Tuesday, November 30, 2010

Kobokannya mana?

Akhir minggu lalu seorang rekan sekerja menikah dan mengundang kami. Pesta pernikahan dilakukan di Tanjung Alam, sekitar dua belas kilometer dari kota Payakumbuh, ke arah Batusangkar melewati simpang Piladang. Pernikahan dilakukan hari Minggu, sedangkan baralek (pesta) dilakukan hari Senin. Bersama dengan empat rekan lainnya, saya berangkat menuju ke Sumbar Sabtu pagi, supaya sempat berjalan-jalan menikmati keindahan alam Sumbar. Minggu siang rencananya kami akan mengikuti prosesi pernikahan di Mesjid Tanjung Alam, yang lokasinya berdekatan dengan rumah yang baralek.

Acara pernikahan di Sumbar rumit dan berliku, setidaknya untuk beberapa acara pernikahan yang pernah kami hadiri. Jika di Aceh, dalam setiap acara yang mengundang tamu-tamu, biasanya acara makan mendapat porsi paling utama dari seluruh acara, dengan tidak mengenyampingkan acara inti, tentu saja. Di sini, acara makan merupakan bagian terakhir dari seluruh rangkaian acara, yang memakan waktu yang lama.

Pernah kami menghadiri acara pernikahan seorang kawan yang diadakan di ibukota provinsi tempat kami tinggal. Kami diundang untuk datang jam delapan malam, karena acara pernikahannya dilakukan sekitar jam delapan lewat. Mengikuti kebiasaan di Aceh, biasanya tamu-tamu makan dulu sebelum acara lainnya, jadi kami datang ke acara tersebut dengan perut kosong. Sesampai di rumah yang punya hajat, kami mendapati makanan sudah terhidang dan tersusun rapi, siap untuk disantap. Tamu-tamu semakin ramai, tetapi ajakan untuk makan tidak kunjung tiba. Teman-teman yang sama berasal dari Aceh mulai berbisik-bisik - maklum semuanya datang dengan perut kosong - saling mempertanyakan kapan akan makan. Rangkaian acara pernikahan kemudian dimulai, dan memakan waktu sangat lama. Kedua belah pihak saling berpidato, panjang dan seolah tidak habisnya. Disusul oleh acara berbalas pantun antara kedua pihak mempelai, dan tidak ada yang mau mengalah. Waktu berlalu, jam sudah menuju ke angka tengah malam. Seorang yang kelihatan bijak dan berwibawa maju kedepan, menengahi lomba pidato dan lomba pantun antara kedua pihak keluarga mempelai. Semuanya pemenang, dan tidak ada yang nomor dua. Kemudian, sebelum kedua mempelai dinikahkan, pidato-pidato dan kata sambutan kata sambutan lainnya susul menyusul. Perut semakin lapar, dan mata mulai mengantuk. Kami menyingkir dari ruangan tempat acara dan keluar mencari udara segar. Nampaknya acara makan tidak akan dimulai sebelum tengah malam terlewati. Sesekali kawan-kawan melirik makanan yang terhidang rapi, yang seolah melambai untuk diambil. Dari pengeras suara yang dipasang, kami mendengat ijab kabul diucapkan. Nah, berakhir sudah, dan semua akan makan sekarang, batin saya. Ternyata masih ada pidato susulan tentang segala hal yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Menjelang jam satu acara selesai dan semua tamu dipersilahkan untuk makanan yang sudah terhidang. Nasinya sudah keras dan dingin seperti pasir curah. Dengan pengalaman tersebut, jika ada acara-acara seperti itu, saya makan dulu sepelum pergi.

Jadi, sebelum menghadiri pernikahan kawan di atas, kami mengisi perut dulu sekedar untuk mengganjal. Bisa jadi walaupun kata kawan tersebut acaranya jam satu siang, acara makannya bisa molor sampai jam empat sore atau bahkan lebih. Lebih baik bersiap-siap daripada kelaparan lagi.

Kami nyaris terlambat sampai di lokasi. Acara sudah dimulai. Ternyata acaranya tidak rumit dan tidak lama. Hanya kata sambutan dari kedua belah pihak dan lain-lainnya. Pihak marapulai - mempelai laki-laki- mengharapkan anak kemenakan mereka bisa diterima dengan baik di lingungan keluarga yang baru. Pihak anak daro - mempelai perempuan - meminta maaf karena sambutan mereka yang sangat sederhana. Kemudian disusul dengan ceramah dari penghulu untuk kedua mempelai dan seluruh yang hadir mengenai kehidupan berumah tangga yang baik. Kemudian acara ijab kabul dilakukan. Wali mempelai perempuan nampak sedikit grogi sehingga ucapan ijab menjadi salah dan harus diulang berulang kali, yang membuatnya semakin grogi. Sedangkan mempelai laki-laki dengan tangkas menyambar ucapan ijab yang dilontarkan wali mempelai perempuan. Karena terus salah mengucapkan kata-kata ijab, acara ditunda sebentar. Wali mempelai perempuan diberi kesempatan sejenak untuk menenangkan diri dan menghapal kembali kata-kata ijab yang harus diucapkan. Setelah semuanya nampak beres, acara ijab kabul kembali dilakukan dan selesai dalam satu kali pengucapan saja. "Sah", kata para saksi. Semuanya mengucapkan syukur.

Dari mesjid, semua yang hadir dipersilahkan ke rumah mempelai perempuan untuk menikmati makanan. Rumah tersebut terletak persis di sebelah mesjid, ke arah ke belakang. Tenda berwarna cerah sudah didirikan, kursi-kursi tamu juga dibalut dengan kain yang berwarna senada. Makanan terhidang rapi di meja sebelah kiri, berupa-rupa lauk, tinggi dalam pinggan lebar menunggu untuk diambil. Nasi ditempatkan dalam termos tertutup untuk menjaganya tetap hangat. Piring-piring kosong dan sendok-sendok tersusun rapi diujung meja. Air minum seperti biasanya adalah air dalam kemasan, yang berupa gelas-gelas plastik yang tertutup rapat. Paktis dan bersih. Kami segera mencari meja yang kosong dan bersiap untuk mengambil makanan.

Ternyata utusan tuan rumah mempersilahkan kami untuk masik ke dalam, untuk bergabung dengan rombongan mempelai laki-laki yang sudah duluan. Kami sebenarnya lebih suka makan diluar - lebih bebas - tetapi undangan tersebut jelas tidak bisa ditampik, karena kami dianggap bagian dari rombongan mempelai laki-laki. Kamipun masuk ke ruangan, berdesakan dengan tamu-tamu lain, karena ruangan tersebut tidak mampu menampung semua tamu. Sudah jelas untuk duduk saja tidak nyaman, karena tidak bisa duduk lepas. Beragam makanan sudah terhidang rapi, ikan, gulai, rendang, ayam, sayur-sayuran, buah-buahan dan kue. Air minum dalam kemasan diedarkan secara beranting begitu kami berdesakan duduk. Nasi hangat dalam termos juga diedarkan secara beranting dari tangan ke tangan. Nasinya lepas dan gembur, cocok untuk dimakan dengan gulai dan rendang.

Setelah piring terisi nasi dan lauk-pauk yang diambil dari lokasi yang terjangkau tangan, matapun melirik kiri kanan, mencari air untuk pencuci tangan. Ada beberapa, di lokasi yang berjauhan. Biasanya, air cuci tangan disediakan dalam mangkok kecil-kecil, dengan jumlah yang sesuai dengan tamu yang hadir. Kali ini tidak. Hanya beberapa mangkok kobokan untuk semua tamu yang makan dalam ruangan. Juga tidak ada sendok yang tersedia, sehingga harus makan dengan tangan. Tetapi, semua orang nampaknya merasa nyaman dan biasa saja. Air kobokan setelah dipakai dialihkan ke orang berikutnya, dipakai lagi dan dialihkan lagi. Begitu berulang kali. Karena tidak biasa, saya memilih untuk mencuci tangan dengan menggunakan air minum. Makanannya enak. Gulai daging rasanya enak, begitu juga dengan palai ikan nila, rendang daging dan rendang ayam. Mi goreng juga tersedia, keras dan kenyal seperti wayer listrik, tetapi rasanya enak. Berulang kali saya dan kawan-kawan menambah nasi dan lauk, yang memang tersedia dalam jumlah yang cukup. Selesai makan, mata kembali lirik kiri kanan mencari kobokan terdekat - bekas pakai cuci tangan tadi beraman-ramai sebelum makan - untuk duluan mencuci tangan. Kalau dapat giliran kedua dan seterusnya air kobokan yang jumlahnya paling seratus cc itu akan berubah menjadi kotor, dan tidak mungkin lagi bisa untuk membersihkan sisa makanan yang ada di tangan. Ternyata kalah cepat, orang sebelah saya langsung mencelupkan tangannya kedalam kobokan. Kembali saya memakai air minum untuk mencuci tangan, jelas jumlahnya tidak mampu untuk membersihkan tangan yang belepotan minyak dan lemak makan. Kemudian lap tangan dengan banyak tisu untuk berusaha menghilangkan bau makanan dari tangan.

Ternyata saya ketahui kemudian, cara mencuci tangan setelah makan adalah tidak dengan mencelupkan tangan ke dalam mangkok air kobokan. Air dari mangkok dituang sedikit ke tangan dan ditampung di piring bekas makan. Cuma sedikit saja, kemudian mangkok kobokan diletakkan lagi atau diedarkan ke orang sebelah dan seterusnya. Bagi yang tidak mengetahui, seperti kami, langsung saja main celup, sehingga air kobokan menjadi kotor dan tidak bisa lagi dipergunakan untuk mencuci tangan. Karena alasan itu pula - mungkin - orang-orang makan nasi yang nyaris kerontang, dengan kuah sedikit saja. Makannyapun dengan ujung jari, jadi hanya sedikit saja bagian tangan yang kontak dengan makanan.

Jadi, dengan tangan yang masih kotor dan berbau rendang dan gulai saya dan mungkin juga kawan-kawan lain menyalami marapulai dan anak daro untuk mengucapkan selamat.

Tuesday, November 09, 2010

Situjuh ...

Akhir pekan lalu seorang tetangga mengajak kami ke kampungnya di daerah Situjuh, Payakumbuh. Terletak di lereng pebukitan, Tanjuang Simantuang bercuaca dingin sepanjang tahun. Desa tersebut terletak sekitar empat belas kilometer dari kota Payakumbuh. Dari arah Payakumbuh menuju ke Bukittinggi, di simpang empat Ngalau Indah berbelok ke kanan, menyusuri jalan mulus. Semakin keluar kota, jalanan semakin menyempit, walaupun kondisinya tetap aspal yang mulus. Jika ada kenderaan roda empat yang berselisih jalan, salah satu harus mengalah untuk membiarkan yang lainnya lewat.

Kami berangkat selepas magrib. Sebenarnya perjalanan hanya berjarak sekitar dua ratus lima puluh kilometer saja, tetapi karena sering berhenti di sepanjang jalan, kami baru sampai di tujuan jam empat dinihari. Tuan rumah meyambut kami dengan ramah.

Setelah sempat tidur sebentar, selesai shalat subuh saya mengajak Sarah jalan-jalan. Cuaca dingin berkabut, jadi kami memakai jaket untuk melawan dingin. Kami menempuh jalan yang basah karena bekas hujan semalam. Dedaunan menghijau dari pohon dan perdu yang tumbuh di kiri kanan jalan. Di depan rumah sebatang durian sarat dengan buah durian yang besar-besar.

Sekitar dua puluh menit berjalan, kami sampai di pesawahan. Sawah di daerah ini ditanami sepanjang tahun, nyaris tidak pernah kosong. Nampak petak sawah yang baru dipanen, sementara petak-petak yang lainnya masih menghijau. Sementara beberapa petak di sebelahnya sedang dibajak dengan traktor tangan. Air tersedia sepanjang tahun.

Panorama yang nampak luar biasa. Sawah berjenjang dengan hamparan padi yang hijau, diselingi oleh petak-petak sawah berisi padi yang menguning siap panen membuat pemandangan yang memukau. Udara sejuk segar mengisi paru-paru kami, sangat berbeda dengan udara tercemar limbah industri yang biasa kami hirup di tempat kami tinggal.

Banyak sekali anjing di sini. Nyaris setiap rumah memelihara anjing – kecuali rumah tempat kami berkunjung, tidak nampak anjing berkeliaran - kadang lebih dari satu ekor. Anjing-anjing tersebut adalah untuk menjaga rumah, walaupun ada juga anjing buruan, yang dipergunakan untuk olehraga buru babi yang sangat populer di daerah ini. Anjing-anjing yang kami lewati kadang menggertak dengan menggeram dan memamerkan giginya. Tidak ada masalah kalau cuma satu ekor. Tetapi kalau banyak, jika yang satu mulai menyalak karena kehadiran kami yang asing, yang lainnya ikut-ikutan. Ini mengkhawatirkan. Seorang kawan yang pecandu buru babi pernah mengingatkan cara menghadapi anjing-anjing kampung ini. “Jangan pernah lari kalau mereka menyalak, karena mereka akan menjadi agresif dan mengejar. Jika yang satu mengejar,hadapi saja. Mereka tidak akan berani. Tongkat akan sangat berguna. Pukul anjing terdekat sekuatnya, sehingga kaingnya bisa membuat yang lainnya ketakutan”. Tetapi saya tidak sampai perlu seperti itu di sini. Beberapa kali kami melewati gerombolan anjing-anjing, aman-aman saja. Kadang anjing-anjing tersebut mengendus-ngendus dalam jarak yang sangat dekat, sehingga Sarah ketakutan. Tetapi sebentar kemudian pemiliknya memanggil mereka. Anjing-anjing tersebut dengan patuh meninggalkan kami.

Rumah-rumah yang kami lewati kebanyakan rumah sederhana, walaupun beberapa ada yang berupa gedung yang cukup bagus. Penghidupan masyarakat di sini bertumpu pada pertanian, sawah dan ladang. Sapi-sapi dan kerbau-kerbau dalam berbagai ukuran mengisi kandang-kandang dekat rumah penduduk. Kerupuk opak – salah satu produksi dari daerah ini – dijemur berjejer dalam jumlah besar di panggung-panggung di pinggir jalan.

Cuaca dingin membuat selera makan menjadi besar. Semua makanan terasa enak. Makanan khas daerah ini, pangek atau gulai (sebenarnya lebih mirip asam pedas dibandingkan gulai) ikan atau daging menjadi menu utama. Tuan rumah minta maaf berulang kali karena tidak cukup menjamu kami, padahal semua macam makanan sudah terhidang.

Sabtu siang kami ke Harau. Kemarau yang sudah berlangsung hampir dua bulan membuat debit air terjun menjadi kecil. Di salah satu air terjun yang ada kolam pemandiannya, kolamnya malah kosong sama sekali. Tumpukan sampah menggunung di dasar kolam, menunggu untuk dibersihkan. Dua air terjun yang lain, masih ada airnya walaupun sedikit. Suasana ramai oleh pengunjung yang mandi atau sekedar bersantai.

Hanya dua hari kami di sini. Minggu siang kami balik ke tempat kami tinggal, setelah sebelumnya sempat lagi singgah ke Harau. Pengunjung ramai, karena sekarang hari Minggu. Kolam menjadi penuh dengan orang-orang dan anak-anak yang mandi. Menjelang jam empat sore kami meninggalkan Harau. Di jalan kami sempat berhenti dan beristirahat di Tanjung Alai, menikmati makanan kecil dan suasana matahari terbenam.


Durian di depan rumah




Sarah kelelahan setelah perjalanan mendaki













Suasana matahari terbenam di Tanjung Alai