Tempat kerja kami kedatangan tamu dari Jepang. Ramah dan santun, dengan anggukan kepala dan bungkukan badan dalam-dalam saat berkenalan. Ada tiga orang semuanya, dua masih berusia muda dan seorang lagi, sepertinya atasan mereka - sudah cukup berumur. Dua orang namanya sekilas mengesankan nama orang Jawa - Javanese - bukan orang Jepang - Japanese, Mr. Sugiyama dan Mr. Shingo Kusano. Yang seorang lagi bernama totok Jepang, Mr. Fujii. Mereka membawakan kami kue kesenangan Doraemon, kue tradisional Jepang Dorayaki. Rasanya lembut dan manis sekali, seperti bolu, dengan isi kacang merah.
Dalam presentasi, kami kesulitan untuk berkomunikasi. Bahasa Inggris Mr. Kusano sulit dimengerti, dan banyak berpikirnya untuk mencari kata-kata dalam bahasa Inggris untuk padanan kata-kata Jepang yang sesuai.
Tetapi bukan itu yang menarik perhatian saya selama presentasi. Kata-kata yang seharusnya mengandung huruf "l" bertukar menjadi huruf "r". Awalnya saya pikir itu salah ketik atau semacamnya, tetapi ternyata kesalahan itu sering terjadi. Kata "upload a file" menjadi "uproad a fire". Lama-lama saya mengerti, ternyata orang-orang Jepang dengan sengaja menggantikan huruf "l" dengan huruf "r". Water column menjadi water corumn. Fouling menjadi fouring. Reakage, bukan leakage. Oh, this is Engrish, sir, not English. Ha. Ganjil dan menggelikan memang. Tetapi itulah adanya. Kebalikan dari orang-orang Cina yang sudah sekali mengatakan huruf "r", yang mereka gantikan dengan huruf "l". What is the plice of flied lice, sil?
Sesekali saya juga menemukan kata-kata dengan tambahan vokal diantara konsonan. "Moisture" ditulis dengan kata "moisuture". Hmm. Saya mengganggu mereka dengan pertanyaan "Ever been to Makudonarudo to eat furaido chikin?" pernah ke Mc Donald untuk makan fried chicken? Awalnya tuan Kusano tidak mengerti pertanyaan saya, kemudian dia menyadarinya dan tertawa terbahak-bahak. Kemudian dengan senang hati dan susah payah dia menjelaskan bagaimana orang-orang Jepang beradaptasi dengan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa Internasional. Atau lebih tepatnya bahasa Inggris yang mereka paksa supaya bisa diadaptasikan ke lidah mereka.
Pelafalan kata dalam lidah Jepang adalah konsonan-vokal-konsonan-vokal berselang seling. Susah sekali untuk melafalkan kata dalam bahasa Engrish - eh English yang banyak huruf matinya. Jadi mereka "menciptakan" kata-kata sendiri yang bunyinya mirip dengan lafal dalam bahasa Inggris, dengan penulisan yang sama sekali lain. Tetapi tak apa, karena yang paling penting dalam berkomunikasi adalah lawan berkomunikasi bisa mengerti apa yang dikomunikasikan. Selain kata-kata di atas, banyak kata lain yang "lari" sama sekali dari aslinya. Sama seperti ucapan Mr Lee dari Taiwan yang suka sekali menambahkan vokal pada kata yang berakhir dengan konsonan. Bed menjadi beddo. Knife dibaca naifu. Box menjadi bokkusu. Ice cream menjadi aisukuriiimu. Pump dibaca pampu. But dibaca batte. Jump dilafalkan dengan jampu.
Lain padang lain belalang, memang.
Tuesday, December 06, 2011
Friday, October 21, 2011
Tuesday, October 11, 2011
Tapung
Hari Minggu saya ikut bersama beberapa orang kawan yang pergi memancing ke Sungai Tapung. Berjarak sekitar dua jam setengah dari kota tempat kami tinggal, atau sekitar setengah jam dari Pekanbaru. Jam setengah enam pagi sehabis shalat subuh kami berangkat dengan menggunakan kenderaan roda empat pinjaman. Ada enam orang semuanya, empat orang adalah penggemar memancing, kecuali saya dan seorang kawan, yang hanya ingin berjalan-jalan saja. Umpan pancing sudah disiapkan, mulai cacing tanah sampai usus ayam.
Memasuki daerah Pantai Cermin, suasana lokasi transmigrasi sangat terasa. Penduduknya kebanyakan adalah pendatang, hasil program transmigrasi yang dijalankan pemerintah. Ruma-rumah bercat putih berdinding papan teratur mengisi kebun-kebun yang asri, hijau oleh berbagai pepohonan. Kebun sawit mendominasi kiri kanan jalan.
Setelah sarapan di pasar Pantai Cermin yang bersiap-siap untuk menyambut hari pekan, kami menuju ke Sungai Tapung. Kenderaan diparkir di salah satu rumah warga, kerabat salah satu kawan peserta memancing. Kemudian kami berjalan kaki melintasi belukar menuju ke sungai. Udara segar dan sejuk, matahari bersinar cerah. Permulaan yang baik.
Kami memilih lokasi di salah satu kebun sawit warga persis di pinggir sungai. Kebun sawit ini terawat baik, hamparan rumput hijau terhampar di sela-sela pepohonan sawit. Seperti lokasi piknik saja. Lenguhan kerbau yang sedang berkubang di pinggir sungai mengingatkan akan kampung halaman.
Ternyata nasib para pemancing sedang tidak begitu baik. Hanya beberapa ekor ikan kecil yang tersangkut di mata pancing. Bahkan seorang pemancing yang lewat dengan perahu juga menyatakan bahwa tidak banyak ikan yang ditangkapnya hari ini. Air sungai sedang keruh karena hujan di hulu, dan ikan-ikan seperti menghilang dari sungai.
Biar saja, siapa tahu lain kali mereka lebih beruntung.
Memasuki daerah Pantai Cermin, suasana lokasi transmigrasi sangat terasa. Penduduknya kebanyakan adalah pendatang, hasil program transmigrasi yang dijalankan pemerintah. Ruma-rumah bercat putih berdinding papan teratur mengisi kebun-kebun yang asri, hijau oleh berbagai pepohonan. Kebun sawit mendominasi kiri kanan jalan.
Setelah sarapan di pasar Pantai Cermin yang bersiap-siap untuk menyambut hari pekan, kami menuju ke Sungai Tapung. Kenderaan diparkir di salah satu rumah warga, kerabat salah satu kawan peserta memancing. Kemudian kami berjalan kaki melintasi belukar menuju ke sungai. Udara segar dan sejuk, matahari bersinar cerah. Permulaan yang baik.
Kami memilih lokasi di salah satu kebun sawit warga persis di pinggir sungai. Kebun sawit ini terawat baik, hamparan rumput hijau terhampar di sela-sela pepohonan sawit. Seperti lokasi piknik saja. Lenguhan kerbau yang sedang berkubang di pinggir sungai mengingatkan akan kampung halaman.
Ternyata nasib para pemancing sedang tidak begitu baik. Hanya beberapa ekor ikan kecil yang tersangkut di mata pancing. Bahkan seorang pemancing yang lewat dengan perahu juga menyatakan bahwa tidak banyak ikan yang ditangkapnya hari ini. Air sungai sedang keruh karena hujan di hulu, dan ikan-ikan seperti menghilang dari sungai.
Biar saja, siapa tahu lain kali mereka lebih beruntung.
Sunday, September 25, 2011
Thursday, September 22, 2011
Wednesday, September 14, 2011
Akrobat jalan raya
Sunday, September 11, 2011
Museum Tsunami Aceh
Akhirnya niat kami untuk ke Museum Tsunami Aceh kesampaian juga. Terletak di Jalan Iskandar Muda di depan Taman Sari seputaran Blang Padang di Banda Aceh, Museum Tsunami gampang diakses dari berbagai arah. Cuma sayang sekali, jalur masuk dan keluar ke lokasi museum hanya ada satu, sehingga seringkali menimbulkan antrian kenderaan masuk saat ada kenderaan yang keluar.
Tidak ada tiket masuk yang diperlukan. Kenderaan bisa diparkir di belakang gedung atau di lokasi jalan masuk, asal tetap menyisakan ruang untuk kenderaan lain melintas. Saat keluar dari lokasi museum petugas mengutip biaya parkir sebesar dua ribu rupiah untuk kenderaan roda empat. Museum dibuka pada hari Senin-Kamis dan Sabtu-Minggu dari pukul 9.00-12.00 dan 14.00-16.30. Sedangkan hari Jum’at museum ditutup.
Di sudut lokasi museum, sebuah truk reo IFRC (International Federation of Red Cross and Red Crescent) terparkir, menjadi monumen. Truk berwarna putih dengan bak belakang beratap terpal nampak gagah. Truk ini pernah menempuh berbagai lokasi sulit saat masa darurat pasca tsunami dulu.
Persis di depan pintu masuk, dipajang helikopter polisi yang kondisinya hancur. Dulu helikopter ini berada di kantor Brimob Jeulingke ketika tsunami melanda.
Segala jenis tas tidak diperbolehkan untuk dibawa masuk ke dalam museum. Makanan dan minuman juga tidak boleh dibawa ke dalam. Seorang petugas mengingatkan saya karena saya menyandang tas kamera. Jadi saya pergi ke penitipan barang untuk menitipkan tas kamera. Seorang ibu-ibu menghabiskan minuman botolannya dengan tergesa-gesa, kemudian menyusul rombongannya yang sudah terlebih dahulu memasuki museum.
Menyusuri lorong tsunami yang nyaris gelap total, sayup sayup terdengar gemuruh air. Lantunan ayat suci Al Quran membuat suasana menjadi miris, sedih, mencekam dan membuat hati menjadi berdebar-debar. Di dinding di kedua sisi, air meluncur ke bawah, ditambah dengan rintikan air yang jatuh dari atas menambah suasana hati menjadi tidak karuan. Saya berusaha melindungi kamera dari tetesan air dengan memasukkan ke dalam baju.Lorong tsunami ini di rancang untuk membuat pengunjung untuk bisa membayangkan suasana dahsyat tsunami yang meluluh lantakkan sebagian besar pesisir Aceh akhir tahun 2004 lalu. Di akhir lorong, terdapat ruangan Memorian Hall, yang berisi monitor-monitor yang terus menerus menyajikan gambar diam berupa foto slide dari berbagai daerah di Aceh sehabis tsunami. Dinding Memorial Hall semuanya terbuat dari kaca pantul, sehingga ruangan terkesan sangat luas. Cahaya dibuat remang-remang. Musik latar belakang dari penyanyi Aceh Rafly lamat-lamat berirama meratap-ratap naik turun, menimbulkan suasana sendu yang semakin kentara.
Keluar dari Memorial Hall, di sebelah kiri ada pintu masuk ke Sumur Doa, Chamber of Blessing. Ruangan tersebut berupa cerobong besar berwarna abu-abu gelap yang tinggi menjulang. Cahaya redup menyinari nama-nama yang terpampang di dinding, ribuan nama korman tsunami yang berhasil dikenali. Di ujung cerobong, cahaya terang menerangi lafadz Allah dalam huruf Arab yang besar. Light of God. Keluar dari Chamber of Blessing, saya melintasi jalan berliku Lorong Kebingungan. Lorong ini menggambarkan kondisi kebingungan rakyat Aceh sehabis bencana tsunami, diperparah dengan kondisi konflik bersenjata yang tak pernah usai. Namum, pasca bencana tsunami, rakyat Aceh mendapatkan suasana yang penuh damai, yang digambarkan dalam Jembatan Perdamaian.
Melintasi Jempatan Perdamaian, di atas, lokasi tertinggi yang benderang oleh cahaya alam, terdapat bendera berbagai negara tulisan dalam berbagai bahasa seperti Paz, Peace, Fred, Vrede, Pace, Paix yang berartikan satu kata "damai". Sangat indah. Di bagian bawah jembatan, terdapat kolam ikan yang luas di lantai satu museum. Di pinggir kolam, terdapat deretan prasati berupa bola-bola semen berukuran besar yang bertuliskan nama-nama berbagai negara yang memberikan bantuan saat terjadi bencana di Aceh. Jembatan Perdamaian membawa pengunjung ke lantai 2 museum. Diujung Jembatan Perdamaian terdapat semacam lobbi, yang berisikan meja-meja dan kursi-kursi. Ada kafe kecil di sebelahnya, dan pengunjung bisa memesan makanan dan minuman kecil. Maket museum yang sangat detil ditampikand di atas sebuah meja besar. Di sebelah kiri, di dinding terpampang peta Aceh dalam bentuk relief timbul. Ukurannya begitu besar memenuhi nyaris seluruh dinding. Berbagai kota besar di Aceh ditampilkan, begitu juga dengan kontur alam Aceh disajikan dengan detil.
Di arah kanan, terdapat bioskop berkapasitas sekitar dua puluhan penonton memutar film pendek. Filmnya hanya berdurasi sekitar delapan menit, berupa film dokumenter saat gempa dan tsunami melanda berbagai daerah di Aceh. Film tersebut juga menampilkan masa-masa darurat pasca tsunami, penanganan dan evakuasi korban, dan keterlibatan berbagai pihak untuk memberi bantuan.
Di sebelahnya terdapat ruang display yang menampilkan rekam jejak kejadian tsunami 2004. Terdapat foto-foto suasana di berbagai tempat di Aceh sebelum tsunami, saat tsunami dan siehabis tsunami. Begitu mencekam, begitu mengerikan. Seorang warga negara asing yang sudah berumur menatap lekat foto-foto mengerikan mayat-mayat yang bergelimpangan tak terurus di sela-sela kapal.
Diruangan lainnya ditampilkan berbagai artefak jejak tsunami. Sebuah jam lonceng besar yang sudah rusak sumbangan dari seorang warga di Ajun menunjukkan waktu saat tsunami melanda, yang menyebabkan jam tersebut mati. Ada sepeda motor dalam kondisi rusak, sepeda dan lain-lain. Juga terdapat beberapa diorama yang menggambarkan kondisi saat-saat tsunami melanda, dengan detil kepanikan warga yang melarikan diri dari amukan onbak raksasa.
Keluar dari ruangan display, terdapat tangga yang menuju ke lantai tiga. Di sini terdapat ruangan yang menampilkan berbagai informasi mengenai gempa dan tsunami. Pengunjung juga bisa merasakan suasana gempa pada alat simulasi gempa. Kekuatan gempa bisa diatur pada berbagai tingkatan. Pembelajaran soal gempa dan tsunami bisa dirasakan dengan media empat dimensi. Sayang, tayangan empat dimensi sedang rusak sehingga pengunjung tidak bisa menikmatinya.Juga terdapat ruang perpustakaan yang berisikan berbagai informasi berupa materi cetakan. Sebuah toko suvenir menjual berbagai benda khas Aceh untuk tanda mata. Saat melongok keruangan "Donor", hanya didapati ruangan yang nyaris kosong. Beberapa papan display menampilkan kegiatan organisasi kemanusiaan Palang dan Bulan Sabit Merah selama bekerja di Aceh. Dulu begitu banyak organisasi kemanusiaan yang bekerja di Aceh - mungkin mencapai seratusan - dari dalam dan luar negeri, besar dan kecil, tetapi tidak ada satupun informasi mengenai mereka.
Mengunjungi museum ini membangkitkan kembali kenangan saat gempa dan tsunami meluluh lantakkan sebagian besar pesisir Aceh pada 26 November 2004 lalu. Kenangan buruk yang tidak pernah diinginkan oleh semua orang, trauma batin yang tidak akan pernah terlupakan, dan justru memberi kekuatan baru bagi siapapun yang bisa mengambil hikmahnya.
Tidak ada tiket masuk yang diperlukan. Kenderaan bisa diparkir di belakang gedung atau di lokasi jalan masuk, asal tetap menyisakan ruang untuk kenderaan lain melintas. Saat keluar dari lokasi museum petugas mengutip biaya parkir sebesar dua ribu rupiah untuk kenderaan roda empat. Museum dibuka pada hari Senin-Kamis dan Sabtu-Minggu dari pukul 9.00-12.00 dan 14.00-16.30. Sedangkan hari Jum’at museum ditutup.
Di sudut lokasi museum, sebuah truk reo IFRC (International Federation of Red Cross and Red Crescent) terparkir, menjadi monumen. Truk berwarna putih dengan bak belakang beratap terpal nampak gagah. Truk ini pernah menempuh berbagai lokasi sulit saat masa darurat pasca tsunami dulu.
Persis di depan pintu masuk, dipajang helikopter polisi yang kondisinya hancur. Dulu helikopter ini berada di kantor Brimob Jeulingke ketika tsunami melanda.
Segala jenis tas tidak diperbolehkan untuk dibawa masuk ke dalam museum. Makanan dan minuman juga tidak boleh dibawa ke dalam. Seorang petugas mengingatkan saya karena saya menyandang tas kamera. Jadi saya pergi ke penitipan barang untuk menitipkan tas kamera. Seorang ibu-ibu menghabiskan minuman botolannya dengan tergesa-gesa, kemudian menyusul rombongannya yang sudah terlebih dahulu memasuki museum.
Menyusuri lorong tsunami yang nyaris gelap total, sayup sayup terdengar gemuruh air. Lantunan ayat suci Al Quran membuat suasana menjadi miris, sedih, mencekam dan membuat hati menjadi berdebar-debar. Di dinding di kedua sisi, air meluncur ke bawah, ditambah dengan rintikan air yang jatuh dari atas menambah suasana hati menjadi tidak karuan. Saya berusaha melindungi kamera dari tetesan air dengan memasukkan ke dalam baju.Lorong tsunami ini di rancang untuk membuat pengunjung untuk bisa membayangkan suasana dahsyat tsunami yang meluluh lantakkan sebagian besar pesisir Aceh akhir tahun 2004 lalu. Di akhir lorong, terdapat ruangan Memorian Hall, yang berisi monitor-monitor yang terus menerus menyajikan gambar diam berupa foto slide dari berbagai daerah di Aceh sehabis tsunami. Dinding Memorial Hall semuanya terbuat dari kaca pantul, sehingga ruangan terkesan sangat luas. Cahaya dibuat remang-remang. Musik latar belakang dari penyanyi Aceh Rafly lamat-lamat berirama meratap-ratap naik turun, menimbulkan suasana sendu yang semakin kentara.
Keluar dari Memorial Hall, di sebelah kiri ada pintu masuk ke Sumur Doa, Chamber of Blessing. Ruangan tersebut berupa cerobong besar berwarna abu-abu gelap yang tinggi menjulang. Cahaya redup menyinari nama-nama yang terpampang di dinding, ribuan nama korman tsunami yang berhasil dikenali. Di ujung cerobong, cahaya terang menerangi lafadz Allah dalam huruf Arab yang besar. Light of God. Keluar dari Chamber of Blessing, saya melintasi jalan berliku Lorong Kebingungan. Lorong ini menggambarkan kondisi kebingungan rakyat Aceh sehabis bencana tsunami, diperparah dengan kondisi konflik bersenjata yang tak pernah usai. Namum, pasca bencana tsunami, rakyat Aceh mendapatkan suasana yang penuh damai, yang digambarkan dalam Jembatan Perdamaian.
Melintasi Jempatan Perdamaian, di atas, lokasi tertinggi yang benderang oleh cahaya alam, terdapat bendera berbagai negara tulisan dalam berbagai bahasa seperti Paz, Peace, Fred, Vrede, Pace, Paix yang berartikan satu kata "damai". Sangat indah. Di bagian bawah jembatan, terdapat kolam ikan yang luas di lantai satu museum. Di pinggir kolam, terdapat deretan prasati berupa bola-bola semen berukuran besar yang bertuliskan nama-nama berbagai negara yang memberikan bantuan saat terjadi bencana di Aceh. Jembatan Perdamaian membawa pengunjung ke lantai 2 museum. Diujung Jembatan Perdamaian terdapat semacam lobbi, yang berisikan meja-meja dan kursi-kursi. Ada kafe kecil di sebelahnya, dan pengunjung bisa memesan makanan dan minuman kecil. Maket museum yang sangat detil ditampikand di atas sebuah meja besar. Di sebelah kiri, di dinding terpampang peta Aceh dalam bentuk relief timbul. Ukurannya begitu besar memenuhi nyaris seluruh dinding. Berbagai kota besar di Aceh ditampilkan, begitu juga dengan kontur alam Aceh disajikan dengan detil.
Di arah kanan, terdapat bioskop berkapasitas sekitar dua puluhan penonton memutar film pendek. Filmnya hanya berdurasi sekitar delapan menit, berupa film dokumenter saat gempa dan tsunami melanda berbagai daerah di Aceh. Film tersebut juga menampilkan masa-masa darurat pasca tsunami, penanganan dan evakuasi korban, dan keterlibatan berbagai pihak untuk memberi bantuan.
Di sebelahnya terdapat ruang display yang menampilkan rekam jejak kejadian tsunami 2004. Terdapat foto-foto suasana di berbagai tempat di Aceh sebelum tsunami, saat tsunami dan siehabis tsunami. Begitu mencekam, begitu mengerikan. Seorang warga negara asing yang sudah berumur menatap lekat foto-foto mengerikan mayat-mayat yang bergelimpangan tak terurus di sela-sela kapal.
Diruangan lainnya ditampilkan berbagai artefak jejak tsunami. Sebuah jam lonceng besar yang sudah rusak sumbangan dari seorang warga di Ajun menunjukkan waktu saat tsunami melanda, yang menyebabkan jam tersebut mati. Ada sepeda motor dalam kondisi rusak, sepeda dan lain-lain. Juga terdapat beberapa diorama yang menggambarkan kondisi saat-saat tsunami melanda, dengan detil kepanikan warga yang melarikan diri dari amukan onbak raksasa.
Keluar dari ruangan display, terdapat tangga yang menuju ke lantai tiga. Di sini terdapat ruangan yang menampilkan berbagai informasi mengenai gempa dan tsunami. Pengunjung juga bisa merasakan suasana gempa pada alat simulasi gempa. Kekuatan gempa bisa diatur pada berbagai tingkatan. Pembelajaran soal gempa dan tsunami bisa dirasakan dengan media empat dimensi. Sayang, tayangan empat dimensi sedang rusak sehingga pengunjung tidak bisa menikmatinya.Juga terdapat ruang perpustakaan yang berisikan berbagai informasi berupa materi cetakan. Sebuah toko suvenir menjual berbagai benda khas Aceh untuk tanda mata. Saat melongok keruangan "Donor", hanya didapati ruangan yang nyaris kosong. Beberapa papan display menampilkan kegiatan organisasi kemanusiaan Palang dan Bulan Sabit Merah selama bekerja di Aceh. Dulu begitu banyak organisasi kemanusiaan yang bekerja di Aceh - mungkin mencapai seratusan - dari dalam dan luar negeri, besar dan kecil, tetapi tidak ada satupun informasi mengenai mereka.
Mengunjungi museum ini membangkitkan kembali kenangan saat gempa dan tsunami meluluh lantakkan sebagian besar pesisir Aceh pada 26 November 2004 lalu. Kenangan buruk yang tidak pernah diinginkan oleh semua orang, trauma batin yang tidak akan pernah terlupakan, dan justru memberi kekuatan baru bagi siapapun yang bisa mengambil hikmahnya.
Lokasi parkir Museum Tsunami
Truk reo IFRC
Helikopter polisi yang hancur di asrama Brimob Jeulingke sewaktu tsunami
Pintu masuk lorong tsunami
Lorong tsunami
Memorial Hall
Mengamati foto di Memorial Hall
Pintu masuk sumur doa
Nama-nama di dinding sumur doa
Light of God
Lorong Kebingungan
Jembatan Perdamaian
Bendera dan tulisan dalam berbagai bahasa yang berarti "damai"
Kolam ikan di bawah Jembatan Perdamaian
Prasasti berisi nama negara pemberi bantuan di sekeliling kolam ikan
Maket museum
Peta Aceh di dinding
Ruangan pemutaran film dokumenter tsunami Aceh
Display rekam jejak tsunami Aceh 2004
Display rekam jejak tsunami Aceh 2004
Display rekam jejak tsunami Aceh 2004
Display rekam jejak tsunami Aceh 2004
Display rekam jejak tsunami Aceh 2004
Display rekam jejak tsunami Aceh 2004
Artefak tsunami
Artefak tsunami
Artefak tsunami
Diorama tsunami Aceh 2004
Diorama tsunami Aceh 2004
Diorama tsunami Aceh 2004
Diorama tsunami Aceh 2004
Diorama tsunami Aceh 2004
Diorama tsunami Aceh 2004
Ruangan pembelajaran gempa dan tsunami
Model bangunan tahan gempa
Subscribe to:
Posts (Atom)