Inilah puncak dari seluruh ritual menanam padi di kebanyakan tempat di Aceh. Keuemeukoh atau panen padi, merupakan waktu yang paling ditunggu-tunggu para petani. Padi yang menguning di hamparan sawah yang membentang luas menunggu dipanen, dengan bulir-bulir yang berat menggantung membuat batang padi merunduk rendah. Kadang-kadang, batang padi sampai rebah karena beban bulir padi yang berat.
Dikebanyakan daerah di Aceh, keumeukoh dilakukan oleh laki-laki, walaupun kadang-kadang kaum perempuan juga ikut serta. Panen dilakukan dengan manggunakan sadeuep (sabit) khusus untuk keumeukoh, dengan ujung sabit yang dibuat khusus untuk mengikat nibai, kumpulan batang-batang padi yang diikat menjadi satu dengan menggunakan batang padi itu sendiri. Setiap petak padi, yang luasnya bervariasi, dikerjakan oleh sekelompok orang yang terdiri dari beberapa orang. Biasanya mereka datang dari kampung-kampung lain. Sepanjang siang mereka bekerja, membabat padi petak demi petak, berdasarkan perintah pemberi kerja atau pemilik sawah. Malam hari biasanya mereka menginap di meunasah, karena tidak memungkinkan untuk pulang ke tempat asal mereka. Karena itu, biasanya meunasah-meunasah penuh dengan kelompok-kelompok ureueng keumukoh yang datang dari berbagai kampung lain dan tinggal di sana selama musim panen. Makan mereka ditanggung oleh pemberi kerja, jika masa kerjanya melewati jam makan. Untuk makan malam biasanya dibuat kesepakatan khusus dengan pemberi kerja.
Dulu upahnya tidak berupa uang kontan, tetapi berupa padi hasil panen itu sendiri. Untuk satu naleh sawah upahnya sekian naleh padi, yang akan diambil nanti di penghujung musim keumeukoh. Sekarang ini, biasanya upahnya berupa uang kontan, yang lebih gampang dibawa dan bisa langsung dibagi rata saat diterima.
Nibai-nibai yang baru dipotong diletakkan di atas pematang sawah ataupun diatas jeuendrang-tunggul batang padi, untuk dibiarkan beberapa lama sehingga menjadi lebih kering. Nibai-nibai ini akan dikumpulkan saat peuteungoh nibai, yaitu mengumpulkan nibai-nibai tersebut kesuatu tempat dimana padi akan dilepaskan dari tangkainya. Peutengoh nibai ini dilakukan oleh kaum perempuan, yang setelah selesai akan mendapat upah berupa nibai itu sendiri. Anak-anak juga ikut serta mengumpulkan nibai untuk diangkut oleh mereka yang lebih besar. Yang lainnya melakukan pileh pade - mengumpulkan untaian-untaian padi yang terlepas dari nibai. Sewaktu pulang mereka akan diberi hadiah beberapa buah nibai. Dulu, untuk setiap naleh sawah, upahnya biasanya satu bleuet – alat angkut nibai berupa buntalan - nibai sesanggup yang diangkat oleh mereka. Nibai-nibai yang dikumpulkan biasanya disusun rapi membentuk sebuah phui, tumpukan nibai yang disusun benbentuk bulatan dengan bekas potongan kearah luar. Atapnya dibentuk dari nibai-nibai itu juga, yang disusun kearah keluar, sehingga daun-daun padi membentuk atau yang mengalirkan air ke arah luar, sehingga bagian dalam phui tetap dalam keadaan kering. Alas phui biasanya dari tumpukan jerami. Phui ini bisa berdiri selama beberapa hari menunggu giliran untuk proses pengirikan padi, yang di Aceh dikenal dengan istilah ceuemeuelho.
Dulu sewaktu kami masih kecil, ceuemeuelho masih dikerjakan oleh tenaga manusia, karena mesin pengirik padi masih sedikit. Beberapa orang akan mengerjakan proses ceuemeuelho dengan upah padi dalam jumlah tertentu. Beberapa nibai akan ditumpuk menjadi satu dan dipijak-pijak sambil digulirkan di atas tikar on iboh sampai bulir padi terlepas dari tangkainya. Untuk penyeimbang badan biasanya dipakai dua batang tongkat yang terbuat dari pelepah rumbia. Proses ceuemeuelho ini biasanya dilakukan di malam hari di bawah cahaya lampu petromak sepanjang malam, sampai selesai. Bagi anak-anak, ini adalah kesempatan bermain sepuas-puasnya. Makanan berlimpah disediakan oleh pemberi kerja. Nasi gurih atau nasi lemak, kopi, teh, bandrek, pisang goreng, bu leukat – nasi ketan dengan berbagai perlengkapannya dan lain-lain. Di ujung tikar, tumpukan jerami menggunung, berisi bulir padi yang sudah lepas tetapi tersangkut dalam jerami. Beberapa orang perempuan sudah menunggu disini untuk melakukan seuemiteueng – mengambil sisa padi dari tumpukan jerami. Caranya sederhana, tumpukan jerami digoyang-goyang sampai bulir padinya berjatuhan. Jeraminya kemudian dipisahkan.
Sehabis ceuemeuelho, proses dilanjutkan dengan keuemeuerui, memisahkan bulir padi yang bernas dari semua kotoran, termasuk padi-hampa. Dulu proses ini dilakukan oleh kaum perempuan dengan menggunakan jiee – tampah yang terbuat dari anyaman bambu. Proses ini sangat tergantung dari kondisi cuaca, karena memerlukan angin yang kuat. Tumpukan padi diangkat dengan jiee, kemudian ditumpahkan pelan-pelan. Dengan bantuan angin, padi hampa dan kotoran akan tertiup angin dan memisah dari padi yang berisi, yang langsung jatuh ke tikar on iboh.
Selesai semuanya, kemudian upah-upah dibayarkan. Upah keuemeuekoh, upah ceuemeuelho, upah seuemiteueng dan upah keuemurui. Sedekah dan zakat juga dikeluarkan di tempat. Setelah itu, diadakan sukat pade, menghitung pendapatan hasil panen musim ini. Satu naleh sawah menghasilkan sekian naleh padi, bersih. Padi yang sudah dimasukkan kedalam karung dan goni kemudian diangkut pulang untuk disimpan dalam krong, semacam lumbung padi tradisional Aceh. Rumah-rumah sekarang ini jarang yang mempunyai krong, jadi padinya ditumpuk begitu saja di dalam rumah. Kadang ada juga yang dikeluarkan dari karung goni dan dicurahkan di seuramoe rumah Aceh. Yang ingin praktis, padi langsung diantarkan ke pengilingan padi. Di sana padi ditimbang dan pemiliknya menerima bukti serah terima. Kapan saja pemilik padi memerlukan uang, padi akan dihargai menurut harga padi pada saat pemilik padi ingin minta uangnya. Semacam tabungan jadinya.
Keuemeuekoh adalah tumpuan harapan bagi kebanyakan petani Aceh. Banyak keinginan ditunda sampai musim keuemeuekoh tiba. Membayar utang, tunggu keuemeuekoh. Perbaiki rumah, beli barang-barang baru, tunggu keuemeuekoh. Mengadakan fasilitas umum di desa-desa juga dilaksanakan pada saat keuemeuekoh. Orang-orang desa bergotong royong keuemeuekoh untuk mengumpulkan dana untuk mendirikan meunasah, membeli genset desa, membeli televisi umum yang ditonton bersama di meunasah, dan lain-lain. Warga desa yang tidak bisa ikut keuemeuekoh karena pekerjaannya, harus membayar iuran sesuai dengan jumlah upah yang diterima masing-masing warga yang ikut keuemeuekoh. Remaja-remaja bekerja ceuemeuelho untuk mengumpulkan dana untuk membeli bola sepak baru, atau membeli baju seragam tim voli. Anak-anak ikut mengumpulkan nibai untuk mendapatkan uang saku.
Saat ini, semua proses menjadi serba mesin dan serba cepat. Hanya proses keuemeuekoh yang belum bisa dikerjakan dengan mesin. Orang-orang untuk keuemeuekoh padipun semakin langka, sehingga ongkos keuemeuekoh semakin lama semakin naik. Bayarpun orang lebih suka pakai uang kontan dibandingkan dengan bayar pakai padi. Sehabis keuemeuekoh nibai langsung dipeueteungoh dan langsung diirik dengan mesin pengirik padi. Mesin pengirik ini sudah langsung dilengkapi dengan mesin keuemurui, sehingga hasilnya bisa langsung padi yang sudah bersih. Phui-phui sudah jarang ditemui di sawah-sawah di tanah Aceh. Pekerjaan ceuemeuelho dengan menggunakan tenaga manusia nyaris tidak ada lagi. Kenangan semasa kecil tentang phui yang mengeluarkan asap tipis dari puncak undukan nibai yang bentuk atap sewaktu pagi saat pergi ke sekolah mungkin suatu saat akan sirna dari bumi Aceh. Dulu, orang miskin mencari upah dengan bekerja pada pemilik sawah. Sekarang orang-orang berduit turun kesawah dengan mesin-mesin, yang menghasilkan uang dengan bekerja untuk para petani. Membajak sawah sudah menggunakan traktor. Ceuemeuelho menggunakan mesin. Keuemurui menggunakan mesin. Hanya keuemeuekoh yang masih tetap menggunakan tenaga manusia.
No comments:
Post a Comment