Monday, September 07, 2009

Berburu Tokek ke Bukittinggi

Tokek lagi naik daun. Tidak diketahui asal mulanya, tetapi sejak awal 2009 beredar kabar mengenai ada yang bersedia membeli tokek dengan ukuran tertentu, dengan harga yang luar biasa. Angkanya mencapai ratusan juta rupiah. Sejak itulah tokek-tokek yang selama ini hidup nyaman di habitatnya merasa terancam. Para pencari untung bermunculan, para pemburu tokek yang selalu memasang telinga tajam-tajam untuk memilah keberadaan bunyi tokek di antara beragam bunyi lainnya. Tokek-tokek yang terlacak akan segera ditangkap dengan cara-cara yang khusus, sehingga tokek tidak cacat sedikitpun. Tokek-tokek yang tertangkap akan dirawat baik-baik dalam sangkar yang sudah disiapkan, diberi makan jangkrik dan dihindari dari segala sesuatu yang bisa menyebabkan hewan melata itu tertekan. Stress bisa menyebabkan tokek mati, kabarnya.

Menjelang pemilu legislatif, harga tokek terus membumbung. Tidak jelas apa kegunaan tokek-tokek dengan persyaratan khusus tersebut. Berbagai spekulasi dan isu muncul. Para pencari tokek terus bertambah dengan harapan untuk dapat meraup untung besar dengan sekali tepuk. Cuma, tokek yang bernilai beratnya setidaknya tiga ons. Semakin berat, semakin bernilai. Jarang yang pernah melihat tokek sebesar itu. Tokek seukuran 3 ons badannya bisa selebar lima sentimeter, nyaris seukuran biawak muda.



Rekan-rekan sekerja ada juga nyambi menjadi mediator – istilah untuk penghubung antara pemilik tokek dengan pembeli tokek, lebih tepatnya disebut calo tokek atau penokek. Dari mereka saya sering mendengar cerita-cerita tentang tokek yang sudah berhasil ditangkap dan dijual. Ada yang mendengar cerita bahwa ada yang berhasil mendapat tokek seukuran setengah kilo lebih. Harganya ratusan juta rupiah. Ada juga yang mengaku sudah berhasil menjual tokek ukuran sekian ons, dengan komisi belasan juta rupiah. Yang lain mengaku tokek berukuran besar lepas pada saat mau transaksi. Juga beredar kabar karena unsur magis terlibat di sini, tokek yang dibawa pada perjalanan jauh ke pembeli kakinya harus diikat dengan ijuk, dang pinggangnya harus diikat dengan rambut perawan.

Ini adalah bisnis yang agak aneh: barang yang dijual tidak jelas kegunaannya, pembelinya samar-samar seperti hantu di malam buta, harganya sipembeli yang menentukan, juga syarat-syarat barang dagangannya. Bisa saja transaksi yang sudah diatur dengan pengorbanan waktu dan biaya awal yang tidak sedikit, buyar gara-gara sipembeli mengatakan tokek tersebut tidak sesuai dengan keinginannya. Tidak ada ketentuan yang mengikat kedua belah pihak. Suka ambil, tidak suka tinggalkan.

Seusai pemilu, isu mengenai tokek agak menurun. Kabarnya harganya tidak lagi tinggi, bahkan menukik dengan tajam. Jadi, para penokek bisa senyap sejenak dari kegiatan mereka, – yang juga senyap dan tidak jelas.

Malam Minggu lalu, sehabis berbuka puasa saya mendapat telepon dari seorang teman. Dia mau ke rumah untuk membicarakan suatu urusan. Urusan tersebut adalah rencana perjalanan panjang ke Medan, mengantarkan barang yang akan dijemput dari Bukittinggi. Barang tersebut adalah seekor tokek yang beratnya tiga ons lebih. Harga belinya menarik, harga jualnya di Medan lebih menarik lagi. Kaki tangan di Medan sudah dihubungi, dan sudah ada jawaban mengenai pembelinya.

Lampu baru saja mati – seperti biasa – saat mereka tiba. Dalam gelap kami membicarakan rencana mereka untuk melakukan perjalanan ke Bukittinggi, kemudian setelah menjemput barang, perjalanan akan diteruskan ke Medan melalui lintas tengah. Informasi dari saya diperlukan karena awal bulan ini saya baru melakukan perjalanan ke Banda Aceh lewat lintas tengah. Saya berusaha menjelaskan rute-rute tersebut dan situasi penjalanan sesuai dengan apa yang saya alami. Nampaknya mereka ragu dan mengajak saya ikut serta. Saya sebenarnya tertarik, cuma saya baru saja cuti seminggu awal bulan ini. Ikut dengan mereka ke Medan berarti saya harus cuti lagi. Tidak nyaman, apalagi mendadak seperti ini. Jadi saya menawarkan alternatif lain. Saya akan menemani mereka ke Bukittinggi, kemudian balik lagi ke sini. Saya tidak akan ikut ke Medan. Lagian, ke Medan melalui lintas timur lebih gampang, karena salah satu dari mereka kenal jalannya. Tidak masalah, kata mereka. Keputusan diambil, kami akan berangkat sekarang. Saya minta waktu sebentar untuk bersiap.

Kenderaan kami adalah sebuah sedan, yang walaupun suah berumur namun masih tangguh untuk dibawa jauh. Rencananya kami akan bergantian menyetir, sehingga nantinya mereka masih cukup segar untuk melanjutkan perjalanan ke Medan.

Jam sembilan malam lewat kami berangkat, menempuh jalan aspal berlubang menuju Pekanbaru. Lalu lintas ramai saat ini, bus dan truk dari kedua arah. Di Pekanbaru kami berhenti di sebuah warung karena saya belum makan malam.

Telepon-telepon terus masuk dari para penokek lainnya yang menawarkan calon pembeli. Kabar nampaknya cepat beredar di kalangan mereka.

Perjalanan kami teruskan dalam suasana gerimis sejak meninggalkan Pekanbaru. Bangkinang kami lewati dalam suasana hujan yang tidak begitu lebat. Di daerah Pangkalan, kami berhenti sejenak untuk salat. Jam satu lewat kami mencapai kelok sembilan – jalan rusak parah mengerikan, dengan kelok tajam sebanyak sembilan buah, melintir menuruni bukit curam, tanpa pagar pengaman. Satu kesalahan, kami akan berakhir di dasar jalan dari ketinggian puluhan meter. Telepon masuk dari penokek lainnya di Bukittinggi yang menunggu kami. Ini adalah lapisa-lapisan aneh dalah bisnis ini: terlalu banyak calo tokek, terlalu sedikit pemilik tokek. Lebih sedikit lagi pembeli tokek. Dan nyaris tidak ada tokek-tokek yang memenuhi persyaratan.

Sekitar jam tiga malam kami memasuki kota Bukittinggi, dan mencari lokasi pertemuan yang sudah ditentukan dengan penokek dari Bukittinggi, yaitu daerah Tanjung Alam. Kami berhenti dan menunggu, sementara mereka menelepon untuk memberitahu bahwa kami sudah sampai. Udara Bukittinggi yang dingin menusuk tulang. Jaket saya ketinggalan. Mereka berdua memakai jaket, dan nampaknya tidak ada masalah dengan udara dingin. Mungkin semangat untuk mendapatkan tokek membuat mereka melupakan udara dingin.

Penokek dari Bukittinggi tiba dengan sebuah Jimmy merah. Pintu mobil terbuka, dan sepotong kaki dengan sepatu laras hitam dengan garis putih muncul. Mulanya kami pikir ia adalah militer, karena sepatunya mirip kepunyaan polisi militer, tetapi setelah orangnya turun, baru nampaknya jelas. Bajunya tidak nampak karena dia mengenakan jaket kulit imitasi berwarna hitam, tetapi celananya menunjukkan seragam polisi pamong praja. Mereka bersalaman dan saling bertukar kata dalam bahasa Minang. Namanya Hendra. Dari pembicaraan mereka saya bisa mendengar bahwa barangnya tidak ada di sini. Barangnya ada di satu tempat yang aman, cukup dekat dari tempat kami berada saat ini.

Jadi kami masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan. Hendra berada di depan menunjukkan jalan. Lima belas menit kemudian kami berada di depan bangunan pasar bertingkat tiga yang gelap gulita. Suasananya menyeramkan. Pemilik barang ada di lantai atas, Hendra menjelaskan. Prasangka muncul dalam pikiran saya. Seandainya mereka – para penokek teman saya tersebut – memang benar membawa uang dalam jumlah yang besar untuk melakukan transaksi tokek di tengah malam buta seperti ini, berarti kami rawan untuk menjadi korban kejahatan. Bisa saja diatas sana, rekan-rekannya, yang juga menganggap kami membawa uang dalam jumlah yang besar untuk transaksi - sudah menunggu untuk mempreteli kami, melucuti kami sampai betul-betul telanjang, sebelum akhirnya disuruh pergi. Bagaimana kalau mereka tidak ingin kami pergi setelah dilucuti, dan kami harus tetap disitu, selamanya? Tetapi nampaknya mereka tenang-tenang saja dan terus melangkah mengikuti Hendra dengan mantap. Saya berjalan paling belakang, agak memisah.

Di tingkat tiga, kami menuju bagian ujung pasar. Disebuah kios kami berhenti. Hendra mengetuk-ngetuk, dan sejenak kemudian lampu dalam menyala diikuti oleh bunyi kunci. Pintu membuka, dan sebuah kepala dengan wajah mengantuk muncul. Orangnya tidak berbaju, hanya bercelana pendek. Sebuah HP terselip di pinggang celananya. Orangnya berusia sekitar awal tiga puluhan. Namanya Herman. Hendra menjelaskan maksud kedatangan kami dan seketika itu juga kantuk hilang dari wajah Herman. Dengan ramah ia mempersilahkan kami masuk. Kios tersebut rupanya sebuah rumah makan, yang buka di siang hari dibulan puasa ini. Lauk yang baru masak bertumpuk di dalam sebuah wadah besar dalam rak. Piring dan gelas tersusun rapi, siap untuk dipakai. Di atas kompor minyak tanah sebuah kuali masih mengepulkan uap sayur daun ubi yang dimasak santan. Kamipun menarik kursi dan duduk. Saya masuk paling akhir dan duduk dekat pintu keluar, yang juga merupakan pintu masuk.

Herman orangnya ramah, dengan cakap yang seakan tidak pernah habisnya. Ia bercerita mengenai tokek yang berjumlah belasan yang dibawa dari Bogor. Sebagian berukuran besar, rata-rata sekitar tiga ons, syarat paling rendah dalam dunia perdagangan komoditi tokek. Sebagian tokek tersebut mati karena stress dan kurang perawatan. Dia terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan dan kantornya – dia seorang Satpam – sehingga nyaris tidak punya waktu untuk merawat tokek-tokek tersebut. ”Dimana sekarang barang tersebut?” teman saya bertanya. Dekat sekali, kata Herman. Cukup dekat. Sebentar lagi kita akan melihatnya. Jika cocok, kita akan duduk membicarakan angka-angka. Sesederhana itu.

Saya memberi isyarat kepada teman saya untuk mencari makan sahur terlebih dahulu. Herman mendengar pembicaraan kami dan mengatakan bahwa kami harus makan disitu, karena kami adalah tamu mereka. Makanan sudah tersedia, lauk pauk sudah siap untuk dimakan, air minum sudah terhidang. Mau kopi atau teh silahkan buat sendiri. Karena dia terus mendesak, kamipun makan sahur di situ. Cuaca dingin membuat makan menjadi lahap, lagipula kami memang lapar karena kecapekan dan bergadang semalaman.

Kemudian Herman mengajak kami keluar dari kios tersebut untuk menengok tokek. Ternyata memang cukup dekat, seperti kata Herman. Hanya berjarak beberapa kios, Herman berhenti dan mengeluarkan kunci. Dalam temaram cahaya lampu kami melihat tiga kandang tersusun rapi dengan tokek-tokek di dalamnya. Hendra mengeluarkan senter, dan kami melihat dengan jelas tokek-tokek yang merayapi dinding kandang, terganggu oleh cahaya senter yang menyilaukan. Ukurannya kelihatannya tidak mencapai tiga ons. Yang paling besar panjangnya sekitar sejengkal, dengan lebar badan sekitar dua atau tiga sentimeter. Rekan saya jelas kecewa, walaupun mereka tidak mengatakan apa-apa. Herman terus bercerita mengenai tokek-tokek tersebut. Dia menunjuk seekor tokek, yang ujung ekornya sedang membelah. Tokek yang ekornya bercabang dua harganya juga sangat mahal.

Sekarang barang sudah ditunjukkan, tinggal lagi rekan saya mau membeli atau tidak. Dalam perjalanan balik ke rumah makan, keduanya berbicara dengan suara rendah dan pelan, nyaris seperti gumaman, sehingga tidak terdengan jelas. Dari nadanya saya bisa memperkirakan bahwa barangnya tidak cocok dengan keinginan calon pembeli di Medan. Dengan kata lain, perjalanan mereka ke Bukittinggi menempuh jarak sekitar 300 km di malam buta itu gagal total. Selisih harga penjualan di Medan dengan harga pembelian di sini yang sudah dibayangkan masuk ke kantong mereka terbang ke awang-awang.

Rekan saya permisi untuk berdiskusi diluar. Sejenak kemudian saya menyusul, tetapi tidak bergabung dengan mereka. Saya berdiri dalam kegelapan. Dari kejauhan nampak mereka berbicara dengan nada cepat dan gelisah, tangan saling digerakkan. Kemudian mereka kembali ke dalam ruangan. Saya tetap tinggal di luar, dalam udara pagi Bukittinggi yang dingin menusuk tulang.

Lama juga mereka berada di dalam. Seorang lagi datang dan bergabung, nampaknya baru habis sahur. Tidak jelas apa pembicaraan mereka, karena dari tempat saya berdiri tidak kedengaran sama sekali. Kemudian, mereka keluar, saling memberi salam dengan riang, dan menuju ketangga untuk turun. Perpisahan sudah dilakukan, dan semuanya sudah jelas: transaksi tidak jadi dilakukan. Saya bergabung dengan mereka. Dijalan menuju kenderaan, kami tidak mengatakan apapun. Misi telah gagal. Tetapi, setidaknya, kami sudah sampai ke Bukittinggi, apalagi salah seorang rekan saya belum pernah kemari. Sementara itu, azan terdengar di sebuah mesjid yang berdekatan. Kami sepakat, seusai salat subuh, kami akan mencari tempat untuk tidur sejenak. Tempatnya sudah ditentukan, di bawah Jam Gadang. Besok kami akan berjalan-jalan di kota Bukittinggi. Tidak ada lagi yang diburu sekarang, jadi semuanya boleh santai sejenak. Dan kami akan menikmatinya, besok pagi.