Tuesday, February 28, 2012

Magic Jar Muara Medak

Tiga kali melintasi wilayah ini, pengemudi speedboat selalu menceritakan cerita yang sama, tentang sebuah guci di sebuah rumah tua di pinggir sungai Lalan pada pertemuan Sungai Medak dengan Sungai Lalan. Guci tersebut sudah berusia sangat tua, konon mencapai ratusan tahun. Konon kabarnya pula, siapa saja yang tangannya bisa memeluk guci tersebut, kemungkinan besar permohonannya akan terkabul. Ini bukan tentang siapa yang memiliki tangan yang cukup panjang sehingga bisa begitu saja mampu memeluk tersebut, melainkan kemampuan guci tersebut untuk menunjukkan kepada pemohon apakah permohonannya akan terkabul atau tidak. Jadi semacan guci keramat. Saya sendiri sama sekali tidak percaya akan kemampuan sebuah benda untuk menunjukkan apakah permohonan seseorang akan terkabul atau tidak, tetapi keberadaan guci keramat tersebut membuat penasaran juga. Jadi saat kawan-kawan mengajak singgah ke tempat guci keramat tersebut, saya mendukung mereka.

Saat balik dari arah Bayung Lencir, kami merapat ke dermaga sekelompok rumah tinggal di Muara Medak. Dua buah rumah rakit tertambat di dermaga, kosong dengan pintu terkunci, ditinggalkan oleh para pemiliknya untuk suatu urusan. Pondok-pondok lainnya berderet di rakit yang menjadi dermaga rumah-rumah di sini, pondok yang berfungsi sebagai toilet, pondok kecil yang rupanya berisi genset untuk penerangan. Kami melangkah melalui semacam jembatan yang terbuat dari potongan papan tebal menuju ke daratan.

Ada sekelompok rumah di sini. Rumah yang kami tuju sepertinya sudah berusia lanjut, terbuat dari kayu beratap genteng dan berdiri kokoh di atas panggung. Selasar rumah terdiri dari semacam jeruji kayu yang rapay, sehingga menyulitkan untuk melihat kedalam. Rumah tersebut bercat coklat gelap berminyak, menimbulkan kesuraman yang disebabkan oleh usia tua.

Saat kawan-kawan mengatur urusan dengan orang-orang yang ada di rumah tersebut, saya berkeliling. Ada beberapa rumah di sekitarnya, satu diantaranya adalah rumah yang dibangun secara modern dengan penuh cita rasa. Yang lainnya adalah rumah panggung dengan arsitektur khas, sepertinya melayu, dengan atap berbentuk limas. Beberapa sepeda motor nampak diparkir ditempat teduh. Antena parabola berdiri tegak di depan sebuah rumah, menyediakan informasi bagi keterpencilan mereka. Di depan rumah utama, dua buah tenda masih tegak dengan puluhan kursi plastik baru saja dirapikan. Mungkin sebuah pesta baru berlangsung di sini beberapa waktu yang lalu.

Akhirnya kami dipersilahkan naik ke atas rumah. Suasana dalam rumah lebih suram dibandingkan dengan diluar tadi. Dari pintu masuk di depan tangga, kami melangkah ke sebuah ruangan besar dengan langit-langit tinggi yang terbuat dari kayu. Cat kayu yang gelap menambah suasana suram, apalagi semua jendelanya tertutup rapat. Kami melangkah ke sebuah ruangan kecil yang terang oleh cahaya matahari yang masuk melalui sebuah jendela yang terbuka. Berbeda dengan ruangan tadi, ruangan ini dicat berwarna terang dengan langit-langit rendah yang terbuat dari kayu lapis. Seorang ibu yang nampaknya sudah berumur tetapi tetap nampak awet, bermata tajam duduk disebelah sebuah guci yang diberi penutup dengan semacam kain berenda. Jumlah kami yang tujuh orang - delapan dengan pemilik rumah - membuat ruangan tersebut menjadi seolah sempit. Kami duduk bersila di atas lantai yang bertutup tikar.

Saya meletakkan kamera di lantai di depan saya dan minta izin untuk membuat gambar. "Tunggu dulu", ibu tersebut menjawab dalam bahasa yang tidak saya kenal - sepertinya bahasa melayu setempat. Dia menanyakan apa maksud kami bertandang kesitu. Rekan kami menjawab bahwa kami ingin bersilaturrahmi saja dalam sebuah perjalanan untuk memeriksa air sungai Lalan. Kami mendengar mengenai keberadaan sebuah guci di sini dan ingin menyaksikan langsung dengan mata kepala kami sendiri. itu saja. Ibu tersebut mengatakan bahwa harus membawa niat baik untuk bisa bersentuhan dengan guci. Yang punya keinginan jahat ataupun niat jahat dipersilahkan mengurungkan niatnya. "Dulu ada seorang calon Kades yang ingin mengajukan permohonan melalui guci ini. Rupanya niatnya yang sebenarnya ialah nak mangambek tuah guci ini. Dia ingin mengumpulkan empat puluh keramat dari benda-benda pusaka. Yang sudah diambeknya adalah tiga puluh sembilan. Ini yang terakhir." Niat Kades tersebut gagal. Kepalanya tersangkut dalam guci, sampai guci tersebut terangkat-angkat. "Mateh akhirnya. Masuk berita di mana-mana. Tempat ini jadi ramai oleh penyelidikan'", lanjut ibu itu. Makanya sekarang ini, untuk mencegah hal-hal seperti itu, setiap tamu yang berkunjung ditanyai apa maksud dan niatnya.

Ada lagi syaratnya. Datuk Cheng - nama guci tersebut - harus dimandikan dengan minyak wangi sebelum melakukan permohonan. Boleh bawa sendiri atau pakai yang sudah disediakan. Dua buah bakul besar berisi tumpukan minyak wangi terletak di sudut kamar. Kemudian, tamu yang mengajuhan permohonan lawat guci harus membawa buah tangan. Bisa berupa apa saja, tidak ada masalah. Uang, kue, jajanan, buah dan lain-lain. Tidak ditentukan jumlahnya. Hanya seikhlasnya dan semampunya saja. Dan jika niatnya terkabul, dia harus membayar nazar yang dijanjikannya sewaktu melakukan permohonan. "Misalnya niat ngasih sapi saat mengajukan permohonannya. Jika permohonannya terkabul, ya harus bayar sapi. Tetapi bawa sapi terlalu repot, bisa juga ganti dengan uang seharga sapi tersebut", kata ibu - yang bernama Amna - menjelaskan. "Dulu ada warga Cina yang mengajukan permohonan sesuai dengan kepercayaan agamanya. Mereka membawa banyak sekali buah tangan, lengkap dengan pertunjukan segala". Tidak dijelaskan pertunjukan apa yang dimaksud.

Guci tersebut ditemukan oleh ibunya ibu Amna sewaktu masih kecil. Sekarang ibunya ibu Amna sudah berusia di atas seratus tahun dan masih hidup - terbaring sakit bersama suaminya, bapaknya ibu Amna - jadi ibu Amna memperkirakan usia guci tersebut juga sudah di atas seratus tahun. Sekeluarga tujuh orang, dan sudah menyebar kemana-mana, ibu Amna memilih menetap di rumah ini untuk merawat orang tuanya yang sakit. Anak-anaknya - lima orang - sudah besar-besar dan menetap di Palembang. Tidak ada informasi mengenai keberadaan suami ibu Amna.

Rekan-rekan kasak-kusuk mengenai pengajuan permohonan melalui guci. Mereka keluar ruangan dan menyisihkan "buah tangan". Saya mengatakan hanya ingin membuat gambar saja, jika diizinkan. Kemudian kami masuk kembali ke dalam ruangan dan mengatakan kepada ibu Amna mengenai niatnya untuk mencoba memeluk guci. Dengan sigap ibu Amna mengambil sebotol minyak wangi dan menuangnya sekeliling bagian atas guci. Harum minyak wangi meruap dalam ruangan, bercampur dengan bau lembab keringat yang timbul dalam udara kamar yang panas.

Bergantian mereka mencoba memeluk guci. Semuanya bisa, tangan mereka melampaui lingkaran guci dan tangan yang satu bisa memegang tangan yang lainnya. Komat kamit mereka melakukan permohonan dengan mata terpejam. Tidak jelas apa yang mereka minta. Tidak ada yang mengatakannya kepada kami sepulangnya dari sana. Mudah-mudahan saja mereka tidak minta pada guci tersebut, karena apapun ceritanya itu adalah benda mati yang tidak punya kuasa apapun, apalagi untuk mengabulkan permintaan ataupun permohonan.









Saturday, February 25, 2012

Senja di Sungai Lalan

Berangkat menuju sungai Lalan sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam membuat kami punya kesempatan untuk menikmati sunrise dan sundown di sungai. Apalagi cuaca selalu cerah dengan langit biru dengan sedikit awan, menampilkan panorama indah yang tak terlupakan.

Sundown di muara Kepayang

Menjelang matahari terbenam ...

Setelah matahari terbenam ...

Ketika matahari mulai turun...

Tersembunyi di balik awan ...

Sunrise di Pulai Gading