu kari dan ditambah dengan bungong kala (kincung). Jika ikannya tidak seberapa, kami akan menggorengnya sendiri.
Seiring berjalannya waktu, keberadaan ikan semakin jarang. Sungai-sungai kecil yang alami berganti dengan parit beton, yang tidak menyisakan tempat untuk ikan untuk berkembang biak. Saat ini, seut paya sudah menjadi sesuatu yang langka di kampung kami.
No comments:
Post a Comment