Wednesday, June 27, 2012

Harau, suatu hari

Air terjun Lembah Harau, liburan, ramai oleh pengunjung. Udara sejuk bahkan cenderung dingin. Seorang lelaki paruh baya menawarkan sesuatu yang khas yang berasal dari Payakumbuh, belut yang dikeringkan, dijepit pada potongn bambu, melambai seperti umbul-umbul. Sedikit yang tertarik. Bukan belut kering yang dibutuhkan oleh para pengunjung air terjun Lembah Harau saat ini.

Lama berkeliling, dengan usaha yang nyaris sia-sia. Pada akhirnya, ada yang membelinya juga. Seorang anak nampak membawa lambaian belut kering di tangannya meninggalkan lokasi air terjun bersama orang-orang dewasa lainnya dalam rombongannya. 


 














Friday, June 08, 2012

Kuala Sugihan, OKI

aDiujung lintasan perjalanan kami melakukan penyusuran Sungai Sugihan, Ogan Komering Ilir di Sumatra Selatan, kami singgah di Kuala Sugihan untuk makan siang. "Kita makan di restoran Kuala Sugihan", kata tuan rumah yang mejadi kawan seperjalanan. Seorang rekan naik ke dermaga untuk memesan, sementara kami menunggu di speedboat. Sementara menunggu makanan

disiapkan, kami akan melanjutkan perjalanan ke laut, yang berjarak sekitar beberapa kilometer.  Muara sungai Sugihan behadapan langsung dengan pulau Bangka, tenang tidak berombak. Laut berwarna kuning kecoklatan, keruh oleh endapan yang dibawa oleh aliran sungai. Mesin speedboat dimatikan, kami terapung-apung di atas laut yang tenang. Pulau Bangka mencegah ombak selat Malaka sampai ke daerah ini.

Sekitar setengah jam menunggu, kami balik ke Kuala Sugihan. Kedua speedboat merapat ke dermaga, yang posisinya lebih tinggi dari speedboat. Untuk ke atas dermaga harus menggunakan tangga yang terbuat dari kayu, yang walaupun kecil nampaknya cukup kuat untuk menahan beban pemanjatnya. Beberapa anak kecil mengintip dari atas dermaga, cekikikan mengamati kami yang hati-hati memanjat tangga. Meleset melangkah, bisa kecemplung ke sungai. Sampailah kami di atas, melintasi dermaga yang lantainya terbuat dari papan yang lapuk dan bolong-bolong. Melangkah harus hati-hati kalau tidak ingin terperosok.

Perahu-perahu parkir di dermaga lainnya, memuat dan membongkar berbagai muatan.

Kuala Sugihan merupakan sebuah kampung kecil, jauh dari mana-mana, terisolasi di tengah antah berantah, dibangun di atas panggung papan yang ditopang oleh tiang-tiang kayu yang bejumlah ratusan. Jalan utama yang melintasi kampung ini terbuat dari potongan papan tebal, dipaku dengan rapi di atas tiang-tiang yang kuat, membelah kampung dari ujung ke ujung. Tidak ada jalan tanah. Rumah-rumah didirikan di kiri kanan jalan. Tempat-tempat terbuka berisi hamparan ikan kecil dan udang yang sedang dijemur. Juga ada sebidang lapangan untuk bermain bulu tangkis. Rumah-rumah memiliki antena parabola untuk memutus keterisolasian mereka dari dunia luar. Kami melangkah melintasi jalanan menuju restoran.

"Restoran Kuala Sugihan" ternyata adalah sebuah rumah penduduk. Tuan rumah kami sepertinya sudah sering kemari, karena ia cukup akrab dengan pemilik rumah. Makanan sedang disiapkan, udang dan ikan laut segar. Dapur sedang sibuk oleh ibu-ibu yang sedang memasak untuk kami. Ruang tengah rumah yang cukup lebar sudah disiapkan untuk tempat makan.

Barang-barang sudah disingkirkan, menyisakan karpet plastik yang bersih yang menutupi lantai kayu. Dari jendela samping rumah kami melihat antena parabola terpasang kokoh. Sayang sekali listrik mati, kata pemilik rumah. Sudah seminggu ini listrik mati karena mesin diesel rusak dan belum selesai diperbaiki.

Akhirnya makanan terhidang: nasi panas yang mengepul-ngepul dalam baskom. Udang rebus dalam beberapa piring besar. Ikan kakap goreng dan rebus. Plus saus botolan dan kecap. Hanya itu. Tetapi udangnya luar biasa. Segar, sehingga walaupun hanya direbus rasanya sangat nendang. Juga ikan kakapnya sangat segar. Semua makan denga lahap. Sebentar saja nyaris semua makanan sudah pindah ke perut.

Selesai makan, saya berkeliling kampung sebentar. Tidak banyak laki-laki dewasa yang ditemui. Mereka sedang bekerja, nyaris semuanya adalah nelayan. Pemilik rumah tempat kami makan, selain menjadi nelayan juga memiliki sarang walet di belakang rumahnya, juga dibangun di atas panggung. Bagian depan rumahnya juga adalah sebuah kios yang menyediakan berbagai barang kebutuhan sehari-hari. Penduduk kampung ini kebanyakan - nyaris semuanya - adalah suku Bugis dari Sulawesi.

Beberapa anak kecil sedang bekerja mengupas udang. Udang yang sudah keras karena dijemur di terik matahari dimasukkan kedalam karung, kemudian dipukul dengan cara dibanting ke lantai kayu. "Ini untuk dibuat tepung udang", kata seorang anak menjawab pertanyaan saya. "Harganya tujuh puluh lima ribu rupiah sekilonya". Itu upah yang mereka terima? "Bukan. Itu harga tepung udangnya". Anak-anak tersebut rata-rata usia kelas empat - enam sekolah dasar. "Sekolah kami ada di ujung sana", seorang anak menunjuk ke ujung desa. Sekolahnya sendiri tidak nampak, terhalang oleh bangunan mesjid kecil yang ukurannya cukup tinggi.

Balik ke restoran, pemilik rumah masih menyisakan cerita mengenai listrik. "Listrik cukup mahal. Saya membayar rata-rata lima ratusan ribu rupiah setiap bulan", katanya. Gila bayar segitu untuk listrik sehari-hari. Bukankah dengan harga segituan sudah bisa mendapatkan genset portabel yang berurukan sekitar lima ratus watt? 500 watt sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan rumah mereka nampaknya. "Betul. Tetapi, bensin juga mahal. Empat puluh ribu rupiah seliternya di sini". Jelaslah bahwa untuk mengoperasikan genset sendiri perlu biaya lebih dair dua kali lipat dari yang dibayarkan sekarang.

Harapannya? "Jika perusahaan jadi beroperasi di sekitar sini, kami akan minta bantu supaya dialiri listrik". Itu saja.

Selesai beristirahat, kami kembali ke speedboad. Tuan rumah kami kasak-kusuk dengan pemilik rumah untuk pembayaran. Kamipun berlalu, kembali melintasi lantai papan lapuk bolong-bolong dengan hati-hati, menuruni tangga dengan lebih hati-hati, kemudian melangkah ke speedboat dengan sangat hati-hati. Tidak ada yang ingin kecemplung ke sungai dalam kondisi sangat kekenyangan seperti sekarang ini, terlebih bagi saya dan seorang kawan seperjalanan yang tidak bisa berenang sama sekali.





























Wednesday, June 06, 2012

Di balik jendela rumah gadang

Seorang balita mengintip dari balik jendela rumah gadang di Payakumbuh, Sumatra Barat.